Oktober 2015…
Thailand mulai berasap sejak awal bulan itu. Awalnya saya kira itu
hanya kabut biasa, ternyata saya salah. Kampus saya berada di kaki bukit, jadi
soal keberadaan kabut di pagi hari adalah pemandangan yang biasa. Tetapi
semakin siang kabut tidak juga menghilang, sebaliknya, malah kian pekat. Bukit
yang biasanya terlihat cukup jelas dari ketinggian lantai 9 tempat saya tinggal,
hari itu perlahan-lahan kian samar hingga kemudian jarak pandang pun kian memendek.
Gedung-gedung tinggi di sekitar kampus dan asrama saya sudah dikelilingi asap.
Saya memutuskan untuk turun ke bawah dan melihat semakin banyak orang-orang menggunakan
masker. Esoknya, kampus saya semakin tenggelam dalam kepungan asap.
Saat itu Indonesia sedang menjadi sorotan dunia terkait isu asap
akibat pembakaran hutan di Riau dan Kalimantan Tengah, terlebih oleh
negara-negara yang terkena imbas asap seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand,
negara tempat saya sedang bermukim saat itu. Akibatnya, kami, warga Indonesia
yang sedang menumpang sebentar di negeri itu, tak pelak harus menanggung malu. Malu
karena orang-orang asing di negara ini (non-Thailand dan non-Indonesia) menjadi
saksi betapa negara kita sedang berada dalam kondisi sakit.
Tiba di bawah, saya bertemu dengan seorang pria (mahasiswa juga seperti saya) yang berasal dari Nepal, dan kami
berkenalan. Saya baru kali itu bertemu dengannya, dari banyaknya mahasiswa
asing yang saya kenal di kampus ini. Ketika dia
tahu saya berasal dari Indonesia, maka reaksi pertamanya adalah menyinggung
soal asap. Dengan nada menyalahkan dia berkata bahwa orang-orang Indonesia yang
di kampus tersebut seharusnya mengumpulkan uang, membeli masker, dan
memberikannya ke setiap orang. Saya hanya tersenyum getir mendengar kalimat tersebut.
Mungkin dia tidak pernah membayangkan bahwa dia harus menghirup polusi setiap
hari di Thailand. Sayangnya, asap tersebut berasal dari negeri yang tidak
sedang didiaminya dan belum pernah didatanginya.
Esoknya, gunung di samping kampus bahkan tak terlihat lagi. Sore
harinya, saya melihat bulan raksasa di langit. Hah? Masa ada bulan siang-siang
begini? Begitu saya bertanya pada Salmi (suami). Salmi bilang, itu bukan bulan,
melainkan matahari. Tampaknya asap menghalangi sinar matahari menembus
permukaan bumi. Itu artinya, seharusnya hari itu adalah hari yang sangat panas
dan terik, tetapi hari itu terlihat seperti mendung. Gelap dan berkabut.
Hidup masih berlanjut…
Ketika pekerja pom bensin tahu kami berasal dari Indonesia, dia
langsung menunjuk ke atas. Artinya dia menunjukan asap karena dia tidak bisa
berbahasa Inggris maupun melayu. Lebih jauh artinya adalah; ‘hai orang
Indonesia, inilah asap dari negaramu dan kami harus terkena imbas olehnya.’
Saya tidak sendiri, ada banyak WNI yang mengalami hal serupa.
Ditanya ini itu seperti; kenapa pemerintah Indonesia begitu lamban menangani
asap? Ketika ada teman sidang thesis, pengujinya malah membahas soal asap
alih-alih bertanya soal thesisnya. Betapa memilukan, sekaligus memalukan.
Hutanku… Riwayatmu Dulu, Nasibmu
Kini
Pikiran saya melayang ke Indonesia, ke hutan-hutan yang dulunya
lebat dan tinggi, kini beralih fungsi menjadi kebun sawit. Saya tak perlu
jauh-jauh untuk membayangkan bagaimana luasnya kebun sawit tersebut. Tiap tahun,
setiap mudik ke Aceh Selatan, saya pasti melewati area perkebunan sawit di kawasan
Kabupaten Nagan Raya. Di kiri kanan jalan sepanjang jalan nasional kabupaten
itu, adalah kebun sawit di mana-mana. Dulu sekali, perkebunan sawit hanya
menjadi otoritas perusahaan. Tetapi kini, seiring dengan meningkatnya status
ekonomi masyarakat kelas menengah ngehek, tanah-tanah kampung di pinggir jalan
besar dan di kampung-kampung, yang dulunya adalah kebun jambu atau nangka atau
kelapa, berubah menjadi kebun sawit. Tidak salah lagi, itu adalah kebun-kebun
sawit milik masyarakat (pribadi). Nangka atau kelapa dirasa sudah tidak lagi
membawa kemakmuran. Keberadaan
berhektar-hektar kebun sawit legendaris milik sejumlah perusahaan di lintas
pantai Barat Selatan ini, telah membuat masyarakat setempat tergoda untuk
mengganti tanaman ‘kampung’ di kebun-kebun mereka dengan sawit. Sawit memang
menggoda, lembar-lembar rupiah yang didapatkan darinya, dianggap mampu menjamin
kelangsungan hidup di jaman yang kian susah. Apalagi saat ini, sebagian besar
produk rumah tangga berasal dari hasil olahan kelapa sawit. Penduduk dunia kian
bertambah, tujuh milyar kini jumlahnya.
