Perempuan Aceh di Era Modern [Harian Serambi Indonesia]

Harian Serambi Indonesia, 22 Maret 2012
 
Gambar di atas penampakan adalah tulisan saya yang di muat Harian Serambi Indonesia di rubrik opini. Ini adalah kali kedua saya mengirim artikel ke media tersebut sejak artikel saya ditolak tahun 2007 silam.
Pada 8 Maret 2012 lalu, di hari perempuan sedunia, koran ini memuat sebuah tulisan opini yang berjudul 'Inong Aceh Jameun Jino', artinya perempuan Aceh masa kini. Saya agak kurang setuju dengan tulisan opininya. Ini dia OPININYA. Malamnya, seorang penyair perempuan di Aceh bernama D. Kemalawati mengirim inbox ke saya via facebook yang isinya begini:
Eqi, tolong balas opini hari ini di serambi tentang inong aceh jameun nyoe. Sangat menghina perempuan. Kakak sangat tidak setuju dengan tulisan yang dangkal seperti itu. Berapa persenkah perempuan aceh yang suka rebonding, suka di warung kopi, suka celana ketat, juga perempuan karier yang melupakan rumah tangga? Please eqi. tulislah bahwa kita meski pun bekerja sangat tidak melupakan tanggung jawab kita sebagai ibu. Kakak merasa sendiri dengan kerjaan yang banyak kita memcoba bagi waktu sehingga kadang sampai ke tempat kerja kita masih ngos-ngosan meski sudah bekerja di rumah sebelum azan subuh bergema dan para lelaki masih tenang bergelung di tempat tidur.

Saya tidak tahu kenapa pada saya beliau meminta menuliskan opini balasan. Saya, jelas bukan salah satu penulis mumpuni di Aceh. Ada banyak perempuan penulis Aceh yang tulisannya cukup sering wara wiri di koran terkemuka di Aceh tersebut.  
Tapi, saya penuhi juga permintaan beliau. Akhirnya, tulisan opini balasan selesai saya buat. Saya kirim tanggal 8 Maret, malam harinya. Beliau (dan saya juga tentunya) berharap opini balasan tersebut akan dimuat paling lambat dua hari setelah opini yang dikritik, apalagi tulisan saya membahas tentang perempuan dan masih dekat dengan hari perempuan. Rupanya tidak dimuat. Hilanglah harapan saya. Pikir saya, berarti saya tidak berjodoh dengan rubrik opini koran tersebut. Meski tulisan saya sudah sering dimuat di koran itu, tapi belum pernah di rubrik opininya. Namun tiba-tiba saja, tanggal 22 Maret lalu artikel saya nongol di rubrik opini koran tersebut. Wah, rupanya butuh 14 hari tulisan tersebut mengendap di meja redaksi. 
Inilah tulisan yang saya tulis atas permintaan seorang kakak.
Dan berikut versi yang saya buat. Tidak ada pemangkasan oleh redaktur, hanya dibuat subjudul yang beda dengan yang saya buat.


