'Ajarn' yang Rendah Hati

Bersama mahasiswa Indonesia dan Banglasdesh

Suatu hari, saya mengikuti kelas Advanced Psychopathology and Psychopharmacology bersama Professor Pichet Udomratn di ruang kerjanya di Songklanagarin Hospital, Hatyai. Ajarn Pichet adalah professor di bagian Psychiatric, Faculty of Medicine, Prince of Songkla University (PSU), Hatyai, Thailand. Materi yang beliau sampaikan adalah tentang “Anxiety and Panic Disorder”. Kasus ini bisa terjadi pada orang yang hidup normal di masyarakat. Artinya, meski ini berupa gangguan kejiwaan, bukan berarti kasus ini hanya dialami oleh orang yang selama ini kita sebut dengan ‘gangguan jiwa.’ Materi yang sangat menarik karena selama ini saya sendiri sulit membedakan beberapa kriteria khusus dalam kasus“Anxiety and Panic Disorder” ini.
Tapi dalam tulisan ini, bukan materi tersebut yang ingin saya tuliskan, namun tentang bagaimana rendah hatinya Ajarn di universitas ini. Ajarn adalah sebutan untuk guru atau dosen di Thailand. Seperti istilah Sensei jika di Jepang. Meski seorang guru sudah bergelar professor atau belum, mahasiswa dan siswa di Thailand tetap memanggil dengan istilah yang sama. Professor dan guru-guru besar di sini pun lebih suka dipanggil  Ajarn daripada ‘Professor’. Mereka bilang, ini adalah budaya dan khas Thailand yang harus dilestarikan. Panggilan ‘Ajarn’ dianggap lebih mulia daripada panggilan ‘professor’.
Minggu itu adalah kelas pertama dengan Ajarn Pichet. Seperti halnya Ajarn-ajarn yang lain, di setiap pertemuan pertama, mereka terlebih dahulu meluangkan waktu untuk mendengarkan curhat mahasiswanya, terutama karena kami mahasiswa asing. Begitu juga halnya dengan Ajarn Pichet. Apakah betah hidup di Thailand? Bagaimana tinggal di asrama atau di apartemen?  Nyamankah? Jika tinggal di apartemen, bagaimana berangkat ke kampus? Bagaimana dengan makanan Thailand? Apakah anda menyukainya? Itu beberapa pertanyaan yang sering diajukan.

Gedung Songklanagarin Hospital, Hatyai
Di sesi break kelas, Ajarn Pichet membawa kami ke dapur ruang kerja tersebut lalu melayani kami dengan minum kopi atau teh. Di dapur kami melanjutkan diskusi. Tapi diskusi di luar kelas ini tentu saja bukan tentang materi yang disampaikannya di dalam kelas, melainkan diskusi lintas budaya; Indonesia, Thailand, dan Bangladesh. Saya satu kelas dengan beberapa mahasiswa dari Bangladesh. Sebelum masuk kelas, saya ingin ke toilet dan bertanya posisi toiletnya ada di mana sama Ajarn Pichet. Berhubung kelas dengan beliau tidak di kampus seperti biasa, saya jadi tidak familiar di mana posisi toilet. Apalagi gedung Songklanagarin Hospital sangat besar dan luas, dan saya masih bisa tersesat dalam gedung meski sudah beberapa kali ke  tempat tersebut. Alangkah kagetnya saya, Ajarn Pichet mengantarkan saya bahkan sampai ke depan pintu toilet. Dia menunjukkan abjad Thai di depan dua pintu toilet, yang artinya satu untuk laki-laki dan satu lagi toilet untuk perempuan. Saat memberi materi pun, beliau sangat jauh dari kesan meninggi.

Itu tentang Ajarn Pichet.  Ajarn lain pun tak kalah baik dan sangat rendah hati. Suatu kali, di kelas Mental Health Promotion bersama Ajarn Wandee Suttharangse, beliau berinisiatif membuat kelas alam. Sebagai seorang Psychiatris senior di Faculty of Nursing, PSU, sepertinya beliau bisa melihat tanda-tanda kebosanan dan keletihan di wajah-wajah kami karena jadwal kelas yang begitu padat. Maka pergilah kami ke danau buatan universitas, di kaki bukit Hatyai. Tempatnya sangat indah dan di pagi hari banyak yang memanfaatkan berlari-lari kecil mengelilingi danau. Dari kampus saya, bisa ditempuh setengah jam perjalanan dengan berjalan kaki. Karena masih pagi, saya dan teman-teman memutuskan untuk berjalan kaki saja. Kegiatan yang menyenangkan karena Ajarn Wandee juga ikut berjalan kaki bersama kami. Padahal secara fisik, beliau sudah tidak muda lagi tapi masih memiliki semangat dan jiwa muda. Sesekali Ajarn ikut tertawa dan melemparkan canda.
Hal lain yang membuat saya kagum adalah saat ‘musim’ kuliah praktikum di rumah sakit. PSU memiliki beberapa rumah sakit pendidikan di sekitar Hatyai dan Songkhla. PSU juga memfasilitasi bus kampus gratis untuk antar jemput mahasiswa praktek. Ketika ke rumah sakit, Ajarn dan mahasiswa memakai seragam yang sama bahkan menaiki bus yang sama. Bentuk busnya seperti bus Damri yang ada di Aceh. Sesekali bus tampak padat karena hampir semua mahasiswa memiliki jadwal praktek yang bersamaan di rumah sakit, baik mahasiswa master maupun bacchelor (S1). Dalam bus yang padat itu, Ajarn-ajarn ikut duduk dan berdesak-desakan dengan mahasiswa. Sama sekali tidak ada perbedaan antara mahasiswa dan dosen, meski dia seorang professor.  

Praktek ke komunitas

Bersiap ke rumah sakit, pose dulu bersama Ajarn

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Previous
Next Post »

2 comments

Write comments
Ulfa Khairina
AUTHOR
17 Januari 2012 pukul 17.58 delete

Sungguh ajarn yang luar biasa ya kak. Kalau saja banyak dosen di Indonesia seperti itu. Pastinya mahasiswa Indonesia sangat hormat pada dosennya..

Reply
avatar
17 Januari 2012 pukul 23.42 delete

Mungkin ada Ulfa, tapi orang-orang seperti ini biasanya tidak terekspos ya

Reply
avatar

Instagram @fardelynhacky