Sejak dulu, dari banyak teman yang bertamu ke Aceh (Banda Aceh tepatnya), jika mereka memiliki banyak waktu, hampir semua mencetuskan ingin ke satu tempat di luar Banda Aceh, yaitu Sabang. Agaknya, hal demikianpun masih berlaku hingga sekarang; bahwa ke Aceh, tak lengkap rasanya jika tidak ke Sabang. Apalagi didukung dengan semakin mudahnya menjangkau Sabang jika dibanding tiga belas tahun lalu, saat untuk pertama kalinya saya ke Sabang. Jika dulu harus ke Pelabuhan Malahayati yang tenpatnya lumayan jauh dari kota Banda Aceh, maka sekarang sudah ada pelabuhan baru di Ulee Lheu. Pelabuhan ini sangat dekat dan mudah dijangkau dari kota Banda Aceh. Jika dulu hanya ada satu kapal lambat, maka sekarang sudah ada kapal cepat yang jarak tempuh dari pelabuhan Ulee Lhee ke pelabuhan Balohan, Sabang, yang bisa ditempuh dalam waktu kurang lebih 45 menit.
Sabang menjadi salah satu destinasi terkenal setelah Banda Aceh. Apakah Anda setuju dengan pendapat saya? :D
Jika menyebut Sabang, rasanya hampir semua penduduk Indonesia kenal dengan pulau yang berada di ujung Sumatera ini. Sejak kecil –kalau saya, sejak SD– kita sudah diajari lagu nasional yang berjudul dari ‘Sabang Sampai Merauke’. Saat itu rasanya bangga sekali saya jadi orang Aceh, karena nama sebuah daerah di propinsi ini dijadikan judul dan syair lagu yang dinyanyikan oleh seluruh rakyat Indonesia. Meskipun saya baru menjejakkan langkah saya di pulau ini setelah belasan tahun kemudian.
Waktu pertama kali ke Banda Aceh, saya sebagaimana mahasiswa baru datang lainnya, juga sempat mendengar anjuran; jika sudah di Banda Aceh, maka sempatkanlah untuk ke Sabang. Apalagi buat saya, seseorang yang baru melihat kota Banda, yang datang dari pelosok kampung di ujung Selatan Aceh, yang jarak tempuh ke propinsi tetangga lebih dekat dibanding ke ibukota propinsi sendiri, maka saya pun memiliki keinginan yang sama yaitu ingin melihat bagaimana cantiknya Sabang.
Tapi, saya kuliah di departemen kesehatan, disubsidi oleh pemerintah dan tinggal di asrama, sehingga waktu keluar dan jalan-jalan buat kami sangatlah sempit. Jika libur di hari Minggu, kami tidak diperbolehkan keluar. Hanya ada satu kali hari Minggu dalam satu bulan, dibolehkan tidak tinggal di asrama. Biasanya waktu-waktu ini saya manfaatkan untuk menginap di tempat saudara angkat saya. Saya sama sekali tidak berpikir untuk bepergian jauh, seperti Sabang misalnya. Selain kenyataan, waktu itu saya tidak punya cukup uang tentunya, haha.
Menjelang akhir 2002, ketika saya duduk di tingkat tiga, kampus saya berencana mengadakan PPL (praktek lapangan) di Sabang. Yipppii...alangkah senangnya hati saya. Berdasarkan pengalaman PPL senior saya di tahun-tahun sebelumnya, mereka tidak perlu membayar apapun untuk kegiatan PPL ini. Kan asik dong ya, bisa ke Sabang secara gratis. Begitu pikir saya waktu itu.
Maka, berangkatlah saya dan teman-teman seangkatan ke Sabang. Dengan menggunakan bus DAMRI, kami berangkat menuju pelabuhan Malahayati di Krueng Raya. Secara geografis, Krueng Raya termasuk dalam wilayah kabupaten Aceh Besar, bukan Kota Banda Aceh. Jaraknya berkisar 32 kilometer. Selain itu pertama kalinya saya ke Sabang, itu juga pertama kalinya saya melihat daerah Krueng Raya. Memang agak ketinggalan ya kesannya, karena baru di tahun ketiga saya melihat Krueng Raya. Karena tinggal di asrama, kawasan hang out saya memang tak jauh-jauh amat. Kalau bukan ke Mesjid Raya ya ke pasar Aceh, ehehe...
Bus Damri hanya mengantar kami sampai di pelabuhan Malahayati saja dan bus tersebut kembali lagi ke Banda Aceh. Dalam kapal, saya lihat banyak sekali bule. Hmm...Sabang sudah dikenal oleh turis mancanegera dan lokal sejak lama.
