Gambar dari SINI |
Oleh: Fardelyn Hacky Irawani
Aku memasuki ruang rawat ICU. Karena keterbatasan peralatan medis di Mataram, perawatannya dipindahkan ke Surabaya. Saat ini aku sedang bertugas ke kota ini. Tugas kantor, juga tugas untuk melihat kondisinya. Sejak awal keberangkatan, aku sudah meniatkan begitu sampai ke Surabaya, pertama sekali yang harus aku lakukan adalah melihat kondisi lelaki itu. Setelah mengenakan baju steril, aku dan Mahdi, rekan bertugas di Surabaya, langsung menuju ke ruangannya ‘tertidur’. Sebelum berhadapan langsung dengannya, aku sempat bertanya ke seorang juru rawat di ruangan tentang kondisi terakhirnya.
Aku memasuki ruang rawat ICU. Karena keterbatasan peralatan medis di Mataram, perawatannya dipindahkan ke Surabaya. Saat ini aku sedang bertugas ke kota ini. Tugas kantor, juga tugas untuk melihat kondisinya. Sejak awal keberangkatan, aku sudah meniatkan begitu sampai ke Surabaya, pertama sekali yang harus aku lakukan adalah melihat kondisi lelaki itu. Setelah mengenakan baju steril, aku dan Mahdi, rekan bertugas di Surabaya, langsung menuju ke ruangannya ‘tertidur’. Sebelum berhadapan langsung dengannya, aku sempat bertanya ke seorang juru rawat di ruangan tentang kondisi terakhirnya.
“Pak Lalu
Ismail masih belum menunjukkan perubahan, Bu. Masih belum berespon dengan suara
dan aktifitas apapun di sampingnya. Nilai GCS-nya masih tiga.”
Aku
mencelos mendengar laporan dari juru rawat itu.
“Bagaimana
dengan bu Baiq?” tanyaku ingin tahu kondisi terakhir istrinya. Untuk istrinya
dan bukan di depan juru rawat ini, aku biasa memanggilnya Baiq saja. Dia jauh
lebih muda dariku.
“Menurut
saya, Bu Baiq adalah perempuan yang hebat. Dia selalu mendampingi Pak Lalu dan
bersikap seolah-olah pak Lalu sedang tidak koma. Mengajak pak Lalu
berbincang-bincang, menyandungkan shalawat dan tilawah yang tak putus-putus.”
Untuk
penilaian yang diberikan juru rawat tersebut terhadap Baiq, harus aku akui itu
memang benar. Baiq adalah gambaran istri sholehah dan ibu yang welas asih untuk
ketiga putri mereka.
“Ini akan
baik sekali untuk pak Lalu. Meskipun secara fisik beliau tidak bisa merespon
apapun, tapi tidak dengan alam bawah sadarnya.” Juru rawat itu tersenyum
sembari memeriksa perban yang melilit kepalanya. “Tak lama lagi, perban bapak
sudah boleh dilepas.”
Hanya perban kepala, belum untuk
yang lain, gumamku.
Aku memandang
lelaki itu. Dia terbaring kaku di tempat tidur. Berbagai alat medis
mengerubunginya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Bunyi ‘beep’ berulang-ulang
dari alat-alat medis di sekitarnya membuat aku merinding. Aku mengenyahkan
pikiran buruk tentangnya seraya memohon ampun pada Tuhan.
***
Tak pernah
hilang kekagumanku pada lelaki yang duduk di meja di depan mejaku selang satu
blok deretan meja kerja di kantor kami. Sekaligus rasa syukur karena Tuhan
menempatkan dia sebagai salah seorang dari beberapa orang yang saya kenal
memiliki nilai positif diri. Ini bukan hanya kekaguman antara wanita dan pria,
tapi lebih pada nilai yang dimilikinya.
