Lingkaran Setan Budaya Literasi di Indonesia

Credit Pict 
Di facebook saya ketemu tulisan yang bagus sekali, terkait kondisi dunia literasi kita. Ditulis dalam bentuk status oleh sebuah akun yang sama sekali bukan termasuk friendlist saya, namun statusnya dibagikan oleh seorang teman facebook saya. Tulisan yang langsung bikin saya makjleb hingga menyentuh ke nurani terdalam *halah*. Saya merasa ide tulisan sebagus itu harus banyak-banyak dibagikan di berbagai lini media sosial dan blog. Atas dasar itu, saya pun ingin mendokumentasikannya melalui blog saya, supaya bisa dibaca oleh siapa saja *yeah…semoga ada yang baca :D*. Bukan apa-apa, saya menduga tulisan tersebut tidak dipublikasikan di blog, jadi bisa saja suatu saat dihapus oleh yang bersangkutan, atau terhapus atau kemungkinan-kemungkinan lainnya. Meski demikian, tetap saya sertakan sumber link status tersebut. Sengaja saya buat  dalam format quotation karena ini memang bukan tulisan saya. Tulisannya memang agak panjang sih jika untuk format quotation, semoga kalian tidak kesulitan membacanya.
Catatan; tulisannya tidak saya ubah atau edit sama sekali. Saya pindahkan sebagai mana adanya di status yang bersangkutan. Sumber status dari SINI.
Selamat membaca!
***
Mari kita bicara soal lingkaran setan 'budaya literasi' di Indonesia, budaya baca tulis. Bagi Anda yang memang sering mampir ke toko buku dan mengamati dengan baik perkembangan buku yang terbit di Indonesia, tentu bisa menangkap seperti apa trend buku yang beredar di pasaran saat ini. Saya pun pernah ditanya saat tengah diskusi dalam mata kuliah Pemikiran Islam Kontemporer, di STF Driyarkara, ihwal trend buku Islam yang semakin banyak, dan saya berkata: "Mungkin bagi teman-teman (yang beragama Katolik dan Protestan) terlihat bahwa buku-buku Islam seperti membanjiri pasar, namun buku-buku itu adalah jenis buku kiat ini itu, misalnya: buku doa harian, buku panduan ibadah, buku kiat melamar pantang ditolak, kiat zikir banyak rezeki, doa biar kaya raya dan hal-hal sejenis itu. Buku-buku kajian berbobot yang dijadikan bahan bacaan oleh pak Kautsar di mata kuliah ini pun adalah buku-buku terbitan tahun 80an dan 90an, bukan buku terbitan tahun 2000an." Begitu pula dengan buku-buku non-agama yang terbit di era 2000an ini, jenisnya adalah buku-buku kiat jadi pengusaha sukses, kiat kredit modal dengkul, kiat cepat jadi kaya, kiat bercinta tahan lama, dan berbagai kiat praktis yang menawarkan sejuta impian. 
Sebagai bagian dari orang yang bergelut dalam dunia penerbitan di Indonesia, saya bisa paham kenapa trend perbukuan jadi seperti itu. Masalahnya, kalau penerbit menerbitkan buku-buku berbobot dan kajian teoretik ini itu, bahkan buku yang berguna untuk membantu mahasiswa dalam perkuliahannya, siapa yang mau membeli? Dari pengamatan saya, buku yang hampir pasti dibeli oleh mahasiswa di berbagai tempat kost, buku yang hampir selalu ada di kamarnya, adalah buku kamus Inggris - Indonesia karya MC Echols dan Hasan Sadili. Selebihnya adalah 3 atau 4 buku kuliah dan sisanya komik atau novel pop. Inlah negeri dengan seribu keajaiban: seseorang bisa meraih gelar sarjana, master bahkan doktor tanpa perlu memiliki budaya literasi, tanpa perlu suka membaca dan pandai menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan. Kenapa?
Bukankah biaya kuliah yang mahal menjadi semacam jaminan: "Kami sudah bayar mahal kuliah di sini, jangan macam-macam ya, jangan persulit kami untuk mendapat gelar, jangan paksa kami untuk membaca dan menulis makalah yang bagus, bebaskan kami memohon bantuan kepada Google dan wikipedia. Selama perkuliahan di kampus ini tidak membuat kami harus susah payah belajar, membaca dan memahami, maka uang SPP yang mahal itu akan selalu kami setorkan ke mulut Anda." Dan pihak kampus pun akan menyeru kepada para dosennya: "Wahai para dosen, mahasiswa adalah konsumen, dan konsumen adalah raja. Perlakukan mereka dengan baik, puaskan mereka dengan layanan kita dalam memudahkan mereka untuk mendapat selembar ijazah untuk membangun gengsi dan citra dirinya. Toh, suatu saat nanti, ketika mereka terjun ke politik dan jadi pejabat, kita juga yang bisa turut berbangga, bahwa alumni kita jadi pejabat, dan kita bisa dapat kucuran dana lagi. Begitu wahai para dosen sekalian. Pahamilah itu." 
