Pada
minggu terakhir di bulan Mei ini 2012 ini, ada sebuah berita yang ditayangkan
oleh media lokal Aeh yang kemudian
menjadi hot issue di Aceh, yaitu
tentang beberapa alumni S2 asal Aceh
yang baru pulang (lulus) dari Jerman. Dalam berita tersebut disebutkan bahwa mereka curhat dan berkeluh kesah pada
seorang anggota dewan tentang sulitnya
mendapatkan peluang kerja di Aceh setelah mereka menyelesaikan pendidikan di
Jerman. Sulit di sini dituliskan karena
sedikit sekali peluang untuk mereka bekerja sesuai dengan keilmuwan
masing-masing.
Berita
tersebut menjadi seperti sebuah bola panas. Bergulir ke mana-mana. Dari
warung-warung kopi, pertemuan-pertemuan,
milis hingga ke jejaring sosial, hampir semua membicarakan tentang ‘keluhan’
mahasiswa lulusan S2 tersebut. Bahkan
pada link berita online-nya, berita tersebut memiliki komentar lebih dari
100 lomentar. Jumlah yang cukup fantastis untuk sebuah koran lokal. Komentar di
jejaring sosial pun tak mau kalah. Komentarnya pun beragam. Ada yang pro dengan
mengatakan bahwa wajar jika mereka melakukan hal tersebut. Kuliah di Jerman itu sangat sulit dan mereka
yang lulusan dari Jerman bukanlah orang sembarangan melainkan memiliki
kapasitas dan keilmuan di bidang masing-masing. Sementara komentar yang kontra
berisi sindiran-sindiran yang mencerca serta memaki. Dari yang kontra, intinya
mereka kecewe kenapa kok ada lulusan S2, dari luar negeri pula, harus melakukan
hal tersebut. Lalu berita pun tidak hanya diberitakan di koran tersebut. Ada yang membuat versi berita berbeda di
media online lainnya.
Meski
kemudian berita tersebut dibantah oleh para alumni Jerman tersebut bahwa media
yang salah menangkap maksud mereka yang sedang menawarkan program ke kantor
DPRA yang menjadi ajang curhat, tak pelak kondisi ini meninggalkan sedikit tanya di
benak kita? Kenapa hal ini bisa terjadi? Apakah karena kebebasan media yang
menurunkan berita tanpa mengklarifikasi kejadian yang sebenarnya atau generasi
muda kita yang tak lagi memiliki mental baja untuk memajukan negeri ini dengan
ilmu yang diperolehnya di luar negeri?
Memang,
jika dilihat dari segi ekonomi, pemerintah kita sudah mengeluarkan banyak dana
untuk menyekolahkan pemuda-pemudinya yang berprestasi dengan memberikan
beasiswa penuh baik dalam negeri maupun luar negeri. Di sini pemerintah
menerapkan ilmu ekonomi dengan menitikberatkan pada need (kebutuhan), demand
(permintaan), dan supply (persediaan)
untuk menghasilkan manpower yang bisa diandalkan. Jadi, ketika pemerintah
memberikan dana untuk melanjutkan kuliah karena keilmuan tertentu, itu karena
pemerintah memang membutuhkan tenaga-tenaga yang seperti itu untuk bekerja di
institusinya. Mereka dikuliahkan jauh-jauh untuk menyeimbangkan (equilibrium) need dan supply tadi. Singkatnya, mengeluarkan ‘sesuatu’ untuk menghasilkan
‘’sesuatu’ pula.
Setiap
tahun, ribuan pemuda-pemudi kita lulus kuliah dan kembali ke dalam negeri, baik
yang menerima beasiswa dari pemerintah atau lembaga lain. Mereka kuliah bukan di
tempat sembarangan dan harus menjalani perkuliahan di luar negeri yang tidak
mudah. Yang menjadi persoalan adalah, pemerintah kita
yang belum bisa membaca equilibrium pembangunan tadi. Nah, karena 'kesalahan'
pemerintah itu, imbasnya ke pemuda pemudi berpotensi yang kuliah di luar negeri
tetapi ketika kembali ke negeri sendiri, mereka seperti tidak dihargai. Saat ini, lowongan pekerjaan sudah sempit
sekali. Kantor pemerintah sudah diisi dengan orang-orang terdahulu yang susah dan
tidak mungkin diberhentikan. Kantor-kantor swasta, BUMN/BUMD, dan berbagai
kantor lainnya sudah ditempati oleh orang-orang yang ahli di bidangnya.
Saya jadi
teringat sebuah lelucon yang sudah sering kita dengar bersama; yang sudah S2 saja susah mendapatkan
pekerjaan, apalah lagi S1.
Dan, karena
fakta di atas, apakah kita yang masih muda-muda ini cukup hanya dengan menahan
gengsi dengan hanya menunggu datangnya pekerjaan yang benar-benar sesuai dengan bidang kita
tanpa berbuat apa-apa? Saya rasa tidak.
Yang harus kita lakukan adalah bergerak sesuai dengan keilmuan kita
masing-masing, bukan berlama-lama curhat dan bertanya-tanya mengapa saya tidak
diperkerjakan di sini atau di sana. Yang penting, bersabarlah. Jangan baru
pulang, belum usaha, udah curhat duluan 'aduh begini' 'aduh begitu'. Sebagai
tenaga intelek, membuka lapangan pekerjaan tentu lebih baik daripada mencari
pekerjaan, bukan?
Sebagai
seseorang yang saat ini juga sedang menempuh pendidikan di luar negeri, maka, dalam hati saya ikrarkan yang ini;
Artikel ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan Indonesia Bangkit di BlogCamp
8 comments
Write commentsSaya telah membaca dengan seksama artikel diatas.
ReplyAkan segera saya daftar
Terima kasih atas partisipasi sahabat
Salam hangat dari Surabaya
tulisan yang menggelitik... cerdas..
Replydulu saya perna menuliskan tentang kebimbangan saya untuk kembali tidaknya kembali ke kampung. ada waktunya mungkin...
terima kasih untuk tulisan yang inspiratif..
salam bahagia dan sukses
Terima sudah berkunjung dan membacanya, pak :)
ReplyAdang:
ReplySama-sama bro Adang. Semoga tetap mencintai kampung halamanya, ya :)
Saya malah belum bisa bekerja di kampung halaman karena ditugaskan di Aceh..
ReplySemoga suatu saat bisa ya, mbak.
ReplyTapiii..di manapun kita berada, semoga tetap bisa memberi kontribusi untuk ummat :)
setuju dengan poin dia atas..bahwa kalo susah cari pekerjaan, kenapa tidak membuka lapangan pekerjaan :)
ReplyApalagi dengan tingkat pendidikan S2 yang biasanya punya kemampuan/kapasitas intelektual yang lebih dalam membangun bisnis/lahan pekerjaan, memberi pekerjaan kpd orang lain yg tingkat pendidikannya mungkin lebih rendah..
Betul mbak, jika hanya menuntut diberikan pekerjaan, duuuhh..sekarang zamannya susah mencari pekerjaan dan pengangguran di mana-mana.
ReplyMakanya, para intelek muda dituntut kreatif ya mbak :)
ConversionConversion EmoticonEmoticon