Gambar: goodreads.com |
Novel berjudul Hawa adalah novel
Amore kedua yang saya baca setelah “Mahogany Hills” (silakan baca resensinys di SINI). Setelah saya dibuat
meninggi oleh “Mahogany Hills”, tiba-tiba saya dihempaskan ke dasar bumi oleh Riani
Kasih, penulis novel “Hawa”. Saat membaca Amore sebelumnya saya sempat
terhanyut dan tak ingin melewatkan kebersamaan-kebersamaan dua tokohnya, namun
tidak saat saya membaca “Hawa”. Terasa membosankan dan banyak bagian yang harus
saya lewatkan. Sorry to say…
Hawa
adalah nama seorang gadis yang kemudian dijadikan sebagai tokoh sentral dalam
novel ini. Diceritakan bahwa Hawa adalah gadis yang frustasi karena dicuekin
kekasihnya pada hari menjelang pernikahan mereka. Karena salah paham, Hawa
terpaksa membatalkan secara sepihak pertunangannya dengan Abhirama. Sudah
menjadi kebiasaan, ketika putus cinta, seseorang akan berusaha menghindar dari
orang yang tidak ingin dilihatnya, kalau bisa pergi sejauh mungkin, ke tempat
yang tak mungkin terlihat. Di tempat Hawa menenangkan diri di pedalaman Kalimantan Barat, Hawa malah bertemu dengan laki-laki lain, yaitu Landu, seorang polisi
yang bertugas di kampung tersebut. Dan bisa ditebak, hadirnya orang ketiga
biasanya akan membawa cerita baru, kisah cinta yang baru. Dan yang terjadi
kemudian adalah sulitnya menentukan pilihan setelah terjebak antara dua cinta.
Harus
saya akui, ekspektasi saya yang besar terhadap novel berlabel ‘Amore’ hasil
sebuah kompetisi cukup tinggi, setelah saya membaca “Mahogany Hills”. Jika
“Mahogany Hills” sangat layak menduduki juara pertama, namun tidak untuk “Hawa”
yang didaulat sebagai juara kedua. Tanpa maksud merendahkan atau sejenisnya,
namun saya rasa, cerita yang disuguhkan “Hawa” adalah cerita roman untuk kategori
terbit regular, bukan buku terbitan hasil lomba. Semua hal dalam novel ini
T-E-R-L-A-L-U biasa.
Apa
yang membuatnya demikian? Let’s check it out!
- Saya
tak menemukan chemistry of love dalam kisah cinta di novel ini, baik
antara Hawa dengan Landu maupun Hawa
dengan mantan tunangannya, Abhirama. Ibarat menonton film, “Hawa” adalah film
yang sangat membosankan dengan menghadirkan pemain-pemain baru yang begitu
kaku. Aktingnya kaku, dialog-dialognya tidak hidup, konfliknya datar, dan jalan
menuju ending mudah ditebak serta terlalu mudah. Waktu-waktu yang tidak
terlalu banyak yang dihabiskan Hawa dan Landu di pedalaman Kalimantan adalah
waktu yang berjalan lambat dengan interaksi dua orang yang membicarakan entah
apa dan tujuan pembicaraan entah ke mana. Sama sekali tidak jelas dan tidak
menarik. Dengan susah payah saya mencoba mencari titik temu antara (calon)
pasangan kekasih ini, namun titik tersebut terasa jauh panggang dari api.
Hubungan antara Hawa dan Abhirama apalagi, selain sangat sedikit info tentang
bagaimana hubungan mereka sebelumnya, mereka berdua adalah pasangan yang aneh.
- Diceritakan
bahwa Landu adalah seorang polisi yang bertugas di sebuah pelosok desa, yaitu
Desa Sejiram. Sebut sajalah Landu itu bertugas di unit terkecil bagian
kepolisian, yaitu Polsek. Polsek biasanya bertempat (kantor) di pusat kecamatan
dan bukannya di sebuah desa yang pelosok dan dengan hutan yang masih perawan.
