Cerita Lebaran Asyik: Dari Mudik Ekstrim Hingga Meugang yang Rempong

Lebaran kali ini, nano-nano rasanya. Banyak rasa. Excited, senang, cemas, dan bahagia karena akhirnya bisa pulang ke rumah  orangtua saya yang sebenarnya. Rumah beneran, bukan ngontrak seperti yang orangtua saya jalani selama puluhan tahun membesarkan kami, saya dan adik-adik saya. Tempat mereka akan menetap selamanya, tanpa harus berpindah (lagi) dari satu kota ke kota lain. Tempat mereka menjalani sisa-sisa usia mereka, sampai maut memisahkan mereka berdua, sampai maut memisahkan kami.

Ke situlah saya mudik, ke sebuah tempat yang akhirnya bisa kami sebut rumah. Rumah kami. Pulang dengan membawa berbuncah rasa.    

Tiga hari menjelang lebaran, saya dan suami memutuskan mudik ke kampung halaman kami di Aceh Selatan. Saya memosting foto perjalanan mudik tersebut ke facebook. Banyak yang surprise dengan postingan saya tersebut. Lain lagi dengan teman-teman  sekantor yang saya kenal di dunia nyata, selain kaget, mereka juga terheran-heran dengan gaya perjalanan kami.


“Kalian ini, nekat sekali… dengan kondisi begini… “

*elus-elus-perut*

Ketika Memutuskan Mudik dengan Motor
Perjalanan mudik keluarga kecil saya boleh dibilang adalah perjalanan ekstrim. Apa pasal? Sebab tunggangan andalan kami saat mudik hanyalah sepeda motor. Sebenarnya ini bukan sesuatu yang aneh buat kami, bahkan mungkin terlihat biasa saja buat orang-orang di seluruh Indonesia yang pernah mudik ke kampung halaman masing-masing dengan menggunakan sepeda motor. Tentu saja, karena kami memiliki kesamaan nasib, belum punya mobil dan–meminjam istilah mbak Siti Maryamah–masih tertungging-tungging di jalan nasib :D

Tidak mesti saat melakukan mudik saja, kami memang terlalu sering melakukan road trip dengan sepeda motor. Pokoknya, ke manapun kami pergi, kami selalu menggunakan sepeda motor. Cuma keliling Aceh naik motor saja nih yang belum, hihi.

Jika mudik dengan sepeda motor adalah hal yang biasa, lantas di mana letak ekstrimnya perjalanan kami? Well, mungkin karena beberapa fakta berikut:

Pertama; keluarga kecil saya tinggal di Banda Aceh (saya dan suami sama-sama bekerja di kota ini) sementara orangtua saya dan orangtua suami saya tinggal nun jauh di pelosok Aceh Selatan. Yes sodara-sodara, saya dan suami berasal dari kecamatan yang sama di Aceh Selatan, jadi kami tidak perlu melakukan semacam kesepakatan tahun-ini-kita-mudik-ke-kampung-gue-barulah-tahun-depan-ke-kampung-elo. Jarak kota Banda Aceh dengan Tapaktuan (Ibukota Kabupaten Aceh Selatan) sekitar 450 KM. Itu sekitar 9-10 jam via perjalanan darat menggunakan minibus. Tapi kami sangat-sangat jarang mudik dengan menjadi salah satu penumpang minibus tersebut. Karena apa? Karena setelah hitung-hitungan, kami jadi lebih banyak mengeluarkan uang dibanding mudik dengan motor. Ceritanya berat di ongkos gitu, lho.  Jadi, daripada berat di ongkos, ya sudah saya pilih lebih baik berat di pantat, LOL.  Bagaimana tidak berat di pantat coba, satu motor ada tiga orang. Dulu waktu masih berdua (belum punya anak maksudnya), kami santai saja mudik dengan motor sambil menikmati indahnya panorama alam sepanjang pantai Barat-Selatan. Meski santai, namun waktu tempuh perjalanan bermotor kami bisa lebih cepat satu jam lho dibanding waktu tempuh via minibus. Maklum, suami saya adalah Rossi KW, LOL. Bukannya saya tidak pernah saya mudik dengan angkutan antar kota. Waktu Abel putra saya masih bayi, saya mudik dengan minibus, tapi rempong sekali karena suami tidak ikut mudik naik bus. Dia nyaris selalu mudik pakai motor karena sudah terbiasa jauh sebelum menikah dengan saya. Begitu anak saya sudah agak besar sedikit, kami kembali ke rutinitas mudik seperti semula, pakai motor, sampai sekarang.

