[Fiksi] Dia yang Terluka


Sulit baginya menerima pria lain setelah satu pria dicintai dan melukai. Pertama, karena dia belum pernah dilukai oleh pria mana pun di dunia ini. Kedua, pria itu telah mengisi bahkan sampai ke urat nadinya sehingga dia sulit untuk melupakan. Ketiga, dia takut ketika dia memutuskan untuk menerima pria lain, luka yang sama akan tercipta. Keempat, dia tak bisa melepaskan untuk tidak memandang pria itu lagi, karena mereka akan selalu bertemu.    

Mungkin benar kata orang bahwa cinta itu buta. Awalnya dia tak ingin memercayai. Cukuplah baginya menjalani peran sempurna sebagai gadis yang belum ingin tersentuh dengan hal-hal sepele dan menlankolis, seperti jatuh cinta. Baginya jatuh cinta adalah pada orang yang tepat dan di saat yang tepat, yaitu ketika Tuhan menunjuk seseorang menjadi pasangan jiwanya. Kuliah, berorganisasi dan menulis, sudah cukup membuat dunianya sibuk untuk tidak bersentuhan dengan cinta pada lawan jenis, sebelum waktunya. Sekali dua dia masih bisa menampik tawaran ’ingin lebih dekat dengannya’, dari teman-teman kuliah, teman-teman organisasi dan teman-teman yang dikenalnya lewat interaksi kegiatan tulis menulis.  Tapi dia lupa, bukankah dia juga punya hati? Maka ketika seseorang datang dengan membawa sekeranjang harapan dan menawarkan isi keranjang tersebut padanya, dia tak kuasa menolak.  Ketika harinya mulai dihiasi warna pelangi, rasanya tak ada logika apapun yang bisa mengalahkan logika cinta. Ketika hati mulai dipenuhi wangi bunga-bunga, tak sadar ada hal-hal yang luput diperhatikan kemudian disesalkan. Mengapa tidak dari awal? Mengapa harus berjumpa? Mengapa harus mencinta? Dan oleh sebab itu dia harus terluka. 

Di antara duka, dia merunut luka.

Dulu, sebelum pria itu datang, semuanya berlangsung baik-baik saja. Hidupnya mengalir dengan tenang tanpa riak. Berinteraksi dengan banyak orang dan menciptakan hubungan harmonis. Oh, dia bukan tak punya gejolak dengan berbagai persoalan hidup. Dia seperti gadis-gadis pada umumnya. Punya persoalan dengan berbagai orang yang terlibat dengannya. Hanya saja karena dia telah mengumpulkan banyak energi positif dalam memandang setiap persoalan hidup, maka semua hanya dianggap sebagai pelengkap beragam warna dalam hidupnya.

Dia seorang gadis yang supel, ramah, bersahaja dan welcome kepada siapa saja, termasuk pria. Meski dia selalu menjaga pergaulan dengan lawan jenis, bukan berarti dia menutup diri. Dia tahu mana batas yang harus dilewati dan mana yang tak boleh dilewati. Semua berjalan begitu damai dan dia tetap teguh pada prinsipnya; memberi batas-batas tertentu untuk pria mana pun.

Itulah yang selalu menjadi pegangan sampai dia merasa suatu saat dia akan melanggarnya, bila tiba waktunya. Dia tak pernah memberi kesempatan pada pria mana pun yang ingin melebihi dari apa yang dia inginkan. Baginya ketika dia sudah merasa siap menerima seseorang, maka lampu hijau akan dinyalakan. Artinya, dia siap menjalani dengan resiko apapun. Dia ingin ketika dia menjalani semua, itu adalah dengan pria terakhir dalam hidupnya. Memang bukan yang pertama tapi dia tak ingin ada yang lebih banyak lagi.
Perkenalannya dengan pria itu terjadi ketika si pria datang menjenguk teman yang juga teman satu kost-nya. Entahlah, apakah saat itu layak disebut perkenalan atau tidak. Dia hanya melintas masuk ke dalam ke rumah kost ketika si pria  sedang asyik berbincang-bincang dengan teman perempuan satu kost-nya. Dia tidak kaget ketika teman perempuan satu kost tersebut mengatakan kalau si pria adalah orang sekampungya. Toh di tempat  dia tinggal juga banyak orang yang satu kampung dengannya. Hanya begitu saja. Tanpa sempat saling bertanya nama masing-masing seperti layaknya sebuah perkenalan.