Tiba-tiba..hueeek...mual yang sudah lama saya tahan sejak setengah jam dalam kapal, mencapai puncaknya. Pada laut lepas, saya membuang isi perut saya. Ooh..ternyata saya tak hanya mengalami mabuk darat, di laut pun sama. Aaah..saya memang payah, gerutu saya. Lumba-lumba yang menari-nari indah tak jauh dari kapal, mendekat ke arah kapal. Gara-gara mabuk laut, saya tak lagi bisa menikmati indahnya pemandangan laut lepas yang biru. Padahal itu adalah perjalanan laut saya yang pertama.
Kami sampai di pelabuhan Balohan, Sabang. Pelabuhan ini lebih kecil dibandingkan pelabuhan Malayahati. Beberapa mobil pick up terbuka belakang sudah menunggu kami untuk di antar ke desa masing-masing. Saya dan sebelas teman lainnya yang menjadi satu kelompok ditempatkan di desa paling pelosok dan paling jauh dicapai dari kota Sabang, dibandingkan dengan desa-desa yang menjadi target PPL kami. Tapi di sinilah saya menyimpan banyak kenangan yang masih saya ingat meski sudah lebih sepuluh tahun berlalu.
FYI, Sabang hanya terdiri dari dua kecamatan yaitu Kecamatan Suka Jaya dan Kecamatan Suka Karya. Kami semua ditempatkan di empat desa di kecamatan Suka karya. Desa penampatan saya dan sebelas teman lainnya bernama desa Batee Shok.
Sabang menjadi salah satu destinasi terkenal setelah Banda Aceh. Apakah Anda setuju dengan pendapat saya? :D
***
Jika menyebut Sabang, rasanya hampir semua penduduk Indonesia kenal dengan pulau yang berada di ujung Sumatera ini. Sejak kecil –kalau saya, sejak SD– kita sudah diajari lagu nasional yang berjudul dari ‘Sabang Sampai Merauke’. Saat itu rasanya bangga sekali saya jadi orang Aceh, karena nama sebuah daerah di propinsi ini dijadikan judul dan syair lagu yang dinyanyikan oleh seluruh rakyat Indonesia. Meskipun saya baru menjejakkan langkah saya di pulau ini setelah belasan tahun kemudian.
Waktu pertama kali ke Banda Aceh, saya sebagaimana mahasiswa baru datang lainnya, juga sempat mendengar anjuran; jika sudah di Banda Aceh, maka sempatkanlah untuk ke Sabang. Apalagi buat saya, seseorang yang baru melihat kota Banda, yang datang dari pelosok kampung di ujung Selatan Aceh, yang jarak tempuh ke propinsi tetangga lebih dekat dibanding ke ibukota propinsi sendiri, maka saya pun memiliki keinginan yang sama yaitu ingin melihat bagaimana cantiknya Sabang.
Tapi, saya kuliah di departemen kesehatan, disubsidi oleh pemerintah dan tinggal di asrama, sehingga waktu keluar dan jalan-jalan buat kami sangatlah sempit. Jika libur di hari Minggu, kami tidak diperbolehkan keluar. Hanya ada satu kali hari Minggu dalam satu bulan, dibolehkan tidak tinggal di asrama. Biasanya waktu-waktu ini saya manfaatkan untuk menginap di tempat saudara angkat saya. Saya sama sekali tidak berpikir untuk bepergian jauh, seperti Sabang misalnya. Selain kenyataan, waktu itu saya tidak punya cukup uang tentunya, haha.
Menjelang akhir 2002, ketika saya duduk di tingkat tiga, kampus saya berencana mengadakan PPL (praktek lapangan) di Sabang. Yipppii...alangkah senangnya hati saya. Berdasarkan pengalaman PPL senior saya di tahun-tahun sebelumnya, mereka tidak perlu membayar apapun untuk kegiatan PPL ini. Kan asik dong ya, bisa ke Sabang secara gratis. Begitu pikir saya waktu itu.
Maka, berangkatlah saya dan teman-teman seangkatan ke Sabang. Dengan menggunakan bus DAMRI, kami berangkat menuju pelabuhan Malahayati di Krueng Raya. Secara geografis, Krueng Raya termasuk dalam wilayah kabupaten Aceh Besar, bukan Kota Banda Aceh. Jaraknya berkisar 32 kilometer. Selain itu pertama kalinya saya ke Sabang, itu juga pertama kalinya saya melihat daerah Krueng Raya. Memang agak ketinggalan ya kesannya, karena baru di tahun ketiga saya melihat Krueng Raya. Karena tinggal di asrama, kawasan hang out saya memang tak jauh-jauh amat. Kalau bukan ke Mesjid Raya ya ke pasar Aceh, ehehe...