Hummmm… tampaknya poin ini belum menggambarkan di mana letak ekstrimnya perjalanan mudik kami seperti yang saya gembar-gemborkan di awal. Masih biasa saja, bukan? Sebiasa perjalanan mudik orang-orang di seluruh Indonesia yang menggunakan sepeda motor. Mungkin kalian harus membaca poin selanjutnya.

Kedua; tadi saya menulis bahwa jarak kota Banda Aceh dengan Tapaktuan (Ibukota Kabupaten Aceh Selatan) sekitar 450 KM. Itu sekitar 9-10 jam via perjalanan darat menggunakan minibus. Okesip!

Nah, kalian yang tinggal di pulau Jawa atau di kota-kota besar lainnya di Indonesia, yang mana saat membaca ini mungkin akan berpikir; ‘yaelaaah… jarak 450 KM aja pun, 10 jam perjalanan aja pun.’ Mungkin memang benar ‘segitu aja pun’. Well, sebenarnya kondisi perjalanan ke wilayah selatannya Aceh tidak ‘semulus’ yang dibayangkan. Untuk sampai ke kampung kami, kami harus melewati jalan yang melintasi ENAM BUAH GUNUNG (Gunung Kulu dan Gn. Paroe di Kabupaten Aceh Besar, Gn. Geurutee di Kabupaten Aceh Jaya, Gn. Trans Kabupaten Nagan Raya, dan Gn. Meukek dan Gn. Tapaktuan di Kabupaten Aceh Selatan). 
Di Gunung Geurutee, Kabupaten Aceh Jaya
Pemandangan Lamno, Aceh Jaya, tampak dari atas Gunung Geurutee saat melintasi Gunung Geurutee
Terus, sejak anak kami semakin besar, yang mana berimbas dengan semakin susahnya saya menopang dia saat dia tertidur di perjalanan (dia duduk di tengah dan yakinlah dia selalu tidur), ritme perjalanan kami berubah. Dulu, Banda Aceh – Tapaktuan bisa kami tempuh dalam waktu 9 jam. Sekarang, bisa sampai dua hari! Kenapa? Karena kami banyak mampir di sepanjang kabupaten-kabupaten yang saya sebutkan di atas. Waktu balik ke Banda Aceh-nya juga begitu. Kalau tidak begitu, bisa gempor saya menjadi penumpang paling belakang. Jadi yeahhh… hitung-hitung silaturahmi. Kalau tidak memanfaatkan waktu singgah di waktu-waktu mudik begini, mungkin setahun sekali belum tentu bisa bertemu sanak saudara yang tidak tinggal di Banda Aceh, juga tidak tinggal di Aceh Selatan. Umumnya, tempat kami mampir di sepanjang jalan Barat-Selatan adalah di rumah-rumah saudara suami. Suami saya memiliki saudara yang tinggal di hampir sepanjang jalan lintas Barat-Selatan tersebut. Mulai dari Lhoknga, Calang, Meulaboh, Jeuram, Kompleks Perkebunan Kelapa Sawit Kuala Nagan Raya, Alue Bili, dan masuklah ke wilayah Kabupaten Aceh Barat Daya.

Nah, sejak di Aceh Barat Daya, kami tidak singgah-singgah lagi (meskipun kami juga memiliki banyak saudara di situ), karena hanya dua jam saja lagi Aceh Selatan siap menyambut kami.

Sejak Abel semakin besar, maka di perjalanan mudik tahun ini (dan mungkin di tahun-tahun berikutnya–tubuhnya sudah semakin berat, euy! ) dia tidak lagi kami bawa naik motor. Sekitar 10 hari jelang Idul Fitri kemarin, dia dijemput oleh mertua saya. Jadi tahun ini, cukup saya dan suami saja yang naik motor plus satu ransel yang dipakai suami. Untuk barang-barang lainnya, semua saya titip ke mertua yang membawa anak saya pulang ke kampung.

