Sulit baginya menerima pria lain setelah satu pria dicintai dan melukai. Pertama, karena dia belum pernah dilukai oleh pria mana pun di dunia ini. Kedua, pria itu telah mengisi bahkan sampai ke urat nadinya sehingga dia sulit untuk melupakan. Ketiga, dia takut ketika dia memutuskan untuk menerima pria lain, luka yang sama akan tercipta. Keempat, dia tak bisa melepaskan untuk tidak memandang pria itu lagi, karena mereka akan selalu bertemu.
Mungkin benar kata orang bahwa cinta itu
buta. Awalnya dia tak ingin memercayai. Cukuplah baginya menjalani peran
sempurna sebagai gadis yang belum ingin tersentuh dengan hal-hal sepele dan
menlankolis, seperti jatuh cinta.
Baginya jatuh cinta adalah pada orang yang tepat dan di saat yang tepat, yaitu
ketika Tuhan menunjuk seseorang menjadi pasangan jiwanya. Kuliah, berorganisasi dan menulis, sudah cukup membuat dunianya sibuk untuk tidak
bersentuhan dengan cinta pada lawan jenis, sebelum waktunya. Sekali dua dia masih bisa menampik tawaran
’ingin lebih dekat dengannya’, dari teman-teman kuliah, teman-teman organisasi
dan teman-teman yang dikenalnya lewat interaksi kegiatan tulis menulis. Tapi dia lupa, bukankah dia juga punya hati?
Maka ketika seseorang datang dengan membawa sekeranjang harapan dan menawarkan
isi keranjang tersebut padanya, dia tak kuasa menolak. Ketika harinya mulai dihiasi warna
pelangi, rasanya tak ada logika apapun yang bisa mengalahkan logika cinta.
Ketika hati mulai dipenuhi wangi bunga-bunga, tak sadar ada hal-hal yang luput
diperhatikan kemudian disesalkan. Mengapa tidak dari awal? Mengapa harus
berjumpa? Mengapa harus mencinta? Dan oleh sebab itu dia harus terluka.
Di antara duka, dia merunut luka.
Dulu, sebelum pria itu datang, semuanya berlangsung baik-baik saja.
Hidupnya mengalir dengan tenang tanpa riak. Berinteraksi dengan banyak orang
dan menciptakan hubungan harmonis. Oh, dia bukan tak punya gejolak dengan
berbagai persoalan hidup. Dia seperti gadis-gadis pada umumnya. Punya persoalan
dengan berbagai orang yang terlibat dengannya. Hanya saja karena dia telah mengumpulkan banyak energi
positif dalam memandang setiap persoalan hidup, maka semua hanya dianggap
sebagai pelengkap beragam warna dalam hidupnya.
Dia seorang gadis yang supel, ramah, bersahaja dan welcome kepada
siapa saja, termasuk pria. Meski dia selalu menjaga pergaulan dengan lawan
jenis, bukan berarti dia menutup diri. Dia tahu mana batas yang harus dilewati
dan mana yang tak boleh dilewati. Semua berjalan begitu damai dan dia tetap teguh pada prinsipnya;
memberi batas-batas tertentu untuk pria mana pun.
Itulah yang selalu menjadi pegangan sampai dia
merasa suatu saat dia akan melanggarnya, bila tiba waktunya. Dia tak pernah
memberi kesempatan pada pria mana pun yang ingin melebihi dari apa yang dia
inginkan. Baginya ketika dia sudah merasa siap menerima seseorang, maka lampu
hijau akan dinyalakan. Artinya, dia siap menjalani dengan resiko apapun. Dia
ingin ketika dia menjalani semua, itu adalah dengan pria terakhir dalam
hidupnya. Memang bukan yang pertama tapi dia tak ingin ada yang lebih banyak
lagi.
