Kupu-Kupu Fort de Kock; Dendam dan Romantika dalam Dunia Silat

 
Judul Buku : Kupu-Kupu Fort de Kock
Penulis : Maya Lestari Gf                                                          
Penerbit : Koekoesan
Tahun terbit : Juli 2013
Tebal : ix + 405 halaman
ISBN : 978-602-17419-76-1-7
           
Silat merupakan salah satu jenis seni beladiri yang berakar dari tradisi dan budaya asli Indonesia. Satu yang paling terkenal adalah Silat Minangkabau, Sumatera Barat. Mengejutkan, ketika cerita Silat Minangkabau yang diangkat menjadi cerita tragedi romantik “Kupu-Kupu Fort de Kock”, ternyata mampu membius saya untuk terus membaca buku ini sampai tamat setelah didera sebuah rasa penasaran yang amat hebat. Ditambah dengan kenyataan bahwa penulis buku ini, Maya Lestari Gf, memang berasal dari Sumatera Barat, sehingga setting beberapa tempat seperti Bukittingi dan Padang, menjadi begitu kuat dan memikat.

Sejujurnya, saya bukan penggemar bacaan-bacaan cerita silat, novel maupun komik. Dulu sekali, saya  pernah sedikit membaca serial Wiro Sableng.  Dalam banyak kisah silat yang ditulis oleh penulis Indonesia, sering diceritakan bagaimana seorang pendekar (yang menguasai banyak jurus ilmu silat) menjadi begitu heroik karena kehadirannya memang diciptakan untuk membela kebenaran dan menumpas kejahatan. Sehingga wajar jika kemudian, nama-nama seperti Wiro Sableng, Si Buta dari Goa Hantu; yang meskipun namanya terdengar aneh dan nyeleneh, menjadi terkenal baik oleh tokoh-tokok fiksi yang berhubungan dengannya dalam dunia maupun oleh para pembaca. Mereka dicari (oleh tokoh yang berhubungan dengannya) karena mereka memiliki ilmu beladiri yang mumpuni yang dianggap mampu menumpas segala bentuk kejahatan di muka bumi, mereka juga dicari (oleh pembacanya) karena cerita-cerita yang ditawarkan di setiap episodenya selalu menyajikan bagaimana tangguhnya sepak terjang sang pahlawan dengan cara yang memikat.
Namun, itu dulu. Saat ini, dunia perbukuan Indonesia, khususnya fiksi, sedang merangkak naik, dan di saat yang sama, penulis-penulis muda berbakat terus bermunculan. Di antara semuanya, coba tunjuk satu saja cerita fiksi Indonesia yang menuliskan tentang silat sebagai sumber cerita. Nyaris tidak ada. Sampai kemudian hadir Kupu-Kupu Fort de Kock.
Ketika pertama kali saya tahu novel ini akan diterbitkan sampai kemudian dengan nyata hadir di tangan saya setelah melalui perjalanan panjang dari Padang ke Aceh (terima kasih untuk Uni Maya), saya menduga bahwa novel ini sama seperti novel-novel silat Indonesia lainnya yang pernah berjaya di tahun 90-an. Bukan, saya bukan hendak mengatakan bahwa cerita-cerita silat tersebut sama sekali tidak menarik, tapi saya yang tidak tertarik, entah kenapa. Namun nama Maya Lestari Gf saya jadikan jaminan bahwa buku ini pasti ditulis dengan cara yang berbeda.
Dan memang benar. Saat saya selesai membacanya, yang terjadi adalah saya tiba-tiba terbius akan jalinan ceritanya yang memikat dan dibuat penasaran setengah mati akan kepingan-kepingan puzzle yang terhampar nyaris di setiap babak cerita. Membaca buku ini membuat saya seperti membaca serial kesukaan saya; Harry Potter, tentu saja, dengan beberapa catatan yang akan saya tuliskan belakangan. Kalian boleh mengatakan saya berlebihan. Bagaimana mungkin Maya Lestari Gf bisa disandingkan dengan J.K. Rowling? Saya bukan hendak membandingkan nama penulis, bukan juga ingin membandingkan cerita yang memang sama sekali berbeda. Namun saya mencatat banyak hal. Selain karena sama-sama menyuguhkan banyak teka-teki, saling kait mengait antara satu peristiwa dengan peristiwa yang akan terhubung di akhir cerita, sejujurnya saya sangat menikmati membaca buku yang setiap bagian cerita dipisahkan oleh sub judul (bukan bab/penyebutan bagian dan sebagainya) yang memang langsung menuju ke inti cerita yang dimaksud. Sub judul ‘Energi Putih’ misalnya, bagian ini hanya satu lembar, satu halaman saja, yaitu deskripsi apa itu energi putih. Namun ini penting, karena ‘energi putih’ merupakan salah satu inti dari cerita ini. Lebih dari itu, ketika berada di lembar-lembar menuju akhir, ketika saya sebagai pembaca menemukan satu peristiwa yang nyaris, bahkan sudah terungkap dengan nyata satu fakta di bagian menjelang akhir namun kemudian saya lupa, maka dengan adanya sub judul ini, tidak sulit bagi saya untuk membuka ulang halaman belakang dan mencari lagi mana peristiwa terkait yang disebutkan penulis di awal cerita.  