Bus Damri hanya mengantar kami sampai di pelabuhan Malahayati saja dan bus tersebut kembali lagi ke Banda Aceh. Dalam kapal, saya lihat banyak sekali bule. Hmm...Sabang sudah dikenal oleh turis mancanegera dan lokal sejak lama.
Tiba-tiba..hueeek...mual yang sudah lama saya tahan sejak setengah jam dalam kapal, mencapai puncaknya. Pada laut lepas, saya membuang isi perut saya. Ooh..ternyata saya tak hanya mengalami mabuk darat, di laut pun sama. Aaah..saya memang payah, gerutu saya. Lumba-lumba yang menari-nari indah tak jauh dari kapal, mendekat ke arah kapal. Gara-gara mabuk laut, saya tak lagi bisa menikmati indahnya pemandangan laut lepas yang biru. Padahal itu adalah perjalanan laut saya yang pertama.
Kami sampai di pelabuhan Balohan, Sabang. Pelabuhan ini lebih kecil dibandingkan pelabuhan Malayahati. Beberapa mobil pick up terbuka belakang sudah menunggu kami untuk di antar ke desa masing-masing. Saya dan sebelas teman lainnya yang menjadi satu kelompok ditempatkan di desa paling pelosok dan paling jauh dicapai dari kota Sabang, dibandingkan dengan desa-desa yang menjadi target PPL kami. Tapi di sinilah saya menyimpan banyak kenangan yang masih saya ingat meski sudah lebih sepuluh tahun berlalu.
FYI, Sabang hanya terdiri dari dua kecamatan yaitu Kecamatan Suka Jaya dan Kecamatan Suka Karya. Kami semua ditempatkan di empat desa di kecamatan Suka karya. Desa penampatan saya dan sebelas teman lainnya bernama desa Batee Shok.
Posisi desa Batee Shok di Sabang. Gambar pinjam dari SINI |
Jika dilihat di peta, Desa Batee Shok memang tidak terlalu jauh dari pelabuhan Balohan. Malah lebih jauh jika kami harus ke kota Sabang (ibukota Kota Sabang). Namun, ini adalah desa terjauh jika dibandingkan dengan penempatan teman-teman saya. Di peta, desa Batee Shok berada di tengah-tengah pulau. Soal mata pencaharian, berbeda dengan desa lainnya yang umunya penduduknya bekerja sebagai nelayan, maka mata pencaharian utama penduduk desa Batee Shok dan desa-desa tetangga adalah petani. Kebanyakn ladang di desa ini adalah ladang-ladang di atas bukit. Satu-satunya sekolah di desa ini adalah sebuah Sekolah Dasar. Di tengah gemerlapnya Sabang sebagai daerah wisata, Sabang sebagai satu-satunya daerah di Aceh yang banyak penduduknya memiliki mobil-mobil mewah, siapa sangka bahwa desa itu sangat tertinggal dan tidak terbayangkan sebelumnya oleh saya jika desa ini ada di Sabang. Sebelumnya saya membayangkan bahwa penduduk Sabang sangat makmur. Tapi inilah Batee Shok, yang nama desanya tidak se-terkenal kawasan Nol Kilometer, tidak secantik daerah Iboih, tidak memiliki pantai dengan airnya yang jernih seperti di Gapang. Hampir sebagian besar penduduk Desa Batee Shok masih berada di bawah garis kemiskinan. Ditambah dengan daerahnya yang sangat jauh dari kota Sabang, berbukit-bukit, transportasi tak ada, maka lengkaplah ketertinggalan desa ini. Namun satu hal yang saya syukuri selama berada di sini; saya mendapat keluarga angkat yang hangat.
Keluarga tempat saya dan dua teman saya menginap adalah keluarga besar dengan kehidupan yang pas-pasan. Mereka memiliki sebuah mobil pick up tua yang setiap hari mangkal di kota Sabang untuk menerima order angkut mengangkut barang atau order membawa hasil bumi dari sebuah desa ke kota Sabang. Pasangan suami istri tua, pemilik rumah tempat kami tinggal ini memiliki enam anak. Anak tertua, laki-laki, berumur kira-kira 25 tahun. Dia menjadi supir keluarga, sementara sang ayah hanya duduk di samping sang anak yang menjadi supir. Mereka mencari uang bersama untuk kebutuhan seluruh keluarga. Sementara sang ibu dan dua anak gadisnya yang sudah tamat SMA hanya menunggu di rumah. Menunggu hasil jerih payah anak tertua dan ayah mereka. Hanya dua anak yang masih sekolah. Sementara empat anak lainnya hanya tamat SMA saja. Ohya, untuk kebutuhan kami makan dan sebagainya, tentu saja sudah dibayar oleh kampus saya.
