Serambi Indonesia, 26 Januari 2014 |
Hari Minggu lalu
(26/01/2014), Serambi Indonesia, sebuah surat kabar terkemuka di kota saya,
memuat sebuah cerpen karya Musmarwan Abdullah.
Cerpen tersebut berjudul ‘Klikkk’, seperti yang tampak pada gambar di
atas. Bagi yang ingin membaca ulasan ini sampai tuntas, sebaiknya membaca cerpennya terlebih dahulu di tautan INI.
Saya pribadi sudah
lama mengenal Musmarwan Abdullah, namun di tulisan ini, saya tak hendak
membicarakan penulisnya. Ketika sebuah karya didedahkan ke khalayak, maka
penulis tak perlu panik dengan kegaduhan dan perbincangan-perbincangan atas
karyanya. Jadi dalam tulisan ini, saya ingin hanya akan ‘menilik’ karyanya
tanpa melihat kenyataan bahwa saya pernah mengenal penulisnya.
Di antara
puluhan cerpen yang tayang di surat kabar ini setiap minggunya, saya tertarik
dengan cerpen Musmarwan, lebih lanjut, saya kemudian tertarik untuk menuliskan ulasannya. Dan lagi, hal ini bukan
karena faktor kekenalan tadi.
Cerpen ini
bercerita tentang seseorang –yang sampai akhir cerita tak diketahui namanya– yang
hidup di masa kini dan terlempar ke masa lima ratus tahun ke depan setelah
melalui tidur panjang. Di masa lima ratus tahun ke depan, sang tokoh mendapati
kenyataan bahwa dunia ini sudah kosong melompong. Tak ada sesosokpun manusia
saat ini. Yang ada hanya hutan belantara dengan bangunan-bangunan yang sudah
menua. Kondisi ini tentu saja bertentangan dengan logika perkembangan teknologi
yang seharusnya terjadi di lima ratus tahun ke depan, di mana kemungkinan hutan
akan dibabat habis karena adanya pengerukan terus-menerus tanah hutan untuk
keperluan membangun rumah atau meninggikan jalan, atau perluasan lahan karena
penduduk bumi sudah kian terdesak; dan kemungkinan nyaris di seluruh permukaan
bumi akan berdiri gedung-gedung bertingkat dan bukannya bangunan-bangunan tua
tak berpenghuni. Tapi tentu saja kita tidak akan pernah tahu apa yang akan
terjadi lima ratus tahun kemudian. Bisa saja kondisinya seperti
kemungkinan-kemungkinan yang saya sebut di atas, atau justru sebaliknya, kondisi
dunia kembali seperti jaman purba kala. Dan Musmarwan menggambarkan dunia nyata
di lima ratus tahun ke depan dengan kondisi yang kedua.
Ada banyak cerita di buku dan di film tentang perjalanan
seseorang menembus batas waktu. Apakah kembali ke masa lalu atau melangkah ke
masa depan? Namun cerpen ini menjadi berbeda karena Musmarwan mengangkatnya
atas dasar realita dan problematika kekinian ke dalam cerpennya, yaitu dunia
dengan orang-orang yang riuh di media sosial.
Cerpen ini
menjadi gambaran atas sebuah pemikiran yang jauh ke depan, tentang kira-kira
bagaimanakah keadaan lima ratus tahun yang
akan datang jika dihubungkan dengan kecanggihan teknologi terutama media sosial? Mengingat
bahwa sekarang, mungkin nyaris 1/10 penduduk dunia memiliki akun media sosial
dan mungkin saja 1/10 dari 1/10 tadi adalah mereka yang terlalu asyik dengan
media sosial di dunia maya dibanding bersosialisasi di dunia nyata, maka adalah
mungkin saja, bila lima ratus tahun yang akan datang, semua penduduk di muka
bumi akan memiliki akun di media sosial dan semua kegiatan seperti komunikasi
dan sosialisasi hanya akan berlangsung di dunia maya. Saat itu, berbagai jenis media
sosial di dunia maya akan lebih ramai dan lebih nyata dibanding dunia nyata itu
sendiri. Maka, melihat keadaan tersebut, pewaris Mark dan kawan-kawannya mulai
berpikir untuk menciptakan dunia maya yang nyata. Bagaimanakah keadaan dunia maya yang nyata tersebut? Ini
terserah bagaimana kita mempersepsikannya dari sekarang. Toh kita sudah
pasti tidak akan melihat bagaimana keadaan lima ratus tahun yang akan datang.
Kita hanya bisa mengira-ngira. Dan Musmarwan berhasil membuat 'hasil
mengira-ngira' tersebut dalam sebuah cerpen berjudul 'Klikkk'. Sebuah
judul yang singkat namun cukup mewakili isi cerita secara keseluruhan.
Selain ide yang
liar, kekuatan cerpen ini juga ada pada penggunaan point of view orang
kedua. Musmawan agaknya paham betul bahwa jika cerpen ini menggunakan point
of view orang pertama atau orang ketiga, maka cerpen ini secara keseluruhan
akan gagal.
Jalan menuju ending
juga cakep.
“Oh, Tuhan, bagaimana caranya ini? Oh-oh-oh! Ya-ya-ya!” kau ingat. Kau masih punya baterai serap yang sering kaugunakan dulu dalam perjalanan. “Semoga dia masih ada di dalam laci meja ini.” Dan laci meja segera kaubuka. Wah! Kau menemukan baterai itu. Segera kaupasangkan pada laptop. “Semoga ia masih menyimpan arus barang sedikit.” Nah, sekarang power laptop kautekan. Blaaaaaaa! Laptop menyala. Kau mengakses internet. Membuka akun Facebook. Lalu keluar tulisan, “Mau meneruskan? Klik di sini!” Dan kau mengklik di situ. Klikkk!