Ketiga; tahun ini saya hamil lagi–yeaayy (sudah memasuki usia kehamilan 5 bulan sekarang), dan kami tetap memutuskan mudik dengan motor. Maka jangan heran kenapa banyak yang excited dengan keputusan kami mudik dengan motor. Nggak takut kenapa-kenapa, apalagi guncangannya akan lebih terasa dibanding naik bus? Nggak capek?

Bahwa sesungguhnya, semua pertanyaan-pertanyaan tersebut sudah duluan menjadi tanya-tanya kami berdua, saya dan suami.  Apalagi masih saya masih mual dan muntah waktu itu, masih 4 bulan kehamilan.  Berbeda dengan kehamilan pertama saya di tahun 2008 lalu yang mana kami tidak mudik sama sekali karena saya mengalami hyperemesis dan saya lemas sekali, maka tahun ini adalah perjalanan mudik pertama saya dengan kondisi saya yang sedang berbadan dua.

Tetapi rindu ini sudah tidak tertahan lagi. Pulang ke rumah orangtua yang sebenarnya adalah keinginan yang tidak bisa saya tunda-tunda sejak awal tahun 2016 ini di mana ketika itu rumah orangtua saya baru dimulai proses pembangunannya.  Ditambah dengan kenyataan bahwa saya sudah lebih dua tahun tidak pulang ke kampung di Aceh Selatan. Sekalinya balik ke Indonesia, kami hanya tinggal di Banda Aceh saja lalu balik lagi ke luar negeri, ke tempat saya menuntut ilmu. Jadi bisa kau bayangkan sebesar apa rindu yang saya punya? Bertahun-tahun hidup sebagai anak kolong (anak kolong = sebutan untuk anak-anak polisi dan tentara) dengan berpindah dari satu kota ke kota lain, lalu ketika waktunya tiba, tiba-tiba negara api menyerang.  Tahun 1999, kami berada di dua sisi negeri yang sedang berkonflik. Tentu saja kami cinta tanah rencong, tetapi di sisi lain kami juga bagian dari NKRI. Meninggalkan Aceh dan pergi sejauh-jauhnya dari tanah kelahiran menjadi pilihan terbaik bagi orangtua saya. Pilihan terbaik karena itulah satu-satunya pilihan yang ada. Papa ‘dideportasi’ ke Lombok, Nusa Tenggara Barat. Kini orangtua saya sudah kembali ke kampung halaman di Aceh Selatan, menjalani hari-hari di masa pensiun. Membangun sebuah tempat yang akhirnya bisa kami sebut rumah kami. Tempat di mana kami, anak-anak Papa, bisa berkumpul, tidur di kamar masing-masing dengan suami masing-masing dan bukannya tidur berdesak-desakan dalam satu kamar seperti masa kecil kami dulu.

Dengan kerinduan sebesar itu, saya tentu tidak bisa seperti ketika kehamilan pertama. Menunda pulang hingga masa melahirkan nanti. Itu juga kalau saya bisa pulang. Bukan, bukan karena memikirkan jarak yang sejauh itu, tetapi lebih karena saya bekerja dan saya hanya memiliki cuti melahirkan. Tidak ada yang namanya cuti pra-melahirkan. Kapan hari melahirkan, maka sejak itulah saya dihitung masuk masa cuti.

