Gambar: goodreads.com |
Judul
Buku : My Avilla
Penulis
: Ifa Avianty
Penerbit
:AFRA Publishing (Kelompok Penerbit Indiva Media Kreasi)
Tahun
terbit : Februari 2012
Tebal
: 184 halaman
ISBN
: 978-602-8277-49-5
Ukuran : 14 x 20 Cm
Harga : Rp 26.000
“Sejak pertama bertemu di sekolah…
saya… telah jatuh hati pada seorang gadis berjilbab, yang cerdas, bermata
bintang, berhati bidadari… Margriet Avilla…”
Satu hal, saya akan terus
mecintaimu, menunggumu, dan mencari jawab atas pertanyaan-pertanyaan saya
tentang Tuhan.
(Fajar kepada Margriet)
Kerja cinta, kadang suka tidak
terduga. Datangnya darimana dan ditujukan untuk siapa, sungguh tidak bisa
diraba. Ketika mata beradu dengan mata, maka kemudian hanya hati yang
berbicara. Masalahnya adalah, bagaimana jika jatuh yang membuat cinta tersebut dialami oleh anak
laki-laki yang baru beranjak dewasa? Dia
bahkan baru kelas satu SMA. Mungkin saja, di umur yang sepantaran dengannya,
banyak anak muda yang bahkan baru saja lepas dari bermanja-manja dengan ibunya.
Masalahnya lagi, dia jatuh cinta perempuan yang jauh lebih tua. Empat tahun
beda usianya dengan perempuan yang telah menggetarkan seluruh jiwa raga. Ini
tentu tidak biasa dan agak sulit diterima logika. Biasanya, masa-masa selepas
sekolah menengah pertama, muda dan mudi suka larak lirik sini dan sana. Masa
muda yang penuh gelora. Kata orang, cinta monyet namanya.
Namun
cinta Fajar pada Margriet, Avilla-nya, adalah cinta yang berpijak atas cinta
kepada Tuhan-nya. Bermula dari pencarian Fajar akan makna agama yang dianutnya
dan Tuhan yang mesti dia cinta, maka Fajar merasa bahwa Margriet adalah gadis
yang akan cocok untuknya, di masa yang akan dia lalui jauh di depan sana.
Cinta
Fajar pada Margriet adalah cinta dengan meleburnya konsep ego yang sempurna, sebagaimana
konsep Ego yang dikemukakan oleh seorang pakar psikoanalisa; id, ego, dan super
ego. Fajar memiliki ‘nafsu’ (id) cinta terhadap Avilla, dan tanpa malu-malu,
tanpa pikir panjang, ‘nafsu’ tersebut
diekspresikan oleh Fajar secara nyata. Mencintai seseorang yang
akhirnya tak bisa kita miliki memang hanya akan membuat kita merasa menjadi
pecundang yang bahkan mengangkat wajah pun tak sanggup (hal 85). Inilah
sisi paling dasar yang dimiliki oleh manusia. Manusia memiliki ‘sisi buruk’
yang setiap saat akan menjerumuskannnya ke lubang yang bernama dosa. Tapi Fajar
bukan hanya sekadar merasa sudah berdosa karena sudah mencinta, tubuh dan
jiwanya bahkan sudah terbakar habis oleh cinta sehingga membuat hidupnya
merana, membuatnya menjadi manusia yang semakin introvert, berdiam di dunia
yang hanya ada dia dan Tuhannya saja.
Beruntung
Fajar masih memiliki ego dan super ego dalam dirinya. Bahwa meski Fajar tidak
bisa menahan lajunya cinta, dia sadar
bahwa manusia hidup dengan banyak rambu, termasuk ‘rambu-rambu’ tentang
bagaimana bergaul antara laki-laki dan perempuan. 'Rambu-rambu' ini berfungi sebagai kontrol. Muara dari kontrol tersebut
adalah menikah. Inilah sesempurna-sempurnanya bentuk pelampiasan nafsu (id), selain perbincangan banyak tujuan lainnya dari pernikahan.