Lalu bagaimana dengan para siswa yang masih sekolah di TK, SD, SMP dan SMA? Nasibnya pun kurang lebih sama. Orang tua kiwari biasanya lebih silau melihat gedung sekolah yang mentereng dan pengajaran bahasa asing serta ekstrakurikuler spektakuler. Soal apakah semua itu berguna untuk anak-anak seumur itu, tak jadi masalah. Bahkan, kini, sekolah anak pun bisa menjadi simbol prestise dan kebanggaan orang tua. Saya bahagia, bahwa teman sekelas saya di STF Driyarkara, yang dulu sama-sama kuliah di ITB dan seangkatan namun beda jurusan (saya di Desain Produk sedangkan dia di Informatika), walau pun seorang rumah tangga yang tidak bekerja, suatu ketika berkata: "Saya kayaknya akan langsung meneruskan ke S3 setelah lulus S2 nanti, karena saya bukan ibu rumah tangga yang suka arisan atau ngerumpi bersama ibu-ibu di sekolah anak saya." 
Ya, kita akan susah mengharapkan anak-anak tersebut menjadi seorang yang gemar membaca dan mengkaji kalau di rumah, orang tuanya pun tidak memberi contoh sebagai sosok-sosok yang bisa diteladani dalam membangun budaya literasi. Anak-anaknya dimanjakan dengan gadget dan game ini itu. Lihatlah orang tua era Orde Lama dan Orde Baru, walau pun mereka banyak yang tidak tamat SD, SMP atau SMA, apalagi kuliah, namun saya percaya, banyak teman-teman FB saya yang lahir di tahun 60an dan 70an lalu kini menjadi akademisi atau intelektual atau punya budaya literasi yang bagus, akan bercerita bagaimana para orang tuanya dulu memotivasi mereka agar rajin belajar dan menuntut ilmu setinggi-tingginya, lalu bagaimana para orang tua kita tersebut bekerja keras untuk memenuhi keperluan sekolah anak-anaknya. Saya masih ingat perkataan Bapak saya: "Untuk keperluan sekolah, berapa pun akan Papa coba penuhi, namun kalau untuk main-main, tidak!" Dan beliau sering membawa para tamu ke kamar saya untuk memperlihatkan koleksi buku seorang mahasiswa FSRD ITB yang waktu itu bukunya masih ribuan jumlahnya, belum puluhan ribu. Beliau terlihat bangga kepada kecintaan saya akan buku, bahkan beliau membelikan saya kamus Webster saat masih mahasiswa, padahal harganya lumayan mahal. 
Jadi, ke mana kita bisa berharap akan adanya penggerak perubahan? Toh kita tak bisa berharap kepada penerbit agar bisa menerbitkan buku-buku berbobot seperti masa 80an dan 90an, karena bagaimana pun mereka harus bertahan hidup menggaji para karyawannya; dan buku-buku berbobot semacam itu tak akan laku di jual di Indonesia. Apakah kita lantas harus berharap kepada institusi pendidikan serta para guru di sekolah dan dosen di kampus? Padahal sebagian dari mereka pun tak punya budaya literasi yang bagus, tak mahir menulis juga, mengajar hanya sekadarnya, sementara di sisi lain, para dosen yang punya prinsip dan idealisme seringkali tak berdaya karena para petinggi kampus menuntut agar mereka tidak macam-macam dengan para 'konsumen' (baca: mahasiswa) dan semaksimal mungkin memudahkan para konsumen untuk mendapat selembar ijazah, entah untuk keperluan apa pun ijazah tersebut, tidak usah dipusingkan selama bayaran SPP yang aduhai itu lancar jaya. Kepada para orang tua di rumah yang, entah kenapa, tidak punya visi dan cita-cita luhur seperti para orang tua di masa Orde Lama dan Orde Baru, dan walau pun biasanya memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi daripada orang tua di era Orde Lama dan Orde Baru tersebut, namun tidak memiliki budaya literasi yang bisa menjadi contoh bagi anak-anaknya, dan malah lebih mendahulukan membelikan gadget dan berbagai perangkat gaya hidup agar anaknya tidak malu dan terkesan kere di sekolahnya. Kepada siapa perubahan itu bisa kita harapkan? 
Saya hanya akan mengajukan sepenggal puisi Rumi untuk menjawab pertanyaan tersebut: "Kemarin aku begitu cerdas, sehingga aku ingin mengubah dunia. Hari ini aku menjadi bijak, maka aku pun mengubah diriku sendiri." 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Previous
Next Post »

