Credit Picture: http://weheartit.com |
Ujian
masuk perguruan tinggi negeri telah usai. Menyambut status baru sebagai mahasiswa dan
mahasiswi di universitas-universitas yang tersebar di seluruh penjuru negeri
adalah tanggung jawab baru dengan status baru. Untuk memasuki sebuah perguruan
tinggi, selain harus siap menghadapi ujian masuk, satu hal yang sering menjadi
dilema bagi calon mahasiswa adalah memilih jurusan. Mulai dari bingung memilih
jurusan mana yang sesuai bakat dan minat, sampai konflik dengan orangtua karena
jurusan yang dipilih tidak sesuai dengan keingina mereka.
Sepupu
saya, Elgi, anak dari adik lelaki ibu saya, datang Sinabang, Kabupaten Simeulu,
sekitar dua minggu lalu. Meski Elgi belum pernah melihat kota Banda Aceh,
apalagi melihat kampus tercinta Unsyiah dan UIN Ar-Ranirry, namun dia sudah
memiliki jurusan pilihan yang disukainya. Dia datang ke Banda Aceh dengan
diantar ibunya. Ibunya datang dengan membawa Elgi dan adiknya yang paling
kecil. Kedatangan Elgi bersama ibunya ke Banda Aceh mengingatkan saya kurang
lebih lima belas tahun lalu ketika saya menamatkan sekolah menengah atas. Saya datang
tak hanya diantar oleh ibu, ayah saya juga ikut serta. Dulu, sebagai anak
kampung, saya sungguh takut bepergian sendiri, apalagi di kota Banda Aceh.
Ditambah lagi, saya tak punya gambaran pilihan jurusan yang saya sukai. Yang
saya tahu, sejak sekolah, saya bercita-cita menjadi wartawan, atau guru bahasa
Inggris. Pilihan kedua, adalah alternatif saja jika saya tidak menjadi
wartawan. Namun ketika dihadapkan pada banyaknya pilihan, saya menjadi galau,
terlebih ketika jurusan yang ingin saya tuju, tidak tersedia di Aceh.
Orangtua saya sebenarnya cukup bijaksana
dengan apapun jurusan pilihan saya, dengan catatan saya HARUS kuliah di Banda
Aceh. Dengan kata lain, membebaskan tapi mengikat. Saya bebas memilih jurusan
apapun tapi terikat akan ultimatum orangtua bahwa saya tidak boleh ke luar
Aceh. Sementara itu jika saya ingin menjadi wartawan, saya harus kuliah di luar
Aceh. Hal inilah yang membuat saya harus menunda kuliah selama setahun karena
saya tidak lulus di mana pun. Saya stress akan ultimatum orangtua saya.
Elgi,
sepupu saya tadi, cukup beruntung karena jurusan-jurusan yang ingin ditujunya
–yang tentu juga sangat disukainya, semua tersedia di dua universitas terkemuka
di Aceh ini. Elgi menyukai tiga jurusan pilihan yaitu Olahraga, Bahasa
Indonesia, dan Sejarah. Ketiga jurusan pilihan Elgi berada di bawah satu
faklutas, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP). Di sekolahnya, Elgi ada
di jurusan IPS.
Sebelum
mendaftar dan membayar uang pendaftaran di dua universitas di atas, saya
menanyakan kembali pada Elgi, apakah dia benar-benar menyukai tiga jurusan
tersebut? Berkaca dari pengalaman saya dulu, saya tidak ingin dia ragu-ragu
dengan pilihannya, atau memilih jurusan tersebut karena mengikuti teman. Dia menjawab ya, mantap, tanpa ragu
sedikitpun.
Masalahnya,
ternyata ibunya ragu-ragu dengan pilihan Elgi. Ibunya bukan ragu-ragu apakah
Elgi masih ragu-ragu, hanya saja, menurut ibunya, semua jurusan-jurusan pilihan
Elgi bukanlah jurusan-jurusan high class.
“Cobalah
kau bujuk si Elgi itu. Dia anak laki-laki, masa ketiga jurusan pilihannya tidak
keren sedikitpun. Saya tahu dia tidak mampu kuliah di Fakultas Kedokteran, jika
dilihat dari biaya kami yang kami punya dan secara latar belakang jurusannya di
sekolah yang IPS, tidak ada yang mendukung. Tapi bukan berarti dengan kenyataan
ini, kami tidak memikirkan masa depan Elgi.”
“Jadi,
Makcik ingin si Elgi kuliah di jurusan apa?”