Sejak aku mengenalnya
dulu, ketika masih sama-sama sebagai
mahasiswa di sebuah perguruan tinggi negeri, aku hanya tahu bahwa dia memiliki
prestasi yang bagus. Universitas kami sering mengirimnya ke luar daerah untuk
mengikuti English Debate Competition tingkat
nasional. Selagi dia masih berstatus mahasiswa, selalu dia yang diandalkan oleh
universitas. Meski tak pernah juara nasional, tapi dia adalah yang terbaik yang
dimiliki universitas kami.
Kini, aku
dan dia bekerja di tempat yang sama. Aku lebih duluan tiga tahun bekerja. Sebagai seniornya, tentu saja aku yang
terlebih dahulu menyelesaikan kuliah. Awalnya, seperti sebelumnya sewaktu masih
di kampus, aku juga tidak terlalu dekat dengannya. Bukan orang baru dan hampir
sebagian besar orang di kantorku mengenalnya. Ya, karena banyak dari lulusan di
jurusanku, bekerja di perusahaan tempat
aku bekerja sekarang, perusahaan asing yang beroperasi di daerah, bukan ibukota
negara.
Sebagai
sebuah perusahaan asing, kami dibayar dengan gaji tinggi. Bolehlah, dengan sebentar
bekerja, sudah bisa punya rumah baru dan mobil baru. Tapi itu tidak berlaku
bagi lelaki yang duduk di meja di depan
mejaku selang satu blok deretan meja kerja di kantor kami. Dia selalu setia
dengan sepedanya setiap kali ke kantor, meski beberapa rekan yang bekerja dengan
masa yang sama dengannya di kantor ini sudah mengganti beberapa fasilitas
dengan yang serba baru. Sesekali ada juga teman sekantor mengguyoninya dengan
pertanyaan, misalnya, apa tidak berencana beli mobil? Atau minimal motorlah.
Pak Anwar, bos kami, pernah menawarinya pinjaman tanpa ikatan batas waktu
pengembalian jika lelaki itu ingin. Tapi dia menolak dengan halus. Ada saja hal
yang dikemukan hingga teman-teman sekantor tak berniat lagi membujuknya. Kuanggap
pengganti olahraga. Kita kan sudah bekerja keras, duduk di kantor dari Senin
sampai Jumat, pagi sampai menjelang malam, hingga sakit pinggang, badan lelah,
mata lelah, pulang ke rumah dengan membawa semua kelelahan lalu tidur.
Bertahun
bersama, aku dan dia bukan lagi hanya sebatas hubungan senior dengan juniornya,
seperti di kampus dulu. Kami semua, sekantor, menjadi satu keluarga. Dia tetap
lelaki sederhana dengan sepedanya dan sesekali dengan curahan tausiyah-nya.
Di bulan ramadhan, di hari-hari tertentu, kantor kami mengadakan buka puasa
bersama, terbuka untuk seluruh pegawai, staf, sampai tukang sapu, juga
keluarga. Mulai dari keluarga atasan sampai bawahan paling bawah berkumpul
bersama menikmati hidangan berbuka yang sama. Kantorku tidak hanya memiliki
pekerja muslim. Bahkan pak Wayan yang beragama Hindu juga diundang ke acara
makan-makan berbuka puasa.
Pak Anwar
adalah tipe atasan yang memiliki kepekaan sosial yang tinggi terhadap
bawahannya. Apa yang terjadi di kantor tak pernah dicuekinya. Sapaan hangat
senantiasa diberikan setiap pagi kepada siapa saja yang ditemukannya saat
beliau memasuki kantor. Beliau tak malu memanggil satpam kantor kami ke
ruangannya, hanya untuk sebuah obrolan ringan. Atau mengajak pak Wayan dan
rekan-rekannya yang bertugas sebagai cleaning service untuk minum kopi
di warung tak jauh dari kantor. Sehingga kesan berjarak antara atasan dan
bawahan tak pernah ada di kantor kami meski demikian penghormatan yang tinggi
tetap kami berikan untuk bos kami yang murah senyum tersebut.