Namun, yang perlu saya tegaskan, sekali lagi, ini adalah cerita silat. Tidak ada cerita dunia fantasi di sini, bukan juga cerita tentang pendekar bernama aneh dan nyeleneh yang menjadikannya sebagai satu-satunya tokoh idola, dan ini juga bukan cerita silat dengan setting di negeri antah berantah. Apa kalian percaya kalau saya katakan bahwa jurus-jurus seperti Dinding Besi, Angok Gantiang, Baling-Baling Besi, jurus Silat 21 Hari dan sebagainya; serta nama-nama tokoh seperti Limpapeh, Angin Batu Merah, Malin Mundo, Singo Balang, dan sebagainya; adanya di abad 21? Inilah yang membuat novel ini unik, selain hal-hal yang saya sebutkan sebelumnya.
Secara pribadi, saya tidak meragukan lagi kemampuan Maya Lestari Gf dalam meramu cerita, dalam mengolah kata-kata, dalam mengemas konflik, dalam menciptakan teka-teki. Saya tidak berlebihan, apalagi ‘Kupu-Kupu Fort de Kock’ bukan buku pertama Maya yang saya baca. Sejak beberapa tahun lalu, saya turut menyaksikan bagaimana Maya Lestari Gf bermetamorfosis menjadi salah satu penulis yang mumpuni di negeri ini, melalui buku-bukunya. Buku terakhir yang saya baca, ‘It’s My Solitaire’, adalah buku yang  mampu mengajak saya untuk masuk ke dunia yang dibangun oleh seorang penderita Skizofrenia.
***
Sekarang, mari kita bincang-bincang tentang ‘Kupu-Kupu Fort de Kock’.
Fort de Kock adalah nama sebuah benteng peninggalan Belanda yang terletak  di Bukittingi, Sumatera Barat. Disebutkan bahwa salah satu ‘teman’ setia benteng tersebut adalah kupu-kupu besar berwarna coklat. Masyarakat Minang menyebutnya Limpapeh. Kupu-kupu ini sering dijadikan sebagai penanda akan datangnya tamu jika kupu-kupu tersebut masuk ke rumah seseorang. Dan Limpapeh adalah nama tokoh sentral dalam novel ini, namun dia bukan seekor kupu-kupu. Dia adalah pendekar  Selendang Putih berjuluk Limpapeh Gunung Singgalang.
Cerita bermula ketika seorang tokoh antogonis bernama Singo Balang, tewas di tangan Limpapeh serta teman-teman seperguruannya. Dari sinilah semuanya dimulai.
Singo Balang memang layak dibunuh. Kehadirannya di muka bumi sudah sangat meresahkan. Dia merencanakan pengedaran narkoba dan membuat orang-orang menjadi tak berdaya karena bisnis haramnya tersebut. Selain itu, Singo Balang adalah seorang pembunuh bayaran, tak sungkan-sungkan menghisap darah manusia, demi meningkatkan kekebalan ilmu hitamnya. Ya, di jaman canggih seperti ini, kita tak bisa menampik bahwa sebagian orang masih percaya dan menggunakan ilmu hitam untuk keuntungan dirinya sendiri. Sebagaimana hitam, tentu harus ada yang putih, agar dunia ini seimbang, tidak hancur seketika. Namun berkat kelihaiannya, Maya Lestari Gf tidak serta merta membuat cerita ini menjadi ‘hitam putih’. Setelah Singo Balang mati, tokoh-tokoh dalam Kupu-Kupu Fort de Kock memiliki alasan logis kenapa seseorang menjadi begitu culas atau menjadi begitu welas asih.
Menariknya, dunia hitam yang dijalani oleh anak buah Singo Balang yang tersisa dan masih hidup, adalah dunia yang tak kasatmata. Penulis dengan cerdas memilih ‘dunia bawah’ untuk menggambarkan setting dunia ini, yang hanya bisa dilihat oleh orang-orang yang sudah terlibat secara mendalam secara batiniah dengan dunia hitam atau dunia putih. Menariknya lagi, apa yang terjadi di dunia bawah sama sekali tidak ‘mengganggu’ aktifitas cerita dunia atas (dunia yang saya dan anda semua sedang jalani di waktu-waktu sekarang), kecuali, sekali lagi, orang-orang yang sudah lebih dahulu terlibat di dalamnya. Limpapeh yang dalam dunia atas kadang masih menggunakan pakaian khasnya berupa selendang putih yang menutupi wajah, namun di saat lain tampil wajar sebagaimana orang-orang abad modern menjalani gaya hidupnya. Semua berjalan normal dan logis. Bahkan saat penulis menceritakan benang asmara yang terjalin antara Limpapeh dengan anak Singo Balang.
Mungkin kalian akan mengatakan adalah hal biasa atau bahkan terlalu sering menemui cerita yang pada awalnya sang tokoh  membenci seseorang lalu jatuh cinta dengan anak atau keluarga dari orang yang dibencinya. Saya mungkin juga setuju dengan kalian. Namun di tangan Maya Lestari Gf, cerita klise seperti ini diracik menjadi cerita yang berbeda. Kisah cinta Limpapeh dan Arung adalah kisah cinta yang unik namun mendebarkan, kisah cinta yang dijalin secara tidak biasa, kisah cinta yang mengandung banyak rahasia di dalamnya, kisah cinta yang kemudian harus berakhir dengan cara yang tragis dan memilukan.