Sekarang, saya mau bercerita tentang kondisi saya jika bepergian dengan mobil dalam kondisi hamil. Bahwa saya akan mabok berat, itu kenyataannya. Mungkin campur antara mabok hamil dan mabok darat. Di luar kondisi hamil saya jarang mengalami mabuk darat, tapi entah kenapa kalau melakukan perjalanan dengan mobil saat hamil, saya mabok semabok-maboknya, walaupun saya sudah tidak mual muntah lagi misalnya. Pernah saya dan suami melakukan perjalanan ke Lhokseumawe (kira-kira 5 jam dari kota Banda Aceh) dengan mobil saudara suami saya. Ceritanya hang out keluarga. Suami saya yang bawa mobil dan saya duduk di sampingnya. Saya muntah terus sepanjang pergi dan pulang Banda Aceh – Lhokseumawe, mungkin ada 20-an kali saya muntah. Walhasil, saya lemas dan harus istirahat total selama tiga hari. Atau seperti baru-baru ini, waktunya persis dua minggu lalu (saya dua minggu lalu sudah tidak mual muntah lagi karena sudah lewat trimester I). Kami ada acara yang kami sebut Intat Lintoe anak tetangga depan rumah, yaitu mengantar mempelai pria ke rumah mempelai wanita (jadi, acara resepsi ada di rumah mempelai wanita). Jaraknya dekat sekali dengan rumah saya, di Ulee Kareng (sekitar 25-30 menit waktu tempuh jika tidak terkena macet). Suami saya bawa mobil tetangga dan saya diminta duduk di samping suami, karena para tetangga tahu saya kalau lagi hamil pasti mabok jika naik mobil. Lhadalaaah…. Pulang dari acara Intat Lintoe tersebut, saya nyaris muntah di perjalanan pulang dan harus istirahat sepanjang hari itu.

Maka, mudik pakai mobil, apapun jenis mobilnya, sudah jauh-jauh hari kami coret dari rencana kami. Tetapi kami sudah rindu ingin pulang. Maka mudik pakai sepeda motor adalah pilihan terbaik kami. Kami juga cemas, khawatir takut kenapa-kenapa. Namun setelah memantapkan tekad, Bismillah, go!

Selama Perjalanan Mudik
Pagi-pagi sekali, Sabtu 2 Juli 2016, kami berangkat. Karena Abel sudah mudik duluan dijemput neneknya, suami saya merencanakan perjalanan satu hari sampai. Jadi tidak pakai singgah di beberapa tempat kabupaten sepanjang Aceh Barat-Selatan. Okesip, saya setuju. Tetapi baru dua jam perjalanan, ketika motor kami melintasi Lhoong (Aceh Besar yang berbatasan dengan Kabupaten Aceh), saya merasakan mual yang hebat serta pusing. Saya bilang ke suami, kita harus mampir, kalau tidak bisa-bisa saya muntah. Kami mampir di sebuah rumah makan yang ada mushalla-nya. Alhamdulillah, mushalla-nya bersih sekali, jadi saya bisa tidur. Melihat saya tidur enak sekali (bukan tidur nyenyak, saya hanya memejamkan mata tetapi masih sadar) dan sudah setengah jam masih tiduran sementara perjalanan baru saja dimulai, suami saya mulai cemas. Bisa-bisa perjalanan seperti yang direncanakannya, jadi gagal. Persis setelah suami berkata begitu, saya kembali segar bugar. Dan perjalananpun kami lanjutkan kembali. Satu jam kemudian, kami sampai di Calang (Kabupaten Aceh Jaya), dan saya kembali mual dan juga pusing. Maka kami singgah di pom bensin di kota Calang. Suami saya mengisi bensin dan saya tiduran di tempat peristirahatan. Lanjuuuut lagi setelah segar bugar. Siang hari kami sampai di kota Meulaboh (Ibukota Kabupaten Aceh Barat). Saya mual dan pusing lagi. Istirahat di pom bensin lagi, LOL. Bukannya kami tidak mau mampir ke rumah saudara yang ada di kota-kota itu, tetapi kami tidak mau jadi lama. Tahu sendiri kan gimana kalau singgah di rumah saudara? Dijamin pakai lama.Di Meulaboh kami istirahat agak lama karena saya makan siang. Yes sodara-sodara, setiap kali hamil, saya full tidak puasa, termasuk kehamilan kali ini.
Penampakan di SPBU Kota Calang, Aceh Jaya, di hari ketika kami mudik

Menghirup Aroma Pala di Kota Naga
Singkat cerita, pukul 18.00 akhirnya kami tiba di Aceh Selatan. Aceh Selatan ya, belum sampai ke rumah kami, karena tentu saja, Aceh Selatan itu kan nama kabupaten. 

Aroma pala menyambut kami sejak dari Kecamatan Samadua, dan kian terasa ketika memasuki kota Tapaktuan, ditambah dengan aroma nilam.