Kegilaan
asmara yang dirasakan Fajar adalah kegilaan yang sama seperti kegilaannya akan
Tuhan. Fajar memiliki ketetapan dengan hatinya, hingga bertahun-tahun kemudian
Tuhan menunjukkan kasih sayang-Nya. Fajar memang sakit karena perasaan
cintanya, dia sungguh merana karena harus membawa cinta tersebut seumur
hidupnya, dia pun ambruk karena pada akhirnya semua kesakitan menyerangnya dari
berbagai penjuru mata angin. Tapi Fajar yang masih percaya adanya kasih Tuhan,
masih diberi kesempatan membuka mata dan menemukan cahaya, seketika, di depan
mata. Semua menjadi indah pada waktunya. Sungguh sebuah kisah cinta yang
mengharu biru dan membuat lena.
Lain
Fajar, lain pula Phil, laki-laki bule asal Australia. Meski dua laki-laki ini
sama-sama mengalami yang namanya falling in love at first sight, sama-sama
terbakar rasa cinta pada Margriet, namun Phil lebih beruntung. Dia mendapatkan
cintanya tak pakai lama, tak pakai berdarah-darah jiwa sebagaimana yang dialami
Fajar. Phil kembali ke ‘rumah cinta’ yang abadi yang juga tak pakai lama, yaitu
menemui Tuhan sang kekasih sejati. Sungguh hidup terasa amat singkat bagi Phil,
tapi dia seperti hidup ribuan tahun lamanya. Dalam masa yang begitu singkat dia
bisa merengkuh dua cinta sekaligus. Dengan kondisi sesempurna begini, siapakah
yang tidak akan bahagia?
Maka,
di sinilah Margriet berdiri; di antara dua cinta yang sama kuatnya. Tuhan
memang begitu royalnya mencurahkan segenap kasih untuk Margriet. Dua pria yang
sama-sama mencintainya dengan segenap jiwa namun dengan cara dan nasib yang
berbeda, adalah dua pria yang sama-sama beruntung karena sempat menautkan
cincin pernikahan di jari Margriet.
Maka
membaca ‘My Avilla’ karya Ifa Avianty ini, adalah membaca perjalanan anak
manusia dalam mencari jati diri, yang kesemuanya bermuara hanya pada satu
cinta; Allah Sang Pemilik Cinta.
Dengan
alur maju mundur, konflik tertata dengan apik. Tokoh utamanya ada empat orang,
namun dengan penggunaan point of view orang pertama untuk bagian
penceritaan masing-masing tokoh, ditambah dengan adanya ‘pelabelan’ nama tokoh
setiap kali berpindah ke tokoh lain, sangat memudahkan pembaca untuk tak
berpikir semacam ‘ini siapa, ya?’. Tapi, sebenarnya ini pakem lama, pakem
cerpen-cerpen ala majalah Annida ketika memakai point of view orang
pertama untuk semua tokohnya. Tidak mengherankan, bagaimanapun Ifa Avianty
memang ‘tumbuh dan berkembang’ dari situ. Namu sisi tidak eloknya, hal
ini sungguh mengkebiri imajinasi saya sebagai pembaca yang menyukai tantangan
dalam labirin kata. Ketika masuk ke dalam labirin kata, secara pribadi saya
lebih menyukai posisi di mana saya yang menemukan sendiri banyak kunci sebagai
‘jalan keluar’, dan bukan kunci dari ‘sang sutradara’ pemilik cerita.
***
Saya
tidak ingat kapan terakhir kali saya membaca novel-novel Ifa Avianty. Namun
saya tentu tidak bisa lupa bagaimana kisah-kisah yang disajikan Ifa Avianty. Kisah
manis nan romantis yang kadang suka bikin saya menangis, itu juga kalau ending-nya
berakhir tragis. Salah satu novelnya yang sukses membuat saya mengalami hal lebay
semacam itu adalah novel yang berjudul ‘Strawberry Shortcake’.
