Semestinya postingan ini saya publish sejak beberapa hari lalu, namun karena keterbatasan koneksi di kampung halaman saya, jadinya baru posting sekarang, heuheuheu...
Dok. Pribadi |
Well, berbicara tentang maaf memaafkan di hari raya, sejatinya,
meminta maaf dan memaafkan tidak mesti menunggu hari raya. Buat saya pribadi,
jika saya memiliki salah sama orang lain, saya tak sungkan untuk segera meminta
maaf. Rasanya hidup tidak bisa tenang jika masih dihantui perasaan
bersalah. Begitu juga jika orang lain yang meminta maaf pada saya, saya pun akan segera memaafkannya. Saya tidak bisa mendendam, jadi saya pikir apa
salahnya memaafkan orang lain. Lha Tuhan saja masih mau memaafkan hamba-hamba-Nya
yang bersalah, masih mau menerima taubat hamba-Nya yang kufur, masak saya yang
hina dina ini tidak bisa memberi maaf kepada seseorang. Tuhan yang seharusnya berhak
sombong atas ciptaan-Nya tapi Dia tidak pernah sombong serta tidak pernah tidak mememedulikan
hamba-Nya, apalagi saya yang sama sekali tidak berhak sombong.
Jadi, kalau bisa memaafkan sebelum hari raya, kenapa juga harus memaafkan
lagi di hari raya, ya? Nah, kalau di hari raya, kegiatan maaf-maafan bukan
hanya perkara punya salah atau tidak. Namanya juga hari yang fitri (fitrah=suci),
hari di mana setelah sebulan penuh melawan hawa nafsu, setelah menyucikan diri
dengan membayar zakat fitrah, maka kita adalah pribadi yang baru, pribadi yang
siap menebar kebaikan, bukan sebaliknya, menebar keburukan. Dan bermaaf-maafan
di hari raya merupakan salah satu action yang akan melengkapi seseorang menjadi
pribadi yang baru tersebut. Saat sungkem ke orangtua, saat meminta maaf ke
tetangga, kerabat dekat dan jauh, bukan selalu berarti kita punya salah ke
mereka atau sebaliknya, tapi begitulah makna fitri yang sesungguhnya. Maka tidak heran,
kegiatan maaf-memaafkan di hari raya menjadi begitu sakral dan religius.
Bermaaf-maafan
di raya raya memang baik. Tapi jika kau memiliki kesalahan terhadap orang lain,
janganlah menunggu hari raya untuk berjabat tangan dan meminta maaf. Apalagi
kalau ternyata hari raya masih lama, sementara ganjalan rasa bersalah sudah
sangat bercokol dalam jiwa. Sebagaimana hadist Rasulullah SAW:
“Siapa
yang merasa pernah berbuat aniaya kepada saudaranya, baik berupa kehormatan
badan atau harta atau lain-lainnya, hendaknya segera meminta halal (maaf) nya
sekarang juga, sebelum datang suatu hari yang tiada harta dan dinar atau
dirham, jika ia punya amal shalih, maka akan diambil menurut penganiayannya,
dan jika tidak mempunyai hasanat (kebaikan), maka diambilkan dari kejahatan
orang yang dia aniaya untuk ditanggungkan kepadanya.” [HR.
Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a]
Dari
hadist tersebut jelaslah bahwa kita sangat dianjurkan untuk segera meminta maaf
jika merasa pernah berbuat salah atau menyakiti seseorang. Mengulur-ulur waktu
bukanlah sesuatu yang bijak. Kita tidak pernah tahu apakah kita masih akan
dipertemukan dengan seseorang tersebut? Kita tidak bisa menduga umur kita akan
sampai di mana. Sungguh kematian adalah sesuatu yang sudah pasti datangnya
sehingga kita dianjurkan untuk segera berbuat kebaikan dan melunasi ‘utang’
meminta maaf sebelum ajal datang menjemput.
Meminta
maaf segera tidak mesti dengan adanya tatap muka dan jabat tangan langsung. Di
era ini, era di mana jarak bukanlah kendala untuk tetap berkomunikasi, kegiatan
maaf-maafan bukanlah sesuatu yang sulit dilakukan. Jika tidak bisa bertemu,
kita masih bisa menelpon, masih bisa chatting-an, dan menggunakan
fasilitas canggih lainnya.