Inilah Tapaktuan, kota yang terkenal dengan hasil alamnya berupa pala.

Kota yang terkenal dengan legenda naga dan tuan tapa, karenanya kota ini dijuluki Kota Naga.

Kota yang selalu saya rindukan karena di kota inilah saya dilahirkan.

Tetapi, perjalanan kami belum benar-benar berakhir meskipun kami sudah sampai di Tapaktuan. Orangtua kami tidak tinggal di kota Tapaktuan, melainkan di kecamatan sebelah kota Tapaktuan. Masih ada gunung terakhir yang harus lewati sebelum kami benar-benar tiba di kampung, yaitu gunung Tapaktuan. 

Alhamdulillah, apa yang sebelumnya menjadi kekhawatiran kami, tidak terjadi. Tidak bisa untuk tidak mengucapkan banyak-banyak syukur atas keselamatan kami selama perjalanan mudik dengan motor, bahkan untuk rute perjalanan seperti rute perjalanan kami.

Disambut dengan Makanan favorit
Dan setengah jam kemudian, kami sampai di Kecamatan Pasieraja, kampung saya dan suami. Desa suami saya terletak di pinggir jalan raya sementara desa orangtua saya agak jauh masuk ke dalam, jadinya rumah yang harus kami singgahi terlebih dahulu adalah rumah mertua saya. Waktu itu, 10 menit lagi waktu berbuka tiba.

Begitu kami sampai, Ibu mertua sudah menghidangkan ragam makanan berbuka. Saya buka tudung, ulalaaa… ada gulai ikan hiu yang dimasak dengan tunas rotan. Gotcha!  Itu adalah dua jenis bahan makanan favorit saya. Sudah lama saya idam-idamkan selama Ramadan kemarin. Kami menyebut Gu Seumuleng untuk rotan muda tersebut. Rasanya agak pahit-pahit sedikit.  Tampaknya mertua saya punya firasat kalau saya ngidam gulai kari ikan Hiu yang dicampur Seumuleng. Padahal saya tidak pernah bilang apa-apa, lho. 

Seumuleng bisa diolah menjadi ragam olahan pelengkap masakan. Yang diambil adalah isi tunas batang. Ada yang hanya direbus saja lalu dicocol dengan sambal cabe rawit mentah (cawi rawit + bawang merah + jeruk = diulek kasar) saat dimakan dengan nasi, ada juga yang hanya dibakar saja lalu dipotong-potong dan dicocol dengan sambal cabe rawit mentah.  Ini jadinya seperti lalap. Lainnya, ada yang membuatnya seperti urap (Seumuleng yang telah direbus/dibakar dicampur dengan gilingan kasar kelapa gongseng + cabe rawit + bawang putih + potongan kecil bunga kala/Kecombrang). Lainnya lagi, ada  yang mencampurkannya dengan gulai lele yang super pedas. Di rumah orangtua saya di Aceh Selatan, lalap Seumuleng bakar dan Seumuleng gulai lele super pedas adalah olahan Seumuleng favorit kami. 

Duuuuh…. Iler netes… Jadi kepingin balik kampung lagi niiih….

Ini dia penampakan rotan muda tersebut.


Ada yang familiar dengan jenis tanaman ini? Atau pernah memakannya?

Uniknya, Seumuleng ini hanya muncul selama bulan Ramadan saja. Padahal tunas rotan sendiri bukanlah tunas yang tumbuh musiman mengikuti musim Ramadan. Tetapi begitulah kebiasaan yang ada di Aceh Selatan secara turun temurun. Jika sudah mulai memasuki bulan Ramadan, para petani mulai berburu tunas rotan di hutan, kemudian menjualnya di pasar-pasar tradisonal setempat.

Mungkin karena kekenyangan makan gulai ikan hiu dengan seumuleng, ditambah kami capeknya luar biasa, mana dalam kondisi hamil lagi, malam itu saya ketiduran di rumah mertua hingga keesokan paginya. Padahal rencananya, sehabis berbuka, kami lanjut lagi ke rumah orangtua saya. Cuma 10 menit saja dari rumah mertua.