Selipan
lirik lagu-lagu lama bertebaran hampir di sepanjang halaman buku. Celetukan
sebuah atau beberapa judul film (seringnya film lawas) sesekali muncul saat
percakapan atau ketika seorang tokoh menilai tokoh lainnya. Si A bertemu si B
dan berinteraksi, sebagai si ‘aku’, si A melihat si B mirip Orlando Bloom
karena rambut ikal mereka sama. Atau, ketika melihat seseorang tersedak di meja
makan dengan gaya yang elegan (saya sambil bertanya ‘ada ya tersedak dengan
gaya elegan’), misalnya, si tokoh utama mulai menghubungkannya dengan salah
satu adgean film yang diperankan oleh Brad Pitt di mana dia tersedak di meja
makan (ini juga misalnya, karena saya tidak tahu apa adegan ini ada atau tidak,
hahaa…). Ini benar-benar gaya Ifa Avianty banget dalam menulis fiksi
roman. Tidak salah karena Ifa (katanya, di biodata :D) memang suka mendengarkan
lagu dan menonton film. Tentulah seorang Ifa memiliki banyak referensi untuk
mengisi embel-embel pemanis cerita seperti ini.
Semua
tokoh digambarkan begitu sempurna. Anak orang kaya, ganteng-cantik, pintar,
dikagumi banyak orang, memiliki pekerjaan sebagai dosen/model/pengusaha.
Padahal, sungguhlah hidup tidak melulu menyajikan fakta yang sesempurna itu.
Untungya,
kisah mereka diimbangi dengan adanya tokoh bernama Trudy, adik Margriet. Trudy,
perempuan yang digambarkan memiliki kesempurnaan fisik yang lebih dari Margriet,
namun sesungguhnya hidupnya tidak pernah benar-benar sempurna. Bahwa kehilangan
orang yang dicintai dan secara tidak sengaja menghilangkan nyawa orang yang
dicintai Margriet, adalah kenyataan paling menyakitkan dalam hidupnya. Bagian ‘ketidaksempurnaan’
hidup Trudy, menambah nilai lebih novel ini. Jika pada ketiga tokoh lainnya
sedikit tercium ‘aroma sinetronistik’, maka kehadiran Trudy sedikit mengurangi ‘celah’
tersebut. Dia cantik tapi tidak berhasil
memikat orang yang dia pikat. Dia bahagia tapi di sudut hati terdalam dia merasa
tidak bahagia. Dia antagonis di dalam tapi protagonis di luar. Pada Trudy,
kisah ini dimula. Pada Trudy pula, akhir semuanya.
Menjadikan
kota suci Vatikan sebagai salah satu setting, semakin memperkuat kesan
relijiusitas novel ini. Sayangnya setting Vatikan terasa hanya sebagai
tempelan saja. Seandainya detail Vatikan di-eksplor lebih dalam,
misalnya melalui kegiatan-kegiatan Fajar saat berada di sana, interaksi Fajar
dengan orang-orang di sana yang tak hanya orang Indonesia saja, tentu ini akan
lebih menarik.
Namun,
ada yang agak janggal di sini. Kejanggalan ini sangat menganggu saya sejak
pertengahan buku sampai menjelang ending. Ini tentang kronologis atau
alur waktu. Jadi, ada flashback cerita ke tahun 1992, saat Fajar kelas 1
SMA dan Margriet di semester 4 kuliahnya. Fajar tamat sekolah tahun 1994 dan di
saat yang sama Margriet lulus kuliah. Di tahun yang sama juga, Fajar
melanjutkan kuliah ke Pontificial Gregorian University, Roma, sebuah
universitas orde Jesuit tertua. Kemudian pada bab ‘Mencari dan Berusaha
Menemukan’ (hal 83), waktu berpindah ke saat tujuh tahun kemudian (2001). Fajar
masih berada di Vatikan. Di halaman 84 ada kalimat; ‘Beberapa waktu lalu, Mamaku
sempat bercerita sulung keluarga Hermawan Hasan akan menikah dengan teman
sekampusnya.’ Memang tidak jelas disebutkan kapan waktunya sebelum saat
itu. Tapi baiklah, kita ambil jarak dekat saja, mungkin sekitar 1-2 tahun lalu? Berarti tahun 2000 atau 1999. Tapi
ternyata saya salah menduga. Karena pada halaman selanjutnya, saat flashback
lagi ke tahun 2005 (itu artinya baru setahun Fajar tinggal di Vatikan), Fajar
sempat kembali ke Indonesia karena Papanya
meninggal dunia. Fajar juga sempat bertemu dengan Margriet. Masih dalam waktu
yang sama ketika Papa Fajar meninggal, di halaman 89 tertulis bahwa Margriet
akan menikah tiga bulan kemudian, yaitu tiga bulan setelah Papa Fajar
meninggal. Berarti, jika dihitung dari tahun 2001, itu kan artinya jauuuuuh
sebelum tahun itu, dan bukannya ‘beberapa
waktu lalu’ seperti yang dituliskan. ‘Beberapa waktu lalu’ berbeda
artinya dengan ‘beberapa tahun lalu’. Ini adalah fakta yang bertolak belakang. Saya
kasih contoh. Misalnya 8-9 bulan lalu saya bertemu seorang teman, dan saya
menyebutnya ‘beberapa waktu lalu’ ketika saya menceritakan ulang pertemuan saya
dengan teman tersebut di sebuah arisan keluarga. Ini kan cuma arisan,
tidak penting untuk diketahui tanggal dan jam yang tepat. Inti yang saya mau
bilang adalah, ‘beberapa waktu lalu’ mengacu pada waktu yang baru berlalu,
bukan waktu yang berlalu bertahun-tahun lalu. Apakah saya benar?
