Tahun ini saya belum menulis review film sama
sekali. Ada beberapa file review yang sudah menanti untuk saya selesaikan,
tetapi membutuhkan konsentrasi tinggi untuk menyelesaikannya. Jadi sebagai review film perdana tahun ini,
saya pilih film yang ringan-ringan saja dengan review yang juga ringan ketika
menuliskannya, hahaa… Pilihan saya jatuh pada film Korea berjudul I Am The
King. Sebetulnya saya sudah menonton film ini tahun lalu, tetapi karena
waktu itu saya tidak membuat beberapa catatan penting ketika menontonnya, saya jadi
lupa. Jadi saya menontonnya lagi sekarang, tentu untuk mencatat detail.
Film ini adalah adaptasi dari novel Mark Twain berjudul The Prince and The Pauper. Ini novel Mark Twain paling terkenal di seluruh, inti cerita The Prince and The Pauper paling banyak diadaptasi ke berbagai film dan drama di seluruh dunia, dengan berbagai versi yang tentu saja setelah disesuaikan ‘rasa’ lokal di negara/daerah setempat. Tetapi saya belum membacanya :D
Sependek yang saya tahu, ada dua film Korea
Selatan yang mengadaptasi cerita The Prince and The Pauper, yaitu film I
Am The King dan Masquerade (review Masquerade menyusul, yak).
Fiction based on history facts
Korea memiliki peradaban sejarah yang panjang.
Sebagaimana China, dinasti pertama Korea sudah berdiri sejak ribuan tahun
sebelum Masehi. Bagi mereka, terutama penulis dan para pelaku industri
perfilman, cerita raja-raja dari tiap-tiap dinasti adalah sumber inspirasi yang
tak habis-habis digali. Sependek yang saya tahu, sejak perfilman mereka masih
dalam bentuk hitam putih, mereka sudah mengangkat cerita raja-raja mereka ke
dalam dunia film, ada yang dibuat benar-benar berdasarkan sejarahnya, ada juga
dengan konsep memasukkan cerita fiksi ke dalam cerita sejarah. Real history
atau based on history facts, yang mana saja tidak masalah, selama
itu adalah film bioskop dan bukannya film dokumenter. Salah satu film jadul mereka yang pernah saya
tonton adalah film berjudul Jang Hee Bin, rilis tahun 1961. Filmnya
masih hitam putih, setting kerajaannya tidak kuat, kualitas film sangat
buruk, akting para aktris masih kaku. Secara sinematografi, jika dibandingkan
dengan film Indonesia yang rilis di tahun yang sama, jelas film Indonesia lebih
baik kualitasnya. Film-film Indonesia di tahun-tahun 60-an hingga 80-an, adalah
film-film terbaik menurut saya. Tetapi sekarang, industri perfilman kita
tertinggal sangat jauh. Film-film Korea Selatan sudah menjadi langganan di
berbagai festival film internasional. Visual effect yang mereka gunakan
di beberapa film sudah sekelas film Hollywood. The Prince and The Pauper jelas murni cerita fiksi. Tetapi, sutradara Jang Gyu-Sung mengadaptasi inti cerita The Prince and The Pauper ke dalam cerita salah satu raja paling terkenal di dinasti Joseon bahkan terkenal sepanjang peradaban mereka. Dia adalah King Sejong The Great, salah satu raja yang mendapat gelar The Great
Statue of Sejong the Great, in front of Gyeongbokgung Palace, Seoul. |
Menurut sejarah, Sejong adalah raja yang membawa
Korea pada peradaban emas. Sejong tidak takut pada Dinasti Ming (China), dia
juga raja yang peduli terhadap kemakmuran rakyatnya. Sejong adalah raja paling
cerdas di antara raja-raja lainnya, dia lah yang pertama sekali menciptakan
abjad Korea yang sekarang kita kenal dengan sebutan Hangul. Gambar Sejong juga
terdapat di mata uang Won. Kalau kalian punya Won, lihat saja seseorang di
situ, itulah dia Sejong The Great :D
Pangeran yang Tertukar
Saya jadi curiga, jangan-jangan sinetron
Indonesia, Putri yang Tertukar yang dibintangi oleh Nikila Willy, adalah
adaptasi dari cerita The Prince and The Pauper juga, tetapi versi putrinya
dan bukannya pangeran :D Bisa jadi ya, soalnya ada banyak sekali cerita
tersebut diadaptasi ke dalam film, dari versi yang benar-benar jadul sampai
versi modern seperti sinetron Putri yang Tertukar. Sama seperti cerita Romeo
dan Juliet dengan telah banyak diadapatsi ke berbagai versi juga.
