Setiap
hendak bepergian ke luar negeri, dua
dokumen penting yang harus ada adalah paspor dan Visa. Paspor dan Visa ini
sebenarnya satu paket. Visa biasanya berupa stempel atau stiker khusus yang
ditempelkan di paspor untuk kurun waktu tertentu.
Visa
itu sendiri dibagi atas dua macam; visa satu kali perjalanan dan beberapa kali
perjalanan. Meskipun dikategorikan berbeda, tetap sasaran penerimanya sama,
seperti wisatawan, pekerja sosial, dinas dari kantor pemerintahana, kegiatan
budaya, dan banyak lainnya, silakan cek saja di SINI, ya ;)
Ada
yang beranggapan bahwa mengurus Visa itu repot. Sepengalaman saya mengurus Visa
tinggal, malah tidak repot sama sekali. Tapi…ini pengalaman urusan Visa ke
Thailand lho ya, kalo ke negara lain, saya belum pernah, hihiii…
Repot
dengan dokumen atau data-data yang harus disediakan? Masa iya mau mengurus ijin
tinggal nggak pake dokumen, apalagi ini ceritanya kita mau bepergian ke luar
negeri. Masa iya mau ke luar negeri nggak mau dibebani dengan dokumen-dokumen? Lha
wong mau buka rekening aja mesti pake dokumen. Lha.. piye tho? Jadi,
dokumen itu diperlukan untuk keabsahan status atas sesuatu yang kita miliki. Tapi
yeah… ini kembali lagi ke pengalaman masing-masing, ya. Beda orang beda
pengalaman. Sebagian dirasa gampang, sebagian mungkin malah seperti mengalami
kisah horor. Apalagi, ini ceritanya saya kan Visa tinggal, bukan wisatawan.
Tentu beda kan, ya, heuheu…
Untungnya
kita tinggal di Indonesia dan Indonesia jadi anggota ASEAN. Jadi, selain bisa
menghemat waktu dengan tidak harus berurusan dengan pengurusan Visa, kita juga
bisa hemat uang, kan?
Nah,
ASEAN sendiri sudah punya kesepakatan bebas Visa untuk negara-negara anggota,. Bebas di sini adalah bebas terbatas. Artinya, kita diberi
kebebasan dalam batas waktu tertentu. Jika kita masuk ke suatu negara dengan
pesawat, kita akan dikasih waktu bebas Visa sampai 30 hari, sebaliknya jika
bepergian dengan kendaraan darat, waktunya hanya 14 hari saja. Jadi misalnya
saya mau travelling ke Kuala Lumpur naik pesawat dari Banda Aceh ke sana,
saya boleh tinggal di situ selama satu bulan dengan hanya bermodalkan paspor
saja. Trus, setelah satu bulan (atau malah cuma setelah seminggu saja), saya
ingin melanjutkan perjalanan lagi ke Thailand, misalnya. Malaysia ke Thailand
itu bisa ditempuh pakai bus atau kereta api. Nah, karena saya misalnya ingin
melihat banyak tempat di Thailand, maka saya memilih naik kereta saja. Nah, aturan
boleh tinggalnya saya di Thailand dengan di Malaysia itu sudah beda, karena
beda jenis kendaraan yang saya gunakan untuk masuk ke masing-masing negara
tersebut. Begitu juga ketika saya ingin masuk ke Kamboja, Filipina, dan
lain-lain. Kira-kira begitu penjelasan singkatnya mengenai bebas Visa di ASEAN
ini.
Jadi
asyik kan ya, kalau suatu saat kalian punya banyak duit dan ingin jalan-jalan
murah yang pilihannya ke negeri-negeri tetangga saja, maka kalian tidak harus
mengurus Visa lagi. Yang penting punya paspor, punya uang banyak, tinggal capcus
deh ke mana kalian suka, kecuali…. ke Myanmar.