Masih
soal rentang waktu Margriet menikah (saya sangat terganggu soal ini, makanya
membahasnya jadi sepanjang ini, hahaa…). Di halaman berikutnya, ketika sudut
pandang berpindah ke tokoh Margriet, diceritakan bahwa begitu selesai kuliah
S1, Margriet bekerja di sebuah universitas internasional hingga dia lulus S2.
Berarti tahun 2001, Margriet sudah lulus S2. Di situ ditulis ‘Selama itu,
tak yang berani menyinggung-nyinggung status single-ku’. Artinya pada waktu
itu Margriet belum menikah. Fakta ini bertentangan dengan dua fakta yang
dituliskan sebelumnya; (1) ‘Margriet
akan menikah tiga bulan kemudian’ (bulan entah apa di tahun 1995 atau tahun
1996) dan (2) ‘Beberapa waktu lalu, Mamaku sempat bercerita sulung keluarga
Hermawan Hasan akan menikah dengan..’ Itu artinya bahwa ‘menikah tiga
bulan kemudian’ yang dinyatakan di tahun 2005 dan ‘menikah beberapa
waktu lalu’ yang dinyatakan di tahun 2001, adalah salah. Margriet belum
menikah di tahun 2001, sampai kemudian Margriet bertemu dengan ‘Bugil’ tampan,
Philip Fraser, dosen tamu dari Australia. Hal ini diperkuat lagi dengan
kenyataan ketika Margriet sudah mengenal Phil, Fajar yang ‘menyamar’ sebagai
Joe, pernah mengirim email yang berisi pertanyaan-pertanyaan tentang Tuhan
kepada Margriet yang ‘menyamar’ sebagai Adda, admin blog ‘TheGodSeeker’. Saat email
pertama yang dikirim Fajar untuk Margriet, Margriet belum menikah denga Phil.
Rumit?
Saya juga merasakan hal yang sama, hahaa… Tapi begini, seandainya alur maju
mundur tersebut tidak dengan mencantumkan tahun, maka pembaca akan mereka-reka
sendiri. Tentu saja, reka-reka yang tetap atas dasar logika cerita. Ketika menyajikan
data berupa angka ke dalam fiksi, penulis harus jeli betul, tidak
boleh lengah terhadap perlunya keakuratan fakta untuk menunjang logika.
***
Well,
sebagai romance novel based on the principle of religious story, pesan
moral tentang konsep ber-Tuhan dan ke-Tuhan-an, berhamburan hampir di sepanjang
halaman novel. Menyelusup ke bagian terdalam bilik hati tanpa kesan menggurui.
Melalui tokoh Margriet si ‘manusia suci’, yang Fajar memanggilnya ‘My Angel’, dua
manusia belajar mencintai Tuhannya. Sayang, ‘pesan baik’ tersebut tidak sempat
menyentuh dinding kalbu adik kandungya, Trudy.
Beragama
selalu tidak mudah bagi orang yang kebanyakan mikir seperti kita, Phil. Bahkan,
juga masih dirasa sulit bagi orang yang otaknya pendek (hal 105).