Perkenalannya dengan pria itu terjadi ketika si pria datang menjenguk teman yang juga
teman satu kost-nya. Entahlah, apakah saat itu layak disebut perkenalan atau
tidak. Dia hanya melintas masuk ke dalam ke rumah kost ketika si pria sedang asyik berbincang-bincang dengan teman
perempuan satu kost-nya. Dia tidak kaget ketika teman
perempuan satu kost tersebut mengatakan kalau si pria adalah orang sekampungya. Toh di
tempat dia tinggal juga banyak orang
yang satu kampung dengannya. Hanya begitu saja. Tanpa sempat saling bertanya
nama masing-masing seperti layaknya sebuah perkenalan.
Dia pikir hanya sampai di situ. Dia pikir
peristiwa itu hanya bagian kecil dari peristiwa-peristiwa serupa yang pernah
dialaminya. Berada di suatu kota karena menuntut ilmu dan bertemu dengan
orang-orang sedaerah yang juga melakukan hal yang sama, apa istimewanya?
Sungguh itu hal yang teramat biasa.
Sampai suatu pagi sebuah nomor tak dikenal memangil-manggilnya. Ada delapan miscalled.
Dia memang sering sengaja meninggalkan handphonenya ketika sedang mengerjakan sesuatu. Apakah itu
karena mengerjakan pekerjaan rumah atau sekadar meninggalkan di kamar barang
sejenak. Baginya, benda tersebut bukan anggota tubuh yang mau tak mau akan
dibawa pergi ketika tubuh berpindah tempat.
Begitulah pagi itu. Karena terjadi hal-hal seperti
yang di atas, agak kaget juga dia melihat ada delapan panggilan dari nomor yang
sama dengan durasi waktu hanya sekian detik. Pastilah ini panggilan penting.
Tak perlu waktu lama untuk mengetahui siapa penelepon asing itu karena kemudian
si penelepon itu meneleponnya lagi untuk yang kesembilan kali. Penelepon adalah pria tetangga depan rumah.
Yang dulu dikenalnya sekilas lalu hilang begitu saja. Ini tidak biasa,
pikirnya. Dia tidak punya
kepentingan apa-apa terhadap pria tetangga kost-nya itu.
”Saya kira kamu tidak mau mengangkat
telepon dari saya.” Saya? Hei, bahkan saling menanyakan nama saja tidak, apalagi nomor handphone. Lalu
obrolan yang selalu dianggapnya biasa, terjadi.
Sampai si pria
kemudian menyampaikan maksud dan tujuannya.
“Bolehkah saya bersilaturahmi ke tempatmu?” Dia heran. Bukankah dia selalu datang ke kost mereka?
“Yang ingin saya temui kali ini bukan teman saya
itu, tapi kamu.”
Saat itu dia sama sekali tidak tahu bahwa jawaban
dari pertanyaan di atas sangat menentukan apakah hidupnya akan tetap biasa-biasa
saja atau tidak. Dia selalu menganggap seperti yang terjadi selama ini, semuanya akan biasa-biasa
saja. Dia pun mengangguk setuju.
Lalu...
Telepon dari si pria tak cukup datang hanya sekali.
Kedatangan si pria ke kost-nya juga tak cukup
hanya sekali.
Dia mulai sadar, sejak dia mengenal laki-laki itu, alur hidupnya menjadi tidak sama lagi! Dan satu hal yang kemudian disesalinya:
dia tak lagi bisa mengubah menjadi
seperti semula ketika dia belum mengenal si pria. Dia salah kalau mengira dia akan baik-baik
saja. Dia salah kalau mengira dia akan
menganggap si pria sama dengan yang lain. Karena hal tersebut tak pernah bisa dia dilakukan
seperti ketika dia memperlakukan setiap pria yang dikenal di waktu-waktu
sebelumnya.
Awalnya dia tidak merasakan apa-apa.
Kemudian hati berbicara lain. Pesan-pesan
singkat yang diterima dari
pria itu bisa melebihi jadwal makan dalam sehari. Dari sekedar say hello
sampai pesan ’merah jambu’ yang membuat hatinya buncah. Lagi
di mana? Sudah makan belum? Dik, hujan, hati-hati, nanti sakit! Ketika hati tersentuh dengan segenap pujian
dan perhatian, dia mulai merasakan hal-hal yang sudah lama tidak
dirasakannya.