Kami bertiga tidur dalam satu kamar. Dengan anggota keluarga yang berjumlah delapan orang, rumah mereka hanya memiliki dua kamar. Sebelum kami datang, sepertinya kamar ini adalah milik tiga gadis di rumah itu. Yang satu masih kecil dan masih sekolah. Sebagaimana umumnya masyarakat Aceh yang tinggal di perkampungan, anak laki-laki biasanya tidak memiliki kamar, begitu juga dengan keluarga tersebut.
Saya dan dua teman saya sangat menyukai menu yang dimasak oleh sang ibu dan dua anak gadisnya. Masakan mereka enak-enak dan banyak ragamnya. Setiap hari, ada saja menu baru yang mereka masak. Pernah suatu hari, kami ingin membantu di dapur karena kami rasa kok kami ini seperti putri raja, setiap hari dilayani. Tapi mereka tidak pernah membiarkan kami melakukannya. Kata mereka; “Pergilah ke pusat kampung, lebih baik membantu teman-teman yang lain untuk merancang kegiatan untuk kemajuan desa ini.”
Di hari libur, kami memanfaatkan untuk berjalan-jalan ke tempat-tempat wisata seperti Iboih, Gapang, Anoi Itam, dan Kilometer Nol. Sabang memiliki pantai-pantai yang indah sebagai salah satu tempat kunjungan wisata. Pemandangan bawah laut Sabang dipenuhi dengan coral-coral dan ikan yang cantik-cantik sehingga membuat betah para snorkeler. Sepuluh tahun lalu, belum banyak yang melakukan snorkeling seperti sekarang. Kami hanya menyaksikan ikan-ikan dan coral-coral cantik di dasar laut melalui kaca bening yang diletakkan di dasar sebuah perahu yang kami sewa untuk menuju pulau Rubiah. Tidak ada penduduk di pulau Rubiah. Entahlah sekarang.
Jika kami ingin berjalan-jalan, kami akan menyewa kendaraan tua milik ayah angkat saya. Biarpun mobilnya sudah tua, namun supirnya, si anak tertua, adalah sopir yang sangat mahir mengenderai mobil di jalananan Sabang yang naik turun dan kadang curam. Yeah, hitung-hitung biar ada pemasukan untuk mereka, begitu pikir kami.
Waktu itu, di Sabang tidak ada kendaraan umum. Sesekali jika saya dan teman ingin berbelanja ke kota Sabang, kami menumpang dengan mobil tua ayah angkat kami. Duduk bersama berbagai hasil alam yang akan dibawa ke kota.
Sabang itu daerah yang unik karena memiliki dua kota, yaitu kota atas dan kota bawah. Sebenarnya hanya satu kota, hanya saja dinamai demikian karena kota atas berada di atas bukit, begitu juga dengan kota bawah. Meskipun waktu itu Sabang sudah dikenal sebagai daerah tujuan wisata di Aceh, sebagian besar wilayah di Sabang masih perawan. Hutannya sangat lebat dan hijau.
Di hari libur lainnya, kami mengunjungi teman yang berada di desa lain dan saling berbagi cerita selama tinggal dengan keluarga angkat masing-masing. Yang paling saya ingat adalah saat kunjungan ke desa Aneuk Laot. Desa ini diberi nama demikian karena di situ terdapat sebuah danau yang terkenal bernama danau Aneuk laot. Aneuk Laot adalah bahasa Aceh yang artinya anak laut. Meski danau ini disebut ‘anak laut’, namun Aneuk Laot adalah danau tawar. Disebut-sebut bahwa danau ini merupakan sumber air utama penduduk Sabang. Airnya sangaat bening dan jernih. Ada beberapa perahu tertambat di pinggiran danau. Perahu-perahu ini disewa jika ada yang ingin menikmati seluruh keindahan danau.