Now,
let’s talk about Myanmar
Myanmar
adalah negara paling bontot masuk ke ASEAN, barengan dengan Laos.
Bedanya, Myanmar cenderung tertutup dibanding negara-negara lain di ASEAN, jadi
dalam beberapa hal, Myanmar punya kebijakan sendiri dalam bidang politik, salah
satunya soal belum memberi ijin bebas Visa untuk warga negara ASEAN. Meskipun
Myanmar adalah ‘anak bungsu’ di ASEAN, sebetulnya mereka bukanlah negara baru.
Namun pergolakan politik serta gelombang protes yang terjadi terus menerus,
membuat negara ini begitu lambat untuk bangun dan mensejajarkan dirinya dengan
bangsa-bangsa lain di Asia Tenggara. Ditambah dengan kenyataan bahwa mereka
cenderung tertutup dengan dunia luar, meskipun dengan negara tetangga.
Credit Pic |
Apa
yang membuat mereka menutup diri?
Disebut-sebut
Myanmar adalah salah satu negara yang paling melanggar HAM. Bayangkan,
pergolakan politik di Myanmar terjadi sejak tahun 1988, setahun sebelum nama
negara itu berubah nama menjadi Myanmar, hingga tahun 2000-an. Kalian tahu apa penyebab
utama perpecahan di negara tersebut? Jawabannya adalah karena diskriminasi
etnis.
As
we know that dulunya negara ini bernama Burma/Birma.
Diskriminasi etnis terjadi jauuuuh sebelum tahun 1988 itu. Etnis mayoritas di
Myanmar sekaligus menjadi etnis yang ‘dimuliakan’ adalah etnis Burma. Oleh
sebab itu dulunya negara ini bernama Burma. Diskriminasi ini sendiri dilakukan
oleh Junta militer yang notabene merupakan representatif-nya etnis
Burma. Gampangnya gini, karena etnis Burma adalah etnis mayoritas dan etnis yang
‘dimuliakan’ seperti sebutan saya tadi, jadi mereka menganggap etnis lain itu
tidak ada harganya. Etnis Burma yang ditunggangi oleh junta militer melakukan
banyak kebijakan-kebijakan yang merugikan masyarakat Myanmar.
Soal
pergolakan politik di Myanmar, sebelum menuliskan artikel ini, saya sempat
bertanya banyak dengan seorang teman (teman di facebook maksudnya, karena
sebetulnya saya memanggil beliau ‘Bapak’) tentang kondisi yang sebenarnya di
sana. Beliau pernah lama tinggal di dua negara; Thailand dan Myanmar. Jadi
menurut beliau, ‘perang yang sesungguhnya yang terjadi di sana adalah ‘perang’
antara etnis Burma dengan etnis non-Burma, BUKAN
perang antar agama seperti yang kita dengar selama ini. Dan masih
menurut beliau, dari semua etnis non-Burma, etnis Rohingya-lah yang paling
ditindas. Bukan karena mereka Muslim. Etnis lain juga ada yang muslim kok,
bahkan etnis yang notabene bukan muslim pun tetap mendapat diskrimansi, yang
penting selama mereka BUKAN ETNIS BURMA.
Bahkan saat gelombang protes yang terjadi pada tahun 2007, banyak biksu
yang ditangkap, disiksa dan dibunuh karena mereka ikut dalam aksi protes
tersebut.
Sejak
lama Myanmar melakukan yang namanya Burmanisasi. Mereka inginnnya yang mendiami
Myanmar itu orang Burma semua. Yeah… manalah mau suku-suku lain
diperlakukan tidak adil begitu.
Tahu
Aung San Suu Kyi kan, ya? Ibu Suu Kyi ini latar belakangnya bukan etnis Burma, lho.