Kalau boleh saya menyarankan, mungkin
kalimat terakhir untuk cerpen ini cukup pada kalimat “Mau meneruskan? Klik di
sini!”. Kalimat sesudah kalimat tersebut adalah sebuan pemaksaan. Alih-alih
ingin melibatkan imajinasi pembaca, penulis secara tersirat justru mengajak
pembaca untuk mengikuti apa yang diinginkannya. Turut berduka cita atas kondisi
ini. Seharusnya biarkan saja pembaca mereka-reka. Apa sang tokoh akan meng-klik
di situ atau tidak?
Ada bagian yang agak janggal dalam cerpen ini,
yang membuat kekuatan cerpen ini menjadi sedikit berkurang, yaitu pada dialog
minta password pada arwah Mark. Seandainya dialognya menggunakan bahasa
Indonesia, tentu akan lebih menarik, selain kenyataan bahwa kalimat-kalimat
berbahasa Aceh tersebut lebih terkesan ulok alias candaan ala anak-anak
kampung di Aceh. Entah kenapa, saya jadi berpikir bahwa salah satu kelemahan
Musmarwan adalah menciptakan dialog yang bagus tentang mantra-mantra atau rapal
doa. Beberapa mantra bahasa Aceh yang sering kita dengar dari orang-orang tua
dahulu memang begitu terasa kemagisannya, namun jika mantra sejenis digunakan untuk
cerpen ini, saya tidak menemukan kekuatannya sama sekali. Malah sebaliknya, pada
dua paragraf berisi kalimat-kalimat berbahasa Aceh ini, saya seperti sedang
membaca cerita komedi Aceh.
Lalu kenapa pula arwah Mark di masa lima ratus ke depan
tiba-tiba bisa berbahasa Aceh? Hal ini juga akan menjadi tanda tanya besar.
Pada paragraf ketiga, entah penulis
silap atau lupa. Tertulis; Sekarang
genap lima ratus tahun sudah berlalu. Dan keesokan paginya, pada hari kelima ratus satu, kau pun terjaga. Di awal disebut lima ratus tahun sudah
berlalu, lalu kenapa kemudian menyebut hari kelima ratus satu yang berarti lima
ratusan hari dan bukannya lima ratusan tahun.
Secara keseluruhan, cerpen ini menarik.
Selamat untuk Musmarwan.
15 comments
Write commentsYa, setuju dengan Kak Eki, saya juga kaget, kenapa tiba-tiba Mark di lima ratus tahun ke depan bisa berbahasa Aceh. Seharusnya daya tarik cerpen tersebut ada di mantra Acehnya, eh, malah jadi terkesan ulok-ulok. Padahal, pesan moralnya mendapat kritik manis di sejumlah kalangan. Dan itu, sungguh, membuat saya tertarik sepenuhnya pada cerpen ini.
ReplyPesan moralnya, kalo kata orang zaman sekarang, dapet banget, ngena banget, cuma tiba-tiba jadi gak enak bacanya pas bagian dua paragraf yang ada bahasa Aceh-nya. Tapy terlepas dri kekurangan, saya juga tertarik dengan cerpen ini :)
ReplyCerpen itu kalau saya baca lagi, semacam menampar saya yang.... seperti tokoh yang nggak disebut namanya sampe ending itu, Kak. Pesan moralnya itu langsung lengket dikepala. Masih terngiang-ngiang. Hehehe. :D
Replyhm.... kelebihan Eky bukan cuma bisa menulis, tapi juga bisa mengkritisi sebuah tulisan, ini nilai plus Eky, pertahankan ya :-D
Replymudah mudahan kak ihan juga akan di ilhami talenta untuk menjadi kri tikus :D,
Replyuop,, kak eki,,,,kemarin waktu baca nya aini juga ketawa dengan mantra yang diajarkan Mark, bahasa Aceh nya itu lho kak,, lucu that, :D
Ada banyak kejanggalan yang ditimbulkan oleh 'lawak aceh' dalam cerpen ini. Sedikit memang, tapi berpengaruh pada rasa :)
ReplyBetu sari, pesan moralnya dapat banget ini cerpen :D
Replynilai minusnya adalah saya tak bisa lagi menulis cerpen, hahahaaa...
Replybetul kadang sedikit mempengaruhi yang banyak. tapi bagi saya, saya tetap akan melihat nilai positif dari sesuatu :D
ReplySalut dengan Eky dan keberaniannya mengulas/mengkritisi. Lanjutkan, Cut Adek, nanti Cut akak belajar darimu yaaaa. :)
ReplyTapi setelah saya sungkem dulu ke penulisnya kak, hahaa
ReplySebuah ulasan yang menarik, Bang. Sebenarnya, hal seperti ini memang -bahkan orang-orangnya- yang sangat dibutuhkan penulis-penulis Aceh. Saya kira begitu. Banyak hal yang belum terangkat di Aceh sesaudah masa kesultanan runtuh dan tak tumbuh lagi di setiap pelosok Aceh. Orang-orang yang mengiring sebuah cerpen menuju puncak dan diterima khalayak.
ReplySaya pun yakin, setelah stunami itu, Aceh melahirkan banyak penulis-penulis muda yang dulu terbelengguh dengan konflik. Dan sekarang, kita kekurangan kritikus dibidang itu sendiri.
Aamiin. mari bersama menuju kegemilangan Aceh. Terima aksih suah berkunjung dan membaca ulasan singkat ini, hehee
ReplySuka dengan cara mbak Ecky mengkritisi. Tidak memojokkan dan solutif ^^
ReplyMaksih mbak Ika :D
ReplyConversionConversion EmoticonEmoticon