Perempuan Aceh di Era Modern
Oleh: Fardelyn Hacky Irawani


 Membaca opini Serambi yang berjudul “Inong Aceh Jameun Jinoe” (08/03/2012), membuat saya, sebagai seorang perempuan Aceh, merasa prihatin dengan beberapa kesimpulan yang disodorkan penulis ke khalayak. Penulis hanya melihat  Inong jameun jinoe dari sisi negatifnya saja, tanpa mempertimbangkan sisi positif yang dimiliki perempuan-perempuan Aceh di era globalisasi ini. Oleh penulis, inong jameun jinoe dimaknai sebagai perempuan yang bukan perempuan baik-baik. Inong jameun jinoe adalah; perempuan yang hanya tergila-gila dengan fashion, yang menghabiskan berjam-jam waktunya di salon, yang hanya suka kongkow (ngumpul) di cafe atau warung kopi, yang suka meniru gaya orang lain, dan perempuan bekerja (wanita karir). Begitu kira-kira yang bisa saya simpulkan antara judul dan isi tulisan.
Membaca tulisan ini, saya teringat sebuah berita yang pernah saya baca di sebuah media online di Aceh, tentang hasil sebuah survei di sebuah sekolah di Banda Aceh bahwa 60 persen siswinya tidak perawan lagi (silakan unduh beritanya di sini: http://www.theglobejournal.com/Feature/banyak-siswi-sma-di-aceh-tidak-perawan-lagi/index.php).
Kenapa saya membandingkan opini saudara Arifin S dengan fakta yang ditulis oleh sebuah media online tersebut? Karena keduanya bisa menimbulkan sebuah kesimpulan yang salah di masyarakat. Di sini saya tidak akan membahas tentang hasil survei dalam berita tersebut yang masih perlu dipertanyakan keakuratanya. Saya hanya perlu meluruskan pendapat negatif tentang perempuan, khususnya perempuan Aceh, bahwa tidak semua perempuan Aceh itu hobinya menghabiskan berjam-jam waktunya untuk duduk-duduk di warung kopi, rebonding, membuka aurat, atau bekerja pontang-panting lalu tak ingat pulang. Mungkin benar fakta itu ada, tapi jangan sampai fakta yang memiliki nilai seperti nila setitik ini dijustifikasi secara umum hingga rusaklah susu sebelanga (semua perempuan Aceh).
Padahal tak kurang perempuan yang memiliki nilai positif diri hingga menghasilkan prestasi yang membanggakan. Nilai positif diri yang saya maksud adalah, masih banyak perempuan yang tetap ingat batas diri, mana batas yang aman dilalui dan yang tidak boleh dilanggar dengan berpijak pada aturan agama. Masih banyak perempuan yang menjadi wanita karir yang sukses namun sukses pula menjadi ibu rumah tangga; istri dan ibu yang baik.
Kita juga lupa fakta bahwa, di bawah gemerlapnya arus globalisasi, masih banyak perempuan Aceh yang berjuang sendiri menghidupi diri dan keluarga. Yang mengais rejeki di pagi buta hingga paginya lagi.
Memang benar, zaman sudah berubah. Pola pikir dan gaya hidup berubah. Begitu juga dengan tuntutan dan gaya hidup perempuan. Perempuan di era modern dituntut bergerak cepat dan tanggap terhadap perubahan zaman. Perempuan sekarang lebih banyak yang bekerja jika dibandingkan jumlah perempuan yang bekerja pada beberapa dekade silam. Hal ini disebabkan karena selain sudah adanya persamaan hak laki-laki dan perempuan dalam bidang pendidikan, juga mudahnya fasilitas pendidikan tinggi yang bisa dijangkau bahkan dari luar kota sekalipun. Ditambah dengan adanya pendapat; keupe sikula manyang meunyoe hana jeut keu pegawe (untuk apa sekolah tinggi-tinggi jika tidak menjadi pegawai negeri, pen). Intinya, orangtua memiliki harapan, setelah mereka menyekolahkan anak perempuannya, mereka mengharapkan si anak bisa bekerja di bidang tertentu. 
Dalam pandangan Islam
Bagaimana Islam menghargai perempuan? Islam menempatkan perempuan dalam empat peranan, yaitu perempuan sebagai anak, sebagai istri, sebagai ibu, dan perempuan dalam peranan sosial.
 Perempuan sekarang memang sudah dapat bekerja dan melakukan banyak kegiatan. Tetapi apakah baik jika perempuan bekerja di luar rumah? Dalam hal peranan sosial, tidak ada satu pun ayat Al Qur’an atau hadist yang mengekang  atau menghambat perempuan berkembang dan mengambil peranan aktif di luar rumah asalkan tetap dalam koridor yang baik dan tidak mengabaikan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Lihatlah contohnya ibu kita yang berprofesi sebagai guru. Pulang ke rumah lewat tengah hari. Setelah pulang dari sekolah, seabrek pekerjaan rumah sudah menunggu; memasak, membersihkan rumah, mencuci, dan lain sebagainya. Sebelum berangkat ke sekolah, pagi-pagi sekali ibu kita sudah menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Jadi beliau tetap dapat bekerja meski harus mengurus keluarga.
Memang benar wilayah domestik adalah wilayah yang didominasi oleh perempuan. Mengurus keluarga, memastikan rumah bersih, dan berbagai pekerjaan rumah tangga lainnya. Tapi bukan berarti haram hukumnya laki-laki  memasuki wilayah ini. Di era modern seperti ini,  pekerjaan seperti memasak atau membersihkan rumah bukan lagi pekerjaan yang tabu dilakukan oleh laki-laki. Dalam rumah tangga, laki-laki dan perempuan harus saling tolong menolong. Suami yang baik, jika memiliki banyak waktu luang berada di rumah, akan menolong istrinya mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Istri pun demikian, tak tertutup kemungkinan menolong menambah pendapatan anggaran rumah tangga dengan bekerja di instansi pemerintah, swasta, atau memiliki usaha sendiri. Semua pilihan terbuka lebar, tentu saja dengan berbagai konsekuensinya. Yang penting dari semua itu adalah tetap ingat tanggung jawab dan kodratnya sebagai perempuan.
Allah menciptakan laki-laki dan perempuan bukan untuk saling bersombong-sombong dan membanggakan diri, Allah menciptakan keduanya sebagai pelengkap satu sama lain. Demikian juga, Islam memberikan tanggung jawab, hak, kewajiban, serta peranan yang berbeda kepada laki-laki dan perempuan agar tercipta keseimbangan, bukan untuk saling menjerat dan mengekang kebebasan.