Saya hanya sempat menjejakkan kaki ke danau tersebut meski tidak menaiki perahu. Saya jadi tidak berani naik perahu setelah mendengar sebuah cerita tentang danau tersebut. Jadi, menurut orang-orang yang tinggal di sekitar danau Aneuk Laot, danau ini memiliki kedalaman yang tak bisa diukur meski dengan teknologi apapun. Jadi jika yang ada yang tenggelam ke danau, dipastikan jarang bisa ditemukan mayatnya. Entah cerita ini benar atau tidak, yang jelas saat itu itu, akibat mendengar cerita tersebut, saya benar-benar tak berminat naik perahu meskipun saya sangat ingin.
***
Awal tahun 2013...
Lebih sepuluh tahun berlalu sejak pertama kalinya saya ke Sabang. Setelah kedatangan pertama kali itu, saya tak pernah lagi punya kesempatan untuk datang ke sana. Pada keluarga angkat saya, saya sering mengirimkan surat meski surat tersebut tak pernah berbalas. Tapi saya tahu, mereka selalu menerima surat-surat saya dengan baik.
Kini, saya sering mendengar cerita-cerita dari teman di Aceh bahwa Sabang sekarang sedang berbenah menjadi daerah yang lebih cantik dari sebelumnya. Harus saya akui itu benar adanya. Saya melihat foto-foto di tempat yang dulu saya juga pernah berfoto, latarnya sudah menjadi begitu cantik dan memikat. Namun sayang, foto-foto yang saya miliki sebelum tsunami, kini tak satu pun ada pada saya. Biarlah foto-foto itu menjadi milik laut. Dari negeri gajah putih, saya ditanya; “Lebih cantik mana? Sabang atau Krabi?”
Buat saya, Sabang lebih cantik dari Krabi atau Phuket, yang ada di Thailand. Meski secara penampakan, Krabi dan Phuket lebih mampu mengundang banyak wisatawan dari seluruh dunia, namun saya yakin, kita hanya perlu menjadi lebih kreatif lagi untuk membuat pantai-pantai di Sabang menjadi destinasi yang tak terlupakan bagi setiap orang yang berkunjung ke sini.
Setiap kali melihat foto Sabang di masa kini, saya selalu teringat dengan sebuah kampung yang panas, yang ladang-ladangnya ada di atas bukit, yang keluarga angkat saya ada di situ, yaitu desa Batee Shok. Melihat foto-foto Sabang bertebaran di jejaring sosial, menerbitkan sebuah kerinduan bahwa suatu saat saya akan ke sana lagi. Saat itu, saya tidak lagi datang bersama teman-teman dari kampus saya dulu, melainkan bersama seorang lelaki gagah, suami saya, dan seorang pangeran tampan, buah hati kami.
13 comments
Write commentsSaya hampir 4 tahun di Aceh tapi belum pernah ke Sabang T________T
ReplyAyo tahun ini kita ke Sabang :D
ReplySabang.....tempat favorit lisa di gapang ......enak klo mandi disana, airnya sangat bening shg klo jatuh uang pasti kelihatan.........upload gambar sabang yg banyak ya......
ReplyInsya Allah, semoga saya dan keluarga bisa pergi ke Sabang lagi yaaaa....
ReplyUjung negeri bernama Sabang itu indah sekali. Saya sungguh terpesona dibuatnya. Suatu hari akan kesana lagi bersama suami tercinta..
ReplySaya juga mbak Rien, Insya Allah suatu saat. Aamiin...
Replymembayangkan dr crt ini aja sy bs membayangkan gimana indahnya sabang.. Semoga dg bebenah diri, sabang tetep terjaga kecantikannya ya
ReplyAamin. iya mbak, semoga Sabang tambah cantik :)
Replyiya hany dengan membaca mb hacky udah bikin saya terbuaii pengen ke sanaaa..
ReplyPingin ke Aceh. Ke Sabang juga, di tempat ibu dan putri2nya yang doyan masak itu .... *membayangkan asyiknya dimasakin mereka*
ReplyEh tapi, saya memang pingin jg ke Aceh mbak. Entah kapan ya.
mbak Hana:
ReplyWah, iyakah? koprol ah, hihihiii..
Mbak Niar:
Ayo mbaaaak...datang ke tempatku ya mbak niar. jangan sungkan-sungkan.
sebagaimana mbak niar yang ingin ke Aceh, aku pun sangat ingin ke Makassar. Ingin sekali menginjakkan kaki di pulau Sulawesi :D
temanku orang aceh, dan dia selalu rindu dengan acehnya... jadi terkompori kalau denger ceritanya.. kata temanku, aceh punya pantai yang amat indah
ReplyItu betul sekali mbak ade. pantai di aceh itu indah-indah lhoo :)
ReplyConversionConversion EmoticonEmoticon