28 Januari 2012 lalu, nama saya masuk dalam daftar lima besar pemenang Sayembara Cipta Cerpen Berbahasa Aceh. Sebulan setelah kukirim, keluar juga pengumuman lomba tersebut. Sehari setelahnya, diumumkan pula siapa-siapa saja di antara lima besar tersebut yang berada di urutan juara pertama sampai juara lima, di sebuah media di Aceh. Dan saya, cukup beruntung berada di urutan kelima. Padahal perkiraan saya, bahkan masuk dalam lima belas cerpen pilihan pun tidak, hehee...
Baiklah, sebelum saya tuliskan alasan kenapa saya memperkirakan bahkan tidak masuk lima belas cerpen pilihan, sebelumnya saya ingin menulis dulu tentang proses kreatif dari cerpen tersebut.
Suatu ketika, saya mendapat sentilan dari seorang teman, Alimuddin, di note facebook saya. Ketika itu saya memindahkan beberapa penggalan cerpen yang ada di buku-buku saya sebelumnya ke notes facebook. Saya juga meng-upload foto-foto buku antologi di waktu lalu. Yeah, karena saya baru setahun lebih sedikit aktif di facebook, saya rasa saya perlu meng-upload karya-karya lama sebelum melangkah ke karya-karya baru.
Di sebuah catatan, teman saya itu, Alimuddin, meninggalkan sebuah komentar yang sangat kejam; “Ini cerpen paling top dari Nyak eky. Tapi nulis lagi dunk! Jangan melamun dengan kejayaan masa lalu, haha... (komen dia yang ini, saya co-pas dari catatan saya tersebut). Membaca komennya, aku cuma bisa balas; “tenang, tunggu saja waktunya!” Tapi sebenarnya yang saya rasakan adalah “Pedih Jendraaaal!” Meski demikian, saya berterima kasih atas komen kejam si Alimuddin. Itu yang membuat saya bangkit kembali. Dia selalu memotivasi saya. Setiap chat dengannya, kami selalu saling menanyakan satu sama lain tentang karya masing-masing.
Secara tak sengaja, saya membuka kembali foto-foto penandaan teman-teman untuk saya. Di foto info tentang lomba tersebut, saya perhatikan lama dan seksama, dan ahaaaa...! Lombanya masih sebulan lagi! Saya hampir melupakannya karena saya pikir sudah lewat masa deadline. Saya pun menguatkan tekad; harus ikut! Saya tidak mau dibilang melamun dengan kejayaan masa lalu (memangnya, saya pernah berjaya di masa lalu? Kayaknya enggak deh, hehee).
Kemudian, yang menjadi persoalannya adalah; saya belum pernah menulis dalam bahasa Aceh dan bahkan bercakap-cakap dalam bahasa Aceh pun, masih agak janggal buat saya. Bahasa yang saya kenal pertama kali adalah...yah, kau tahulah bahasa apa :). Saya baru fasih berbahasa Aceh ketika saya melanjutkan kuliah di Banda Aceh. Jadinya, saat itu saya sama sekali tidak bisa menulis, dengan bahasa berbeda. Ide sudah ada tetapi memulainya tidak bisa. Kemudian saya berpikir untuk menulis dalam bahasa Indonesia terlebih dahulu, baru saya terjemahkan ke bahasa Aceh.
Ada dua cerpen berbeda yang berhasil saya buat dengan setting di sebuah kampung di Aceh Selatan. Satunya sudah saya kirim ke Harian Serambi Indonesia. Tapi saya ingin menggabungkan keduanya. Maka saya kirim kembali email ke redaksi harian tersebut. Saya minta maaf, kalau cerpen tersebut harus saya tarik kembali dan jangan dimuat lagi di koran tersebut, jika memang masuk dalam daftar pemuatan. Alhamdulillah, Serambi Indonesia memberi respon positif. Mereka menghargai permintaan saya dan membolehkan saya menarik kembali cerpen tersebut. Sebuah komunikasi manis antara saya dan media tersebut, hehee
Dalam versi bahasa Indonesia, cerpen ini berjudul ‘Mala dari Kampung Pala’ yang kemudian saya terjemahkan kata perkata dalam bahasa Aceh menjadi ‘Mala dari Gampong Pala’. Judul yang saya pilih mengingatkan saya pada cerpen Azhari yang berjudul ‘Perempuan Pala’. Saya belum pernah membaca karya Azhari sampai akhirnya saya menyelesaikan cerpen ini. Saya hanya tahu, judul cerpen saya memiliki kemiripan yang sama, yaitu ‘Pala’. Setelah cerpen saya jadi, saya baru tahu bahwa tokoh yang diceritakan Azhari juga bernama Mala, seperti halnya nama tokoh dalam cerpen saya. Yeah, setiap kali menulis dengan setting lokal, Aceh, saya selalu suka dengan nama tokoh ‘Mala’ untuk perempuan dan ‘Zul’ untuk laki-laki.
‘Mala dari Gampong Pala’ bercerita tentang seorang perempuan bernama Mala di sebuah kampung di bagian selatan Aceh. Kampung ini terkenal sebagai salah satu daerah penghasil pala terbanyak di Aceh Selatan. Sebagian besar penduduk di kampung tersebut mengharapkan panen pala sebagai penghasilan utama mereka. Mala seorang janda dengan tiga anak. Sepeninggal mati suaminya, Mala tidak memiliki apapun meski sepetak lahan pala di gunung yang mengelilingi kampung tersebut. Anak-anak semakin besar dan kebutuhan semakin banyak, sementara Mala hanya sebagai buruh pencari upah pemetik buah pala. Setiap tahun menjelang puasa dan hari raya, Mala harus harus berpikir keras untuk mendapatkan lebih banyak rupiah, untuk membeli daging meugang yang setiap tahun harganya mempohon, baju baru untuk anak-anak, dan kue-kue lebaran. Cerita saya akhiri dengan perginya Mala ke gunung pala di hari orang sekampung berbelanja kebutuhan meugang dan hari raya.