Entah bagaimana bisa, perempuan kurus bertubuh mungil ini, yang latar
belakangnya bukan dari etnis Burma, berhasil memenangkan Pemilu pada tahun
1990. Seharusnya Ibu Suu Kyi menjadi pemimpin Myanmar saat itu. Ya seharusnya…
sayangnya itu tidak terjadi. Junta militer merasa bahwa Suu Kyi adalah ancaman
besar untuk etnis Burma. Maka terjadilah yang namanya KU-DE-TA, oleh militer.
Begitulah, hingga bertahun-tahun kemudian, cerita yang nyaris sama selalu
terulang.
Ketika
Myanmar Masih Menutup Diri
Saya :
“Saya ingin tanya tentang aturan visa di sana nih, Pak? Kenapa
kalo ke Myanmar kita tidak bisa bebas visa sebagaimana jika kita ke negara-negara
ASEAN lainnya?
Bapak :
“Myanmar memang tidak menerapkan ASEAN open door policy,
karena politik rezim militernya yang memang tertutup. Oleh karena itu, negara
ASEAN lain juga menerapkan hal yang sama pada warga negara Myanmar, resiprokal.
Saya ke Cambodia kemarin sudah tak perlu VOA, juga Lao PDR. Memang hanya
tinggal Myanmar yang belum. Terkait Visa ini, saat ini Myanmar menghadapi
dilema. Honestly, mereka perlu devisa dari turis, alamnya indah
dan kekayaan sejarahnya dahsyat. Tahu Mandalay dan Bagan, kan? Itu adalah tempat yang luar biasa! But at
the same time, mereka juga nggak mau borok-borok pemerintahannya diketahui
oleh dunia luar.”
Saya : “Ya saya juga dengar tentang
Mandalay dan Bagan itu. Sayang sekali, tempat sedahsyat itu seharusnya bisa
mendatangkan ribuan turis dari berbagai penjuru dunia. Saya rasa, kita hargai saja mereka, mungkin
mereka sedang berusaha untuk bangkit dan menata negaranya dulu agar lebih
baik.”
Bapak : “Saya lihat, sekarang mereka mulai rada terbuka. Sudah ada flight
Air Asia ke Mandalay dan Naypyidaw (Ibukota Myanmar) dari Bangkok.”
Saya :”Iyakah? Sudah lama Air Asia
buka flight ke sana? It’s really good news.”
Bapak :”Ya, sudah setahun Air Asia
terbang ke sini. Tapi ya itu, rezim masih tetap tertutup.”
Saya :”Okay. Terima kasih atas
kesempatannya, Pak!”
***
See? Sudah ada perkembangan tentang Myanmar.
Dengan berbagai pergolakan yang masih terjadi dan sifat tertutup yang masih
mereka miliki, kita hanya bisa berharap mereka bisa segera menyelesaikan persoalan
dalam negeri mereka sendiri. Nggak usahlah dulu berharap yang muluk-muluk
supaya kita-kita –saya dan Anda– bisa
melihat ‘surga’ di sana karena akhirnya mereka menggunakan kebijakan yang sama
dengan negara ASEAN lainnya. Yang paling penting adalah mereka bisa membenahi
dulu negaranya, menyamakan persepsi di bawah satu negara, bukan satu etnis.
Tidak mudah lho mengenyahkan dendam yang sudah bercokol selama puluhan
tahun, apalagi jika itu menyangkut harga diri dan martabat manusia yang pernah
dilecehkan. Kita biarkan saja mereka bangun perlahan-lahan, berjalan
perlahan-lahan hingga akhirnya langkah mereka bisa sejajar dengan kita, warga
negara ASEAN lainnya. Toh dengan adanya perkembangan baik itu nantinya, hal-hal
positif lainnya akan menyusul dengan sendirinya, misalnya dalam hal menjaring
wisatawan. Bukankah memajukan perekonomian merupakan salah satu pilar utama
dari tiga pilar yang digagas oleh ASEAN Community? Dan semoga saja
nanti, di tahun 2015, Myanmar akan bergandeng tangan dengan negara-negara
lainnya.