Maka ketika pria yang menurut orang-orang
bukanlah tipe pria istimewa itu memberi perhatian, dia merasa akan ada sesuatu
yang berbeda. Lebih dari itu, mau tak mau dia jadi bertanya-tanya; sudah
tibakah saatnya membuka hati untuk seorang pria?
Dia sadar hatinya mulai tidak tenang. Dia akan gelisah kalau sehari saja tak menerima pesan dari pria
itu. Dia sadar hatinya mulai membagi
untuk hal-hal yang sudah lama tak tersentuh: cinta! Lalu salahkah kalau kemudian
dia mengatakan bahwa dia telah jatuh cinta pada pria itu? Meski pria itu belum
mengatakan apa-apa tentang hal tersebut, tapi dia tahu pria itu mencintainya.
Kalau tidak untuk apa pria itu harus repot-repot mencari nomor handphone-nya
kemudian berlanjut memberi perhatian.
Hubungannya dengan pria itu tidak terlalu
berlebihan. Sejak awal sampai dia
mengenal pria yang telah memberi getar yang berbeda, dia tetap berpegang teguh
pada prinsipnya. Suatu hari, ada yang mempermasalahkan kedekatan mereka.
Menanyakan apakah mereka berdua ‘sedang ada sesuatu’? Dia tahu ke mana arah
pertanyaan itu. Maka di suatu siang, dia meyakinkan diri sendiri, dia harus menanyakan hal tersebut pada pria tetangga kost-nya itu.
Sebuah jawaban yang melambungkan asa dikirim melalui
sebuah pesan singkat.
“Kalau Tuhan mengijinkan, Insya Allah saya ingin hidup satu rumah denganmu. Tapi sebelum
melangkah lebih jauh, saya ingin kita terlebih dahulu mengenal pribadi masing-masing.”
Seperti gayung jatuh yang bersambut, kedua tangan
bertepuk yang memagut, cinta dipucuk ulampun tiba...
Sebuah keputusan besar telah diambil. Setelah melalui malam-malam
panjang dan meminta petunjuk pada-Nya. Baginya tak ada tempat mengadu dan meminta yang
lebih pantas selain kepada-Nya.
Maka dimulailah sebuah proses. Menurut
beberapa orang, pria itu layak untuk dirinya. Perempuan yang baik-baik tentulah
akan mendapatkan pria yang baik-baik juga. Dia seperti membenarkan ucapan
orang-orang di sekitarnya bahwa memang benar ada kesamaan antara dirinya dengan
pria itu. Sama-sama ramah dan suka
memberi kebahagiaan kepada orang-orang. Suka berteman dan menyambung
persaudaraan dengan orang-orang terdekat.
Periang dan humoris, sifat yang juga dimiliki oleh si
pria. Umur mereka sudah cukup dewasa untuk memulai proses itu. Maka jangan
bayangkan prosesnya akan sama seperti proses-proses yang dijalani oleh
remaja-remaja sekarang yang jika sudah bersama orang yang dicintai, seolah
dunia hanya milik mereka berdua.
Dia sama sekali bukan tipe orang yang possesive. Ketika dia merindu
maka dia cukup merasakannya saja. Ketika dia mencinta maka dia pun cukup
merasakanya saja. Karena dia ingin
menjalani semua dengan sederhana. Dia memaknai cinta dengan sederhana. Dia
tidak ingin berlebih-lebihan. Dia tahu, manusia boleh berencana tapi Tuhan punya ketetapan. Manusia senantiasa bergerak dan
berubah. Ketika itu terbersit satu
tanya: apakah nanti ini akan berubah juga? Iya atau tidak. Hanya itu kemungkinan jawabannya. Karena sesungguhnya Dia adalah
Maha pembolak-balik hati manusia.