Akhirnya… Rumah Kami
Barulah keesokan harinya saya baru bisa melihat rumah kami, rumah yang kami idam-idamkan sejak duluuu sekali. Saya berdiri lama di depan rumah tersebut (mohon maaf saya lupa mengambil foto rumah orangtua saya) Bahagia dan sedih campur aduk. Bahagia karena akhirnya rumah tersebut berdiri dengan gagah di antara rumah-rumah penduduk kampung, seperti buncah kebahagiaan yang pernah saya rasakan ketika saya dan suami membeli rumah di Banda Aceh, beberapa tahun lalu. Sedih jika mengingat bagaimana perjuangan orangtua untuk kembali ke Aceh. Tapi di depan orangtua saya, tentu saja saya hanya memperlihatkan kebahagiaan saja.  

Ramadan tahun ini menjadi momen yang tepat untuk pulang ke rumah kami. Mudik tahun ini menerbitkan binar-binar kebahagiaan di mata Papa dan Mamak saya.  Anak-anak dan menantunya bisa pulang ke rumah yang sebenarnya. Dan sebentar lagi cucunya akan bertambah dua lagi dalam waktu yang hampir bersamaan. Sebagaimana saya, adik perempuan saya juga sedang hamil. Usia kehamilannya hanya beda dua minggu dengan saya.  Rumah kami akan bertambah ramai. Waktu yang sangat tepat rumah kami bisa berdiri tahun ini.   

Mudik kemarin memang bukan mudik kami yang pertama. Tapi itulah mudik pertama kami dengan kebahagiaan yang penuh.     
***

Sedikit tambahan ragam kegiatan selama mudik di kampung selama dan sesudah Ramadan:

Makan Ikan Serukan Lagi, Setelah Belasan Tahun
Bulan Ramadan kemarin, karena membaca berita tentang ikan Kerling (ikan Jurung), saya dan suami membincang tentang betapa sedapnya ikan  Jurung dan betapa langkanya ikan sungai tersebut sekarang dan betapa mahal harganya. Saya bernostalgia ke masa remaja ketika terakhir kalinya saya makan ikan Kerling. Itu sekitar 17 atau 18 tahun lalu. Ikan Kerling memang ikan sungai, tetapi jangan salah, ikan ini tidak hidup di semua sungai. Hanya di sungai-sungai yang besar saja dan sungai besar tersebut mestilah sungai berbatu dan mengalir. Sungai dengan ciri-ciri seperti ini, hanya terdapat di daerah pegunungan, seperti Pucuk Lembang dan Manggamat. 

Saya sangat suka ikan kerling, tetapi ya tidak berani diidam-idamkan juga, mengingat betapa langkanya ikan ini sekarang. Apalagi di Kota Banda Aceh, di sini memang tidak ada ikan kerling.

Dua hari menjelang lebaran, Mamak saya membawa pulang ikan yang masih sejenis dengan ikan Kerling. Padahal saya tidak bilang apa-apa lho, ke Mamak saya. Membahas tentang ikan inipun tidak. 



Orang Aceh menyebutnya ikan Serukan. Mamak saya memasak Ikan Serukan kari Aceh yang dicampur dengan tunas rotan. Amboiiiii….. sedapnyooo!!!  


Meugang yang Rempong dan Ketupat Lontong yang Dipandang Aneh
Meugang adalah tradisi makan daging jelang puasa atau lebaran di Aceh. Tapi Meugang di Aceh Selatan adalah Meugang plus-plus. Di setiap rumah akan terlihat kesibukan luar biasa di dapur. Selain akan disibukkan dalam mengolah berbagai masakan berbahan dasar daging atau ayam, nyaris semua keluarga di Aceh dipastikan memasak lemang, penganan berbahan dasar ketan yang dimasak salam bambu. Di Aceh Selatan, lemang dimakan bersama tape. Di sini ada istilah, belum disebut lebaran tanpa lemang dan tape.