Margriet
sendiri, meski begitu rapat menutup tubuhnya dengan jilbab besar serta sangat
menjaga pandangan, dia bukanlah benar-benar malaikat, seperti sebutan Fajar.
Dia tetap manusia biasa. Lihatlah bagaimana ‘genitnya’ Margriet ketika bergumam
‘…lumayan ganteng juga..’ saat pertama sekali bertemu Fajar di teras rumahnya,
atau ketika Margriet pernah membatin ‘Cakep-cakep menyebalkan!’ setelah melihat
ulah Phil yang ‘menembaknya’ di Cafetaria kampus. Katanya ‘menyebalkan’, tapi kok
ada ‘cakep’nya. Ini sama dengan orang yang bilang benci tapi sesungguhnya dia
cinta.
Margriet
itu terlalu polos soal urusan cinta atau bagaimana, ya? Saat Phil bertugas di luar kota dan
mengatakan ada sesosok perempuan yang membuatnya tak bisa tidur, kenapa
Margriet malah berpikir tentang penampakan, dan bukannya berpikir tentang
perempuan lain, atau… itu adalah dirinya? Bagian ini merusak kesan romantis antara Phil dan Margriet, selain
bagian ketika Margriet menyebut Phil dengan sebutan ‘Bugil’, Bule Gila. Saya belum pernah menemukan akronim ‘segila’
ini, hahaa… Sebutan ‘bugil’ itu, lho… Apakah penulis sedang kehilangan
ide untuk sebuah guyonan atau memang selera humornya yang kurang?
***
I’m in love at first sight when I saw you dressed in your classy veil. Can’t help falling in love with you (hal 97).
Di
dunia ini, kadang ada hal yang tak bisa dijelaskan secara logika, termasuk soal
datangnya perasaan cinta terhadap seseorang. Namun dua pria yang jatuh cinta
pada pandangan pertama, lalu keduanya ‘melamar’ Margriet untuk menjadi istri
mereka, ini adalah fakta yang menambah deretan ‘kesempurnaan’ yang dimiliki
Margriet, sekaligus menambah deretan ‘ketidaksempurnaan’ buku ini. Di luar
kisah drama, tentu ini agak jarang terjadi, jika tidak bisa saya katakan tidak
pernah. Namun, yang jarang inipun, masih harus melalui apa yang disebut dengan
‘proses jatuh cinta’. Karena jatuh cinta tidak terjadi dengan tiba-tiba. Kerja
cinta adalah kerja reaksi kimia cinta. Ketika pertama kali kau mengenal
seseorang, lalu sekian lama menghabiskan waktu dengannya, bagian otak akan
mengeluarkan zat yang disebut Dopamin. Dopamin ini akan menggerakkan seseorang
berpindah dari posisi simpati ke posisi ‘crazy in love’. Biarpun namanya
‘crazy’, tapi sesungguhnya yang terjadi di sini adalah kau merasa happy.
Inilah yang disebut ‘jatuh cinta’. Kerja selanjutnya digerakkan oleh zat bernama
Serotonin. Pada posisi ini, seseorang mulai terobsesi dengan orang yang dia
jatuhcintai. Lalu ada zat Oxytocin yang akan membuat seseorang memilih jalan
untuk memiliki orang yang dijatucintai. Begitulah kerja cinta. Kerja zat-zat tubuh
tersebut, bukanlah kerja sadar sebagaimana jika kamu ingin makan maka otakmu akan
memerintah tangan untuk mengambil piring dan menyendokkan nasi. Inilah
bincang-bincang cinta, dari seseorang (saya maksdunya :D) yang bukan pakar
cinta.
Secara
keseluruhan, buku ini sangat layak dibaca oleh siapa saja yang ingin mengenal
cinta. Cinta yang tak melulu tentang bagaimana rumitnya hubungan dua anak manusia,
lebih dari itu, buku ini juga menunjukkan bagaimana besarnya cinta seorang
kakak terhadap adiknya, sebaliknya juga adik terhadap kakaknya, juga cinta
seorang oma terhadap cucunya. Di atas semua itu, ada cinta yang lebih tinggi
dan hakiki, yaitu cinta terhadap Tuhan.