Dia pikir hanya sampai di situ. Dia pikir peristiwa itu hanya bagian kecil dari peristiwa-peristiwa serupa yang pernah dialaminya. Berada di suatu kota karena menuntut ilmu dan bertemu dengan orang-orang sedaerah yang juga melakukan hal yang sama, apa istimewanya? Sungguh itu hal yang teramat biasa.

Sampai suatu pagi sebuah nomor tak dikenal memangil-manggilnya. Ada delapan miscalled. Dia memang sering sengaja meninggalkan handphonenya ketika sedang mengerjakan sesuatu. Apakah itu karena mengerjakan pekerjaan rumah atau sekadar meninggalkan di kamar barang sejenak. Baginya, benda tersebut bukan anggota tubuh yang mau tak mau akan dibawa pergi ketika tubuh berpindah tempat.

Begitulah pagi itu. Karena terjadi hal-hal seperti yang di atas, agak kaget juga dia melihat ada delapan panggilan dari nomor yang sama dengan durasi waktu hanya sekian detik. Pastilah ini panggilan penting. Tak perlu waktu lama untuk mengetahui siapa penelepon asing itu karena kemudian si penelepon itu meneleponnya lagi untuk yang kesembilan kali.  Penelepon adalah pria tetangga depan rumah. Yang dulu dikenalnya sekilas lalu hilang begitu saja. Ini tidak biasa, pikirnya. Dia tidak punya kepentingan apa-apa terhadap pria tetangga kost-nya itu.

”Saya kira kamu tidak mau mengangkat telepon dari saya.” Saya? Hei, bahkan saling menanyakan nama  saja tidak, apalagi nomor handphone. Lalu obrolan yang selalu dianggapnya biasa, terjadi.  Sampai si pria kemudian menyampaikan maksud dan tujuannya. 

“Bolehkah saya bersilaturahmi ke tempatmu?” Dia heran. Bukankah dia selalu datang ke kost mereka?

“Yang ingin saya temui kali ini bukan teman saya itu, tapi kamu.”

Saat itu dia sama sekali tidak tahu bahwa jawaban dari pertanyaan di atas sangat menentukan apakah hidupnya akan tetap biasa-biasa saja atau tidak. Dia selalu menganggap seperti yang terjadi selama ini, semuanya akan biasa-biasa saja. Dia pun mengangguk setuju.  

Lalu...

Telepon dari si pria tak cukup datang hanya sekali.

Kedatangan si pria ke kost-nya juga tak cukup hanya sekali.

Dia mulai sadar, sejak dia mengenal laki-laki itu, alur hidupnya menjadi tidak sama lagi! Dan satu hal yang kemudian disesalinya: dia tak lagi bisa mengubah menjadi  seperti semula ketika dia belum mengenal si pria.  Dia salah kalau mengira dia akan baik-baik saja. Dia salah kalau  mengira dia akan menganggap si pria sama dengan yang lain. Karena hal tersebut tak pernah bisa dia dilakukan seperti ketika dia memperlakukan setiap pria yang dikenal di waktu-waktu sebelumnya.

Awalnya dia tidak merasakan apa-apa. Kemudian hati berbicara lain. Pesan-pesan singkat yang diterima dari pria itu bisa melebihi jadwal makan dalam sehari. Dari sekedar say hello sampai pesan ’merah jambu’ yang membuat hatinya buncah. Lagi di mana? Sudah makan belum? Dik, hujan, hati-hati, nanti sakit!  Ketika hati tersentuh dengan segenap pujian dan perhatian, dia mulai merasakan hal-hal yang sudah lama tidak dirasakannya. 

