2 April kemarin, melalui media sosial, aku
mendapat kabar tentang kepergianmu, Bang. Aku tidak ingin memercayainya,
kupikir itu adalah ulah segilintir orang yang suka bercanda. Sebagaimana engkau
yang suka mencandai teman-temanmu di media sosial. Kemudian, berita tentangmu
terus saja memenuhi timeline, dari berbagai penjuru dan kalangan.
Kupikir, tidak mungkin semua orang sedang bercanda. Siapa di dunia ini yang
sanggup bercanda dengan berita kematian?
Tapi tetap saja aku tidak ingin
memercayainya. Kenapa Abang harus pergi secepat ini? Seharian itu aku hanya
bisa menangis mendengar berita tentangmu. Aku ingin menulis tentangmu sejak
kemarin, tapi tak tahu apa yang kutulis. Aku terlalu shock dengan berita
kepergianmu. Baru saja kubuka halaman word, airmataku bercucuran. Seandainya
jarak kita dekat, detik itu juga aku akan ke rumahmu dan melihat senyummu untuk
terakhir kalinya.
***
Masih ingatkah kau, Bang, saat pertama
kali kita bertemu di tahun 2005 silam? Aku sedang membutuhkan sesosok guru saat
itu. Pengalaman yang baru setahun berkecimpung di dunia literasi, serta kondisi
yang masih kacau balau pasca tsunami, ditambah dengan kehilangan seorang guru,
membuat aku sedikit gamang. Aku teringat pesan temanku yang posisinya
kugantikan, temuilah mereka yang nama-namanya tercantum dalam buku ini, senior
kita di dunia literasi, khususnya di Aceh.
Aku menemuimu di rumahmu. Kau
menyambutku dengan hangat, seperti seorang Ayah yang menyambut anak gadisnya
yang baru pulang sekolah. Aku memanggilmu ‘Pak’ karena kau sebaya dengan
bapakku. Tapi kau memintaku memanggilmu ‘Bang’ saja. “Supaya lebh akrab,’
begitu katamu.
Awalnya aku sungkan padamu, Bang.
Posisimu terlalu tinggi di mataku. Namun kau tak pernah menunjukkan semacam
sifat kearoganan. Sebaliknya, kau adalah seorang abang yang begitu mengayomi, seperti
seorang kakak yang membantu adik kecilnya berjalan. Di sebuah email yang engkau
kirim delapan tahun lalu, engkau pernah menulis; (maafkan aku Bang, sejak
kemarin aku terus ingin bernostalgia denganmu, salah satunya dengan membaca
ulang email-emailmu beberapa tahun silam);
‘…jangan beranggapan, seperti Eky kata, bahwa Eky dan teman-teman lainnya adalah penulis amatiran dan yunior. Tak ada istilah itu dalam seni, sebab ketika kita telah menulis dan berkarya, karya itulah yang memberi bobot bagi nama kita. Contoh kecil Mustafa Ismail, Azhari dan lain-lain yang pernah saya beri sedikit ilmu dan pengalaman yang sekarang malah "terbang tinggi" melebihi eksistensi saya yang hanya berputar-putar "rendah sahaja". Dan Eky, menjadi kritikus sepertimu, sangat berarti dan mulia, apalagi dari kaummu yang sangat jarang muncul di Aceh, dan itu membuat karya orang yang kamu kritik dan dirimu sendiri menjadi "ada" dan sangat berarti! Sekali lagi, sangat berarti!’
Itulah
dirimu, Bang. Kau selalu rendah hati dan
bijaksana. Petuah-petuahmu, kujadikan sebagai pelajaran hidup.
***
Bang,
masih ingatkah kau ketika terakhir kali kita ketemu? Itu di tahun 2008.