17 comments

Write comments
Diyanika
AUTHOR
3 Januari 2015 pukul 07.20 delete

Benar banget Mak. Sebagai mantan mahasiswa dulu buku di rak lebih banyak novel dibandingkan buku teori. Dan menurut saya, harusnya malu kalau hanya baca novel tapi tidak membaca buku tentang teori2 yg sebenarnya lebih lebih mencerdaskan otak dan hati kita.
Terima kasih sharingnya mak.

Reply
avatar
Khaira
AUTHOR
3 Januari 2015 pukul 14.48 delete

Hmm... ironis memang kak.

Reply
avatar
Ibrahim
AUTHOR
3 Januari 2015 pukul 15.36 delete

wah ceritanya benar-beanr menajdi pelajaran bagi kita semua ya mbak :D

Reply
avatar
4 Januari 2015 pukul 03.22 delete

Iya mbak Ika. Dan sejujurnya saya juga merasa malu nih, isi rak buku saya banyakan buku-buku fiksi :/

Reply
avatar
4 Januari 2015 pukul 03.23 delete

Iya pak, tulisannya maksudnya :D

Reply
avatar
Maureen
AUTHOR
4 Januari 2015 pukul 12.44 delete

Menarik sekali tulisannya mak. Makasih sudah di sharing. Sepertinya budaya literasi ini harus kita biasakan dari rumah, sejak kecil anak-anak kita biasakan membaca buku dan bukan hanya komik saja tapi buku-buku ilmu pengetahuan juga.

Reply
avatar
5 Januari 2015 pukul 03.01 delete

Betul mak. Membiasakan sejak kecil agar terbiasa sampai besar
terima kasih atas kunjungannya mak Maureen

Reply
avatar
Mugniar
AUTHOR
6 Januari 2015 pukul 14.59 delete

Jleb ya Mbak.

Saya ingat di kampus dulu suka nonton para senior diskusi berbagai hal termasuk buku2 berat, bukan fiksi. Di situlah awal kesukaan saya pada materi ttg psikologi, pengembangan diri, dan pendidikan praktis dan saya kira basic dari gaya menulis saya sekarang. Sy beruntung ketika itu berada di dalam lingkungan para senior dan teman2 yang pembaca buku2 berat. Dan ehem suami saya termasuk salah satu dari mereka. Hingga akhirnya saya bisa membaca buku2 nonfiksi dengan lebih santai saat ini. Beruntung sekali saya ... alhamdulillah

Tulisan ini mencerahkan Mbak ... TFS :)

Reply
avatar
7 Januari 2015 pukul 14.13 delete

Sama-sama mbak.
saya juga tahun ini ingin memperluas bacaan mbak. selama ini terlalu banyak membaca fiksi sih, hehee

Reply
avatar
8 Januari 2015 pukul 10.37 delete

Duh...kudu lbh banyak lagi baca buku non fiksi. Pdhal dulu saat masih muda suka lho baca buku non fiksi. Etapi anak sulung saya ngambil jurusan sejarah di kampusnya gara2 sering baca buku sejarah. Padahal dia lulusan STM Pembangunan jur Teknik Komputer dan Jaingan. Saya bebasin pilihan bukunya meski ttp ada pengawasan. Tinggal si bungsu nih yg kurang suka baca buku.
Makasih mak udah diingatkan :)

Reply
avatar
9 Januari 2015 pukul 14.24 delete

Kalau saya, adik saya yang kuliah di Jurusan Sejarah mbak. salah satu jurusan yang pengen banget aku ada di situ, karna suka mengrtahu sejarah-sejarah dunia, tapi adik aku ini malas sekali membeli buku, mana belajar lagi -_-
Btw, sama-sama mb Sulis, semoga artikel yang saya share ini bermanfaat, hehee

Reply
avatar
Anonim
AUTHOR
10 Januari 2015 pukul 02.49 delete

Bagus banget ya tulisannya. TFS, Mbak.

Salam,
ira
www.keluargapelancong.net

Reply
avatar
10 Januari 2015 pukul 17.22 delete

Sama-sama mb Irawati
Wah, hampir takkirain siapa tadi pakai akun anonim.
Terima kasih sudag berkunjung mb Ira

Reply
avatar
26 Januari 2015 pukul 04.39 delete

tulisan yang mencerahkan, ya. memang dunia literasi sekarang ini kelihatan rame, tapi isinya kok ya sepertiyang dituliskan di atas ya. kalau saya memang suka baca, tapio enggak sanggupbeli, jadinya perpustakaan adalah tempat saya merasa memiliki koleksi ribuan buku :)

Reply
avatar
29 Januari 2015 pukul 03.07 delete

Ya betul mbak, soalnya buku-buku terori harganya mahal euy. Saya aja, buku2 psychiatry, fotokopi doang mbak, gak sanggup beli yang asli mbak. Mahaaal....

Reply
avatar
Unknown
AUTHOR
22 Oktober 2015 pukul 08.38 delete

Kutipan dr seorang teman yang bagus mbak, jadi malu lihat diri sendiri yang kondisinya mirip betul dengan apa yang dituliskan. btw saya pikir tidak usah malu dengan koleksi buku-buku fiksinya... karena dengan bahasa buku fiksi kita juga banyak belajar tentang mendeskripsikan sesuatu.

Reply
avatar

Instagram @fardelynhacky