Saya
teringat duluuuuu sekali, ketika orangtua saya berselisih paham dengan adik perempuannya (saya memanggilnya Makcik) terhadap sebuah
perkara yang pelik dan susah menemukan titik temu. Apalagi di kedua belah pihak
–di satu pihak ada ayah dan ibu saya serta di pihak lain ada Makcik saya dan keluarganya- sama-sama keras mempertahankan
pendapatnya dan masing-masing merasa pihaknyalah yang benar. Sebagai anak, adalah kewajiban saya untuk
memberitahu Ayah bahwa sebaiknya Ayah bersabar saja. Hanya itu yang bisa saya
lakukan. Saya takut memberi nasehat lebih jauh. Takut dianggap jika saya tidak
berada di pihak Ayah. Sementara itu, saya juga tak berani menyalahkan Makcik
saya karena bagaimanapun jika saya salah ngomong, bisa-bisa hubungan baik saya
dengan Makcik saya ikut-ikutan memburuk. Saya mencoba untuk untuk bersikap sedikit berbeda dengan
saudara-saudara saya yang lain. Jika saya melihat Ayah saya berselisih paham dengan
adik-adiknya (Ayah saya anak tertua), saya tidak malah ikut-ikutan tidak baik
dengan saudara-saudara Ayah. Saya yang tinggal jauh dari Ayah dan Makcik, sesekali tetap menelepon Makcik. Hanya sekadar menanyakan kabar dan sama
sekali tidak mengungkit-ungkit persoalan antara Ayah dengan beliau. Saya pikir,
biarlah mereka yang berselisih, tapi tidak dengan anak-anaknya, yaitu saya dan
sepupu-sepupu saya (anak-anak Makcik).
Di
hari raya tahun itu, genap setahun Ayah dan Makcik tidak saling bertegur sapa,
ketika mudik lebaran, saya berinisiatif bersilaturahmi ke rumah Makcik. Tapi saya menunggu dulu beliau sungkem ke
Ayah. Saya pikir, karena itu hari raya, mungkin Makcik akan ke rumah kami,
mengingat beliau lebih muda dibandingkan Ayah. Biasalah ya, yang muda meminta
maaf pada yang tua. Tapi sampai di hari ketiga hari raya, saya tidak melihat
Makcik saya datang ke rumah. Biasanya, di tahun-tahun sebelumnya, Makcik akan
ke rumah kami pada hari kedua hari raya. Ayah saya bertambah murka.
Di
hari ketiga hari raya itulah, saya berinisiatif untuk datang ke rumah Makcik
saya. Sebelum saya pergi ke rumah beliau, saya tetap berpamitan pada Ayah.
Awalnya Ayah keberatan. Alasan beliau adalah; adiknya yang bersalah padanya
saja tak mau datang dan meminta maaf pada abangnya, jadi untuk apa saya yang repot-repot
harus ke sana. Lalu saya katakan begini pada Ayah; sebagaimana Ayah adalah
orangtua saya, begitulah dengan Makcik, beliau juga orangtua saya karena beliau
adalah adik kandung Ayah. Dan sebagai anak kepada orangtuanya, sebagaimana saya
terhadap Ayah, adalah juga kewajiban saya untuk bersilaturahmi dan maminta maaf
pada baliau dan pada adik-adik Ayah lainnya. Ayah luluh dan membolehkan saya datang ke rumah Makcik.
Yang
mengharukan buat saya, meskipun Makcik memiliki hubungan yang tidak baik dengan
Ayah, tapi ketika melihat saya datang ke rumahnya, beliau tetap menyambut saya
dengan hangat, sebagaimana di tahun-tahun sebelumnya, ketika semua masih
baik-baik saja.
Seminggu
setelah hari raya, saya kembali lagi ke ibukota provinsi, meninggalkan kampung
halaman. Tak lama kemudian saya mendengar kabar bahwa Ayah dan Makcik saya
sudah berbaikan. Kabarnya, Makcik saya yang datang ke rumah dan meminta maaf
pada Ayah. Sebagai seorang adik, memang sudah seharusnya beliau melakukan hal itu sejak
dulu, namun apa yang akhirnya membuat beliau berubah pikiran adalah karena
kunjungan saya ke rumahnya dan meminta maaf atas nama Ayah, jika memang ada tindakan Ayah yang menyakiti perasaannya.
Saya
senang sekali mendengar itu. Sungguh meminta maaf bukan perbuatan tercela dan
berarti selamanya kita salah. Sebaliknya, meminta maaf akan membuka pintu-pintu
kebaikan dan menyambung tali silaturahmi.
Kadang kita memaafkan orang lain bukan karena mereka layak dimaafkan. Tapi kitalah yang layak mendapat kedamaian.
6 comments
Write commentsDalam keluarga itu memang terkadang ada aja masalah ya kak...kita juga harusnya bisa menjadi pendamai bukan malah ikut-ikutan rame.
ReplyMaafkan Nufus kalau ada salah dan silaf ya Kak, yang dulu dan yang sekarang. Selamat Idul Fitri.
"Kadang kita memaafkan orang lain bukan karena mereka layak dimaafkan. Tapi kitalah yang layak mendapat kedamaian" setuju banget kak Eki. Mohon maaf lahir batin, agar kita semua damai senantiasa :*
Replyselamat hari raya
Replymohon maaf lahir dan batin ya eki
selamat hari raya idul fitri..mohon maaf lahir batin ya mb :)
ReplyMasama yang teman-teman; nufus, mv]bak Siwi, mbak enny, dan Lisa. Maaafkan saya juga, lahir dan batin. Saya juga sudah memaafkan semuanya ;)
Replyspeechless, susah diungkapkan dengan kata-kata ,,, :-)
ReplyConversionConversion EmoticonEmoticon