Sebuah Dongeng; Tentang Nenek


Kudengar cerita ini dari seorang penutur dongeng...
Kakek menikah lagi, tanpa menceraikan nenek. Entah apa yang ada di pikiran kakek hingga dia melakukan ini, di saat usianya menjelang senja. Di saat cucu pertamanya sudah memakai seragam putih merah.
Kakek tidak menceraikan nenek, tapi juga tidak pernah berhubungan dalam bentuk apapun lagi dengan nenek. Poligamikah? Tapi kakek tidak pernah membagi apapun. Tidak membagi uang belanja sama rata. Tidak membagi malam-malam penuh cinta sama rata. Dan atas semua tindakannya, cukuplah untuk menyimpulkan bahwa kakek juga tidak membagi cinta. Membagi cinta... ah, seandainya itu terjadi, tentu nenek masih bisa sedikit bahagia, setidaknya masih ada cita yang dibagi untuknya. Tapi, ini sama sekali tidak ada. Kakek sudah bulat-bulat menyerahkan cintanya pada perempuan itu. Janda beranak empat.   
            Semua mencela kakek, bahkan keluarga kakek sendiri. Menganggap kakek keterlaluan karena meninggalkan nenek setelah puluhan tahun setia dan berbakti pada kakek. Memberi kakek delapan anak.
Tidakkah merasa cukup dengan apa yang kau miliki sekarang? Istrimu menemanimu sampai kau tua. Mengikutimu ke mana pun kau pergi. Anakmu delapan. Cucumu lima. Sekarang kau akan menduakan Rukiah? Demi perawan tua yang sama miskinnya denganmu?
Hawa panas belasan tahun silam adalah awal dari kehancuran  keluarga kakek. ‘Perceraian’ mereka menciptakan ‘perceraian’ pada generasi selanjutnya, anak-anak kakek. Delapan anak, delapan arah yang berbeda. Mereka menjadi masing-masing. Berdiri tegak sendiri-sendiri di delapan penjuru mata angin.
Bapak, anak pertama, penjaga sebuah sekolah dasar. Bekerja pontang panting tak pernah cukup membiayai empat anak dan ibu yang tak pernah rela jika bapak sedikit saja berbagi dengan adik-adiknya.  Anak kedua, adik perempuan bapak. Sudah menikah dan punya kehidupan sendiri. Cuma adik bapak yang nomor dua yang masih punya nasib lebih baik dibandingkan adik perempuan lainnya. Untung ada perjaka tua pegawai negeri sipil rendahan yang  mau mengajaknya kawin. Jadi, selamatlah nasibnya.  Diboyong oleh suaminya jauh ke kota seberang, jadi jarang pulang. Hidup pas-pasan, banyak beban, anak banyak. Lalu apa yang tersisa dari rumah tua sepeninggal kakek?
Enam anak tersisa di rumah. Semua berhenti sekolah. Perempuan-laki tak ada beda. Yang beda, laki-laki masing-masing mencari uang untuk keperluan mereka sendiri. Perempuan hanya mengharap sisa uang dari saudara laki-laki untuk mengepulkan asap dapur.
Bapak membenci kakek hingga ke sumsumnya,  karenanya setelah kejadian itu anak-anak bapak menjadi jarang diajak ke kampung seperti yang biasa mereka lakukan tiap tahun menjelang hari raya. Sementara nenek, dia tak berasa apa-apa. Ditanya: kau sedih, Rukiah? Sedih kenapa? Kau marah? Kenapa aku harus marah? Marah sama siapa? Pertanyaan dijawab pertanyaan. Kemudian nenek akan melanjutkan zikir panjang dalam balutan mukena tuanya. Bagian kepala mukena sudah dipenuhi binti-bintik hitam yang sangat banyak. Bagi nenek, kekasih abadinya adalah Tuhannya. Kekasih dunianya adalah kakek. Meski kakek tak menyisakan sedikitpun cinta untuk nenek.
Berita duka datang di pagi buta. Nenek muda, begitu para cucu memanggilnya, melahirkan seorang bayi perempuan molek dengan tak berdaya. Nenek muda meragang nyawa. Dikubur di tanah keluarga membuat delapan anak semakin menista. Membuat nenek nestapa. Beberapa waktu kemudian nenek terlihat bahagia. Mungkin karena menganggap saingannya telah tiada.
