Review Buku: Serenade Senja


Review buku in ditulis Oleh Fardelyn Hacky Irawani
Pernah dimuat di Harian Analisa Medan, tapi saya lupa tanggal pemuatan
***
Judul Buku: Serenade Senja
Penerbit: ASA (Aliansi Sastrawan Aceh) dan BRR
Tahun terbit: 2007
Genre: Fiksi
Penulis: Nani HS dan A.R. Nasution


Cinta adalah hal purba yang hampir setiap orang memilikinya. Rasanya tak akan habis-habisnya membicarakan segala hal yg berhubungan dengannya. Bukan saja cinta antara sepasang kekasih tapi lebih dari itu, cinta bisa direfleksikan dalam segala aspek kehidupan. Ada saja hal unik dan baru yang bisa digarap sebagai bahan cerita. Bisa didapat dari pengalaman sehari-hari baik dari yang dirasa, didengar atau dilihat.

Demikianlah sebagian besar tema yang diangkat oleh Nani. HS dalam buku kumpulan cerpennya Serenade Senja (diterbitkan oleh Aliansi sastrawan Aceh/Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias, 2007). Kiranya pengarang telah memiliki segenap pengalaman di dunianya yang kemudian dituangkan ke dalam sebuah cerita. Kiranya ada banyak kejadian ‘biasa’ yang tertangkap oleh seluruh indra kemudian menjadi tidak biasa ketika semua menjadi sebentuk cerita. Dengan menggunakan bahasa yang sederhana, tidak bertele-tele, memikat dan mengalir, membuat tujuh cerpen Nani. HS dalam kumpulan cerpen ini enak dibaca dan mudah dipahami apa maksud yang ingin disampaikan oleh pengarangnya.

Barangkali karena pengarangnya perempuan, hal tersebut memengaruhi sebagian besar cerpen-cerpennya. Lima dari tujuh cerpen Nani. HS dalam buku ini menampilkan perempuan sebagai tokoh utama, baik sebagai ‘aku’ maupun sebagai orang ketiga (narator). Cerpen tersebut adalah Bapak, Ayahku, Uang Merah, Asemnila, dan Serenade Senja (yang terakhir menjadi judul untuk kumpulan cerpen ini). Meski tak bisa ditampik bahwa dua cerpen lainnya yaitu Perempuan di King’s Cheviot dan Camai tak lepas dari hubungan dengan tokoh perempuan. Bahkan pada cerpen Camai boleh dibilang tokohnya juga perempuan, meski –mungkin– hanya seorang anak kecil.

Secara umum cerpen-cerpen Nani. HS dalam buku ini menggambarkan secara nyata hubungan perempuan dengan laki-laki (seorang perempuan terhadap kekasihnya, istri terhadap suami, anak terhadap ayahnya, menantu perempuan terhadap ayah mertuanya).

Cerpen Bapak misalnya. Sebuah cerpen yang diawali dengan ‘kejutan’ dengan ending yang juga memberikan ‘kejutan’. Cerpen ini bercerita tentang sebuah telegram yang dikirimkan oleh sepasang suami istri di kampung kepada anak dan menantu-menantunya. ‘Kejutan’ tersebut bisa dilihat pada kalimat pembuka seperti pada kutipan berikut:

“Segera pulang hari ini juga. Penting” Werr, dadaku. Dada suamiku, dada kami semua. Kabar kabur lewat telegram yang menukikkan sakit ke ubun, merapuhkan ketegaran. Lebih perih dari mendengar kabar sebenarnya kendati berbau duka. Apa maunya? Berita kok asal jadi. Memang kami punya seribu jantung yang boleh dpacu semena-mena? Aku tak punya iman bila mendengar, taqdir yang sebenarnya? Bukan disodori ketakutan dan kecemasan begini. Ini bukan lelucon atau kejutan. Ada apa di kampung? Bapak barangkali? Bapak sakit parah? Tapi kabar tiga hari lalu Bapak masih bugar-bugar saja. Malah Bapak mengirim asam jawa kesayanganku, tak lupa sebakul salam kasihnya melalui tetanggaku.

Sebuah pembuka yang menukik dan membuat pembaca semakin penasaran akan apakah yang terjadi pada si ‘Bapak’? Persoalan keluarga yang disodorkan semakin kuat dengan penggarapan konflik dan fokus persoalan tentang si Bapak.

Cerpen yang sama menariknya –ide yang hampir sama dan judul yang bermakna sama– dengan cerpen Bapak adalah cerpen Ayahku. Entah karena ide yang hampir sama dengan judul yang bermakna sama pula, pengarang sepertinya betah dengan kejutan di kalimat pembuka. Sama-sama betah mengeksplorasi persoalan dan konflik yang berhubungan dengan anak dan orang tua. Cerpen Ayahku bercerita tentang seorang ayah yang telah tiba masa rentanya. Si Ayah kemudian merasa bahwa semua anggota keluarganya sudah membencinya. Dia menyalahkan semua orang. Beruntunglah kemudian si tokoh utama tetap menjadi anak kesayangannya karena masih mau menuruti apa yang diinginkannya dan mendengarkan semua ceritanya meski semua itu telah membuat anaknya merasa lelah. Sementara semua hal tersebut belum tentu didapatkannya di kampung, tempat di mana dia tinggal.

