Jam menunjukkan tepat
pukul sembilan pagi ketika saya dan sekelompok mahasiswa Magister Keperawatan Fakultas Keperawatan
Unsyiah tiba di Poli Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Aceh, pada Jumat 4
Oktober 2019. Agenda kami hari itu adalah melakukan penyuluhan kesehatan jiwa
masyarakat (psikoedukasi) untuk pasien dengan gangguan jiwa dan keluarga mereka. Ketika kami tiba di Poli
Rawat Jalan RSJ tersebut, sebagian besar bangku di ruang tunggu poliklinik
sudah terisi, dan hanya tersisa sedikit bangku kosong. Mereka adalah pasien
dengan gangguan jiwa rawat jalan dengan keluarga mereka yang sedang menunggu
panggilan untuk melakukan kontrol ulang dan untuk mendapatkan terapi lanjutan
berupa obat-obatan yang sesuai dengan gangguan kejiwaan yang mereka alami. Ya,
pasien-pasien dengan gangguan jiwa tersebut hidup di masyarakat dan meminum
obat-obatan psikiatri baik secara mandiri maupun atas kontrol keluarga.
Topik psikoedukasi kami hari itu adalah bagaimana mengurangi stigma
terhadap orang dengan gangguan jiwa di masyarakat. Kita sering mendengar banyak
penyebutan untuk mereka dengan gangguan jiwa. Orang gila,
orang bodoh, orang kurang iman, orang yang kurang pas, orang yang suka
mengamuk, atau orang yang suka (maaf) telanjang di tempat umum. Apapun
sebutannya di tempat Anda, sebutan-sebutan tersebut tidak layak dialamatkan kepada
penderita gangguan jiwa. Cukup sebut saja mereka orang dengan gangguan jiwa
atau disingkat dengan ODGJ. Di Indonesia, istilah orang dengan gangguan jiwa
atau ODGJ adalah istilah yang telah disepakati bersama untuk mengurangi stigma
dan menghormati hak-hak ODGJ sebagai manusia yang berhak untuk hidup layak
sebagaimana manusia lainnya.
Pada
dasarnya, ODGJ sama seperti orang-orang dengan gangguan kesehatan fisik seperti
diabetes, penyakit jantung, stroke, atau penyakit kronik lainnya. Mereka
sama-sama mengalami sakit, ODGJ dengan sakit mental sementara lainnya mengalami
sakit fisik. Baik yang sakit fisik maupun sakit mental, mereka harus mendapat
penanganan dengan baik melalui program pengobatan, perawatan, dan berbagai
terapi lainnya agar bisa mengembalikan fungsi kehidupan sosialnya dengan baik.
Namun, sering terjadi di tempat kita, ODGJ mengalami perlakuan berbeda
dibanding orang-orang dengan sakit fisik. Perlakuan berbeda yang dimaksud di
sini adalah stigma negatif yang harus diterima oleh pasien dengan gangguan jiwa,
baik dari lingkungan sekitar, masyarakat, maupun dari tenaga kesehatan itu
sendiri. Ya, Anda tidak salah membaca. Bahkan stigma negative terhadap ODGJ
bisa datang dari tenaga kesehatan yang notabene
sudah belajar tentang gangguan-gangguan jiwa.
Di
Indonesia, dan di Aceh khususnya berdasarkan pengalaman saya selama bertugas di
Rumah Sakit Jiwa Banda Aceh, ODGJ sering dijadikan sebagai bahan candaan dan
olok-olok. Belum lagi sebagian masyarakat menganggap bahwa orang dengan
gangguan jiwa adalah orang-orang yang harus dijauhi karena mereka berbahaya.
Padahal, tidak semua ODGJ itu berbahaya dan berpotensi melakukan kekerasan.
Stigma-stigma tersebut terus berkembang sekian lama bahkan hingga saat ini,
sehingga dengan adanya stigma tersebut, pasien yang sudah stabil dan siap untuk
dipulangkan ke keluarganya sering merasa rendah diri dan malu. Di sisi lain, ada
keluarga yang juga harus menanggung malu karena anggota keluarganya mengalami
gangguan jiwa dan mendapat stigma negatif.
Hal
tersebutlah yang mendasari kami, saya dan teman-teman mahasiswa Magister
Keperawatan Fakultas Keperawatan Unsyiah, berinisiatif melakukan psikoedukasi tentang
stigma pada orang dengan gangguan jiwa dan dampak buruknya terhadap pasien dan
keluarga. Terdapat beragam diagnosa gangguan kejiwaan pada pasien yang datang
ke Poli Rawat Jalan RSJ hari itu, tetapi mereka menghadapi masalah yang sama,
yaitu sering mendapat stigma dan perlakuan yang diskriminatif di masyarakat.