Saya menyukai Limpapeh, sama seperti saya menyukai tokoh Arung. Namun satu hal yang perlu saya beritahu bahwa serapat apapun penulis berusaha menyembunyikan status mereka berdua, menggiring pembaca agar semakin penasaran dan bertanya-tanya,  namun entah kenapa saya sudah bisa membaca ‘kode-kode’ rahasia terhadap mereka berdua, bahkan sejak perkenalan pertama mereka di sebuah pasar. ‘Kode’ pertama saya temukan dalam sinopsis di halaman belakang buku ini. Belum lagi, tentang kota Bukittingi yang sama-sama didatangi oleh Limpapeh maupun kekasih Arung, Shaira. Lalu kamar yang  berada di lantai dua sebuah hotel, mata coklat milik Shaira dan Limpapeh, dan ada beberapa lainnya yang entah kenapa, tidak luput dari perhatian saya. Di antara semua teka-teki dan rahasia yang belum terungkap, mungkin kisah cinta Limpapeh dan Arung adalah satu-satunya rahasia yang sudah terlebih dahulu saya ketahui sejak awal membaca novel ini. Meski demikian, saya tetap tidak ingin melewatkan sedikitpun kisah cinta yang mereka jalin, karena mereka berdua adalah tokoh yang unik.
Namun, terlepas dari semua kelebihan di atas, saya mencatat beberapa kejanggalan dalam buku ini.
Pertama; saya menemukan ketidaklogisan rentang waktu antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Kisah pembunuhan Singo Balang terjadi pada Juni 2006. Lalu cerita bergulir hingga ke tahun 2008, dengan berbagai peristiwa yang terjadi pada tokoh-tokohnya. Kisah tragis memilukan antara Limpapeh dan anak Singo Balang terjadi setelah Juli 2008, setelah pertemuan terakhir mereka di rumah tua milik Arung. Ada satu dari tiga peristiwa aneh yang dialami Angin batu Merah namun memiliki alur waktu yang janggal. Diceritakan, pada saat itu Angin Batu Merah bertemu dengan seorang anak laki-laki yang selalu memadamkan api dan menyalakannya lagi. Anak tersebut adalah salah satu kunci untuk membuka sebuah pintu rahasia. Peristiwa ini terjadi setahun  atau dua tahun setelah Angin Batu Merah pergi ke Toba karena mencari seseorang (2001). Anggap saja setahun, berarti itu terjadi tahun 2002. Dan saat setelah kematian ibunya, terungkap usia si anak adalah 24 tahun, dan itu terjadi sesaat sebelum pertempuran terakhirnya dengan Limpapeh (2008). Jika tahun 2008, laki-laki itu berusia 24 tahun, maka tahun  2002 dia berusia 18 tahun. Bagaimana mungkin dengan jarak dari tahun 2002 sampai 2008, seorang anak tiba-tiba menjadi dewasa? Bagaimana mungkin seseorang yang berusia 18 tahun disebut anak?
Kedua, saat diketahui siapa sebenarnya ibu dari anak Singo Balang, dugaan paling kuat mengapa ada salah satu dari anggota tiga perguruan harus menjadi salah satu bagian dari Singo Balang adalah karena dulunya mereka suami istri, sebelum si suami menjalani bisnis haram dan ilmu hitamnya dan sebelum sang istri akhirnya menyadari bahwa tindakan suaminya itu salah. Mereka akhirnya memilih jalan masing-masing; suami menjadi penjahat dunia bawah maupun atas dan istri bergabung sebagai anggota silat tiga perguruan. Setelah bergabung di sini, biasanya setiap anggota akan mendapat tanda sumpah berupa rajah di lengan masing-masing. Namun, pada halaman 25 tertulis; “Perempuan itu jelas anggota tiga perguruan, aku melihat tanda sumpah itu bersinar di balik lengan bajunya”. Kalimat tersebut menggambarkan kebersamaan yang masih dijalani Singo Balang dan istrinya, sebelum istrinya bergabung dengan silat tiga perguruan. Setelah menuliskan fakta di atas, penulis mungkin lupa bahwa dia sudah membuat fakta lain yang justru bertentangan dengan apa yang kemudian terungkap di akhir cerita.  
***
Novel ini ditulis dengan VOP orang ketiga, namun terkadang si narator (aku) mengambil bagian dalam cerita. Si ‘aku’ adalah tokoh yang tak pernah diungkapkan sampai akhir cerita. Di waktu-waktu tertentu si ‘aku’ muncul bagai seorang pendongeng, meneruskan cerita yang pernah diceritakannya sebelumnya, di lain waktu membawa cerita baru. Jangan tanya siapa si ‘aku’ karena tak selamanya pembaca harus tahu semua tokoh yang tidak penting tapi penting.
Ketika mengakhiri cerita ini, saya sedikit heran kenapa novel ini harus diberi judul ‘Kupu-Kupu Fort de Kock’. Padahal lokasi Fort de Kock tidak begitu dominan dijadikan sebagai setting cerita. Diceritakan bahwa Limpapeh (kupu-kupu coklat) bukan hanya ada di benteng tersebut, namun juga banyak ditemukan di Gunung Singgalang. Itulah sebabnya kenapa gadis bermata coklat si tokoh sentral novel ini bernama Limpapeh Gunung Singgalang, karena dari sanalah asal mula pemberian nama itu. Mungkin ini terlalu subyektif, tapi saya lebih setuju jika judulnya hanya ‘Limpapeh’ saja. Lebih terasa nuansa lokalnya dan kata ini akan membuat pembaca penasaran apa itu ‘Limpapeh’, misalnya. Toh, tokoh sentral novel adalah Limpapeh, jadi sangat layak jika namanya berada di halaman depan novel ini.
‘Kupu-Kupu Fort de Kock’ adalah satu dari sedikit novel yang  mampu menarik saya untuk masuk ke dalam cerita, memikat saya dari awal hingga akhir. Saya sangat menyarankan kalian untuk membaca novel ini. Temukan bagaimana penulis menciptakan kepingan puzzle lalu menyatukannya secara utuh dengan cara yang tidak terduga. Highly recommended book!
***

