Modal Nekat Saat Membeli Rumah

Ada kalanya kita harus nekat, demi meraih impian. Seperti saat kami membeli rumah, modalnya cuma nekat.
Saya dan suami ingin cepat-cepat punya rumah, meski kami baru menikah dan mengontrak sebuah rumah mungil. Pertimbangannya; (1) kami sudah tinggal menetap dan Insya Allah tidak pindah-pindah, (2) karena sudah sama-sama menetap di satu kota, maka semakin cepat bisa punya rumah semakin baik, jika punya uang, hahaa… Masalahnya, kami tidak punya cukup uang. Tetapi, uang memang tidak akan pernah cukup kan, ya.
Begitulah, sampai suatu hari kami mendengar ada yang menjual rumah di komplek tempat kami mengontrak rumah. Kami langsung tertarik. Kami sudah kadung cinta dengan lingkungan tempat kami tinggal sekarang. Meski komplek perumahan tersebut ada di pelosok, justru suasana perkampunganlah tempat yang paling ingin kami tinggali.
Kabarnya, rumah tersebut dijual seharga 55 juta. What??? 55 juta? Ya, kalian tidak salah baca. Karena, meski kompleks kami tinggal ini dekat dengan kota Banda Aceh, tetapi daerahnya benar-benar sangat kampung sekali, lho. Kalau orang Aceh bilang, tempat jin buang anak. Itu maksudnya, saking kampungnya dan saking terpelosoknya. Makanya kenapa jika ada yang menjual rumahnya, dipastikan harganya jauuuuh lebih murah dibanding dalam kawasan kota Banda Aceh, meski dengan tipe, luas tanah, dan bentuk yang sama. Penasaran dengan rumah super murah tersebut? Ini dia; tipe 36, tetapi masih ada sisa lahan di samping dan belakang.

Meskipun terkesan seperti gubuk derita, masih bisa dibilang murah karena harga rumah di situ berkisar antara 60-65 juta.
Saat itu kami cuma punya tabungan sebesar 30 juta. Tetapi, didorong rasa ingin segera punya rumah sedini mungkin, maka dengan rasa percaya diri dan nekat abis, kami minta bertemu langsung dengan pemilik rumah. Ceritanya, mau ngobrol-ngobrollah dululah, siapa tahu bisa menawar, atau siapa tahu ada kemungkinan-kemungkinan lainnya.
Setelah bertemu, diketahuilah bahwa sang pemilik rumah sedang  kepepet uang. Ada tiga anaknya yang sedang kuliah di perguruan tinggi swasta, juga istri yang sedang sakit-sakitan, tetapi sampai saat itu, belum ada yang tertarik membeli rumahnya. Yeah, kami maklum, orang-orang lebih suka tinggal di kota dibanding di kampung, mana pelosok lagi. Siapa yang mau tinggal di tempat jin buang anak?  
Kami langsung berterus terang bahwa kami ingin membeli rumahnya, tetapi hanya punya uang setengahnya. Tentu saja pemilik rumah menolak. Yaaaaahhh… penonton kecewa, lalu balik ke  kontrakan. Belum rejeki bisa punya rumah sendiri.
Beberapa hari kemudian, pemilik rumah menelepon kami. Beliau berkata kami boleh membayar setengahnya dulu, dengan sisanya boleh dibayar tidak lebih dari enam bulan. Kami menawar harga, jadinya 52 juta. Deal!
Bahagia, akhirnya bisa rumah sendiri. Tetapi di satu sisi, kami seperti kembali ke nol, sebagaimana ketika pertama menikah. Hampa karena tak lagi punya uang sedikitpun, dan bahagia karena bisa  punya rumah. Hampa tapi bahagia, bahagia tapi hampa. Memang absurd.
Utang ke sanak saudara, akhirnya rumah lunas. Ya, lunas sama pemilik rumah, menyisakan utang di tempat lain, hahaa… Tetapi, jika tidak nekat kayak begini, mungkin sampai sekarang kami belum punya rumah. Alhamdulillah, meski (masih) hidup tertatih-tatih, akhirnya kami bisa punya rumah. Itu yang penting.
Sekarang, ‘gubuk derita’ kami sudah kami ‘sulap’ menjadi lebih baik. Taraaaa…. 


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Previous
Next Post »

2 comments

Write comments
Unknown
AUTHOR
1 Februari 2016 pukul 07.18 delete

Sukaa banet dengan pengalamannya, emang bener kl nggak nekat ya mau kapan lagi? *ngerasasenasib he he he

Reply
avatar
ulimayang
AUTHOR
1 Februari 2016 pukul 08.39 delete

Saya juga nekat kok. Khawatir keburu tua pengeluaran semakin besar dan harga tanah makain naik. Istilah orang jawa mangan ra mangan ngumpul. Setidaknya ada rumah untuk pulang

Reply
avatar

Instagram @fardelynhacky