Bagaimana mengadaptasi cerita fiksi The Prince
and The Pauper ke dalam kisah hidup raja paling terkenal ini? Apalagi
Sejong adalah raja yang paling dihormati orang Korea, sampai kini. Jadi, menurut
sejarahnya, ketika Sejong belum naik tahta, tidak ada ceritanya dia pernah menukar
dirinya dengan rakyat jelata, tetapi dia pernah menolak dijadikan Putra Mahkota.
Alasannya menolak adalah karena dia tidak ingin menjadi Raja. Di bagian inilah
ide cerita pangeran yang tertukar ini diadaptasi.
Diceritakan, Sejong adalah adalah seorang pangeran
kutu buku. Kerjanya hanya membaca dan membaca dan membaca. Kamarnya adalah
perpustakaanya. Suatu hari, ayahandanya, Raja Taejong, mencopot gelar Putra
Mahkota abangnya. Abangnya adalah seorang pangeran yang pemalas, pemarah, suka
main perempuan, pemabuk, penjudi, dan semua pe… pe… tidak baik lainnya. Bayangkan
saja, dengan kelakuan-kelakuan tersebut, bagaimana mungkin dia bisa menjadi
Raja Korea? Gelar itu akhirnya diberikan
kepada Sejong. Sejong stress bukan main. Dia tidak mau menjadi raja.
Klise? Kalau boleh saya bilang, ide cerita
pertukaran pemuda pangeran ini memang klise banget. Dalam hal eksekusi
cerita, juga tidak terdapat cerita yang luar biasa sekali. Pangeran keluar
istana, lalu melihat rakyat miskin dan menderita, bahkan sempat juga terpaksa
merasakan jadi orang miskin, sempat kelaparan, sempat disekap; itu juga cerita
yang semua orang juga akan tahu ceritanya akan seperti itu. Nothing special
lah, kalau dilihat dari segi cerita. Yang bikin spesial adalah akting Jo Ji
Hoon yang kocak banget dengan memainkan dua karakter sekaligus. Dalam
film ini, akting Jo Ji Hoon terlihat jauh lebih baik dibanding ketika dia
bermain dalam Princess Hours.
Sejong asli dan palsu, ketika sedang menunaikan hajat :D |
Praktik Politik Busuk A la Joseon
Dulu, saya pernah membaca salah satu dongeng di
majalah Bobo yang bercerita tentang seorang Putra Mahkota yang menyamar menjadi
rakyat jelata. Saya lupa judulnya, lupa juga siapa pengarangnya. Misi Putra
Mahkota tersebut adalah ingin melihat sejauh mana kondisi rakyatnya, yang
ternyata sangat memprihatinkan. Di balik kesengsaraan yang dialami Sejong
selama pelariannya, dia juga melihat hal yang sama. Di luar istanalah dia
melihat banyak ketimpangan yang dialami rakyatnya; pejabat yang korup dan
semena-mena, kejahatan di mana-mana, jual beli budak oleh pejabat negara, dan
banyak lagi praktik politik busuk a la pejabat Joseon kala itu. Nah, pendekatan
cerita seperti inilah yang dipakai untuk mengeksekusi film berdurasi 120 menit
ini, sekaligus ingin menunjukkan bahwa seorang Sejong yang kelak dikenal
sebagai raja yang bijaksana dan menyayangi rakyatnya, bisa seperti itu karena
dia sudah melihat dan mengalami langsung penderitaan rakyatnya, terlepas apakah
ini true story atau bukan.