Namun, perkara rona bahagianya nenek tiada berlangsung lama. Kembali datang sebuah berita. Kakek akan menikah lagi dengan perempuan yang jauh lebih muda. Sang penutur dongeng menyebutkan, perempuan yang jauh lebih muda itu bahkan lebih muda dari adik perempuan bapak yang nomor lima. Pandai bersolek dan bergaya. Orangnya molek dan memesona. Aduhaaaiii...apa yang salah dengan jalan cerita? Seharusnya anak kakek yang pantas untuk jatuh cinta. Yang pantas untuk dia. Begitu kata penutur dongeng.
Cinta kakek bertaut untuk si perempuan muda. Nenek muda yang jauh lebih muda. Apalagi panggilan yang pantas untuknya jika bukan begitu adanya?  Tetapi, oh, tetapi... kisah cinta memang tidak selalu sama. Jika sebelumnya kakek ditinggalkan oleh nenek muda, maka kali ini kakek yang meninggalkan nenek muda yang jauh lebih muda.
Barulah semua merana. Selama belasan tahun hidup tercerai berai, hari itu kembali menjadi seperti sebuah keluarga. Berkumpul di rumah tua dan memandikan jenazah bersama. Kakek dikuburkan di lokasi yang berbeda dengan nenek muda. Itu atas permintaan nenek  pada segenap keluarga.
Nenek juga punya satu permintaan aneh pada Tuhannya.
Nenek selalu berdoa; Tuhanku, Kekasihku, izinkan aku hidup lebih lama dari kekasih duniaku, hingga aku bisa meminta supaya kelak kuburanku bisa berdampingan dengannya.  Tuhanku, jika aku bisa hidup lebih lama darinya, aku bisa melepaskan dia di ujung waktunya.
Sepertinya Tuhan mendengarkan permintaan nenek. Kakek pergi mendahului nenek. Meski tak pun  ada kata ‘maaf, telah menyakitimu’, air mata nenek setia mengantar kepergian kakek.
Barulah nenek berkata; aku sedih tiada terkira. Kata yang tak pernah terucap meski ‘bercerai’ badan belasan tahun dengan kakek. Oooh... ternyata begitu rupa, hanya perpisahan maut yang akan membuat nenek serasa seperti orang putus cinta.
Nenek pikun, bertahun setelah itu. Pendengaran mulai terganggu. Kampung dicekam perang. Belum usai perang, nenek diam abadi.
***
Penutur dongeng menutup ceritanya...
“Baiklah, sebelum aku pergi. Aku ingin bertanya satu hal padamu.”
Aku mengangguk.
“Kalau kau bisa memilih, dari tiga perempuan tadi, kau ingin menjadi siapa? Nenek, nenek muda, atau nenek yang jauh lebih muda?”
“Aku memilih untuk tidak ingin menjadi ketiganya.”
“Kenapa?”
“Pertama, aku tidak ingin menjadi nenek yang seumur hidupnya menderita.
“Tapi nenek tidak menderita. Dia hanya menderita ketika kakek meninggal.”
“Tapi jika itu aku, aku akan menderita. Aku tidak ingin suamiku berbagi cinta selagi aku masih punya nyawa.”
“Hmmm...”
“Kedua, aku tidak ingin menjadi nenek muda yang ketika kakek meninggal tidak dikuburkan berdampingan dengannya.”
“Tapi itulah risiko menjadi istri kedua yang ketika meninggal masih ada istri pertama.”
“Seandainya aku yang menjadi istri kedua, boleh jadi selama aku hidup, aku telah memenangkan hati suamiku, tapi aku kalah ketika aku mati, karena permintaan istri pertama suamiku.”
“Hmmm.. Yang terakhir, apa argumenmu?”
“Aku juga tidak ingin menjadi perempuan yang ketiga, si nenek yang jauh lebih muda. Emm..untuk yang terakhir, aku punya alasan yang berbeda. Seandainya aku perempuan yang memesona itu, aku pastikan aku tidak akan menerima lamaran dari laki-laki tua dengan cucu lima, menjadi madu untuk seorang perempuan tua pula. Di mana letak bahagiaku jika aku harus menjalani hidup seperti itu?”
“Baiklah, jadi bahagiamu yang bagaimana?”
“Bahagiaku adalah ketika suamiku tidak menikah lagi saat aku masih berstatus sebagai istrinya.”
Aku tersenyum.
Sang penutur dongeng lalu beranjak dariku dan mengucapkan selamat tinggal
***
  