Tetapi, orangtua saya boleh dibilang sangat-sangat jarang–jika tidak bisa disebut tidak pernah–membuat lemang beserta tapenya. Apa pasal? Pertama, mungkin karena orangtua saya baru  tinggal di kampung yang benar-benar kampung yang mana penduduk kampungnya masih menjaga tradisi memasak lemang dan tape. Kedua, Mamak saya adalah orang Pidie dan memasak lemang bukanlah tradisi Meugang di Pidie. Ketiga, kami terlalu lama tinggal di asrama dan bergaul dengan orang-orang non-Aceh. Inti poin kedua dan ketiga adalah Mamak saya tidak terbiasa memasak lemang, sih. Keempat, kami tidak terlalu suka makan ketan dalam jumlah yang banyak. Sedikit saja sudah cukup. Kelima, karena ternyata kami lebih menyukai makanan lain sebagai penganan lebaran, yaitu ketupat lontong. Haha.

Jadi, ketika di rumah-rumah penduduk akan terlihat kesibukan memanggang bambu-bambu lemang seperti ini:
Source: www.wego.co.id
Di rumah kami, yang terlihat adalah tungku dadakan dengan di atasnya sebuah dandang berisi ketupat lontong dengan air rebusannya. Haha.

Itu adalah tradisi meugang yang terlihat berbeda namun belum dipandang aneh. Ya iyalah, masak di tungku adalah hal yang teramat biasa di sini. Namun tunggulah sampai hari ketika lebaran tiba.   

Rumah baru, suasana baru. Kami meletakkan ketupat lontong beserta printilannya di atas meja makan. Tamu-tamu yang datang, dipersilakan makan lontong. Ragam keheranan pun terlontar.

“Ini apa Bu? Untuk dijual ya, Bu Farida?”

“Nggak kok, Bu. Ini makanan lebaran di rumah kami. Pengganti lemang dan tape,” jawab Mamak saya.

“Wah, apa nggak rugi Bu kalau makanannya kayak kalau kita makan di restoran?”

Bagi si ibu, ketupat adalah makanan mewah dan harusnya kami menjualnya. Okesip.

Tetapi kemudian si Ibu tetap makan juga sih :D 

Atau, lain waktu ketika adik Papa datang bersilaturahmi ke rumah kami, beliau bilang:

“Nasi lembek kok dimakan!” *gubraks*

“Ini namanya lontong, Pakcik.”

“Makanan yang aneh, nasinya lembek, pakai kuah-kuah dicampur-campur gitu lagi. Mana ada enak!” *gubraks lagi*

LOL. LOL.

Sampai sekarang, Pakcik saya tidak pernah makan lontong karena menurutnya itu adalah makanan yang aneh :D

*Semua percakapan keheranan di atas dibincangkan dalam bahasa Aceh Selatan yang sudah saya alihkan ke dalam Bahasa Indonesia.

Rute Perjalanan Ekstrim di Perkebunan Kelapa Sawit



Percaya tidak percaya rasanya ketika kami melewati rute yang-bisa-dikatakan-penuh-risiko-untuk-ibu-hamil seperti gambar di atas. Tidak hanya pergi, pulangnya juga melewati jalan yang sama. Ini sebenarnya bukan jalur mudik. Jalan nasional Banda Aceh – Aceh Selatan bisa dikatakan sudah 95 % mulus. Ini adalah jalan menuju ke rumah abang ipar saya, abang suami, di kawasan perkebunan kelapa sawit, Kabupaten Nagan Raya. Terlalu berisiko memang, tapi Alhamdulillah, kami bisa keluar dari area perkebunan kelapa sawit ini dengan selamat.

Begitulah cerita perjalanan mudik saya tahun ini yang campur aduk. Semoga pembaca Diaryhijaber di manapun berada, bisa mengambil hikmahnya. Bagi kalian yang berada di Jakarta, ada acara keren yang bisa kalian ikuti, dalam rangka memeringati Hari Hijaber Nasional. Cekidot infonya di bawah ini:

Nama Acara : Hari Hijaber Nasional
Tanggal       : 07 Agustus 2016 – 08 Agustus 2016
Tempat        : Mesjid Agung Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta Pusat.



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Previous
Next Post »

11 comments

Write comments
Haya Nufus
AUTHOR
1 Agustus 2016 pukul 08.12 delete

Kak, Nufus pinginnnn kali kali ke Aceh Selatan!!!