Sama sekali tak bermaksud bicara ke arah kegelisahannya itu lagi. Sebab kemarin, kemarin dulu, kemarinnya lagi aku juga mendengar uneg-uneg yang sama. Hari ini saja sudah dua kali aku dengar. Mending tadi pagi karena ke kantor aku bisa menghindar pembicaraan yang tak sedap dan berat sebelah itu. Namun malam-malam seperti ini rasa tak etis kalau aku tak menemaninya bicara. Kendati aku sangat lelah, tak tega rasanya buru-buru beranjak tidur. Biarlah, kapan lagi aku duduk di sampingnya, memijat lututnya yang mulai ngilu-ngilu? Atau kapan lagi menyuapnya? Bukankah kalau kubiarkan ayahku menyuap sendiri, sendoknya malah nyasar ke hidung atau nasi bertumpahan? Bukankah mata kanan ayah sama sekali tak berfungsi lagi? Bagaimana mungkin mengandalkan mata kiri yang hanya menghadirkan baying benda baginya? Selama bersamaku biarlah dia makan disulang sendok. Toh di kampong dia kembali menyuap dengan tangannya sendiri.

Dalam cerpen ini pengarang seperti ingin menyampaikan bahwa menjadi tua dan renta, mau tak mau akan dialami oleh setiap orang. Oleh karena itu si anak merasa bahwa dia harus merawat ayahnya yang sudah renta dan kembali seperti anak-anak karena dia yakin suatu saat dia juga akan mengalami hal yang sama.

Selain bercerita tentang hubungan anak dengan orang tua, ada tiga cerpen yang mengeksplorasi konflik pasangan kekasih atau suami istri. Yang pertama Asemnila yang menampilkan kecerewetan seorang perempuan –yang kemudian diketahui sedang hamil– terhadap suaminya. Seperti pada umumnya perempuan hamil, si perempuan menginginkan semua perkataan dan permintaannya dituruti oleh sang suami selama mengalami masa ngidam. Dalam cerpen ini pengarang cukup berhasil menggarap karakter tokoh-tokohnya dengan sempurna tanpa mengubah semua karakter tersebut di akhir cerita, sebagaimana yang sering dilakukan sebagian pengarang ketika memutuskan ingin mengakhiri cerita.

Yang kedua Perempuan di King’s Cheviot mengisahkan tentang pertemuan seorang laki-laki dengan mantan kekasihnya. Dan yang ketiga Serenade Senja yang ceritanya kebalikan dari cerpen Perempuan di King’s Cheviot. Sebuah tema yang biasa tetapi pengarang mampu menggarapnya dengan fokus yang kuat pada persoalan masa lalu si tokoh. Sayangnya, karena terlalu fokus pada masalah yang terjadi pada masa lalu, sementara yang terjadi pada masa kini hanyalah refleksi dan penjelasan dari persoalan masa lalu, membuat cerpen ini kurang kuat pada penggarapan konfliknya. Seperti yang ditulis oleh I Nyoman Darma Putra dalam pengantar buku kumpulan cerpen terbaik KOMPAS 2003 yang berjudul Waktu Nayla, bahwa ada tiga hal yang membuat cerpen lemah konflik yaitu: pertama, pengarang menjauhkan atau menghilangkan tokoh yang menjadi sumber konflik, kedua, pengarang suka mematikan tokoh, dan ketiga, konflik dilukiskan sebagai persoalan yang terjadi masa lalu.

Tema yang sedikit berbeda dari cerpen lainnya bisa dilihat pada cerpen Camai dan Uang Merah. Camai mengisahkan tentang seorang anak perempuan berdarah campuran Aceh-Cina-Betawi yang bernama Camai. Camai selalu berharap bisa dibawa tinggal bersama pakwa-nya –panggilan untuk paman– tapi dia harus kecewa karena sampai kapanpun pamannya tidak pernah menjemputnya. Sementara cerpen Uang Merah bercerita tentang kekonyolan yang terjadi akibat kesalahan membedakan lembaran uang sepuluh ribuan dengan lembaran seratusan ribu. Kedua lembaran uang yang berbeda jauh nilai nominalnya ini kerap membuat orang yang tak hati-hati bisa tertipu karena warnanya yang hampir sama. Cerpen seperti ini tentulah harus ditulis di atas tahun 2005 menurut tahun dikeluarkannya kedua uang tersebut (2004-2005).
***
Cerpen-cerpen dalam buku ini ditulis dalam rentang waktu yang cukup lama (1990-2006) sehingga menciptakan keberagaman tema. Meski, mau tak mau, harus diakui bahwa semua tema-tema tersebut hanya membicarakan masalah seputar perasaan individual. Padahal ada banyak persoalan sosial, politik, dan ketimpangan ekonomi yang terjadi selama kurun waktu tersebut. Mulai dari perang saudara, pergolakan negara akibat lengsernya Soeharto sampai krisis ekonomi. Entahlah, apakah pengarang ‘takut’ untuk menuliskan persoalan tersebut atau memang pengarang sengaja mengumpulkan tema-tema personal dalam satu bukun. Yang pasti kehadiran buku kumpulan cerpen Nani. HS ini sebagai bukti bahwa pengarang masih tetap eksis dalam dunia kepenulisan. Meski dengan tema yang sederhana tetapi mengingat pengarang mampu menggarapnya menjadi cerita yang apik, patutlah kiranya buku ini menjadi bahan perbandingan dan pembelajaran demi majunya perkembangan sastra Indonesia khususnya di Aceh.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Previous
Next Post »

Instagram @fardelynhacky