Proses selanjutnya adalah, menerjemahkan cerpen tersebut ke dalam bahasa Aceh. Ternyata, proses penerjemahan ini pun lebih lama dari proses pembuatan cerpen itu sendiri. Menerjemahkan ke dalam bahasa lain, apapun itu, bukan sekadar menerjemahkan kata perkata, lalu jadilah. Perkaranya tidak segampang itu. Bahasa Aceh merupakan bahasa yang menekankan pada penggunaan bunyi kata. Selama proses, saya harus mencari padanan kata yang tepat, bahkan terkadang tidak bisa menghindari penggunaaan bahasa Indonesia karena tidak ada artinya dalam bahasa Aceh, begitu juga sebaliknya, bahasa Aceh yang tidak bisa diterjemahkan dalama bahasa Indonesia. Atau, mungkin pengalaman saya yang kurang, hehee.
Untunglah teman-teman di dunia maya membantu proses kreatif saya di negeri seberang, baik yang sudah saya kenal di dunia nyata sebelumnya maupun yang cuma baru saya kenal di dunia maya. Saya menemukan link-link berbahasa Aceh. Saya mulai belajar dari link-link tersebut. Belajar ejaan bahasa Aceh yang benar, penggunaan diftong, penempatan tanda khusus di atas huruf hidup, dan tajwid huruf. Saya semakin jauh membaca referensi hingga tak terasa sudah dekat dengan deadline dan terburu-buru menerjemahkan cerpen saya, tentu saja dengan bekal belajar tersebut.
Setelah jadi versi Aceh, saya membaca ulang. Sepertinya ada yang kurang di cerita saya. Ya, konfliknya masih kurag ‘menggigit’. Tapi saya tidak tahu lagi bagaimana caranya hingga membuatnya lebih ‘menggigit’. Saya butuh beberapa waktu untuk perenungan, pengendapan, dan mengolah ulang. Sementara hari itu adalah hari terakhir pengiriman naskah. Sebenarnya saya masih kurang puas dengan cerpen ini, tapi ya sudahlah, akhirnya saya kirim juga. Sudah tanggung dan sejak semula memang saya niatkan untuk mengikutkann di lomba ini. Alhamdulillah, ketua panitia membolehkan saya mengirim softcopi saja. Saya tekan ‘send’ sembari mengucapkan Bismillah, lalu terkirimlah. Setelah itu saya lupakan peristiwa itu. Yang penting saya sudah usaha maksimal. Yang penting saya sudah ikut. Soal hasil, biarlah juri yang menentukan. Saya tak mau memikirkan lagi.
Yang kemudian membuat saya kaget adalah, sebulan kemudian saat pengumuan, saya diberitakan masuk lima besar. Kok bisa? Begitu pikir saya. Begini, karena kekurangan hal-hal tersebut di atas, saya menjamin cerpen dengan lemah konflik seperti cerpen yang saya buat, belum tentu masuk 15 besar, apalah lagi menang. Tapi, kenyataanya, masuk lima besar. Dan saya sama sekali tidak kaget saat kemudian diumumkan berada di peringkat kelima. Yeah, itu adalah penghargaan tertinggi untuk cerpen setengah jadi yang saya buat.
Memang saya memperkirakan tidak mendapat nomor satu, dua, atau tiga. Ini bukan perkara pesimis atau mendoakan yang tidak baik dengan ucapan saya itu. Ini perkara hasil evaluasi diri. Ketika saya berhasil memberi penilaian terhadap karya orang lain, maka saya juga harus berhasil menilai karya saya sendiri. Ya tentu saja, penilaian ala saya, belum tentu sama jika dinilai oleh orang lain.
Hasil sudah diumumkan, saya bersyukur sekali jika kemudian karya saya yang tidak ada apa-apanya ini mendapat apresiasi dari para juri. Dan yang paling saya syukuri dari lomba ini, bukanlah soal kemenangan tersebut, lebih dari itu, saya semakin mencintai bahasa daerah saya, bahasa Aceh. Saya menemukan banyak kata baru yang sebelumnya tidak pernah saya dengar, saya lihat, dan saya baca. Saya jadi semakin sering belajar dan berbicara dalam bahasa Aceh.
Semoga kegiatan seperti ini akan terus dilaksanakan, diikuti oleh pemuda pemudi Aceh sehingga bahasa Aceh tidak hilang oleh zaman.
Lon Cinta Bahsa Aceh = Saya Cinta bahasa Aceh. Pic oleh Safar Manaf dari Grup Meurunoe Bahsa Droe |
6 comments
Write commentsHebat, hebat. panitianya hebat, punya ide memabangkitkan bahasa Aceh. pesertanya juga hebat.
ReplySemoga ke depan penulisan bahasa Aceh lebih benar, baik kepada panitia maupun pesertanya. Selamat.....
Ya, semoga. Terima kasih sudah berkunjung
ReplyBerarti dapat juara mbak?
ReplySelamat yah :)
Keren lomba begini yah ... ^__^
Juara 5 mbak.
ReplyAlhamdulillah, semoga tahun depan bisa lebih baik :)
selamat, kakak :)
ReplyMakasiiiih khairaaa. Ntar nyusul yaaa..
ReplyConversionConversion EmoticonEmoticon