Dalam
tulisan saya sebelumnya; Adat dan Prosesi Pernikahan di Aceh selatan, saya ada
menulis sedikit tentang Peusijuk. Peusijuk adalah sebuah tradisi
peninggalan sejak zaman dahulu hingga kini masih digunakan. Dalam bahasa Aceh Peusijuk terdiri dari dua kata, yaitu peu dan sijuek. Jika ditilik lebih lanjut, peu dalam kata peusijuk bukanlah
kata yang bisa dipisahkan karena peu
di sini bermaksa sebagai awalan untuk kata sijuek.
Sijuek berarti dingin, jadi jika
digabung dengan awalan peu, artinya
adalah pendingin atau membuat sesuatu menjadi dingin. Tujuan Peusijuk sebenarnya adalah untuk
memberkati sesuatu termasuk di dalamnya mendoakan orang akan dipeusijuk.
Secara
makna yang lebih luas, Peusijuk adalah
sebuah prosesi yang dilakukkan pada kegiatan-kegiatan tertentu dalam kehidupan
masyarakat Aceh, seperti Peusijuek pada kenduri perkawinan, kenduri
sunatan, saat ada seseorang yang hendak berangkat haji, Peusijuek kurban
(yang dipeusijuk adalah hewan kurban),
dan berbagai upacara lainnya yang sering terjadi dalam masyarakat Aceh. Peusijuk bukan hanya dilakukan pada saat-saat
upacara tertentu saja. Ada juga Peusijuk
yang dilakukan setelah terjadinya perdamaian antara dua atau beberapa orang
yang sebelumnya bertikai, Peusijuk pada
perempuan yang baru saja bercerai, Peusijuk
pada orang yang baru saja beroleh keberuntungan seperti lulus kuliah, diterima
kerja di suatu tempat, memperoleh kedudukan tinggi dalam pemerintahan dan
masyarakat. Peusijuk juga dilakukan
bagi seseorang yang baru memproleh sesuatu yang baru; saat akan menempati rumah
baru, saat membeli mobil atau motor baru. Yang terakhir ini, biasanya yang dipeusijuk adalah benda yang
bersangkutan, apakah rumah baru, mobil, atau motor baru dengan tujuan supaya
benda baru tersebut berkah selama digunakan oleh sang pemilik.
Yang
melakukan Peusijuk bisa berbeda
tergantung jenis Peusijuk apa yang
akan dilakukan. Secara umum, biasanya Peusijuk
dilakukan oleh orang-orang yang sudah agak berumur dan dihormati. Jika jenis peusijuk-nya adalah sejenis Peusijuk seperti untuk mendamaikan
antara dua atau beberapa orang yang bertikai, perempuan yang baru saja dicerai
suaminya, orang yang baru memperoleh
kedudukan tinggi dalam pemerintah dan masyarakat, dan Peusijuk untuk sesuatu yang baru diperoleh atau dibeli, biasanya
jenis Peusijuk ini dilakukan oleh
Tengku. Tengku adalah sebutan untuk pemuka agama. Untuk Peusijuk jenis lainnya, seperti kenduri pernikahan dan sebagainya
yang telah saya sebut di atas, peusijuk ini dilakukan tidak hanya oleh satu
orang. Setelah tengku atau istri tengku (jika yang dipeusijuk adalah
perempuan), maka dipersilakan orang-orang berumur lainnya untuk mem-peusijuk orang tersebut.
Bahan-bahan
yang digunakan dalam peusijuek berbeda-beda menurut kegiatan peusijuek
yang dilakukan. Bahan yang
sering digunakan antara lain:
1)
Dedaunan dan rerumputan, melambangkan keharmonisan,
keindahan, dan kerukunan dan diikat menjadi satu sebagai lambang dari kekuatan.
2)
beras dan padi, melambangkan kesuburan
kemakmuran, dan semangat.
3)
air dan tepung melambangkan kesabaran
dan ketenangan.
Perlengkapan
peusijuek terdiri dari: talam satu buah, breuh padee (beras) satu
mangkok, bu leukat kuneng (ketan kuning) satu piring besar bersama tumpoe
(penganan berupa kue yang dibuat dari tepung dan pisang) atau kelapa merah
yang sering disebut inti u (inti kelapa), teupong taweu (tepung yang dicampur
air), on sineujuek (daun cocor bebek), on manek mano (jenis
daun-daunan), on naleung samboo (sejenis rerumputan yang memiliki akar
yang kuat), glok ie (tempat cuci tangan), dan sangee (tudung
saji). Saya sudah mencari-cari apa nama bahasa Indonesia untuk daun manek mano dan daun naleung samboo (yang pasti yang terakhir ini
jenis rerumputan) namun hingga saya menyelesaikan tulisan ini, saya tak
menemukannya. Dan mohon maaf juga karena saya pun tidak memiliki dokumen
foto-foto tentang dedaunan itu semua. Manek mano dan naleung samboo adalah nama jenis rumput yang diikat
menjadi satu dengan daun cocor bebek lalu diletakkan dalam mangkok cuci tangan.
Jika tidak ada mangkok cuci tangan, boleh diganti dengan gelas.