Waktu
itu aku datang bersama teman-teman. Kusempatkan memenuhi undangan khususmu,
untukku dan teman-temanku, meski saat itu aku sedang praktek kepaniteraan di
rumah sakit. Aku datang ke rumahmu masih dengan seragam putihku. Rumahmu sudah tak
asing lagi buatku. Aku cukup sering mengadu banyak padamu dengan langsung datang
ke rumahmu. Engkau juga cukup sering memintaku datang ke rumahmu. Ada saja yang
ingin kau mintai tolong; membuatkanmu blog (waktu itu blog multiply), memintaku
membedah karya seseorang (padahal waktu itu aku merasa ilmuku belum cukup) atau
sekadar sharing tentang dunia literasi, sampai ke hal remeh temeh
semisal membantu membuatkan minum dan menyuguhkan kue-kue untuk tamu. Sore itu,
engkau memberi banyak nasehat, untukku dan teman-temanku. “Sebagai pembina kalian,
Abang ingin kalian maju. Teruslah menulis di media apapun yang bisa kalian
jangkau.”
Masih ingatkah kau, Bang, kapan
terakhir kita terlibat dalam sebuah kegiatan? Itu di tahun 2007, ketika
ada pameran buku terbesar pertama di Aceh, di gedung Dayan Dawood, Unsyiah,
Darussalam. Engkau diminta oleh pihak penyelenggara pameran untuk mengisi salah satu kegiatan
mereka, yaitu bedah buku, dan engkau memintaku untuk tampil dan duduk di atas
panggung. Aku sempat tidak percaya diri, apalagi buku yang kuharus kukritisi
adalah buku mantan pacarmu. Tapi akhirnya aku memang duduk di atas panggung
tersebut, sementara engkau duduk di kursi penonton, melihatku dari jauh. Saat
itu aku merasa engkau sedang mengawasiku; menilai dan menilik, apakah aku layak
menjadi temanmu dalam satu tim? Saat itu
aku merasa, aku sedang mengikuti sebuah kontes pencarian bakat dan engkau
adalah jurinya.
Waktu
seperti berlari, tiba-tiba saja kita ada di tahun 2014. Sejak tiga tahun lalu,
aku tahu ada yang mulai berubah di dirimu.
“Abang
sakit, ky,” begitu jawabmu ketika tiga tahun lalu kutanya kabarmu, ketika untuk
pertama kalinya kita terhubung di dunia maya setelah sekian lama tak berkabar,
apalagi bertemu.
Dari sini, kutelusuri foto terbarumu satu demi satu. Dan harus kuakui, banyak
yang berubah di dirimu. Kau terlihat kurus dan rapuh, Bang. Tidak segagah
ketika terakhir kita bertemu. Hanya satu yang tidak berubah darimu, Bang; senyummu. Sakitmu
parah. Dan aku hanya bisa mendengar kabar menyakitkan ini tanpa bisa
mengunjungimu.
Kita
beruntung ya, Bang, hidup di era internet yang berkembang sedemikian pesat
seperti sekarang. Meski sudah berjarak, namun sejak kita dipertemukan kembali
oleh internet, kau selalu memberiku kabar, terutama tentang kabar dunia
literasi. Setiap kau menerima kabar dari penyair-penyair di ibukota, kau selalu
meneruskan pesan tersebut untukku, mungkin juga untuk teman-teman yang lain.
Terakhir adalah ajakan untuk ngopi bareng dan baca puisi saat Gola Gong datang
ke Aceh, tahun lalu. Waktu itu, aku memang sedang di negeri kita, tapi aku
terlalu sibuk dengan penelitianku hingga harus menolak undanganmu. Aku bahkan
lupa mengunjungimu, Bang. (Ini menjadi penyesalan terbesarku. Maafkan aku,
Bang! Maafkan aku!).
Sampai
akhirnya aku balik lagi ke sini, ke negeri orang, dengan membawa janji hati;
tunggulah, Bang! Sepulang nanti, aku pasti menjengukmu. Melihat kondisimu
langsung dengan mata kepalaku sendiri. Tunggu aku ya, Bang! Begitulah aku
berjanji pada diriku sendiri.
Bang,
sebut aku sebagai adik yang tidak peduli padamu. Aku bahkan tidak tahu kau tidak
lagi tinggal di rumah unikmu itu, sampai aku melihat kau
mengunggah foto rumahmu di facebook.