Setiap kali
acara berbuka bersama, selalu saja lelaki itu yang kami dan bos kami andalkan
untuk memberikan ceramah seusai sholat magrib berjamaah. Yang aku suka dari gaya
ceramahnya adalah materinya yang tak melulu tentang surga dan neraka atau
hukuman-hukuman berat bagi pendosa. Dia hanya berbicara tentang hal-hal kecil
dan sederhana dalam kehidupan sehar-hari namun memiliki nilai yang besar di
mata manusia dan Tuhan. Tentang pohon dan akar yang saling menguatkan hingga
tetap berdiri tegak meski harus hidup puluhan tahun, tentang seorang nenek yang
ditemuinya dalam angkot yang mengajarkannya akan arti untuk tidak membuang
sampah ke luar jendela angkot saat sedang ngemil dalam angkot. Meski sering
mengisi ceramah agama, dia tidak mau jika kami memanggilnya dengan sebutan ‘Ustadz’.
“Saya tidak
pantas dipanggil ustadz, ilmu saya masih sedikit, hanya setitik debu di bawah
langit. Selain itu, istri saya tidak setuju saya menjadi ustadz. Dulu kakeknya
seorang ustadz, pemilik sebuah pondok pesantren di Lombok Timur. Kakeknya
menikahi tiga wanita. Mungkin itu sebabnya istri saya tidak setuju saya menjadi
ustadz, hehee.” Dia terkekeh. Meski penampakannya serius, tapi sesungguhnya dia
seseorang yang suka bercanda. Jika ada pekerjaan serius di kantor dan membuat
kening kami berlipat-lipat, dia suka melakukan tindakan konyol dengan mengirimi
kami pantun jenaka ke email kami masing-masing. Dia pintar menulis puisi.
Puisi-puisinya sering menghiasi inbox emailku. Karena dia tahu aku penikmat
puisi yang tak pintar membuat puisi. Namun ketika deadline kantor, entah
bagaimana bisa, puisi-puisinya berubah menjadi pantun jenaka. Tak hanya
dikiriminya untukku, namun untuk semua pegawai kantor. Membuat kami tertawa-tawa
untuk sejenak.
Entah
karena memiliki sifat humoris yang hampir sama, setiap kali keluar kantor untuk
suatu keperluan, Pak Anwar selalu mengajak lelaki itu. Ya, mereka memang
sama-sama senang membuat orang lain senang. Yang berbeda, lelaki itu menjadi
pegawai terkaya di kantor kami, meski dia bukan atasan kami. Ini bukan soal
banyaknya uang.
Begini, setiap bulan ketika kami gajian, dia selalu
menghitung-hitung uang di rekening tabungannya. Lalu mulailah membagi seperti
ini: sekian rupiah untuk istri dan rumah tangga, sekian rupiah untuk ibunya yang sudah
janda, sekian rupiah untuk biaya kuliah adik kembarnya. Lalu dia berhenti
menghitung dan masih ada sisa uang yang tak dihitungnya. Aku heran dan bertanya, kenapa
sisa itu tak dihitungnya. Dia bilang itu bukan uangya. Itu hak orang lain. Aku tanya lagi: apakah selalu
begitu caramu menghitung uang? Dia menjawab “ya.”
Bukannya aku tak tahu bahwa dalam setiap rejeki kita ada bagian dan
hak orang lain. Tapi baru kali ini aku melihat ada orang yang memang membaginya sejak
awal dalam jumlah yang dianggarkan, bukan sekadar mengeluarkannya berapa saja atau sekadarnya
ketika bertemu pengemis di jalan, menyumbang ke mesjid, dan lain-lain. Dia selalu memilih kata: “itu bukan uang saya.”
Aku lihat, amplop
untuk orang lain sama tebalnya dengan amplop untuk biaya rumah tangganya. Aku tanya lagi: yang jadi hak orang lain itu terdiri dari apa
saja? Dia jawab: sekian rupiah untuk teman saya yang sedang kuliah, sekian
rupiah untuk beberapa anak yatim dan sekian rupiah untuk jaga-jaga kalau ada
orang lain yang butuh bantuan. Hal ini membuat aku menyimpulkan; hidupnya sungguh
sangat terencana.