Kepada
pasien, kami memotivasi mereka untuk tetap melanjutkan pengobatan meskipun saat
ini mereka masih menderita gangguan jiwa. Mereka memang telah berada dalam
kondisi stabil dan kembali ke masyarakat, namun pengobatan bagi orang dengan
gangguan jiwa adalah penting untuk mencegah terjadinya kekambuhan. Materi
psikoedukasi kami juga memberi tahu pasien dengan gangguan jiwa dan keluarga
mereka bahwa stigma tidak hanya berasal dari masyarakat (public stigma), stigma juga bisa berasal dari diri si penderita
gangguan jiwa itu sendiri atau disebut dengan self-stigma. Kami menjelaskan bahwa dampak dari self-stigma bisa mengarah
kepada pemikiran dan reaksi emosional yang negatif, di antaranya adalah rasa
malu, rendah diri, menurunnya kemampuan diri, dan pasien bisa memiliki harapan
negatif terkait interaksinya dengan orang lain.
Kepada
keluarga pasien dengan gangguan jiwa, kami memberi pengertian bahwa keluarga
memainkan peran penting dalam melakukan perawatan terhadap pasien dengan
gangguan jiwa. Di Aceh, masih banyak keluarga yang
mengabaikan anggota keluarganya yang menderita gangguan jiwa, bisa karena malu,
tidak peduli, atau tidak paham. Keluarga harus diberi pendidikan berupa
psikoedukasi terkait gangguan jiwa anggota keluarganya, agar keluarga bisa
merawat anggota keluarganya dengan baik di rumah. ODGJ perlu mendapat perhatian
ekstra dari keluarga, untuk itu keluarga harus paham dengan gejala-gejala
gangguan jiwa yang sesekali bisa muncul dan apa saja penatalaksaan yang bisa
dilakukan oleh keluarga di rumah. Penting untuk memberi pemahaman keluarga
untuk memperhatikan anggota keluarganya dengan gangguan jiwa agar selalu minum
obat. Penting juga untuk memotivasi keluarga agar tetap memiliki semangat dalam
merawat anggota keluarganya dengan gangguan jiwa. Sama seperti halnya ODGJ,
keluarga juga bisa mengalami kebosanan dalam merawat anggota kelurganya.
Dalam melakukan psikoedukasi tersebut,
kami membuka sesi tanya jawab dengan pasien atau keluarga, namun kemudian sesi
tanya jawab tersebut berubah menjadi sesi curhat dari keluarga pasien terkait
anggota keluarganya dengan gangguan jiwa. Umumnya, masalah yang ditanyakan/dicurhatkan
adalah tentang seringnya anggota keluarga mereka dengan gangguan jiwa mengalami
kebosanan dalam meminum obat atau tidak mau disuruh minum obat. Tidak patuh
terhadap pengobatan atau putus obat adalah masalah umum yang dialami oleh
pasien dengan gangguan jiwa di seluruh dunia, bukan di Aceh saja. Selain karena
memakan waktu yang lama, pasien juga bosan karena harus merasakan efek samping
dari obat-obatan psikiatri. Meski demikian, kami tetap memberi tahu bahwa
pengobatan penting bagi ODGJ sampai mereka diputuskan oleh dokter bahwa mereka
sembuh total dari penyakitnya. Di antara
penanya, hanya terdapat satu pasien dengan gangguan jiwa yang mengungkapkan
curhatannya. Si pasien mengemukakan tentang perlakuan-perlakuan tidak
menyenangkan dari tenaga kesehatan yang diterimanya selama melakukan kontrol
ulang di Poli Rawat Jalan RSJ Aceh. Inilah tantangan kita semua terhadap stigma
pada ODGJ. Perlu pengertian semua pihak
untuk memahami bahwa ODGJ juga berhak mendapat pelayanan yang sama seperti
orang dengan masalah kesehatan fisik.
Semoga hal kecil yang kami lakukan hari
itu bisa memberi dampak positif bagi pasien dengan gangguan jiwa dan keluarga
mereka terkait stigma. Semoga ke depan kami bisa menyasar populasi yang lebih
luas lagi dalam memberikan psikoedukasi tentang stigma yaitu masyarakat, baik
masyarakat yang berada di sekitar pasien dan keluarganya maupun masyarakat umum
lainnya, sehingga semua pihak bisa sama-sama paham dan ikut mengurangi stigma
pada orang dengan gangguan jiwa.
*Tulisan ini telah dimuat di Harian Serambi Indonesia
ConversionConversion EmoticonEmoticon