  

Tulisan ini diikutkan dalam kuis “Bagi-Bagi Buku: Lagi-Lagi Poligami” di blog Leyla Imtichanah. 





Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Previous
Next Post »

8 comments

Write comments
Sara Amijaya
AUTHOR
21 Juni 2012 pukul 07.03 delete

ini serius ya mba???? kisah nyata????
duh....macam-macam ya tingkah orang. Terkadang kita tak bisa menebak isi hati seseorang, dimanakah bahagianya. dimanakah deritanya. Sesuatu yang bagi kita penderitaan tidak demikian bagi yang lain pun sebaliknya.

Tapi, membaca kisah ini aku agak speechlees gimana gitu.....dalam bayanganku seorang yang sudah berstatus kakek seharusnya bisa lebih bijak dalam memgambil keputusan.
Soal pilihan mba, aku cuman bisa tersenyum....karena aku mungkin punya cerita yang berbeda di sini:
http://saraamijaya.blogspot.com/2012/05/suamiku-dan-istri-istrinya.html

Reply
avatar
Linda Satibi
AUTHOR
21 Juni 2012 pukul 07.24 delete

Penutur dongengnya sapa tuuh..? :)

Sukses yaa.. smoga menang..
InsyaAllah aku pingin ikutan jg..

Reply
avatar
21 Juni 2012 pukul 14.31 delete

Mbak Linda:
Siapa yaaaa..hhehee
Ini fiksi mbak, jd saya rasa kita tak perlu tahu siapakh penutur dongeng itu, hehe

Reply
avatar
21 Juni 2012 pukul 14.33 delete

Mbak sarah:
Ini fiksi berangkat dari kisah nyata mbak. Jadi, ini sudah kubuat menjadi begitu berbeda mbak :)

Reply
avatar
Mugniar
AUTHOR
24 Juni 2012 pukul 13.29 delete

Miris ... baru saja dengar kabar mirip sekali ini. Seorang kakek, sudah sekitar 4kali menikah. Masih mau menikah lagi. Tidak menceraikan istri2 terdahulu pun tak menafkahinya :(

Reply
avatar
24 Juni 2012 pukul 17.22 delete

Mbak niar; kebanyakan cerita-cerita seperti ini dilakoni oleh orang-orang terdahulu yang sudah pantas kita panggil kakek. Hmm..jadi bertanya2, apakah orang dahulu hampir melakukan hal-hal seperti ini? poligami tapi tak pernah abai nafkah istri-istri terdahulu

Reply
avatar
aiuema
AUTHOR
26 Juni 2012 pukul 21.45 delete

SUkaaaaaaaaaaaaaaa....... bgt :*

Reply
avatar
27 Juni 2012 pukul 14.40 delete

Makasih Ema sudah menyukai :D

Reply
avatar

Instagram @fardelynhacky