Maka ketika pria yang menurut orang-orang bukanlah tipe pria istimewa itu memberi perhatian, dia merasa akan ada sesuatu yang berbeda. Lebih dari itu, mau tak mau dia jadi bertanya-tanya; sudah tibakah saatnya membuka hati untuk seorang pria?

Dia sadar hatinya mulai tidak tenang. Dia akan gelisah kalau sehari saja tak menerima pesan dari pria itu.  Dia sadar hatinya mulai membagi untuk hal-hal yang sudah lama tak tersentuh: cinta! Lalu salahkah kalau kemudian dia mengatakan bahwa dia telah jatuh cinta pada pria itu? Meski pria itu belum mengatakan apa-apa tentang hal tersebut, tapi dia tahu pria itu mencintainya. Kalau tidak untuk apa pria itu harus repot-repot mencari nomor handphone-nya kemudian berlanjut memberi perhatian.

Hubungannya dengan pria itu tidak terlalu berlebihan.  Sejak awal sampai dia mengenal pria yang telah memberi getar yang berbeda, dia tetap berpegang teguh pada prinsipnya. Suatu hari, ada yang mempermasalahkan kedekatan mereka. Menanyakan apakah mereka berdua ‘sedang ada sesuatu’? Dia tahu ke mana arah pertanyaan itu. Maka di suatu siang, dia meyakinkan diri sendiri, dia harus menanyakan hal tersebut pada pria tetangga kost-nya itu.

Sebuah jawaban yang melambungkan asa dikirim melalui sebuah pesan singkat.

“Kalau Tuhan mengijinkan, Insya Allah saya ingin hidup satu rumah denganmu. Tapi sebelum melangkah lebih jauh, saya ingin kita terlebih dahulu mengenal pribadi masing-masing.”

Seperti gayung jatuh yang bersambut, kedua tangan bertepuk yang memagut, cinta dipucuk ulampun tiba...

Sebuah keputusan besar telah diambil. Setelah melalui malam-malam panjang dan meminta petunjuk pada-Nya. Baginya tak ada tempat mengadu dan meminta yang lebih pantas selain kepada-Nya.

Maka dimulailah sebuah proses. Menurut beberapa orang, pria itu layak untuk dirinya. Perempuan yang baik-baik tentulah akan mendapatkan pria yang baik-baik juga. Dia seperti membenarkan ucapan orang-orang di sekitarnya bahwa memang benar ada kesamaan antara dirinya dengan pria itu.  Sama-sama ramah dan suka memberi kebahagiaan kepada orang-orang. Suka berteman dan menyambung persaudaraan dengan orang-orang terdekat.  Periang dan humoris, sifat yang juga dimiliki oleh si pria. Umur mereka sudah cukup dewasa untuk memulai proses itu. Maka jangan bayangkan prosesnya akan sama seperti proses-proses yang dijalani oleh remaja-remaja sekarang yang jika sudah bersama orang yang dicintai, seolah dunia hanya milik mereka berdua. 

Dia sama sekali bukan tipe orang yang possesive. Ketika dia merindu maka dia cukup merasakannya saja. Ketika dia mencinta maka dia pun cukup merasakanya saja. Karena  dia ingin menjalani semua dengan sederhana. Dia memaknai cinta dengan sederhana. Dia tidak ingin berlebih-lebihan. Dia tahu, manusia boleh berencana tapi Tuhan punya ketetapan. Manusia senantiasa bergerak dan berubah. Ketika itu  terbersit satu tanya: apakah nanti ini akan berubah juga? Iya atau tidak. Hanya itu kemungkinan jawabannya. Karena sesungguhnya Dia adalah Maha pembolak-balik hati manusia.