“Jurusan
apa kira-kira yang bagus untuk anak laki-laki, yang jika dia kuliah di situ,
akan terlihat keren dan gagah. Jangan kayak sekarang. Kau lihat adikmu itu, dia
terlalu lembut menjadi seorang anak laki-laki.”
Mungkin
itu mahasiswa tehnik, jawab suami saya.
Masalahnya Elgi tidak mau masuk ke jurusan tersebut.
“Ooohhh…betul…betul..harusnya
dia kuliah di Fakultas Tehnik saja, biar pilihannya kelas tinggi dikitlah.”
Sepupu
saya, meski ibunya merepet dan membujuk hampir sepanjang hari untuk memilih
jurusan di fakultas tehnik, meski satuuuu saja, tetap saja dia menolak. Saling
tolak menolak kemauan ini terjadi selama dua hari sebelum Elgi memutuskan
datang ke dua kampus tersebut dan mendaftar.
“Jadi,
apa yang kau pilih?”
“Olahraga,
Bahasa Indonesia, dan Sejarah.”
“Tehnik?”
“Atau
Mamak mau Elgi menunggu sampai ada jurusan baru di Fakultas tehnik, Mak?”
“Apa
jurusan baru itu?”
“Tehnik
Olahraga, tehnik bahasa Indonesia, atau tehnik sejarah?”
Saya
tertawa mendengar jawaban Elgi. Akhirnya dia sukses membungkam mulut ibunya
yang merepet hampir sepanjang hari itu.
***
Begitulah
orangtua, orang-orang yang lebih dewasa secara umur. Pengalaman hidup sekian
tahun kadang cukup membuat mereka bijak tapi tidak cukup bijak ketika mereka
menghadapi anak-anak mereka yang akan menapaki tangga masa depannya. Memasuki
universitas adalah tangga menuju masa depan. Setidaknya begitulah kondisi yang
terwakilkan jika dilihat dari sistem pendidikan Indonesia. Sebagai pembelajar
yang diwajibkan belajar semua hal selama sekolah menengah atas, maka ketika memasuki
universitas yang notabene lebih mengerucutkan jurusan, maka inilah
kesempatan mereka untuk melihat secara dalam bidang apa yang sebenarnya yang
anak didik sukai, minati, dan kelak itu akan menjadi passion mereka,
saat mereka telah meraih masa depan.
Dulu,
masuk ke fakultas kedokteran adalah gengsi. Bagaimana tidak, untuk memasuki
fakultas ini, selain butuh biaya yang tidak sedikit, juga kepintaran (akademis)
yang harus di atas rata-rata. Orang-orang di negara kita (para akademisi, guru,
dan banyak orang pintar lainnya) masih menganggap bahwa anak yang pintar dan
cerdas adalah anak yang nilai akademisnya tinggi; nilai pelajaran sains seperti
Matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi memuaskan, dengan mengabaian fakta bahwa
ada banyak jenis kecerdasan lain.
Saya
pernah berdiskusi dengan seorang teman di facebook, bahwa sebagai orangtua kami
tidak akan memaksa anak kami menjadi apa yang kami inginkan. Kami mungkin sama
seperti orangtua lain bahwa kami menginginkan yang terbaik untuk anak kami.
Tapi kami tidak boleh egois. Bagi putra kami, yang terbaik baginya adalah
menjadi apa yang dia inginkan, bukan apa yang kami inginkan. Saya katakan pada
teman saya itu bahwa kelak jika dia menjadi pelajar, cukuplah dukungan kami
untuk membuat dia senang belajar di rumah dan di sekolah. Jika dia tidak mampu
meraih nilai yang fantastis, itu tidaklah mengapa.