51 comments
Write commentsPanjangnya mbaak:-)
ReplyTema cinta, tak akan pernah ada habisnya, ya, Mak. Dan aku pun hanya bisa pasrah, gimana cara bisa membaca bukunya dari sini? hiks :'(. Salahin yang bikin resensi yang sudah bikin orang jadi mupeng hahaha :D.
ReplyHihi iya, panjang euy :)
ReplyMbak Lyta:
ReplyIya mbak, agak panjang nih, 10 halaman saat ngetiknya di word, wkwkwk
Mbak Jihan:
Betoooool mak, masa cinta adalah tema abadi, terulang terus dari jaman ke jaman, hanya saja bedanya waktu pelakonnya saja.
nanti mbaaaak, pas pulang ke Indo. Buku ini keren banget mbak
Mbak Wuri:
ReplyIya mbak, gak terasa aja udah sepanjang ini, ihiiii...
emanglah kalau udah nulis lupa daratan ya
ReplyBiasanya aku kurang suka baca fiksi. Tapi habis baca review ini kok malah penasaran ya...sukses nih menggoyahkan hatiku :))
ReplyIhan:
ReplyTak apa, asal jangan sampai lupa lautan :p
Mbak Arin:
ReplyMbak Arin, kalau baca bukunya, bukan hanya akan sukses menggoyahkan hatimu mbak, juga akan sukses meledakkan hatimu, xixixii...lebay :D
so... sekarang sapa yaa yg melipir..? :)
Replyteori psikologinya mantav..
Mbak Linda:
Replyaku melipir karna aku nulis resensinya cuma satu buku mbaaaak, ndap punya buku yang lain :D
Teorinya Sigmund Freud... Jadi semacam dicontohkan dlm aplikasi ceritanya. Filosofis.
ReplyIya Ismi, teori psikoanalisa itu dikemukakan oleh Sigmund Freud. Saya belajar teori waktu tahun pertama kuliah dulu :D
Replywah jadi pengen baca....#wishlist
ReplyMi taunya malah waktu ngerjain disertasi ayah kak, trs berkembang lbh tau lg pas masuk bagian jiwa di coass.
Replymbak Rina:
Replyyuk mbak dibaca :D
Ismi:
hihiii...belajar jiwa asik banget kan Ismi, bisa menerapkannya ke banyak hal termasu, apalagi kalo suka menulis :D
Cadassss........
ReplyMemang kalau masalah cinta nggak akan pernah habis ide cerita..
Iya betoooool :D
ReplyKemarin sempat lihat buku ini, tapi ngga sempat terjamah, begitu baca resensinya pengen baca.., maksih kak Eki..:)
ReplyIya betul bgt kak, kalo kita udh paham ttg jiwa, kita bisa ngeliat setiap org itu gmn cm dg lht wajhnya. Hehe
ReplyDi atas semua itu, ada cinta yang lebih tinggi dan hakiki, yaitu cinta terhadap Tuhan. I do agree with this statement. ^^
ReplyJadi menambahkan detail waktu dalam cerita apalagi sebesar novel itu sangat krusial ya. Harus benar-benar akurat. Tapi salut Kak Heki sampai sadar adanya kerancuan dan ketidaklogisan karakter di ceritanya. Reviewnya secara keseluruhan keren kali, Kak. Semoga pengarangnya membaca ini ya. :D Kalau aku rating, bintang 4 dari 5 lah ini.
ReplyJunaidah:
ReplySekarang, setelah membaca resensi ini, sudah dijamah tuh bukunya :D
Ismi:
iya, hehee
Nurhasanah:
So do I, ihiiii...
Citra:
tengkiuuuuu citraaaa...
btw, penulisnya udah baca habis kok resensi ini, ihiiiii... :D
Makasih udah baca tulisan panjang ini ya cit :D
yang paling menarik dari tulisan kak eki khususnya dari resensi yang liza baca adalah cara kakak menghubungkan cerita tersebut dengan teori psikologi dan psikiatri. jadi lebih mudah dipahami
ReplyIya Liza, beberapa ada yang saya tulis dengan menghubungkan dengan teori psikologi, biasanya untuk jenis=jenis novel yang serius seperti novel 'My Avilla' ini.