“Bang, rumah abang udah berubah, ya? Keramik
depan itu, udah gak ada lagi dong!”
(yang kusuka dari rumahmu yang dulu adalah penempatan keramiknya yang tidak
biasa –berupa pecahan, zig zag dengan warna-warna yang kontras, dan lain-lain– mulai
dari halaman depan, dapur hingga jalan kecil menuju gazebo di samping rumahmu. Seleramu memang tidak biasa, Bang. Dan aku menyukainya).
“Ini rumah baru ki, abang bangun tahun
2008 dan mulai tinggal tahun 2010. Dekat rumah lama tapi jalan dekat mesjid
arah ke Ulee Kareng.”
“Ooh, kirain ini rumah yang di Meunasah
Papeun direnovasi. Jadi, rumah yang sebelumnya, siapa yang tinggal, Bang?"
“Udah ditinggali orang Serambi juga,
tapi rumahnya masih model dulu.”
Begitulah. Sekian lama tak bertemu
langsung denganmu, banyak yang terlewatkan olehku. Termasuk sekuntum putik kecil yang rajin kau
rawat dan kau siram dengan tetes-tetes kasih sayang; Cordelia. Ternyata, Cordelia-mu
kini sudah rekah, ya, Bang. Dia mekar menjadi sekuntum bunga yang begitu
cantik. Sekuntum bunga yang siap didatangi kumbang.
Bang, saat kubaca lagi komenmu di atas (Januari 2014); ‘mudah2an
ki...dan aku berharap masih ada umur hingga saat itu', lagi-lagi tak dapat kutahan airmataku. Bunga Cordelia-mu akan meniti jalannya sendiri, tanpa engkau lagi di sampingnya.
***
Bang, masih ingatkah kau janji kita
untuk bertemu di kota Raja? Akhir tahun lalu, kau mengabariku bahwa kau akan ke
kotaku. Itu seharusnya Februari lalu, tepatnya tanggal 22 Februari. Aku senang
sekali, Bang, karena aku akan bertemu denganmu di sini, jadi aku tak perlu
menunggu pulang ke kota kita untuk bisa melihatmu. Aku pikir, tak sempat bertemu di
Kutaradja, kita akan bertemu di kota Raja di Thailand. Namun sayang, engkau
membatalkan kedatanganmu dan mengundurkannya hingga Juli nanti. Ya, Juli 2014
nanti. Kau bilang, ada sesuatu hal yang penting hingga harus membatalkan
perjalananmu ke kotaku. Pikirku, tak apalah Bang, yang penting kita bertemu,
meski aku harus menunggu lebih lama lagi.
Ternyata, itu adalah pesan terakhirmu.
Sengaja aku up karena sudah jauh ke bawah dan juga sengaja aku screenshot.
Ternyata, Tuhan berkata lain, Bang. Engkau
memang sudah memesan tiket pesawat ke Bangkok, tapi Tuhan sudah terlebih dahulu
‘memesan’ tiket untukmu, tiket untukmu kembali pulang. Pulang ke rumah abadi.
Aku tidak berdaya. Aku tergugu. Tak dapat
kutahan laju airmataku. Aku terus saja membaca ucapan-ucapan belasungkawa yang
ditujukan untukmu, di media sosial. Ini membuat aku semakin bersedih. Aku
menutup facebook dan memutuskan menonton
film. Aku belum bisa menerima kenyataan tersebut. Alih-alih aku menikmati
film, yang ada seharian itu aku terus teringat padamu, Bang. Kubuka lagi semua lembar
kenangan tentangmu. Membaca puisi-puisimu. Oh, Abang, aku tersentak ketika
kubaca lagi puisimu yang dimuat di Harian Serambi Minggu lalu.
bila
kemewahan dan kesenangan
dapat segera kau reguk dengan sekelebat senyum pesona
kau akan menangisinya sepanjang waktu
seperti juga kau selalu memandang dari diri sendiri
mengira semua adalah jalan landai menuju hari datang
kapan kau akan merasa perihnya debu atau terik menyengat
atau gigil dingin serta rindu biru yang mencekat dadamu?
