Indonesia Padat Merayap



            Di dunia, Indonesia merupakan negara dengan kepadatan penduduk terbesar keempat setelah setelah China, India, dan Amerika Serikat. Di antara empat negara ini, jumlah penduduk Indonesia dan Amerika memang belum mencapai angka yang fantastis sebagaimana China dan India yang sudah di atas satu milyar, namun dengan melihat data yang dipaparkan oleh website www.datastatistik-indonesia.com, di mana proyeksi angka pertambahan penduduk Indonesia sejak 2000 hingga 2025 nanti, menunjukkan angka yang tidak main-main. Tahun ini saja (2013), jumlah penduduk diproyeksikan berjumlah 242 juta jiwa. 


Hal senada juga diungkapkan oleh Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Fasli Jalal. Fasli Jalal memperkirakan bahwa di tahun 2013 penduduk akan bertambah 250 juta jiwa, jumlah yang nyaris sama dengan angka yang diproyeksikan oleh Data Statistik Indonesia.
            Padatnya jumlah penduduk, terutama di kota-kota besar, justru menimbulkan masalah, misalnya; berkurangnya ketersediaan lahan sebagai tempat tinggal, berkurangnya kebutuhan udara bersih akibat polusi yang tinggi, kerusakan lingkungan, berkurangnya kebutuhan akan air bersih, semakin sempitnya lapangan pekerjaan, dan masih banyak masalah-masalah lainnya.
            Berkurangnya ketersediaan lahan merupakan masalah yang umum  terjadi di kota-kota besar.  Lihat saja Jakarta misalnya. Tanpa mengecilkan arti ibukota negara tercinta, tak bisa memungkiri bahwa betapa sumpeknya kota ini. Jakarta menguras banyak penduduk Indonesia datang ke sana. Penduduk asli, penduduk yang sudah puluhan tahun menetap di sana, ditambah para pendatang dari berbagai kelas untuk mencari penghidupan yang lebih layak; membuat Jakarta seperti balon yang kelebihan udara dan siap-siap untuk meledak. Mirisnya, bertambahnya jumlah penduduk Indonesia umumnya dan kota-kota besar khususnya, tidak dibarengi dengan meningkatnya perilaku kevarah yang lebih baik dari penduduknya.
Apakah perilaku baik penduduk kota penting untuk kelangsungan kehidupan sebuah kota?
Mari kita lihat!
Di kawasan Asia Tenggara, Jakarta adalah kota terbesar setelah Manila dan Bangkok. Dari segi kepadatan penduduk, Jakarta masih kalah dibanding Bangkok yang saat ini menduduki peringkat pertama sebagai kota dengan penduduk terpadat di Asia Tenggara. Secara logika, harusnya semakin padat penduduk sebuah kota, akan semakin susah mengatur kota tersebut untuk penataan kota yang lebih baik dan lebih maju dari berbagai segi. Nyatanya logika ini tidak terbukti. Bangkok mematahkan logika tersebut.
Dua puluh lima tahun lalu, dengan penuh keyakinan, siapa saja –bukan hanya orang Indonesia atau orang Jakarta– dapat mengatakan bahwa lalu lintas di Bangkok jauh lebih buruk daripada Jakarta. Ketika itu Jakarta juga sudah punya Soekarno-Hatta, sedang Bangkok hanya punya bandara tua yang kumuh dan sesak di Donmuang, yang jauh di bawah standar Soekarno-Hatta yang kinclong. Dua puluh lima tahun yang lalu, para birokrat dan ahli sudah mengatakan bahwa Jakarta perlu suatu sistem mass-rapid transit (MRT). Sekarang Bangkok sudah punya kereta bawah-tanah, subway/MRT, yang dibangun mulai 1996 dan dibuka untuk umum pertama kali pada tahun 2004.  Ia juga punya kereta-layang, skytrain/BTS, yang mulai beroperasi sejak 1999. Baru saja dibuka pada Agustus 2010: Airport Rail Link (ARL), yaitu jalur kereta api yang menghubungkan bandara Suvarnabhumi dengan kota Bangkok, 4 tahun setelah bandara Suvarnabhumi dibuka pada tahun 2006. Baik kereta bawah tanah maupun kereta layang di Bangkok itu direncanakan dan dibangun dalam keadaan politik yang tidak dapat dikatakan stabil. Sesudah Prem Tinsulanonda yang berkuasa pada tahun 1980-1988, Thailand tidak pernah punya perdana menteri yang menyelesaikan masa jabatannya kecuali Thaksin Shinawatra. [2]
Di tahun pertama saya tinggal di Thailand, dua tahun lalu, saya baru tahu kenapa negara ini bisa mengejar ketertinggalannya dahulu. Disiplin yang tinggi, itu yang bikin saya salut banget sama masyarakat Thailand. Contoh kecil saja ya, suasana di kantin kampus saya. Kantinnya bersiiiih dan kinclong, di-pel sama petugas dua kali sehari. Tong sampah gede-gede hampir ada di setiap sudut. Tak hanya di kantin, namun di mana fasilitas umum. Dan, pemandangan yang jarang saya temui di Indonesia tapi selalu saya temui di sini adalah… barisan antrian yang rapi. Ketika tiba waktu makan siang, tidak ada yang namanya main serobotan pengen duluan. Di setiap counter makanan dan minuman, baris panjang antrian mengular dengan rapi. Tragisnya, yang sering  bikin kacau baris antri adalah mahasiswa dari Indonesia dan Bangladesh, hahaa… kacau deh. Ketauan banget gimana kemajuan intelektual sebuah bangsa hanya dengan melihat gaya antrinya :p
            Kembali lagi ke topik tentang High Density Residence… ternyata berkurangnya ketersediaan lahan sebagai tempat tinggal, tidak membuat penduduk kapok untuk datang ke kota-kota besar. Ya, kota besar memang selalu memikat. Meski dengan datang ke kota tanpa bekal yang memadai; bekal ilmu, bekal uang, dan bekal tersedianya tempat tinggal; hal ini tidak membuat masyarakat luar kota surut untuk hidup berdesak-desakan dan tumpang tindih layaknya pepes ikan.
Lihat nih:
 Gambar: dari SINI