ReplyKalau bukunya ringan, nulisnya suka-suka aja, hahaa...
Btw, thanks udah baca za
resensinya panjang banget mba, lengkaaap :)
Replyiya nih mas ridho, gak nyadar aja udah sepanjang ini -_-
ReplyAsik... Keren kak... :D
ReplyMakasih Syauqi :)
ReplyKalau dulu waktu saya SD MTsN, suka sama cewek ngak berani bilang cuma suka diam2 aja...
ReplyOh Tuhan kapan aku punya Novel??? aaaaaaaa
ReplyKritikannya mantaaaappp... Novel ini seharusnya masih bisa dieksplore lagi ya, Mbak :-)
Replywadaaauw mbak Ecky resensinya seperti kereta api, bisa bikin novel sendiri nih, teliti dan analitis dalam mereview. mantaaap niaaan
ReplyAlvawan:
ReplyAyo ditulis novelnya sampai selesai. ditunggu yak :D
Mbak leyla:
heuheuu...kebanyakan krtikan ya mbak -_-
hahay detiil dan cakep...
Reply*mlipir ah.. makin banyak saingan keren hehehe..
aiih...mba binta merendaaaaah
ReplyThanks udah baca ya mbak
ini buku pernah saya liat sebelumnya.. ahh, ngebaca resensi skrg malah pengin ngikutin ceritanya ^^'
Replykalau boleh saya tebak. Izzah lihatnya pasti di FLP yaaaaa ;)
ReplyAyo dibaca Izzah, dapat banyak ilmu nih ;)
Soal waktu.. aku jadi mikir... bener banget tuh, waktu tuh bikin ribet emang. Kecil tapi ngaruh. Dan pembaca ternyata ada yg kritis soal ini.
ReplyAwalnya gak perhatian, tapi ketika di halaman-halaman berikutnya ada fakta yang konsisten, jadi saya lhat lagi baik-baik di mana letak 'tidak nyambungnya', hehee
ReplyPanjangnya, Kak, tapi enak dibaca. I like this qoute:
Reply"Ketika menyajikan data berupa angka ke dalam fiksi, penulis harus jeli betul, tidak boleh lengah terhadap perlunya keakuratan fakta untuk menunjang logika." Selebihnya, Kak Eky sudah mengupas sedetil-detilnya, layaknya seorang 'pakar resensi buku'. Nice review. :D
Ini berapa halamaaaan? teliti banget siiihhh... gutlak ya mbak Eky :)
ReplySanti:
Replykalo di halaman word, pas selesai ngetik, jadinya 10 halaman mbak :v
Makmur:
aww...makmur terlalu berlebihaaaaan.
btw, thanks udah baca yak ;)
wah, ini ditulis sekali siap ya kak?
Replyemosi peresensinya terasa banget :v
Nggak Aslan, saya nulisnya mood-moodan. selesai dua halaman, berhenti, lanjut dua halaman lagi, berhenti lagi, begitu seterusnya :D
ReplyEh, terasa emosinya? benarkah? rasanya saya nggak emosi kok, sueeer. ketika melakukan kritik terhadap sebuah buku, saya meminimalkan yang namanya 'tinjauan subjektif', bukan tidak ada tapi kalau bisa minimal. saya mencoba untuk objektif
btw, thanks udah baca ya aslan ;)
Eh ya ampyuuun.. Panjang banget mbak penjelasannya. Detail banget deh. Komentar2 yang masuk juga banyak. Calon juara nih. Good Luck ya kakaaa... :)
ReplyAamiin. makasih mbak yanti
ReplyWah, bagus kak, musti nyari bukunya ni...
ReplyDi Banda Aceh agak susah nemu buku ini Hijrah. Di bebeberapa toko yang dicariin, gak dapat. Sengaja nyariin karna mau ikut lomba ini, xixiiii...
ReplyUntungnya dapet sama seorang kawan yang jualan buku secara online, untungnyal lagi dia tinggal di Aceh pula :D
Tapi, bukunya memang bagus hijrah.
kisah cintanya rada complicated ya,.
ReplyIya benar cut. terasa sekali komplesitas kisah cinta dalam buku ini. Baca deh :D
ReplyConversionConversion EmoticonEmoticon