Kasus
Angeline, gadis kecil yang ditemukan terbunuh dan terkubur bersama bonekanya
di depan di rumahnya sendiri, masih
bergulir hingga hari ini. Penyidikan demi penyidikan masih dilakukan oleh pihak
berwajib. Membuka fakta-fakta baru, menyingkap tabir demi tabir yang selama ini
tertutup rapat, menyentak banyak pihak, bahwa terkadang musuh anak-anak bukan
berasal dari luar rumah, tetapi justru dari dalam rumah. Sebenarnya, agak kurang tepat kalau saya
mengatakan ‘menyentak’, apalagi di saat kasus Angelina mencuat seperti saat ini,
karena ini kesannya seolah-olah bahwa kejadian seperti ini baru kali ini
terjadi. Padahal, kasus-kasus kekerasan anak sudah lama sekali ada. Dan
mirisnya, sebagian besar kasus tersebut adalah dengan pelaku kekerasan yang
dekat dengan anak. Orangtua, keluarga besar, pengasuh, guru, teman, dan siapapun
yang dekat dengan anak memiliki potensi untuk menyakiti si anak. Tanpa mengabaikan fakta kasus kekerasan anak
secara umum, baik dari internal maupun eksternal, saya ingin mengerucutkan
tulisan ini pada kasus kekerasan anak yang dilakukan dari dalam rumah si anak.
Temans,
masih ingatkah dengan kasus bocah bernama Ari Hanggara yang meninggal di tangan
ayahnya di tahun 1984? Arie Hanggara meninggal karena hukuman ayahnya yang
terlalu keras. Saya di tahun itu masih berumur 4 tahun, tetapi kasus Arie
Hanggara menyita perhatian publik hingga kemudian difilmkan. Sebelum kasus Arie
Hanggara, jangan dikira tidak ada kasus yang sama. Banyak, tetapi mungkin tidak
sampai menjadi berita nasional. Dan setelah kasus Arie Hanggara, jumlahnya
bertambah semakin banyak. Sebelum
Angeline, belum hilang dari ingatan kita akan kasus lima anak yang
ditelantarkan oleh orangtuanya baru-baru ini.
Indonesia
darurat kekerasan anak!
Ini
menjadi fenomena gunung es di Indonesia. Terlihat (terdengar) sedikit, namun
ada puluhan ribu kasus kekerasan anak secara umum. Googling saja ya jumlahnya,
hihii :D :p
Terus
dan terus saja ini terjadi, tidakkah ini menjadi pelajaran buat kita,
pemerintah dan masyarakat?
Kita.
Ya, Kita!
K-I-T-A!
***
‘Pembunuh
Angeline adalah Kita’, begitu judul sebuah tulisan opini di sebuah portal.
Judul ini menggelitik saya, terlebih lagi dengan fakta miris yang disampaikan
oleh penulis artikel tersebut.
Benarkah
K-I-T-A yang telah membunuh Angeline?
Agaknya
saya sependapat dengan artikel tersebut. Bahwa jika menilik lebih jauh akar persoalan
yang menimpa Angeline, maka yang salah adalah K-I-T-A. Ya, kita. K-I-T-A. Kita
yang kurang peka dengan kemiskinan, kita yang kurang peka dengan ketidakadilan
sosial, kita yang kurang peka dengan kekerasan terselubung di sekitar kita. Terlalu
banyak ketidakpekaan kita yang jika kemudian terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan setelahnya, barulah kita berucap ‘Ah, padahal harusnya bla bla bla….’,
‘Anaknya memang tak terurus selama ini, ah, ternyata bla bla bla…’, dan
sejenisnya. Itu terucap ketika sudah
kejadian, lalu di mana K-I-T-A saat kejadian? Nggak di mana-mana, kita ada
depan mereka, cuma ya, kita saja yang kurang peduli.
Sistem
kita, hukum kita, ya kita semua yang terlibat di dalamnya.
Saya
tidak bisa membayangkan bagaimana bisa sampai ada kejadian seorang ibu harus
menyerahkan anak yang baru saja dilahirkannya kepada orang lain hanya karena
tidak bisa membayar biaya persalinan sebesar 800 ribu rupiah. Saya yakin, tidak
seorang ibupun di dunia yang tidak ingin merawat bayi merah yang baru
dilahirkannnya, apalagi jika bayi tersebut dilahirkan dalam keadaan ‘normal’
jika dilihat secara norma. Tetapi siapa yang peduli saat bayi Angeline lahir yang kemudian ditebus dengan
menyerahkannya kepada orang lain? Well,
jikapun kejadiannya tidak demikian adanya, misalnya seseorang dengan sukarela
menyerahkan anaknya untuk diasuh oleh orang lain yang intinya berkebalikan
dengan kasus orangtua kandung Angeline yang dalam keadaan terpaksa menyerahkan
hak asuh anaknya kepada orang lain,
tetap saja diperlukan hukum untuk mengontrol proses pengadopsian anak. Tetapi
pada praktik kebanyakan, hukum hanya apa yang tertera di selembar kertas. Saya
tidak mengatakan bahwa hukum tidak ada gunanya, malah sebaliknya, hukum sangat
diperlukan.