Reply
avatar
Santi Dewi
AUTHOR
1 Agustus 2016 pukul 08.15 delete

ya ampuu... menurut saya perjalanannya memang ekstrim. membaca rute dan kondisi yg lagi hamil, juga membawa anak. Saya juga kemana2 bawanya motor mba, maskudnya suami yg bawa, saya cukup dibonceng hehe

Reply
avatar
Unknown
AUTHOR
1 Agustus 2016 pukul 11.51 delete

Saya juga mudik pakai motor kk, betul kk bilang dalam cerita kk itu.. Kendala nya kalau motor ban panas maka rawan kempes.. Makanya di saat isi bensin di spbu pergunakan waktu tsb utk menyiram ban dg air yg di sediakan di spbu.. Kalau hujan tdk apa2 tancap terus, tapi alarm bensin harus sering dilihat sbb wilayah pantai barat selatan spbu nya masih jauh letak antara spbu satu dg yg lain..
Lebaran tahun ini, aku juga balik ke kota raja dg ci dan dia sangat senang ktk melihat indah sekali panorama sepanjang perjalanan menuju ibu kota aceh.. Makasih atas cerita nya kak mengingatkan kembali kenangan mudik saya..
Kalo saya melihat foto kuliner khas aceh selatan yg kk upload membuat saya kangen kampung... Aku di berasal dr Meukek Aceh Selatan kk..

Reply
avatar
momtraveler
AUTHOR
1 Agustus 2016 pukul 11.55 delete

masyaallah bumil jauh amat perjalanannya. aku aja yg naik pesawat capek gimana yg naik motor? ga kebayang pegelnya euy ... alhamdhulilah ga apa2 ya kak.
aku pun belom nyampe lah Aceh Selatan, moga2 next mudik bisa mampir kesana

Reply
avatar
1 Agustus 2016 pukul 23.35 delete

salut, dan rada speechless;p. hebat mbak, bisa kuat hamil2 gitu naik kotor mudiknya :D..

btw, aku kangen bgt ama aceh baca ini ;(.. ya ampuuuun gulai hiu itu makanan fav ku mbaaaak ^o^.. tapi jujurnya aku agak takut mau ngakuin itu, krn para aktivis hewan dan lingkungan yg selalu menyuruh utk tidak memakan hiu :D Padahl org2 di aceh dan sibolga mah, hiu itu udh kayak lauk sehari2..

dulu aku lama di aceh, di arun lhokseumawe, 18 thn.. tp sama kayak keluarga mbak, terpaksa hrs eksodus ke medan thn 1999 :(.. sedih banget itu... tp mbak masih bisa balik ke aceh, lah aku sampe skr blm prnh nginjakin kaki lg kesana.. suamiku takut mbak.. jd ga bisa dipaksa juga :(..soalnya dia trauma bgt krn dulu orang2 non aceh kan yg banyk juga menjadi korban pembunuhan dan penculikan.. suamiku yg org solo jd masih takut untuk dtg ke sana :(

Reply
avatar
khairiah
AUTHOR
2 Agustus 2016 pukul 17.51 delete

Wah kalo aku tetep mabok kalo hrs jarak jauh naik mobil, lihat pemandangan geureteu jd kangen dl wktu kerj dicalang kl pulang or pergi psti singgah dst

Reply
avatar
zaenudin
AUTHOR
8 Agustus 2016 pukul 11.27 delete

mantap kali tu sup ikannya.. jadi pengen aku

Reply
avatar
Bunda Saladin
AUTHOR
8 Agustus 2016 pukul 13.58 delete

wiih.bacanya sampai ikut ngos ngosan..benar2 melewati banyak gunung..ckckkck
coba kalau bisa naik pesawat ya

pas baca postingan ini kok jadi keinget lagu bungon jeumpa sambil joget2 pala :D

Reply
avatar
Leyla Hana
AUTHOR
17 Agustus 2016 pukul 14.53 delete

Berat sekali perjalanannya. Itu sama kayak ke Pekalongan, 9 jam. Suamiku mana mau naik motor. Mending naik bus bisa tidur :D

Reply
avatar
30 September 2016 pukul 15.13 delete

Pantai inda ternyata sepi juga yak ?

Reply
avatar

Instagram @fardelynhacky