Sebuah berita untuk orang tua yang berada jauh dari kota tempat di mana mereka tinggal, melengkapi proses tersebut. Dia tak perlu khawatir tentang keadaan si pria yang bila dilihat dari segala hal,  pria itu tidak ada apa-apanya. Tingkat pendidikannya lebih tinggi dari si pria. Tentang pekerjaan, si pria sedang terikat kontrak kerja di sebuah LSM  yang sewaktu-waktu bisa habis masanya dan harus memulai lagi dari nol. Dia tidak pernah memandang orang dari sisi yang demikian.  Hanya latar belakang keluarga mereka yang tak jauh beda. Sama-sama berasal dari kampung dengan keadaan ekonomi yang sedang-sedang saja. Tidak kaya, juga tidak miskin. Dulu, waktu masih sekolah, orangtuanya pernah berpesan bahwa siapapun orang yang akan mempersunting anak-anak mereka, asal anak-anak suka dan merasa cocok, mereka tidak akan pernah mempermasalahkan. Yang penting, akhlaknya, bukan harta atau pangkat. Berpijak dari itu, dia yakin orang tuanya akan setuju saja  dengan pilihannya itu. Dan memang demikianlah adanya, orang tua setuju dengan pilihannya. Dalam proses tersebut, mereka telah merencanakan banyak hal. Tentang kapan tepatnya mereka akan menikah. Tentang  mas kawin. Tentang pesta pernikahan. Tentang rencana mendidik anak-anak jika kelak mereka punya anak.  Dan tentang banyak hal yang nantinya akan mereka jalani setelah mereka disatukan oleh ikatan pernikahan.
***

Proses penjajakan untuk hidup bersama sedang mantap dijalani saat tiba-tiba si laki-laki mulai menunjukkan sikap yang berbeda dari hari-hari sebelumnya. Ini membuat dia bingung. Sungguh dia tidak tahu di bagian mana yang salah, hingga ketika dia mulai membuka hati dan menerima pria tersebut masuk ke dalamnya, si pria mulai bersikap aneh. Rasanya tak ada hal-hal aneh yang memungkinkan dia menyakiti hati pria belahan hatinya itu. Rasanya dia selalu dan sudah bersikap sangat hati-hati ketika berinteraksi dengan teman-teman pria selain pria itu. Semua dilakukan karena ingin memberikan sebuah cinta yang terbaik untuk  pria itu.  Tapi sebagaimana yang dilakukannya selama ini, dia selalu berusaha untuk tetap berpikir positif. Tapi kemudian hal ini tidak bisa dilakukannya terus-menerus ketika jarak semakin jauh membentang.

Dari beberapa kali  menerima SMS sehari menjadi seminggu sekali dan bahkan lebih lama dari itu. Itu juga hanya sekadar menanyakan kabar dan apakah keadaannya baik-baik saja. Dia yakin si pria masih melakukan hal tersebut karena merasa tidak enak hati dengan membiarkan dirinya tanpa kabar apa-apa.

Tibalah masa-masa sulit.  Ujian skripsi sudah di depan mata dan dirinya sedang kacau.  Beberapa kali mengikuti tes TOEFL sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian skripsi, pertanda bahwa tak satu pun dari soal-soal tersebut masuk ke kepalanya. Banyak tugas organisasi yang harusnya bisa dia selesaikan tapi tak terselesaikan. Pernah sekali dia menyakan perihal tersebut kepada si pria. Ada apakah dengan dirinya? Mengapa sekarang jadi berbeda? Namun jawaban si pria membuat hari-harinya semakin kacau. Semakin tak terkendali meski dia berusaha tetap mengendalikan diri. Hatinya semakin kebat-kebit. Aku tidak apa-apa. Begitu jawaban pria itu. Kalau tidak ada apa-apa, lantas kenapa pria itu sekarang menjadi seperti tidak mengenal dirinya?

Dan sekarang harinya bukan sekadar kacau. Hatinya bukan sekadar kebat-kebit. Dia semakin tidak bisa mengendalikan diri. Dia merasa menjadi sangat tidak berharga atas perlakuan si pria. Lantas memaksa si pria untuk menjelaskan satu hal kepada dirinya. Katanya dia siap untuk segala apapun yang akan dikatakan pria itu.