Perempuan Aceh di era Modern
Perempuan Aceh era modern mulai berpikir untuk eksis di luar rumah seperti kuliah, bekerja, berorganisasi, berkumpul di sebuah kelompok sesuai minat dan bakat. Bahkan tak jarang yang berprestasi. Remaja perempuan Aceh zaman sekarang adalah remaja kreatif yang tak hanya pergi sekolah di pagi hari, pulang lalu menghabiskan sisa hari sampai esok menjelang paginya lagi. 
Jadi, saya rasa sah-sah saja, jika perempuan nongkrong atau ngumpul bareng di warung kopi, cafe, dan sejenisnya, asal yang menjadi agenda dan topik pembicaraan adalah hal-hal positif yang menyangkut pengembangan dan pemberdayaan diri.  Islam tidak melarang perempuan tampil cantik dengan mengikuti mode yang berlaku saat ini, asal mode tersebut tidak menyalahi aturan berpakaian yang dianjurkan agama yaitu tidak mengumbar aurat. Perempuan juga tidak dilarang berbaur dan berdiskusi dengan sekelompok laki-laki, asal tidak berdua-duaan di tempat sepi. Kita tidak bisa menampikkan hadirnya budaya baru (asing). Yang mesti kita lakukan adalah kita yang harus memengaruhi (beradaptasi dengan baik) terhadap budaya asing bukannya terpengaruh oleh budaya tersebut.
Apapun zaman dan eranya, yang kita harapkan adalah hadirnya perempuan Aceh yang senantiasa bisa beradaptasi, menyeimbangkan diri bahkan mengoptimalkan potensi yang dimilikinya, berprestasi, serta menjaga marwah dan martabat keluarga dengan akhlak dan perilaku islami.


Penulis adalah seorang ibu.
Saat ini berdomisili di Hatyai, Thailand
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Previous
Next Post »

15 comments

Write comments
Unknown
AUTHOR
24 Maret 2012 pukul 08.28 delete

Waaaah keren tulisan nya bisa masuk koran,,,,

ayo kita terus berkarya untuk mencapai cita-cita

Falah Mulyana berkunjung di blog sobat sebelum Falah Mulyana melakukan aktifitas seperti biasa nya

Nice share sobat and Happy Blogging

Reply
avatar
24 Maret 2012 pukul 16.18 delete

Insya Allah
Makasih ya udah selalu berkunjung

Reply
avatar
Mugniar
AUTHOR
24 Maret 2012 pukul 21.13 delete

Aneh juga kalo digeneralisir ya mbak. Karena problema itu sebenarnya berlangsung umum di seluruh Indonesia. Perempuan Indonesia secara umum ya seperti yang dikritisi oleh penulis yg mbak kritisi balik itu. Saya pikir karena memang zaman sudah banyak berubah.