Siapa yang mau menyangkal kalau ini adalah 'surga'? Myanmar, Gambar dari SINI |
Visa,
Perlu atau Tidak?
As you know-lah,
selama ini kita bebas melenggang ke negara-negara ASEAN tanpa Visa. Itu udah
bonus yang luar biasa banget dikasih sama ASEAN. Saya sendiri mendukung adanya
kebijakan ini, mengingat nanti, di tahun 2015, di era pasar bebasnya ASEAN,
persaingan pasar akan semakin kompetitif dan nyata di depan mata. Contoh
kecilnya aja nih, misalnya urusan bisnis, di mana nantinya sang pebisnis tentu
akan keluar masuk ke sebuah atau lebih negara. Masa sih dia harus sering-sering
berhadapan dengan birokrasi? Tapi kalo kasusnya seseorang mau tinggal lama,
janganlah kalian meminta bebas Visa, itu hukumnya memang wajib. Nggak dikerjain
berdosa. Berdosa sama negara yang bersangkutan maksudnya, dosa karena udah melanggar
hukum, heuheu… Intinya, nggak mungkin kita tinggal di negara orang dalam waktu
lama tanpa ijin.
Selain itu, jika kita mau
itung-itung dalam hal jumlah kunjungan wisata, tentunya wisatawan akan lebih
mau berkunjung ke tempat-tempat bebas Visa dong, ya? Soalnya tinggal datang
sih. Ibarat saya mau ke Bandung, saya cuma tinggal nyelipin KTP aja dalam
dompet, pesan pesawat trus berangkat. Nggak perlu harus ijin segala dari
Pemerintah Kota Bandung.
Dalam berita yang dilansir olehMetro TV, menyebutkan bahwa kemudahan mendapatkan Visa berpengaruh pada mendongkraknya
pertumbuhan pariwisata. Ini yang ngomong Menteri Pariwisata, Mari Elka
Pangestu. Kemudahan yang dimaksud Ibu Menteri adalah kemudahan dalam sistem,
pelayanan, dan fasilitas, di mana nantinya akan lebih canggih. Ini baru
ngomongin soal mempermudah aja sudah diprediksi akan memberikan dampak yang
positif, apalah lagi kalo Visa-nya benar-benar free.
Once again, jika ditanya Visa
itu perlu atau nggak? Saya akan balik nanya; ‘situ mau melancong doang atau mau
tinggal lama?’:D
Pesan saya setelah membaca artikel ini. Ingat...ingat, ya :D Gambar dari SINI |
5 comments
Write commentsLagi dan lagi, postingannya mantabs euy! Komplit plit plit! Setuju dengan ulasannya, untuk sesama wisatawan Asean, mbok ya Myanmar membebaskan Visa donk ah! :)
ReplySukses yaaa.
Mengurus visa itu memang gampang-gampang susah yaaa. Untuk masuk ke negara2 tertentu, terkadang sampai bikin stress, namun untuk negara lainnya, simple dan easy. :)
Replymakasih mbak Me dan mbak Al ;)
ReplyPostingan mbaknya sangat bagus..aku mo nanya nih mbak.Kalo kita punya saudara di thailan terus kita pergi ke sana visa kita kan berlaku 30 hari,jadi pas 30 hari kita masih enggan pulang,apa harus pulang atau harus kemana kita untuk melapor bahwa kita masih ingin di negara tsb,..?
ReplyHalo mbak Wisa, salam kenal
ReplyKalau bepergian ke negara-negara ASEAN, free Visa selama 2 minggu via kendaraan darat dan 30 hari by plane.
Kalau mau tinggal lebih, mbak harus buat visa nih mbak. Visa bisa dibuat di negara kita mbak. Melalui KBRI atau konsulat yang ada di beberapa daerah di Indonesia.
Semoga menjawab ya mabk :D
ConversionConversion EmoticonEmoticon