Sebuah berita untuk orang tua yang berada
jauh dari kota tempat di mana mereka tinggal, melengkapi proses tersebut. Dia
tak perlu khawatir tentang keadaan si pria yang bila dilihat dari segala
hal, pria itu tidak ada apa-apanya. Tingkat pendidikannya lebih tinggi dari si pria. Tentang pekerjaan, si pria sedang terikat kontrak kerja di sebuah LSM yang sewaktu-waktu bisa habis masanya dan
harus memulai lagi dari nol. Dia tidak pernah memandang orang dari sisi yang
demikian. Hanya latar belakang keluarga
mereka yang tak jauh beda. Sama-sama berasal dari kampung dengan keadaan
ekonomi yang sedang-sedang saja. Tidak kaya, juga tidak miskin.
Dulu, waktu masih sekolah, orangtuanya pernah berpesan bahwa siapapun orang
yang akan mempersunting anak-anak mereka, asal anak-anak suka dan merasa cocok,
mereka tidak akan pernah mempermasalahkan. Yang penting, akhlaknya, bukan harta
atau pangkat. Berpijak dari itu, dia yakin orang tuanya akan setuju saja dengan pilihannya itu. Dan memang demikianlah
adanya, orang tua setuju dengan pilihannya. Dalam proses tersebut, mereka telah
merencanakan banyak hal. Tentang kapan tepatnya mereka akan menikah.
Tentang mas kawin. Tentang pesta
pernikahan. Tentang rencana mendidik anak-anak jika kelak mereka punya
anak. Dan tentang banyak hal yang
nantinya akan mereka jalani setelah mereka disatukan oleh ikatan pernikahan.
***
Proses penjajakan untuk hidup bersama sedang
mantap dijalani saat tiba-tiba
si laki-laki mulai menunjukkan sikap yang berbeda dari hari-hari sebelumnya. Ini membuat dia bingung. Sungguh dia tidak tahu di bagian mana yang salah,
hingga ketika dia mulai membuka hati dan menerima pria tersebut masuk ke
dalamnya, si pria mulai bersikap aneh. Rasanya tak ada hal-hal aneh yang
memungkinkan dia menyakiti hati pria belahan hatinya itu. Rasanya dia selalu
dan sudah bersikap sangat hati-hati ketika berinteraksi dengan teman-teman pria
selain pria itu. Semua dilakukan karena ingin memberikan sebuah cinta yang
terbaik untuk pria itu. Tapi sebagaimana yang dilakukannya selama
ini, dia selalu berusaha untuk tetap berpikir positif. Tapi kemudian hal ini
tidak bisa dilakukannya terus-menerus ketika jarak semakin jauh membentang.
Dari beberapa kali menerima SMS sehari menjadi seminggu sekali dan bahkan lebih lama dari itu. Itu juga hanya sekadar menanyakan kabar dan
apakah keadaannya baik-baik saja. Dia yakin si pria masih melakukan hal
tersebut karena merasa tidak enak hati dengan membiarkan dirinya tanpa kabar
apa-apa.
Tibalah masa-masa sulit. Ujian skripsi sudah di depan mata dan dirinya
sedang kacau. Beberapa kali mengikuti
tes TOEFL sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian skripsi, pertanda
bahwa tak satu pun dari soal-soal tersebut masuk ke kepalanya. Banyak tugas organisasi yang harusnya bisa dia selesaikan tapi tak terselesaikan. Pernah sekali
dia menyakan perihal tersebut kepada si pria. Ada apakah dengan dirinya?
Mengapa sekarang jadi berbeda? Namun jawaban si pria membuat hari-harinya
semakin kacau. Semakin tak terkendali meski dia berusaha tetap mengendalikan
diri. Hatinya semakin kebat-kebit. Aku tidak apa-apa. Begitu jawaban
pria itu. Kalau tidak ada apa-apa, lantas kenapa pria itu sekarang menjadi
seperti tidak mengenal dirinya?