Namun dalam “Hawa” digambarkan bahwa kantor Landu ada di desa Sejiram. How
come?
- Alasan
Hawa membatalkan pernikahannya dengan Abhirama tidak masuk akal, apalagi yang membatalkan
adalah pihak perempuan, yang notabene jika ditilik secara budaya timur,
perempuan akan lebih berat menanggung malu karena gagal menikah. Hanya karena
calon suaminya lupa acara foto-foto pre-wedding? Ini terlalu dibuat-buat
dan saya nggak dapat logika ceritanya. Lebih tidak masuk akal lagi, setelah
membatalkan pernikahannya sendiri, Hawa malah digambarkan seperti orang
frustasi, yang seolah-olah dia baru saja ditinggal kekasih. Bagaimana bisa dia
yang memutuskan kemudian dia yang frustasi?
- Oleh
penduduk desa Sejiram, Hawa dipandang sebagai perempuan yang seperti orang
gila. Bagaimana bisa dia dikatakan ‘seperti orang gila’ sementara sama sekali tidak ada penjelasan tentang itu? Di
awal-awal, digambarkan bahwa Hawa adalah gadis yang jutek, kurang ramah,
pendiam, pokoknya ciri-ciri gadis yang terluka. Hanya dengan karakter-karakter
Hawa yang begitu di bagian awal, dengan seenaknya penulis mencap dia ‘seperti
orang gila’. Tega sekali, melakukan sesuatu tanpa penjelasan yang logis.
- Di
antara pasangan ini, tidak ada yang saya suka karena karakter mereka aneh. Jadi
polisi kok makin ke sini makin centil? Hawa makin ke sini karakternya berubah.
Abhirama yang tiba-tiba jadi pecundang dan makin ke sini dia lenyap tanpa
kabar. Karakter Luna, adik Hawa, aneh. Masih kecil tapi bahasa-bahasa yang
digunakannya dalam dialog adalah bahasa orang dewasa. Karakter Papa Hawa dan
Oma Hawa lebih aneh lagi. Terlalu bijaksana seperti halnya Mario Taguh.
- Tanpa
angin tanpa hujan, tiba-tiba Abhirama dan Landu adalah dua sahabat dekat. Ini aneh. Tampak sekali penulis
berusaha mengkait-kaitkan sesuatu, ingin membuat benang merah antara ketiga
orang ini, tapi penulis gagal melakukannya.
- Setelah
ending yang terlalu mudah itu, penulis sepertinya gamang cerita ini mau
dibawa ke mana. Mau diakhiri terus, tapi lembarannya masih terlalu tipis, dan
tanpa konflik yang berarti sama sekali, tiba-tiba saja Hawa dan Landu menikah.
Mungkin, atas dua pertimbangan tersebut, penulis lalu membuat bagian kedua
novel ini agar terlihat klimaksnya.
Namun, justru konflik di bagian ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan
potensi konflik di bagian sebelumnya. Saya sebut ‘potensi konflik’ karena
seharusnya penulis bisa lebih menggali konflik di bagian pertama dan bukannya
menciptakan konflik yang berbeda di bagian kedua.
Well,
sepertinya komentar saya untuk novel ini bernada negatif semua yak. Lalu kenapa
saya harus terus membacanya? Saya selalu penasaran dengan sebuah tulisan hasil
sebuah kompetisi bergengsi. Saya ingin menemukan sesuatu yang membuat buku ini layak menjadi
pemenang. Namun bahkan sampai ke halaman terakhir, saya tidak menemukan sesuatu
yang istimewa sebagaimana buku sebelumnya yang didaulat sebagai juara pertama.