Seorang
blogger, Aditya Rachman, di salah satu entry blognya yang menjadi juara blog competition “Apa
Idemu” yang diadakan oleh Pertamax, menulis bahwa di dunia ini, ada dua
golongan orang yang sebenarnya sama-sama pintar, yaitu pintar secara akademis
dan pintar secara non-akademis. Orang-orang yang nilai pelajaran-pelajarannya
di sekolah atau universitas tidak memuaskan, bukan berarti orang yang tidak
pintar. Mungkin saja mereka memiliki ‘sesuatu’ dalam dirinya dan itu belum
sempat atau bahkan tidak diberi kesempatan untuk dimunculkan ke permukaan, yang
artinya bisa dilihat oleh orang lain. Di negara kita, pengakuan dari pihak lain
masih dianggap penting. Jika mereka tidak mendapat dukungan dan stimulasi yang
tepat dari luar dirinya sejak kecil, terutama orangtua, maka orang yang berada
dalam golongan kedua akan selamanya menjadi orang yang dianggap bodoh atau
tidak sefantastis golongan yang pertama. Terlebih lagi jika si pemilik
‘sesuatu’ tadi tidak berusaha memunculkan dan menunjukkan ke orang-orang ke
sekitarnya. Sebaliknya, kemunculan ‘sesuatu’ dalam diri mereka dan membuat
mereka menjadi ‘sesuatu’, inilah yang membuat mereka disebut orang-orang
kreatif. Mereka mungkin tidak memiliki nilai pelajaran yang memuaskan, bahkan
banyak di antara mereka tidak melanjutkan sekolah atau kuliah, tapi mereka bisa
menjadi inspirasi tanpa harus menjadi pelajar di bangku-bangku sekolah. Mereka
menjadi pelajar untuk atas ‘sesuatu’ yang mereka miliki. Contoh-contoh orang
kreatif yang mendunia telah disebutkan dalam blog Aditya tersebut.
Saya
sendiri punya contoh orang kreatif ini. Orang yang tidak pintar secara akademis
tapi pintar secara non-akademis alias kreatif. Contoh tokoh yang akan saya
tuliskan, mungkin tidak mendunia, tidak me-Indonesia juga, bahkan mungkin tidak
begitu terkenal. Hanya diketahui oleh
segelintir orang saja. Dia adalah Mira Julia. Silakan klik black link
yang saya taruh di namanya untuk berkunjung ke blognya. Melalui blognya, Mira
Julia pernah menulis bahwa dulu dia pernah tidak naik kelas. Basic pendidikannya
pun hanya sebatas SMA saja, karena tak sempat menamatkan kuliahnya dulu. Namun
Mira adalah orang kreatif. Tak melanjutkan pendidikan di bangku universitas,
baginya bukan berarti berhenti menuntut ilmu. Passion-nya ada di dunia
IT dan komputer. Berkat belajar secara otodidak, Mira Julia kemudian menjadi
seorang web designer dan banjir tawaran job dari mana-mana.
Pekerjaan yang diterimanya haruslah tidak mengharuskan dia keluar rumah. Dan
dengan internet, Mira Julia bisa menggapai dunia luar. Mira Julia dan suaminya
adalah sepasang orangtua dari sedikit orangtua yang berani tidak menyekolahkan
anaknya di lembaga-lembaga sekolah pada umumnya. Mereka mengambil langkah
mendidik anak dengan cara yang tidak biasa di Indonesia, yaitu homeshooling.
Baru-baru ini, dia mengabarkan bahwa dia diminta menjadi dosen mahasiswa IT di
UI. Sebuah langkah baru untuknya ketika mendapat tawaran menjadi dosen. Siapa sangka,
dia yang tak tamat kuliah, menjadi dosen untuk mahasiswa. Jadi siapa bilang
orang yang pintar secara non-akademis tidak bisa menjadi hebat?
Pintar
secara akademis tidak melulu harus sekolah di jurusan-jurusan yang dianggap high
class. Yang lebih penting dari itu adalah melihat bakat dan minat anak
didik. Ini menjadi penting karena mungkin saja di sini mereka bisa memunculkan
sisi kreatif yang mereka miliki tanpa harus meninggalkan bangku sekolah atau
kuliah. Menjadi pintar sekaligus menjadi kreatif, mungkin inilah nilai
sempurna. Orangtua mana yang tidak menginginkan anaknya menjadi yang sempurna. Tapi,
sekali lagi, no body is perfect, tidak ada yang benar-benar sempurna.
Maka menyempurnakan apa yang dimiliki, tentu lebih bijak dibanding menggapai
sesuatu yang kadang tampaknya dekat tapi terasa amatlah jauh.
Selamat
menyambut akhir pekan. Selamat menunggu hasil pengumuman ujian masuk
universitas!
2 comments
Write commentsOrang yang pintar secara non akademis memang sering dianggap remeh sampai dia meraih kesuksesan itu sendiri. Orangtua saat ini, bahkan belum banyak yang tau akan itu. Maunya, anak kuliah tinggi-tinggi, trus ngelamar jadi pegawai kantoran. Hehe...
ReplyIya Lia, apalagi di tempat kita ya, jadi pegawai masih dianggap pekerjaan istimewa ^_^
ReplyConversionConversion EmoticonEmoticon