dapat segera kau reguk dengan sekelebat senyum pesona
kau akan menangisinya sepanjang waktu
seperti juga kau selalu memandang dari diri sendiri
mengira semua adalah jalan landai menuju hari datang
kapan kau akan merasa perihnya debu atau terik menyengat
atau gigil dingin serta rindu biru yang mencekat dadamu?
kau
tak akan menemukan apa-apa
kau tak akan merasakan kangen melesat bila bersua
kau tak punya pelabuhan untuk merapat
kau tak punya aku yang mendekap
kau tak akan punya kasih sayang
tak punya harapan dan semangat
kau tak bisa berbagi sukaduka
dan itu adalah kesendirian
kau tak akan merasakan kangen melesat bila bersua
kau tak punya pelabuhan untuk merapat
kau tak punya aku yang mendekap
kau tak akan punya kasih sayang
tak punya harapan dan semangat
kau tak bisa berbagi sukaduka
dan itu adalah kesendirian
pada
akhirnya apakah yang kau cari dalam hidupmu sayang?
selain kerelaan dan rasa syukur
karena yang sempurna itu hanya miliknya
hanya milikNya!
selain kerelaan dan rasa syukur
karena yang sempurna itu hanya miliknya
hanya milikNya!
2014
(SerambiIndonesia, Minggu, 16 Maret 2014) => (Silakan klik tulisan berwarna biru
untuk membaca puisi lainnya yang dimuat di hari yang sama)
Bang, apakah kau sedang memberi sebuah pertanda
akan kepergianmu lewat puisi tersebut? Entahlah.
Selamat jalan, Bang Doel CP Allisah. Kini
engkau bebas menulis puisi tanpa didera rasa sakit.
***
Doel CP Allisah adalah seorang penyair
asal Aceh. Beliau merupakan pendiri sekaligus koordinator Aliansi Sastrawan
Aceh. Biodata lengkap Doel CP Allisah bisa dibaca di SINI. Beliau gigih
mengumpulkan data-data para sastrawan yang telah berpulang baik saat sebelum atau
karena musibah tsunami. Semua dirangkum dalam website Aliansi Sastrawan Aceh yang
dikelolanya; http://www.aliansisastrawanaceh.com/.
Sejak 2009, Doel CP Allisah menderita Diabetes. Namun, meski didera penyakit,
Doel tetap semangat mengikuti berbagai event
sastra dan budaya. Doel CP Allisah berpulang pada 2 April 2014.
11 comments
Write commentsAllahummaghfirlahu warhamhu waafihi wa'fzanhu
ReplyInnalillah, sedih dan tiba - tiba air mataku menetes ketika membaca tulisan Eky, apalagi waktu baca percakapannya dengan beliau, walaupun aku tidak mengenal beliau (tak bertemu) tapi tulisan ini cukuplah bercerita :( sedih hiks
ReplyInnalillahi wainna ilaihi rajiun.. Semoga almarhum mendapat tempat terbaik di sisiNya.
ReplyNufus sering dengar namanya namun tak ada kesempatan berguru kepada beliau.. Sabar ya kak eqi.
selamat jalan Sobat..
ReplyAlfatihah..
amin
Isni malah kenal beliau ketikatelah dipanggilnya. Hari beliau mninggal kami dan teman2 flp lngsung takziah. Smoga bliau ditmpatkan disisiNya. Aamin.
ReplyOmakkk kyy sedih kali.... :'(
Replymenetes air mata ini kala membacanya kak :)
ReplyIni menyakitkan...
ReplySaya belum pernah kenal, tapi ikut sedih :(
Replyhanya sekali bang Doel meng-inbox saya, hanya karena akun fb-nya dibajak spammers dan beliau memberitahukan pada kami. ada satu status saya yang pernah di-likenya. status tentang ucapan Dr. Mahathir Muhammad Perdana Menteri Malaysia, tentang belajar mendengarkan. Yang saya kutip dari siaran Biography Channel.
ReplyGood azhar. semoga kita bisa meniru sifat rendah hati beliau yak
ReplyConversionConversion EmoticonEmoticon