. Dia punya banyak anak. Ada belasan jumlahnya. Anak-anak yang dimaksud bukan anak kandungnya, melainkan anak angkat yang dia biayai sekolah bahkan
sampai mereka kuliah. Yang lebih
mengherankan, saat ini dia sedang membiayai kuliah pascasarjana seseorang yang
tidak mampu secara biaya maupun fisik, sementara dia saja masih dengan predikat
sarjana. Seseorang yang kuliahnya dibiayainya
itu adalah penghapal 30 juz Al Qur’an. Selain itu dia juga punya teman yang
mengelola sebuah panti asuhan. Aku yakin sumber dana panti asuhan tersebut juga
berasal dari lelaki itu, meski dia tidak pernah mengatakan hal tersebut.
Salahkah jika kemudian aku mengatakan
bahwa dia adalah pegawai terkaya di kantor kami? Bahkan bos kami saja, yang
tiap liburan semester anak-anaknya selalu berlibur ke luar negeri, punya dua
rumah mewah; di Jakarta dan Mataram, punya mobil mewah untuk setiap anggota keluarganya,
tidak melakukan seperti apa yang dilakukan oleh lelaki itu, bawahannya.
Bertahun bersama, aku jadi tahu
tentang satu cerita yang membuat lelaki itu senantiasa melakukan kebaikan. Ini
adalah ceritanya yang selalu aku ingat hingga saat ini.
“Dulu keluargaku sangat miskin. Aku
pernah satu hari tidak makan karena tidak ada yang bisa dimakan. Suatu
hari, orang tuaku pulang dengan tangan
kosong. Tanpa membawa uang sepeserpun setelah lelah seharian mencari rezeki.
Esoknya, mereka kembali menyambut hari dengan satu harapan semoga mereka
menemukan uang. Sepertu biasa aku selalu
ditinggalkan bersama adik-adikku. Tapi hari itu kami ditinggalkan tanpa ada
sesuatu pun yang dapat kami makan.
Kemudian aku gorengkan adikku sisa nasi kemarin yang telah dikeringkan dengan
goreng sangrai tanpa minyak. Beberapa waktu kemudian, adikku menyerah pada
nasib. Mereka meninggal karena kekurangan gizi pada hari yang bersamaan. Aku bersekolah atas belasan kasihan
saudara-saudaraku yang juga sama miskinnya. Waktu SMP, ayahku meninggal. Aku melanjutkan SMA dan kuliah dari beasiswa. Aku tak pernah membayar sedikitpun
karena nilaiku yang memuaskan. Selesai kuliah, aku diterima bekerja di
perusahaan ini, perusahaan yang
memberiku beasiswa penuh sejak SMA hingga selesai kuliah. Sekarang aku bisa membiayai ibuku, menyekolahkan
adik-adikku dan sedikit-sedikit membayar kasih sayang dari orang-orang yang
menyayangiku. Aku tidak membayar tunai kepada mereka. Tapi aku membayar
hutangku kepada orang-orang yang tidak mampu, kepada anak yatim, kepada orang yang kesusahan. Aku sangat paham, alangkah sakitnya menjadi orang
yang tidak mampu dan alangkah manisnya bantuan uluran dari orang-orang yang peduli.
Inilah hutangku yang harus aku bayar. Hutang terima kasih, hutang budi dibawa sampai mati.”
Ketika dia selesai mengisahkan
hidupnya, aku tergugu. Mataku berkabut. Sebuah cerita yang selalu akan aku
ingat.
Aku
merogoh tissue dari dalam tas dan menyusut airmata di sudut mataku.
Mahdi melirikku sekilas lalu kembali terpaku pada sosok kaku lelaki di hadapan
kami. Sebuah kecelakaan kerja di Maluk, tempat beroperasinya perusahaan kami,
membuat lelaki itu terbaring untuk tiga bulan lamanya. Cedera kepala berat
membuatnya koma seperti tak bernyawa.
