Picture was taken by Amin Fatoni |
Tempat saya tinggal dan
menuntut ilmu di Thailand bernama Hatyai. Hatyai adalah kota yang terletak di
Provinsi Songkhla, Thailand Selatan dan merupakan kota terbesar dan terpadat di
kawasan Thailand Selatan. Sehingga banyak yang salah menafsirkan bahwa Hatyai
merupakan ibukota provinsi Songkhla. Padahal sebenarnya ibukota provinsi ini
adalah Muang Songkhla, yang dinisbahkan sebagai pusat administrasi, sementara Hatyai
sebagai pusat perdagangan. Hatyai juga terkenal sebagai pusat perbelanjaan dan
kuliner. Banyak warga Malaysia dan Indonesia datang ke sini untuk berbelanja
dan kemudian menjualnya kembali di negara masing-masing.
Berbeda dengan Pattani yang
sama-sama berada di daerah Thailand Selatan, penduduk Songkhla sebagian besar
adalah non muslim. Tantangan terberat bagi kami –mahasiswa Indonesia yang ada
di Songkhla– adalah menemukan warung makan yang halal. Karena umumnya
masyarakat Thailand di Songkhla tidak bisa berbahasa Inggris, maka kami hanya mengandalkan
aksi pencarian ‘isi perut’ ini dari penampilan si pemilik warung atau kantin,
misalnya si pemilik warung mengenakan
jilbab sebagai indikasi bahwa warung tersebut dijual oleh muslim, atau melihat
dengan jeli apakah ada tempelan stiker ‘halal’, “Allah’ dan “Muhammad’ di
warung tersebut. Kalau salah satunya terpenuhi, Insya Allah warung tersebut
boleh didatangi. Penduduk muslim yang ada di Hatyai, sebagian besar berasal
dari Pattani dan mereka bisa berbahasa Melayu dan Jawi. Meski bahasa Melayu dan
Jawi terlalu banyak berbeda dengan bahasa Indonesia, sehingga harus
berkali-kali menanyakan apa yang dimaksud oleh pembicara, tapi setidaknya hal
ini bisa sedikit membantu kami dalam berkomunikasi dengan warga Thailand.
Meskipun dua kota ini
berdekatan, suasana Ramadhan di Hatyai berbeda dengan di Muang Songkhla. Mayoritas
penduduk provinsi Songkhla memang beragama Buddha. Namun beberapa tahun
belakangan ini, persentase penduduk muslim di provinsi Songkhla semakin
meningkat seiring banyaknya warga provinsi Pattani dan Yala yang pindah dan
menetap ke Songkhla dengan berbagai alasan antara lain karena Songkhla dirasa
lebih aman daripada Pattani yang merupakan daerah konflik dan karena alasan
ekonomi. Kebanyakan dari mereka menetap di kota Muang Songkhla dan hidup berbaur
dengan umat Buddha. Toleransi beragama di dua kota ini sangat tinggi. Makanya
saya bersyukur sekali bisa berada di kota ini.
Akhir Maret lalu terjadi pemboman pada hotel Lee
Garden Plaza yang berada di pusat kota Hatyai. Konflik yang memanas di Pattani
kerap memicu keresahan di provinsi-provinsi di sekitar Pattani. Namun hal itu
tidak menyebabkan muslim Thailand yang berada di provinsi Songkhla disudutkan oleh
pihak non muslim di sini. Warga muslim tetap bisa menjalani ibadahnya seperti
biasa, termasuk ibadah di bulan Ramadhan ini.
Sabtu lalu, saya dan teman-teman Indonesia melewati pusat
pasar Mueng Songkhla karena kami akan ke konsulat RI untuk melaksanakan buka bersama di
tempat tersebut. Waktu hampir menjelang berbuka saat van yang kami tumpangi
melewati pasar tersebut. Seperti biasa, kami berangkat pukul lima sore dengan
perkiraan sampai di Muang Songkhla sekitar pukul enam. Tapi entah kenapa, hari
itu jalanan menuju Muang Songkhla sangat macet sehingga kami sedikit agak telat
sampai di kantor konsulat. Di sepanjang ruas jalan utama pusat pasar Muang
Songkhla, saya lihat banyak sekali perempuan mengenakan berjilbab. Mereka
adalah para penjual dan pembeli. Melihat mereka, saya langsung teringat dengan
kampung halaman saya di Banda Aceh, di mana selama bulan Ramadhan, hampir di
semua ruas jalan baik di kota maupun di desa, jalanan dipenuhi oleh para
penjual makanan untuk berbuka.
Sayangnya, karena mepet dengan waktu berbuka, saya
tidak sempat mengambil gambar untuk moment tersebut. Di luar bulan Ramadhan,
pasar tersebut tidak seramai seperti ini. Kali ini, saya lihat penjual yang
menjajakan makanan lebih banyak muslim.
Di Hatyai sendiri, suasana Ramadhan tidak jauh
berbeda dengan suasana sebelum Ramadhan. Warga muslim yang profesinya memang
memiliki usaha berdagang dengan membuka warung nasi, mereka tetap berjualan di
siang hari selama Ramadhan. Meski berjualan di siang hari dan mencari nafkah,
mereka tetap melaksanakan ibadah berpuasa.
Bersyukur sekali saya bisa tinggal di kota ini, yang
penduduknya hidup dengan teratur dan saling menghormati antar agama sehingga kami
yang mahasiswa asing di sini bisa melaksanakan ibadah di bulan puasa dengan
tenang.
ConversionConversion EmoticonEmoticon