Tadi malam, aku kebagian makanan lebih dari rumah orang sekampung (orang sekampung se-Aceh Selatan dan sama-sama tinggal di Banda Aceh), usai kenduri kawinan anaknya. Itu adalah makanan lebih yang memang dibagi-bagi untuk sanak saudara, begitu hajatan selesai.
Orang Aceh, kalau buat kenduri di rumahnya (dimasak sama-sama di rumah dan bukan pesan katering), selalu begini; sengaja memasak tiap jenis makanan dalam jumlah yang agak banyak. Misalnya rendang. Untuk 1000 tamu, daging yang diperlukan adalah 30 kg. Tapi si empu hajatan akan membeli 35 kg daging untuk rendang. Ayam 50 ekor untuk 1000 tamu, tapi dibeli 55 ekor. Begitu seterusnya untuk bahan utama menu lainnya. Semua dibeli lebih, bukan pas-pasan. Itu semua bukan untuk berlebih-lebihan, tapi lebih kepada tujuan agar ketika acara selesai, masih ada makanan lebih untuk dibagi-bagikan ke sanak-saudara-kenalan-tetangga yang sudah berpeluh-peluh membantu memasakkan menu untuk 1000 undangan. Mulai dari bikin timpan ribuan buah sampai wot (mengaduk) rendang di kuali besar. Pokoknya sampai pegal tangan
Begitu hajatan selesai, maka usailah tugas para sanak-saudara-kenalan-tetangga yang membuat timpan hingga mengaduk rendang tadi. Saatnya cepat-cepat pulang ke rumah masing-masing, untuk melaksanakan hajatan selanjutnya, yaitu tidur sampai pingsan saking capeknya
Nah, sebelum balik ke rumah masing-masing, tim masak sanak-saudara-kenalan-tetangga yang membuat timpan hingga mengaduk rendang tadi, akan dibagikan banyak kantong berisi makanan menu hajatan hari itu. Sama capek sama rata, begitulah prinsip pembagian makanan yang sengaja dilebihkan tersebut. Tim masak sanak-saudara-kenalan-tetangga ini memang tidak dibayar dengan uang, walaupun capeknya melebihi tim masak katering. Cukup `dibayar` dengan makanan. Dari makanan turun ke hati (eeaaa), begitu prinsip sebagian besar masyarakat di sini.
Lebih dari itu, tujuan utamanya sebenarnya ini; supaya mereka yang sudah berpeluh-peluh di depan tungku atau kompor panas, tidak perlu lagi mempersiapkan makanan di rumahnya ketika pulang. Jadi sampai di rumah, mereka bisa tidur pingsan sepuasnya.
Kemarin, aku termasuk salah seorang yang kebagian makanan yang sengaja dilebihkan tersebut. Tak perlu kusebutkan menu apa saja, pokoknya banyak Sebagian langsung kuiisi ke freezer untuk persediaan makanan di rumah untuk dua hari ke depan (horeeee... aku gak perlu masak dan gak perlu belanja selama dua hari ke depan--iya, aku memang ibu pemalas dan ibu yang mencoba hidup irit di bulan tua), dan sebagian kecil lainnya kuhangatkan untuk makan malam kami, tadi malam.
Saat menghangatkan ayam goreng, aku lalai, sehingga ayam goreng tersebut gosong sampai agak kehitaman--kan sudah kubilang kalau aku ibu pemalas. Di sisi lain, aku malas mengeluarkan makanan lain (ingin cepat-cepat tidur, euy). Dan yang paling penting, aku merasa sayang membuang ayam gosong tersebut. Di bulan tua pasca-lebaran begini, makanan gosong pun tetap coba kami santap dengan nikmat, LOL.
Beruntungnya, putraku Abel, tampaknya memiliki prinsip hidup yang kurang lebih sama dengan kami, kedua orangtuanya, terutama dalam hal memandang makanan gosong.
Tadi malam, begitu melihat ayam goreng menjadi gosong dalam wajan, Abel berkata;
"Asiiiikkk... malam ini kita makan ayam bakar."
Maka makanlah kami dengan `ayam bakar` yang disebut Abel tadi.
Usai makan malam, aku berkata kepada putra gantengku itu;
"Neuk, itu tadi bukan ayam bakar, tapi ayam yang bunda panaskan lalu gosong."
Dia berkata;
"Aku tau kok kalau itu bukan ayam bakar. Itu kan memang ayam gosong. Tapi aku tadi ingin menganggapnya sebagai ayam bakar saja. Aku jadi makan banyak, kan?"
Dan memang, tadi malam dia minta tambah nasi sebanyak dua kali.
Aku tidak tahu harus merasa terharu atau lucu.
3 comments
Write commentstimpan tu apa mbak??
Replyhahahahaa...ayam bakar,boleh juga^^
Eciyeeee yg jadi panitia kawinan :D Pesta besar kayaknya ya kak, bisa dibekali stok utk 2 hari?
ReplyHihihihi... Abel lucu. Oke deh, aku juga ngikutin. Ayam gosong itu ayam bakar. Wkwkwkwk...
ReplyConversionConversion EmoticonEmoticon