Aku dan Mahdi meninggalkan ruangan
tersebut. Kami harus berkonsentrasi pada tugas selanjutnya, yaitu mempersiapkan
agenda pertemuan untuk laporan hasil produksi perusahaan kami. Tapi pikiranku
terus saja ke ruangan tempat lelaki itu dirawat.
“Kalau GCS-nya tiga, itu berarti
batang otaknya sudah mati meski sirkulasi jantung masih bekerja. Pasien-pasien
koma dengan GCS tiga, kemungkinan besar tidak bisa bertahan lama,” begitu tim
dokter yang menangani lelaki itu pernah berkata.
Setelah para dokter berkata, aku hanya
bisa berharap datangnya keajaiban Tuhan. Aku masih ingin melihat dia menjadi
orang yang kami banggakan di kantor, menjadi lelaki yang selalu berbagi
kebaikan yang tak putus-putus.
***
Catatan
1. Lalu : gelar kebangsawanan untuk laki-laki suku
Sasak, Lombok
2. Baiq: gelar kebangsawanan untuk perempuan suku
Sasak, Lombok
3. Maluk: nama sebuah daerah di Sumbawa, Nusa
Tenggara Barat.
4. GCS: Glasgow Coma Scale, untuk menilai
tingkat kesadaran
“Tulisan ini diikutsertakan pada Hajatan Anak Pertama yang diadakan oleh Sulung Lahitani”
13 comments
Write commentsBagusnya cerpennya,semoga menang ya.
ReplyAmin. terima kasih mas Burhan :)
ReplyWaah, Lombok!!! Setting cerita yang jarang ada. Kalau saya pengen ke Gili Trawangan. Itu di Lombok juga, kan?? Hehe
ReplySudah terdaftar sebagai Peserta Hajatan Anak Pertama ya, Mbak
Terima kasih atas partisipasinya
:)
Iya mas, Gili Terawangan ada di Lombok. Tapi saya belum pernah ke Gili Terawangan, saya cuma pernah ke Lombok saja :)
ReplyMakasih udah mampir mas. Semoga memenuhi syarat :)
ceritanya bagus tapi ada yang aneh. Kan beberapa adiknya meninggal waktu masih kecil. terus sekarang kenapa adiknya masih hidup? masih kuliah yang kembar? kalau dia punya adik banyak,mungkin bisa diceritakan yang meninggal itu adik yang keberapa, yang hidup adik yang ke berapa.
ReplyMaaf, biar tulisannya tambah bagus.
tolong tulisan saya di komen juga ya...di sini http://kamarcintafitriyah.blogspot.com/
Terima sudah berkunjung mbak Ifit. terima kasih juga atas masukannya. Dalam konsep cerita ini, ya dia memiliki beberapa adik, harusnya saya tulis bahwa dia punya banyak adik.
ReplyTerima aksih atas koreksinya mbak. Masukan yang berharga buat saya :)
Nanti saya akan ke blog-nya mbak juga
Owalah Sarah kira cerita asli ka. Bagus, sempat buat nangis juga :). Sepakat dengan mbak ifit, ga nyambung dikit ka tentang adik-adiknya itu.
ReplyWah, cerita di Lombok ya,,,,
ReplyKapan bisa ke sana?
Semoga menang ya Mba,,,,
mampir ah... lama gak main kesini, kangen sama tulisannya mbak elin,..
Replywah even blog lagi... intip ah, siapa tau msh ada detlen. temanya unik, menarik :)
sarah:
ReplyIya, betul sarah. Setelah saya baca ulang, jadinya memang janggal. tapi belum sempat edit, hehee...
Siti Nurjannah:
Saya pernah ke sana mbak, awal tahun 2005 silam. Semoga mbak siti juga bisa ke sana suatu saat ya mbak :)
Makasih sudah berkunjung mbak :)
mbak binta, yang ini udah detlen mbak.
Replynanti saya ke fb-nya mbak binta ya, ngasih link giveaway :)
lomba lagi, menang lagi, hadiah lagi, semoga kali ini menag lagi ya, tapi hadiah untuk lisa ya
Replygak menang yang ini Lisa :D
ReplyConversionConversion EmoticonEmoticon