Di
Indonesia, kita punya punya Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Mau anak kandung atau anak angkat atau anak tiri, mereka
semua adalah anak-anak yang berhak menikmati masa anak-anaknya yang indah,
hanya status anak kandung atau anak angkat sajalah yang membedakannya. Sebagai
anak-anak adopsi, prosesnya sendiri harus didaftarkan melalui dinas sosial dan
selama enam bulan dalam perawatan orangtua angkatnya, itu harusnya masih berada
dalam pengawasan departemen sosial. Nah, terkadang di bagian inilah ada yang missing. Orangtua angkat tidak
melaporkan perkembangan anak angkatnya karena memang selama itu mereka
baik-baik saja, jadi mereka merasa tidak perlu melapor. Padahal seharusnya
tidak boleh begitu, mau baik-baik saja atau tidak, orangtua angkat harus
melapor. Begitu juga dengan petugas, karena tidak didatangi orangtua angkat
untuk pelaporan, kadang ya terlewat begitu saja. Hal-hal (yang dianggap) remeh
temeh begini, sudah sangat biasa terjadi di tempat kita. Belum lagi jika
berbicara ada anak-anak adopsi dengan proses yang illegal, seperti halnya
Angeline. Angeline mungkin masih agak lumayan di mana proses adopsinya pernah dilakukan
melalui seorang notaris, meskipun tetap saja ini masih illegal. Di
kampung-kampung, dengan pelaku yang buta hukum, ketika mengadopsi anak, mereka malah
tidak melalui proses hukum apapun. Adopsi ya adopsi saja, cukup melalui
kata-kata dan tidak tertulis sama sekali. Ketika terjadi sesuatu yang tidak
diinginkan, tak jarang anak angkat, apalagi jika masih anak-anak, menjadi
korbannya.
Tetapi,
yang perlu kita sadari bersama adalah sebuah hukum dan aturan mesti juga
mendapat dukungan yang penuh dari masyarakat. Nah, masyarakat, yang mana itu
termasuk kita semua, mungkin banyak yang belum sadar akan hal ini. Atau,
menyadari ada sesuatu yang salah, tetapi takut untuk melaporkanya. Tidak usah
jauh-jauh, saya mencontohkan apa yang terjadi di lingkungan saya saja. Selama
kami tinggal di kompleks saya sekarang,
kami menyaksikan satu kasus kekerasan perempuan (yang dilakukan suami
terhadap istri) dan dua kasus penelantaran anak. Yang dua kasus sudah tidak
tinggal lagi di kompleks saya, namun masih menyisakan satu lagi kasus yaitu verbal abuse terhadap anak. Mirisnya,
itu dilakukan oleh ibu kandungnya sendiri. Saya akan menuliskannya di tulisan
tersendiri nantinya. Tetapi inti yang mau saya bilang di sini adalah bahkan
sampai si ibu ini punya empat anak dengan keempatnya juga mengalami verbal abuse, tak seorangpun tetangga
yang melapor ke pihak-pihak berwajib. Lha, mau melaporkan apa ke polisi? Ibu
mencaci maki anaknya? Jangan-jangan polisi akan tertawa terpingkal-pingkal
mendengar laporan tersebut. Tetangga menasehati ibunya? Waaah… tetangga kok
gitu? Kepo! Suka ikut campur urusan rumah tangga orang!
Begitu
mungkin tanggapan keluarga jika kita ingin peduli terhadap anak yang mengalami physical abuse atau verbal abuse.
Dalam
kasus Angeline, kita membaca berita bahwa semua aware terhadap kondisi Angeline yang memprihatinkan ketika masih
hidup. Mulai dari guru, teman-teman di sekolahnya, tetangga, bahkan sampai anak
kost yang ngekost di rumah ibu angkat Angeline. Mereka tahu ada yang salah
dengan Angeline, tetapi mereka bungkam. Atau, mungkin saja mereka pernah
melakukan sesuatu, tetapi akhirnya tak berdaya di ujung. Lihat saja bagaimana garangnya
ibu angkat Angeline saat menghadapi pejabat di negeri ini, apalah lagi mereka
yang saya sebutkan di atas tadi.
Belajar
dari kasus Angeline, seharusnya hal-hal seperti ini tidak boleh lagi terjadi di
masa yang akan datang. Pelayanan dan sistem kesehatan harus ditingkatkan,
terutama perhatian untuk ibu-ibu hamil dengan taraf ekonomi menengah ke bawah.
Mereka harus melahirkan dengan selamat dan bahagia. Di hari ini, sudah ada
BPJS, yang bisa digunakan oleh semua lapisan masyarakat Indonesia. K-I-T-A juga
harus lebih aware terhadap kondisi
anak-anak di sekitar kita, apalagi jika sudah main fisik.
Saya
teringat pada kalimat ‘It takes a village
to raise a child’ (lupa ini quote siapa). Mendidik anak bukan sekadar tugas
orangtua, tapi juga setiap orang yang ada di sekelilingnya.