Tata
cara pelaksanaan peusijuek dilakukan dengan urutan: pertama dengan
menaburkan beras padi (breuh padee), kedua, menaburkan air tepung tawar,
ketiga menyunting nasi ketan (bu leukat) pada telinga sebelah kanan dan
terakhir adalah pemberian uang (teumutuek). Tata cara ini umumnya hampir
sama dalam setiap prosesi peusijuek di setiap daerah, tetapi juga kadang-kadang terdapat beberapa
perbedaan menurut kegiatan yang diadakan peusijuek tersebut. Yang
terakhir boleh dilakukan, boleh tidak, tergantung daerah masing-masing. Untuk
daerah saya di Aceh Selatan, cukup sampai salam saja tanpa menyelipkan amplop
berisi uang.
Sejarah
Peusijuk
Beberapa
pakar sejarah Aceh menyebutkan bahwa Peusijuk merupakan salah satu peninggalan
kebudayaan Hindu. Sejak masuknya Islam ke daratan Aceh, sebagian kebiasaan atau
adat masyarakat Aceh yang dianggap tidak bertentangan dengan Islam masih
dilestarikan dan diperbolehkan oleh para ulama pada zaman awal Islam di Aceh.
Sebagian praktik-praktik animisme dan ajaran Hindu juga masih diizinkan untuk
dipraktikkan dengan mengubah ritual-ritual tersebut sesuai dengan ajaran Islam,
misalnya jika dulu Peusijuk menggunakan jampi-jampi atau mantra, maka sekarang
digantikan dengan membacakan doa keselamatan dan keberkahan untuk orang yang
akan dipeusijuk. Dalam perjalanannya,
budaya Peusijuk ini mendapat banyak sorotan dari ulama-ulama reformis. Peusijuk dianggap syirik dan tidak ada
dasarnya dalam Al Qur’an dan hadist. Pertentangan terjadi antara ulama reformis
dan ulama tradisional yang masih melakukan tradisi ini dalam kesehariannya. Nyatanya,
sampai sekarang, Peusijuek masih terus bertahan dan dilestarikan
keberadaannya oleh masyarakat Aceh, sebagai sebuah budaya Islam. Mantra-mantra telah
diganti dengan doa-doa dalam bahasa Arab atau disesuaikan dengan momen dari Peusijuek tersebut. Peusijuek masih
dilakukan baik oleh perorangan maupun kelompok.
Filosofi Peusijuk
Pada
tingkat masyarakat biasa, Peusijuek hanya merupakan kegiatan rutinitas
adat biasa walau diyakini mesti dilaksakan. Biasanya prosesi peusijuek dilakukan
oleh orang yang sudah tua atau dipandang memiliki kelebihan dalam masyarakat,
seperti seorang Tengku (ustadz), atau Umi Chik. (Ustadzah atau
wanita yang sudah tua yang menguasai ilmu agama). Orang-orang yang melakukan peusijuek
tersebut biasanya yang memahami tujuan dan doa-doa yang dibacakan pada peusijuek.
Terdapat tiga unsur penting dari peusijuek, pertama bahan yang
digunakan, dari dedaunan, rerumputan, padi, tepung, air, nasi ketan dan tumpoe. Kedua gerakan yang dilakukan
pada saat dipeusijuek, ketiga, doa yang dibacakan menurut acara peusijuek,
dan keempat teumutuek (pemberian uang).
Gerakan-gerakan
pada saat prosesi peusijuek sangat unik, gerakan-gerakan ini hampir
menyerupai gerakan pada saat pemujaan-pemujaan dalam agama Hindu. Tetapi,
gerakan ini terjadi hanya mengikuti arah memercikkan air dari kiri ke kanan dan
dari kanan ke kiri dan sesekali disilang. Banyak para Tengku berpendapat
bahwa adanya kesamaan ritual Peusijuek dengan praktik pemujaan dalam
agama Hindu bukan berarti bahwa Peusijuek tersebut adalah ritual agama
Hindu. Karena ritual itu sendiri sangat berbeda baik dari segi tujuan, cara,
dan isi dari peusijuek tersebut.
Demikianlah
ritual Peusijuk yang ada di Aceh dan
masih dilaksanakan sampai sekarang. Dari kampung-kampung hingga ke pusat kota. Dari
aparat desa sampai pejabat tinggi daerah masih melaksanakan prosesi Peusijuk ini. Inilah warisan budaya dari
daerah Aceh yang turut mewarnai kekayaan berjuta budaya Indonesia.
8 comments
Write commentskok di sini kalo peusijuek gak dikasih uang yaaa?
Replyow kalau di Medan namanya tepung tawar. tapi ngga dikasi uang. Waktu nikahanku, keluarga suami yg dari jawa terbengong2 ga tau prosesi apa itu hahahahah.
ReplyKeren fardelyn,moga sukses ya
Millati Indah:
ReplyDi sini itu di mananya, ya? hehee
Gak semua daerah pake ngasih uang Mil. Di Aceh Selatan juga gak pake kasih uang :)
Waah..hampir sama kalau begitu mbak Windi.
ReplyDi sini malah ada juga yang bilang tepung tawar, hehee
Ngebacain blognya kakak serasa pulang ke Aceh... Rindu ma Aceh...
ReplyPeusijuk atau tepung tawar sama saja. Sama kayak meugang dan punggahan (di Medan). Kan Aceh sama Medan (Sumatera Utara) saling berbatasan...
putri, yuuuk..kapan ke Aceh lagi?
Replyiya hampir mirip. saya rasa karena dua propinsi ini berdekatan :)
lihat daun peusijuk jadi ingat saat nikah dulu,hehhehehehe
ReplyIya Lisa, waktu nikah dulu aku juga gitu. Gak lengkap nikah tanpa peusijuk ya, hehee
ReplyConversionConversion EmoticonEmoticon