Gambar: dari SINI

Gambar: dari SINI
Hidup di rumah yang tidak pantas disebut rumah seperti di atas, membuat berbagai penyakit mudah hinggap. Belum lagi dengan kondisi berdesaka-desakan dan berdempet-dempetan yang otomatis ruang gerak untuk menjaga kebersihan semakin sempit. Kalau ada sungai di sekitar areal perumahan kumuh misalnya, ya sudah buang saja sampahnya ke sungai, begitu yang jamak dilakukan masyarakat kita selama ini. Akibatnya, banjir tak bisa dibendung. Jakarta contohnya. Rumah-rumah kumuh di atas, adalah hal biasa kita temukan di Jakarta. Banjir adalah bencana langganan yang dialami Jakarta, nyaris setiap tahun. Menurut Soedibyo Alimoeso, Pelaksana Tuga Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Indonesia (BKKBN), salah satu penyebab terjadinya banjir di Jakarta adalah penduduk yang sudah begitu padat. Dengan perilaku yang tidak lagi ramah terhadap sumber air sungai, maka jangan heran jika sungai menjadi ‘berang’ dan ‘memuntahkan’ isinya membanjiri kota. [3]
Itu baru berbicara soal perumahan kumuh. Bagaimana jika itu adalah perumahan kelas menengah? Sama saja. Bayangkan sebuah keluarga tinggal di sebuah rumah, memiliki lebih dari dua anak. Ketika anak-anak menjadi dewasa, maka mereka akan memisahkan diri dari orangtuanya dan mencari tempat tinggal sendiri. Jika ada empat anak, maka dari sebuah rumah yang tadinya menampung enam orang, sekarang ‘berkembang’ menjadi beberapa rumah karena proses kedewasaan. Kalikan saja peristiwa ini dengan setengah jumlah penduduk Indonesia (asumsi setengah karena proses pernikahan), maka hanya dalam beberapa tahun proses berkembang, rumah-rumah akan memenuhi lahan kosong bahkan tanpa menyisakan tempat untuk masuknya udara. Dan, kita sedang menuju ke keadaan seperti itu.
Lalu apa solusinya?
Dalam hal ini, saya punya dua usul. Sebetulnya bukan hal baru, hanya saja perlu penguatan lagi dan dukungan dari banyak pihak agar bisa terlaksana secara optimal.
Pertama, perbanyak rumah susun dengan standar yang layak sebagai tempat tinggal. Meskipun namanya rumah susun, mestilah memenuhi fungsi rumah sebagaimana mestinya. Buat yang pernah ke Kuala Lumpur dan Penang, Malaysia, pasti pernah melihat bahwa di mana-mana ada gedung tinggi menjulang. Bukan kantor. Kantor biasanya punya ciri yang paling khas misalnya gedungnya berkaca atau memiliki desain yang unik. Namun gedung tinggi menulang yang bukan kantor tersebut memiliki kemiripan bentuk. Yaitu berbalkon, atau berjendela kaca yang berjejer dari bawah sampai ke atas, memiliki tangga di sampingnya. Itu adalah tempat tinggal penduduk dua kota tersebut. Dengan bentuk tempat tinggal seperti ini, setidaknya dalam satu lahan bisa menampung puluhan 'rumah'. Indonesia, khususnya di kota-kota besar, jika membuat tempat tinggal, kiranya perlu menambah tersedianya tempat tinggal yang bertumbuh ke atas, bukan ke samping. Lahan sudah sangat sempit. Manusia berkembang biak teruuus, bertambah teruuuus, sementara luas lahan segitu-gitu aja.
Gambar: sindonews.com