Resensi ini menjadi salah satu pemenang pada Lomba Resensi Novel 'Kupu-Kupu Fort de Kock'


 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Previous
Next Post »

10 comments

Write comments
SafarManaf
AUTHOR
30 Oktober 2013 pukul 23.27 delete

Bikin penasaran. Kirim ke Banten dong, Ekiii. Kan ente dah tamat bacanya. :D

Reply
avatar
30 Oktober 2013 pukul 23.31 delete

Mau kirim lagi ke saya nggaaaaak, sehabis baca? kalo mau, saya kirim besok atau Jumat
soalnya saya mengoleksi novel-novelnya Maya Lestari Gf :D

Reply
avatar
SafarManaf
AUTHOR
30 Oktober 2013 pukul 23.32 delete Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
avatar
SafarManaf
AUTHOR
30 Oktober 2013 pukul 23.40 delete

Lanjut ke facebook aja yooo.. ?? :D
Btw, thanks udah meresensi ini.

Reply
avatar
Lisa Tjut Ali
AUTHOR
31 Oktober 2013 pukul 00.01 delete

lisa juga kurang suka eki baca novel tentang silat, jangankan novel filmnya aja kurang tertarik, lebih suka yang tema romantik, tp setelah baca resensi eki, jadi penasaran pingin baca bukunya

Reply
avatar
Haya Nufus
AUTHOR
31 Oktober 2013 pukul 02.04 delete

Jadi ingat film silat yang judulnya merantau, itu juga latar belakang tokohnya dari Minang dan menampilkan tokoh silat sebagai pahlawan meski akhirnya tak indah. Nufus dulu juga pernah baca cerita Wiro Sableng meski kadang sulit membayangkan adegan silatnya tapi aura heroiknya kerasa :D

Kalau mampu memikat dari awal hingga akhir berarti novelnya memang hightly recommended ya kak....Thanks for sharing dan semoga sukses.

Reply
avatar
Anonim
AUTHOR
31 Oktober 2013 pukul 07.45 delete

Ka menang lom. Memang Kak Eki patut dijuluki "Ratu Resensi". Hehe.

Reply
avatar

Instagram @fardelynhacky