Trus penulis itu memberi solusi apa?

Btw, selamat ya ... keren deh bisa dimuat di media cetak ^__^

Reply
avatar
24 Maret 2012 pukul 23.04 delete

Iya mbak Niar, menulis sesuatu tidak fair rasanya jika hanya melihat dari satu sisi, apalagi jika hanya sisi negatifnya. Ini zaman sudah berubah. Perempuan Indonesia harus menjadi perempuan yang bisa dibanggakan, oleh ummat dan keluarga. Tidak harus dengan menjadi wanita karis juga. Bisa berprestasi walau hanya menjadi ibu rumah tangga
Thanks mbak Niar atas komennya

Reply
avatar
NouvaLitera
AUTHOR
16 April 2012 pukul 10.34 delete

sepertinya tak ada lagiperbedaan antar gender.. semua makin leluasa.. makin banyak kesempatan yg sama. met ya.. di tunggu tulisannya yg lainnya..:)

Reply
avatar
20 April 2012 pukul 21.53 delete

Iya mbak. Tapi bagaimanapun, perempuan dan laki-laki punya tugas dan kewajiban masing-masing
Makasih udah ya mbak :)

Reply
avatar
Kinzihana
AUTHOR
19 Desember 2013 pukul 22.57 delete

Waaahh prosesnya beratttt ya hehe selamat mak

Reply
avatar
Azhar Penulis
AUTHOR
20 Desember 2013 pukul 06.58 delete

sesekali kaum bapak perlu dijewer juga dalam tulisan. iya, semua punya hak dan kewajiban masing-masing, penulis seharusnya tidak menggeneralisir sebuah fenomena dalam menuliskan opini pribadinya, apalagi untuk sesuatu hal yang belum diteliti secara mendalam lewat survei dsb. :-)

Reply
avatar
20 Desember 2013 pukul 09.23 delete

Itulah azhar, kadang suka prihatin dengan tulisan-tulisan yang suka memojokkan perempuan :(

Reply
avatar
20 Desember 2013 pukul 09.24 delete

mak Hana:
Iya maaaaak...saingannya banyaaaak, heuheuheu...

Reply
avatar
Unknown
AUTHOR
27 April 2014 pukul 08.33 delete

wah baru nemu tulisan ini, mantap2.:)

Reply
avatar
Unknown
AUTHOR
8 September 2015 pukul 11.40 delete

Pada umumnya saya setuju dengan tuisannya. Paparan yang sederhana, simple, dan tidak emosional. Jika fakta sosial budaya saat ini menunjukan adanya pergeseran kultur dan perilaku sebagian perempuan Aceh, tidak menunjukan gambaran perempuan Aceh dalam konsep. Mestinya penulis Inoeng Aceh jamen jinoe, harus memberikan kejelasan konsep, apa yang dimaksud “inoen aceh”, apakah ia konsep sosial ?, setidaknya penulis tsb menyelesaikan aspek epistem tentang konsep sosia l “inoeng aceh”. Atau sebaliknya inoeng Aceh itu konsep kultural. Jika ia dianggap konsep budaya, maka “inoeng Aceh memuat gambaran ideal dan nilai-nilai yang dideskripsikan budaya. Dia harus selesaikan dulu bagaimana konsep inoeng Aceh dalam perspektif budaya Aceh.
Perubahan situasi perempuan Aceh saat ini dijadikan tantangan saja bagi kita semua, karena faktor perubahan itu berhubungan dengan banyak faktor, dan secara sosial kita punya kontribusi bakan investasi kesalahan sehingga begini.
Saya sedang menyelesaikan tulisan perempuan hebat dari Sawang (true story), pada hal sebagai lelaki saya ingin menulis juga tentang “Lelaki hebat”, tapi sayang harus gigit jari. hehehehe

Reply
avatar
13 September 2015 pukul 17.10 delete

Terima atas sharingnya Pak Nyak Arif Fadhillah Syah.
Wah, saya ingin sekali membaca tulisan tersebut. Di mana bisa membacanya, pak?
Terima kasih infonya

Reply
avatar

Instagram @fardelynhacky