Dan sekarang harinya bukan sekadar kacau.
Hatinya bukan sekadar kebat-kebit. Dia semakin tidak bisa mengendalikan diri.
Dia merasa menjadi sangat tidak berharga atas perlakuan si pria. Lantas memaksa
si pria untuk menjelaskan satu hal kepada dirinya. Katanya dia siap untuk
segala apapun yang akan dikatakan pria itu.
”Maafkan saya, sudah lama tidak memberi
kabar. Sungguh saya tak tahu harus memulai darimana untuk mengatakan ini
padamu,” pria itu memulai percakapan pada pertemuan itu. Dia berusaha keras
menahan airmata ketika itu.
Meski firasatnya mengatakan, di ujung
pertemuan itu nanti dia akan dikecewakan, tapi entah mengapa, jauh dilubuk
hatinya dia masih berharap: andai saja si pria meminta maaf atas kesalahan
karena telah membiarkan dirinya tanpa kabar selama beberapa waktu, dia akan
memaafkan dan tetap melanjutkan proses itu.
”Kakak tidak mencintaiku?” tanyanya. Ada kemugkinan tiga pilihan jawaban dari pertanyaannya tersebut: mencintainya di awal bahkan sampai saat itu, mencintainya di awal tapi
kemudian tidak lagi, atau sama sekali tidak mencintainya bahkan sejak awal.
Andai saja dia bisa menyelam ke dasar hati pria itu, dia akan melakukannya.
Yang manakah dari ketiganya yang bersemayam di situ? Tapi tentu saja, bahkan
siapa pun tak akan bisa melakukannya.
Si pria menggeleng. ”Kamu salah kalau
berpikir saya begitu. Demi Tuhan, sejak awal saya serius ingin memulai proses
ini. Saya tidak main-main. Tapi...”
Pria itu dengan serius berkata serius,
tapi mengapa dia berkata tapi.
Beberapa hari lalu ibu si pria datang ke
kota tempat di mana mereka tinggal. Si pria memberitahu tentang dirinya sementara ibu si pria memberi tahu tentang seseorang yang lain. Gadis yang
lain.
”Sebelumnya ini pernah terjadi pada abang
saya ketika dia menikah dulu. Ibu tidak setuju.”
Apakah itu artinya ibu si pria juga tidak
menyetujui jika dirinya yang menikah dengan si pria? Oooh... mengertilah dia
sekarang!
”Maafkan saya. Bisakah kita berteman
saja?”
Seharusnya airmatanya tumpah ruah
mendengar itu. Tapi sekuat tenaga dia tahan. Secara fisik dia setuju, kepala
mengangguk, bibir tersenyum. Tapi tahukah si pria apa yang terjadi padanya?
Sayapnya patah. Hatinya terbelah. Jantungnya berdarah-darah. Empedunya pecah.
Masuk ke mulutnya. Masuk ke tenggorokannya. Sungguh sebuah kenyataan pahit yang
baru seumur-umur dialaminya. Dia terluka! Dulu
dia juga pernah memasukkan nama seorang pria ke dalam hatinya. Tapi pria
di masa lalu itu –meski kemudian tak berjodoh dengannya– tak pernah berkata: Bisakah
kita berteman saja?
Rasanya tak ada semangat hidup setelah
itu. Tiba-tiba dia merasa asing sekali berjalan di jalanan yang
hampir setiap hari dilaluinya. Merasa
asing dengan rasa susu coklat yang diminumnya hari itu
dibandingkan rasa susu coklat yang sama yang diminumnya di hari-hari
sebelumnya.
Bersabarlah, Dik! Tuhan sedang mengujimu. Mungkin dia bukan yang terbaik
untukmu. Boleh jadi kamu mengatakan sudah merasa cocok dengannya, begitu juga sebaliknya, tapi Tuhan lebih tahu apa yang terbaik untukmu. Katakanlah dia
cukup baik, tapi akan ada yang lebih baik dari dia
meski bukan yang sempurna. Luka itu tercipta karena ada harapan yang terlalu
besar. Begitu sebuah
nasihat diterimanya. Menelusup ke hati. Membuat dia merenung
berhari-hari.