I Am The King
bukan jenis film berat seperti Roaring
Current atau Masquerade. Meski film komedi, film ini sesekali
menjadi sendu dengan menampilkan cerita yang mengharu biru ketika terjadi
penangkapan dan penjualan budak-budak. Kehadiran aktris cilik Kim So Hyun yang
berwajah sendu, membuat film ini terasa pas.
Sejong memang terlihat berbeda sejak muda. Dia
cerdas, welas asih, bijaksana, dan seorang anak yang berbakti kepada orangtua.
Hanya karena Sejong bukan anak pertamalah yang menyebabkan dia tidak diangkat menjadi
Putra Mahkota. Kta mungkin sudah sering mendengar atau membaca cerita-cerita
perebutan kekuasaan tentang dari berbagai dinasti di dunia. Saudara sekandung
bisa saling membunuh dem tahta. Tetapi Sejong malah menolak dijadikan Putra
Mahkota. Jika saja ayahnya tidak ngotot menjadikannya sebagai Putra Mahkota,
mungkin saja tidak akan pernah ada sejarah Raja Sejong yang terkenal hingga
kini tersebut.
Moral
of The Story
Sebelum
Sejong naik tahta, Raja Taejong bertanya pada Sejong;
“What
do you think politics is?”
Sejong
menjawab;
“Confusius
said, Great politic means having ample food, having a sufficient military and
gaining the people’s trust. Father, do you
know what the greatest of these is? The one thing that must never be forgotten
out of those 3! I will only do politics to gain the people’s trust!”Sejong (diperankan oleh Joo Ji Hoon) ketika naik tahta |
Saya
selalu tertarik dengan filososfi Confucius. Kumpulan anaclects-nya senantiasa
mengajarkan kebajikan dan kebijakan hidup. Anyone who is serious about
living life well would do well to read Confucius’s Analects.
11 comments
Write commentstanggal pertama di bulan maret,dan malam2 baca review film yang mau nggak mau jadi penasran sama filmnya.berarti pemainnya yang main di princes hour ya mbak??baru tahu hehehe....susah ngafalin nama artis korea xixixi
ReplyIya mbak, ini yang maen Jo Ji Hoon pangeran di Princess Hours. Aku kalo yang nggak favorit atau belum pernah kuliha akting di layar kaca/film, nggak hapal juga sih mbak xixixii...
Reply"whatever, yang penting ada kata ‘tukar’, apakah tertukar atau ditukar :D asal jangan ditakar saja :v "
ReplyNgikik baca 'ditakar' :))
Kalo urusan mereview film or buku, mbak Eki jagonya nih *jempol*
Xixixiiii....mbak rien ada-ada aja :v :D
ReplyIya mbak rien, memang sejak lama passion adalah menulis review buku, sekarang merambah ke review film. Masih belajar juga sih karena kadang masih menulis review suka-suka, hahaa
wah resensinya bagus...jadi bisa membayangkan seperti apa ceritanya ^_^
Replyhmm kaya nya saya ketinggalan jaman iyaaaa :( saya engga tau film-film korea ..
ReplyMakasih mak Gusti :D
ReplyNggak mbaaaak...nggak tau film-film Korea nggak berarti ketinggalan jaman. Ini hanya masalah selera saja mbak :D
ReplyMbak kok bisa review film sedetail ini. kalau aku langsung ba bi bu Awal dan langsung akhir. hehehe Keseringan baca nih blog ntar ketularan gandrung ama film Asia khususnya Korea :)
ReplySoalnya mbak, detail itu terjadi karena saya menumpahkan semua isi kepala sehabis nonton mbak, wkwkwkk
ReplySilakan mbak, mampir-mapir lagi ke sini. Semoga menginspirasi :D
Lucu filmnya :D
ReplyConversionConversion EmoticonEmoticon