Kedua, menggalakkan program Keluarga Berencana (KB) secara optimal. Sebagai negara muslim, negara kita memang tidak bisa seperti Cina yang memiliki aturan ketat soal memiliki anak. Pemerintah menganjurkan dua anak saja cukup, tapi kalau mau punya anak lebih dari 10 pun, ya tidak masalah. Itulah bedanya 'menganjurkan' dengan 'mengatur'. Lebih dari itu, yang lebih penting adalah bukan seberapa banyak anak yang dimiliki, namun seberapa berkualitasnya mereka sebagai generasi penerus, generasi yang peduli akan lingkungan, generasi yang akan membangun bangsa ini menjadi lebih baik ke depan. Seperti Dulux yang peduli akan perubahan tren sosial  dan ekonomi yang terjadi di sekeliling kita. 
Dulux sangat bersemangat untuk membantu anak-anak muda yang berbakat yang memiliki ide dan imajinasi yang tidak terbatas untuk mewujudkan ide-ide mereka karena kami percaya bahwa anak-anak muda inilah yang akan menjadi perancang luar biasa di masa yang akan datang.
 Dengan tujuan untuk menstimulasi dan memfasilitasi bakat anak-anak muda Indonesia dalam bidang taat ruang, http://duluxyoungtalent.com meluncurkan sebuah kompetisi bertajuk "Dulux Young Talent Design Competition". Kamu punya bakat dalam bidang ini? Silakan kunjungi website-nya di; http://duluxyoungtalent.com, dan dapatkan info lengkapnya. 




Referennsi:
1. www.datastatistik-indonesia.com
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Previous
Next Post »

4 comments

Write comments
26 September 2013 pukul 00.21 delete

Di Batam saja tahun 2012 silam pemerintah sudah berencana bahwa awal 2013 akan membangun monorail dari kawasan Industri di Tanjung Uncang menuju ke pusat pemerintahan kota di Batam Centre. Dan hingga saat ini 2013 bentar lagi habis, proyek tersebut tidak terealisasi sama sekali.Itulah kurang disiplinnya kita pada cita-cita dan rencana. Gemes banget kalau mengingat hal ini. Selalu ada sesuatu di balik rencana. Sesuatu itu berbagai kepentingan yang entah berpihak pada siapa namun yang jelas merugikan masyarakat luas.

Reply
avatar
tridinamika
AUTHOR
26 September 2013 pukul 18.36 delete

sudah hal biasa di indonesia

Reply
avatar
28 September 2013 pukul 15.19 delete

Mbak Lina:
sama kayak Banda Aceh mbak. Selaluuu ada sesuatu di balik rencana :(

Tridinamika:
begitulah

Reply
avatar
Aprillia
AUTHOR
28 September 2013 pukul 15.41 delete

yah begitulah indonesiaku terutama dikota besarnya yah :(

Reply
avatar

Instagram @fardelynhacky