Jika
mendidik anak adalah tugas setiap orang yang ada di sekelilingnya, maka tidak
salah jika ada tulisan opini berjudul ‘Pembunuh Angeline adalah Kita’. Dan ya, mungkin
saja, pembunuh Angelina adalah kita. K-I-T-A.
36 comments
Write commentsselalu takut baca berita kekerasan mak, apalagi terhadap anak. naudzubillaahi min dzaalik.
Replyentah perasaan gue doang atau apa.. Kasus ini penyidikannya terlalu berbelit belit
ReplyIntropeksi diri ya kak
ReplyTapi mak..nggak bisa nyalahin juga...banyak sebab kenapa ortunya mau ngasihin..entah uang entah apa..pasti punya motif..apalagi dia nggak pernah ketemu lagi semenjak itu..Tapi ah sudahlah...semoga angeline bahagia disana... kita berdoa saja :)
ReplyMungkin polisi bingung juga karena kasusnya memang rumit
ReplyMungkin polisi bingung juga karena kasusnya memang rumit
ReplySaya setuju Mak. Bukan hanya orang tua saja, tapi kepedulian kitalah yang ikut 'membunuh' anak-anak itu. Jadi sedih. Sebagai psikolog saya masih saja heran kalau ada orang tua yang 'tega' dengan anaknya. Meski kenyataan berbicara demikian, dan kalau dirunut ada saja benang merahnya. Lagi-lagi kepedulian kita lah yang ditunggu oleh anak-anak itu.
ReplyEh itu filmnya masih ada ga ya oie yg si arie itu.pengen nonton
ReplySemoga saja angelina bahagia disana dan engga ada lagi angelina yang lainnya :)
ReplyBener, keadaan masih sama sejak Ari Hanggara hingga Engeline. Karena kita permisif & tak peduli.
ReplyIya mak, hiks =(
ReplyIya betuuuuuul. Semalam emak angkatnya memang sudah ditetapkan jadi tersangka, tetapi setelah sekian lama :(
ReplyMungkin juga ya mak, karna pelakunya gak mau ngaku :(
ReplyYup
ReplyIya mak, mudah-mudahan tulisan ini gak diartikan nyalahin ortu kandungnya :D krn memang sama sekali gak nyalahin ortu kandungya. Banyak hal yang menyebabkan mereka melakukan itu ya mak.
ReplyIya mak, setujuuuuu
ReplyMungkin di yutub ada win? aku nontonya duluuu banget waktu masih kecil, tayang di TVRI. jadi udah agak2 lupa
ReplyAamiin. Makasih mbak
ReplyIya ya mak. udah lebih 30 tahun ini, masih aja ada kejadian penyiksaan anak :(
Replyambil hikmahnya dari kejadian angelina
Replymasih belum selesai ya mba di berita tentang kematian angeline ...
Replyiya ini kasus ga beresberes gatau kenapa kok kaya ada yang aneh sama kasusnya :D
ReplySetuju bangeet... kemana kita selama ini..kemana para tetangga kmn para guru yg sepertinya tahu keadaan angeline tp bungkam. Tp mang klo mo dirunut panjang deh kekerasan thd anak ini ya kak dan biasanya ujungnya masalaj ekonomi.. sesuatu hal yg anak2 ga ngerti sama sekali :(
Replysetau saya itu quote Hillary Clinton
ReplySemoga kedepannya ngak ada lagi arie hanggara dan angeline yg lain. Cukup mereka yg jdi cambuk buat kita semua agar lebih care dan lebih peka
ReplyUdah mbak. Ibu angkatnya udah dijadikan tersangka. Semoga mendapat hukuman yang layak
ReplyUdah mbak. Ibu angkatnya udah dijadikan tersangka, hehee
ReplyIya kak, ini masalah sosial yang susah diuraikan ya :(
ReplyMakasih infonya mbak. Lupa kemarin quote siapa :D
ReplyAamiin. Semoga
Replyhiks..miriis ya Mak..
Replymoga ga ada cerita angeline2 yang lain
Iya mak.. teriris rasanya membaca berita tentang Angeline ya mak. Keingat anak sendiri :(
Replyiya kak eki, tina sering menemukan kasus seperti itu, mungkin masih terbatas bada pemukulan di ibu terhadap anaknya. tina sendiri bingung apa yg harus dilakukan, mau melapor, melapor kemana. ntar kalo melapot, gak ada tanggapan, apalagi di Aceh..
Replyhehe..
kembali ke orang tua yang belum siap punya anak, akibatnya begini dech,,hehe
Krn anak2 tidak mengerti bahaya yg ada di hsdapan mereka...dan kita yg orang dewasa tau ya harusnya
ReplyIyaaaaa Tina. itu kadang dilema sendiri lhoo...apalagi jika bertangga dengan orang seperti itu. hiks...
ReplyBetul mbak Ade. mereka saking polosnya ya mbak
ReplyConversionConversion EmoticonEmoticon