”Maafkan saya, sudah lama tidak memberi kabar. Sungguh saya tak tahu harus memulai darimana untuk mengatakan ini padamu,” pria itu memulai percakapan pada pertemuan itu. Dia berusaha keras menahan airmata ketika itu.

Meski firasatnya mengatakan, di ujung pertemuan itu nanti dia akan dikecewakan, tapi entah mengapa, jauh dilubuk hatinya dia masih berharap: andai saja si pria meminta maaf atas kesalahan karena telah membiarkan dirinya tanpa kabar selama beberapa waktu, dia akan memaafkan dan tetap melanjutkan proses itu.

”Kakak tidak mencintaiku?” tanyanya. Ada kemugkinan tiga pilihan jawaban dari pertanyaannya tersebut: mencintainya di awal bahkan sampai saat itu, mencintainya di awal tapi kemudian tidak lagi, atau sama sekali tidak mencintainya bahkan sejak awal. Andai saja dia bisa menyelam ke dasar hati pria itu, dia akan melakukannya. Yang manakah dari ketiganya yang bersemayam di situ? Tapi tentu saja, bahkan siapa pun tak akan bisa melakukannya. 

Si pria menggeleng. ”Kamu salah kalau berpikir saya begitu. Demi Tuhan, sejak awal saya serius ingin memulai proses ini. Saya tidak main-main. Tapi...”

Pria itu dengan serius berkata serius, tapi mengapa dia berkata tapi. 

Beberapa hari lalu ibu si pria datang ke kota tempat di mana mereka tinggal. Si pria memberitahu tentang dirinya sementara ibu si pria memberi tahu tentang seseorang yang lain. Gadis yang lain.  

”Sebelumnya ini pernah terjadi pada abang saya ketika dia menikah dulu. Ibu tidak setuju.”
Apakah itu artinya ibu si pria juga tidak menyetujui jika dirinya yang menikah dengan si pria? Oooh... mengertilah dia sekarang!

”Maafkan saya. Bisakah kita berteman saja?”

Seharusnya airmatanya tumpah ruah mendengar itu. Tapi sekuat tenaga dia tahan. Secara fisik dia setuju, kepala mengangguk, bibir tersenyum. Tapi tahukah si pria apa yang terjadi padanya? Sayapnya patah. Hatinya terbelah. Jantungnya berdarah-darah. Empedunya pecah. Masuk ke mulutnya. Masuk ke tenggorokannya. Sungguh sebuah kenyataan pahit yang baru seumur-umur dialaminya. Dia terluka! Dulu  dia juga pernah memasukkan nama seorang pria ke dalam hatinya. Tapi pria di masa lalu itu –meski kemudian tak berjodoh dengannya– tak pernah berkata: Bisakah kita berteman saja?

Rasanya tak ada semangat hidup setelah itu. Tiba-tiba dia merasa asing sekali berjalan di jalanan yang hampir setiap hari dilaluinya. Merasa asing dengan rasa susu coklat yang diminumnya  hari itu dibandingkan rasa susu coklat yang sama yang diminumnya di hari-hari sebelumnya.

Bersabarlah, Dik! Tuhan sedang mengujimu. Mungkin dia bukan  yang terbaik untukmu. Boleh jadi kamu mengatakan sudah merasa cocok dengannya, begitu juga sebaliknya, tapi Tuhan lebih tahu apa yang terbaik untukmu. Katakanlah dia cukup baik, tapi akan ada yang lebih baik dari dia meski bukan yang sempurna. Luka itu tercipta karena ada harapan yang terlalu besar. Begitu sebuah nasihat diterimanya. Menelusup ke hati. Membuat dia merenung berhari-hari.

Dia tergugu.

Benar, ada harapan yang sangat besar. Terlalu besar. Bahkan urat nadinya mengharapkan pria itu. Hingga kemudian sebuah lubang yang menganga besar dan dalam menantinya. Membuat dia terjatuh dan terluka berdarah-darah.