Namun
demikian, saya tetap mencoba mencari hal yang positif yang bisa diambil
pembaca. Bagaimanapun, sebuah karya milik anak bangsa mesti kita hargai karena
hadirnya akan memperkaya khasanah dunia perbukuan Indonesia. Mungkin saya bisa
mengatakan bahwa penggambaran tempat yang unik dengan profesi tokoh seorang
polisi, yang jarang diangkat ke dalam novel, yang membuat novel ini memiliki
nilai lebih. Meski tidak begitu detail menggambarkan nuansa lokalitas daerah
tersebut, namun inilah ciri khas Harlequin, menyuguhkan cerita dengan latar tempat-tempat
indah di dunia, yang mungkin tak terbayangkan sebelumnya oleh pembaca.
Harapan
saya, semoga ini bukan buku terakhir Riani Kasih. Dan semoga saya tidak kecewa
dengan buku-buku Amore selanjutnya :D
22 comments
Write commentsGIBASSSSSS!!!!
Replydisilet-silet perih hingga sembilu disiram air cuka dan perasan jeruk nipis.
Pedih!!
Beginilah hasil karya siap2 dikomentari..
covernya kurang kece, kok GPU terlalu biasa designnya..
Yak, betul Ferhat, kovernya gak Amore banget. tapi seperti buku-buku pada umumnya deh. mau kutulis itu juga sebenarnya, tapi takut kabanyakan kritik, jadinya kan gak enak, wwkwk...
ReplyThanks ya udah ikut jadi tukang silet :p
:-D dari resensimu novel ini kayaknya from extraordinary to ordinary ya ki hihihihihi
Replyoh ya satu lagi. covernya ngga dewasa banget, kalau aku lagi nyari buku dewasa, lihat cover ini pasti ngga selera deh
Replycover bukunya kurang menarik kalo menurut lisa
Replysetahu lisa selain kualitas isi buku, cover juga sangat menentukan minat si pembeli
Mantaaaap reviewnyaaa ... hehehe
ReplyMantaaaap reviewnyaaa ... hehehe
ReplyMantaaaap reviewnyaaa ... hehehe
ReplyMantaaaap reviewnyaaa ... hehehe
Replyreview yg bikin merinding. mantafff ... sebelum aku menerbitkan buku kayanya kudu dibaca dulu nih sama mba hacky, biar jadinya cetarrrr .... kedip kedip mata
Replykayak cover novel teenlit ya, mba? aku kirain bukan amore lho
ReplyLihat cover nya aja aku udh ga selera beli mbak, di tambah resensi ini pula.. Wes lah ga usah beli aja :-P
ReplySUka reviewnya. Jujur. Sy setuju dengan poin2 kekurangan yang mbak Ecky tuturkan. Mudah2an masukan yang berarti buat penulis dan penerbit. Iya ya covernya koq biasa2 saja?
Replywaahh, jadi menang omba itu bisa aja karena keajaiban ya :) bukan karena bagus karyanya? tapi kelebihannya Ia berani ngirim novelnya heheheh
ReplySelalu suka dengan resensi gayamu, tidak menyakitkan tapi memberi masukan yang bs manfaat buat penulisnya, stidaknya jika penulisnya ga buta hati(tlalu sedih dikritik) dan juga buat penerbitnya
Replyswiip deh reviewnya.. agak pedes tp pedesnya sambel yg syedep ^^
ReplyWah, padahal menang ya Mbak
ReplyJadi PD deh klo mau ikutan lomba hehe
Maksih manteman udah baca resensi geje ini, juga atas apresiasinya :D
ReplyKeren reviewnya.
ReplyKapuas Hulu di Kalimantan Barat, btw. Bukan timur.
Hehe.
Terima kasih atas kunjungannya mbak Putri.
ReplySudah saya edit menjadi Kalimantan Barat ;)
GPU juga bisa novelnya separah itu ya Kak. Mungkin selama ini ekspekstasi kita terlalu tinggi untuk karya-karya GPU :D
ReplyGak semua karya GPU itu bagus lho dee...memang soal bagus atau tidaknya itu tergantung selera sih. Tapi khusus untuk buku, saya rasa pembaca dr genre apapun akan bilang buku ini 'nggak banget' :D
ReplyConversionConversion EmoticonEmoticon