Dia tergugu.
Benar, ada harapan yang sangat besar.
Terlalu besar. Bahkan urat nadinya mengharapkan pria itu. Hingga kemudian
sebuah lubang yang menganga besar dan dalam menantinya. Membuat dia terjatuh
dan terluka berdarah-darah.
Seharusnya dari awal ketika dia dan pria
itu berkomitmen, dia menanyakan banyak hal. Apakah sudah diberi kebebasan
memilih pasangan hidup sebagaimana dirinya yang diberi kebebasan memilih
pasangan hidup oleh orang tuanya? Oh, dia melupakan satu hal penting: bahwa menikah
tak hanya menyatukan dua manusia berbeda jenis tapi juga menyatukan dua
keluarga. Dua kebudayaan. Dua karakter. Dua perbedaan.
Lukanya semakin berdarah-darah ketika
memutuskan barangkali si pria tak pernah benar-benar mencintainya. Bukankah
cinta akan membuat seseorang
mau melakukan apa saja untuk mendapatkan orang yang dicintainya?
Bukankah karena cinta seseorang mau berjuang asal bisa bersama
dengan orang yang dicintai? Tapi barangkali tidak demikian dengan pria itu.
Dengan mudah si pria mengatakan berteman saja dan menuruti apa yang
diinginkan orang tuanya. Sungguh, dia tidak bermaksud meminta si pria menentang
orang tuanya. Tapi tidak adakah sebuah usaha yang dilakukan untuk mendapatkan
dirinya? Mencoba berbicara baik-baik, misalnya? Batu saja bisa berlubang karena
sering tertetesi air apalagi hati manusia yang lunak. Barangkali hati mereka
akan luluh melihat kesungguhan anaknya. Pernahkah hal demikian terpikirkan oleh
si pria? Ayo, perjuangkan aku! Andai saja dia bisa berkata begitu.
Dia itu laki-laki pengecut! Membiarkanmu
sekian waktu setelah berkomitmen lalu datang menyakitimu. Begitu komentar
seseorang. Oh, hatinya sakit mendengar semua itu. Hatinya sakit ketika pria itu
dijelek-jelekkan.
Tapi adakah yang lebih sakit dari apa yang
dialaminya? Adakah sayapnya juga patah? Adakah hatinya juga terbelah? Adakah
dia juga berdarah-darah di sana?
Dia sudah jatuh. Karena jatuh dia terluka.
Lukanya berdarah. Dan kini darahnya sudah berhenti keluar. Airmatanya sudah
kering. Sudah cukup! Dia akan bangkit. Dia akan mengambil antiseptic dan
mengobati lukanya.
Dan hanya kepada Allah dia memohon
kekuatan.*
7 comments
Write commentsini GA ya? semoga sukses ya :)
ReplyAih ... luka pastinya. Berapa lama baru bisa sembuh ya luka seperti ini?
ReplyMoga sukses GAnya ya mbak ..
Oya, di LIVE TRAFFIC-nya, sepetinya saya yang terdata sebagai seseorang dari Amurang - Sulawesi Utara itu ya mbak? Hmm kurang akurat nih, harusnya kan dari Makassar :D
Mbak Myra:
ReplyAmin. makasih mbak :)
Mbak Niar:
Makasih mbak niar
udah dua kali kejadian kayak gini mbk. Kemarin tuh datang teman dari Tegal, tapi terdeteksi kota Semarang. Cuma yang lainnya akurat sih
bingung juga sih, hehee
Kakak... sedih banget :'(
Replykakak jusa sedih, hiks :'(
Replywoghhhh itu laki2....pengecut niannn :D
Replyiyaaaa..hiks :(
ReplyConversionConversion EmoticonEmoticon