Seharusnya dari awal ketika dia dan pria itu berkomitmen, dia menanyakan banyak hal. Apakah sudah diberi kebebasan memilih pasangan hidup sebagaimana dirinya yang diberi kebebasan memilih pasangan hidup oleh orang tuanya? Oh, dia melupakan satu hal penting: bahwa menikah tak hanya menyatukan dua manusia berbeda jenis tapi juga menyatukan dua keluarga.  Dua kebudayaan. Dua karakter.  Dua perbedaan.

Lukanya semakin berdarah-darah ketika memutuskan barangkali si pria tak pernah benar-benar mencintainya. Bukankah cinta akan membuat seseorang  mau melakukan apa saja untuk mendapatkan orang yang dicintainya? Bukankah karena cinta seseorang mau berjuang asal bisa bersama dengan orang yang dicintai? Tapi barangkali tidak demikian dengan pria itu. Dengan mudah si pria mengatakan berteman saja dan menuruti apa yang diinginkan orang tuanya. Sungguh, dia tidak bermaksud meminta si pria menentang orang tuanya. Tapi tidak adakah sebuah usaha yang dilakukan untuk mendapatkan dirinya? Mencoba berbicara baik-baik, misalnya? Batu saja bisa berlubang karena sering tertetesi air apalagi hati manusia yang lunak. Barangkali hati mereka akan luluh melihat kesungguhan anaknya. Pernahkah hal demikian terpikirkan oleh si pria? Ayo, perjuangkan aku! Andai saja dia bisa berkata begitu.

Dia itu laki-laki pengecut! Membiarkanmu sekian waktu setelah berkomitmen lalu datang menyakitimu. Begitu komentar seseorang. Oh, hatinya sakit mendengar semua itu.  Hatinya sakit ketika pria itu dijelek-jelekkan.

Tapi adakah yang lebih sakit dari apa yang dialaminya? Adakah sayapnya juga patah? Adakah hatinya juga terbelah? Adakah dia juga berdarah-darah di sana?

Dia sudah jatuh. Karena jatuh dia terluka. Lukanya berdarah. Dan kini darahnya sudah berhenti keluar. Airmatanya sudah kering. Sudah cukup! Dia akan bangkit. Dia akan mengambil antiseptic dan mengobati lukanya.

Dan hanya kepada Allah dia memohon kekuatan.*
      
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Previous
Next Post »

7 comments

Write comments
Keke Naima
AUTHOR
9 Januari 2013 pukul 18.18 delete

ini GA ya? semoga sukses ya :)

Reply
avatar
Mugniar
AUTHOR
9 Januari 2013 pukul 23.46 delete

Aih ... luka pastinya. Berapa lama baru bisa sembuh ya luka seperti ini?

Moga sukses GAnya ya mbak ..

Oya, di LIVE TRAFFIC-nya, sepetinya saya yang terdata sebagai seseorang dari Amurang - Sulawesi Utara itu ya mbak? Hmm kurang akurat nih, harusnya kan dari Makassar :D

Reply
avatar
10 Januari 2013 pukul 04.40 delete

Mbak Myra:
Amin. makasih mbak :)

Mbak Niar:
Makasih mbak niar
udah dua kali kejadian kayak gini mbk. Kemarin tuh datang teman dari Tegal, tapi terdeteksi kota Semarang. Cuma yang lainnya akurat sih
bingung juga sih, hehee

Reply
avatar
Khaira
AUTHOR
10 Januari 2013 pukul 22.06 delete

Kakak... sedih banget :'(

Reply
avatar
11 Januari 2013 pukul 19.41 delete

kakak jusa sedih, hiks :'(

Reply
avatar
aida_ahmad
AUTHOR
23 Januari 2013 pukul 21.56 delete

woghhhh itu laki2....pengecut niannn :D

Reply
avatar

Instagram @fardelynhacky