Di sisi lain, sawit Indonesia masih menjadi primadona dunia.
Karena apa? Karena produksi sawit kita banyak, yaitu sebesar 85% pasokan sawit
global1. Kenapa banyak?
Karena semakin ke sini, semakin banyak lahan yang dikuasai oleh korporasi
pemilik Hak Guna Usaha (HGU). Tidak usah jauh-jauh, di Aceh Tamiang misalnya,
80 % wilayah pemekaran dari Aceh Timur tersebut telah dikuasai oleh pemilik HGU2. Membayangkan angka 80%,
saya seperti tidak percaya bahwa NYARIS semua wilayah di sana sudah dikepung oleh
korporasi pemilik HGU. Coba, ada yang bisa menjelaskan ke saya, bagaimana
sebuah kabupaten bisa tumbuh dan berkembang jika kini wilayahnya hanya tersisa
20% saja? Bukan tidak mungkin, angka tersebut akan bertambah (Oh Tuhan, semoga
jangan!), dan bukan tidak mungkin wilayah lain pun akan menyusul Aceh Tamiang (sungguh,
saya tidak sanggup membayangkan!), jika tak ada yang peduli.
Lantas, apa hubungannya kenyataan ini dengan kebakaran lahan yang
terjadi di Riau dan Kalimantan? Hubungannya adalah keserakahan manusia. Mari
kita sebut mereka sebagai oknum. Oknum ini ada di mana-mana, dari lingkup kecil
hingga besar, tak terkecuali perusahaan-perusahaan pemegang HGU.
Dalam praktiknya, banyak perusahaan pemegang HGU ini suka
bertindak sebagai oknum. Mereka diam-diam melakukan ekspansi, sedikit demi
sedikit mencaplok kawasan sekitar yang bukan termasuk dalam wilayah yang
diizinkan, dan tidak terasa kian merangsek masuk ke jantung hutan dan menganggu
ekosistem di situ. Dalam melakukan ekspansinya, tidak tertutup kemungkinan
mereka melakukan tindakan-tindakan barbar: membakar hutan secara ilegal––sebagian hutan gambut––dengan
cakupan luas yang tidak tanggung-tanggung dan membunuh satwa hutan––seperti orang utan dan gajah––dengan cara
yang mengenaskan (mereka ditembak).
Masifnya perkebunan sawit dengan menghalalkan segala cara, tak
lain dan tak bukan karena keuntungan sawit yang sangat tinggi. Membuka
seluas-luasnya perkebunan sawit adalah investasi yang menjanjikan. Akibatnya, keberadaan hutan Indonesia yang
diklaim sebagai paru-paru dunia, kini terancam mengalami penyakit mematikan; kanker
paru-paru. Kita boleh bangga disebut-sebut sebagai negara penghasil sawit
terbesar di dunia––bergandengan dengan Malaysia,
tetapi di sisi lain, kita sedang menabung ancaman untuk diri kita sendiri.
Berdasarkan kenyataan tersebut, penting untuk segera dilakukan
review izin untuk penataan perizinan perkebunan kelapa sawit di Aceh, jika kita
masih memiliki kesadaran bahwa bumi ini akan kita warisi kepada anak cucu kita dengan
sebaik-baliknya.
Dampak Positif Review Izin untukPenataan Perizinan
Secara harfiah, review berarti meninjau ulang, mempertimbangkan––hal,
terkait aspek positif dan negatif.
Terkait HGU, pada dasarnya izin tersebut didapat dari pemerintah.
Maka setelah 56 tahun sejak Undang-Undang pertama tentang HGU ditetapkan (1960),
sudah selayaknya pemerintah, selaku pemberi izin, untuk meninjau dan menimbang
kembali tata perizinan tersebut. Dalam perjalanan sepanjang itu, tidak tertutup
kemungkinan pihak penerima izin menyalahkangunakan wewenang. Belum lagi
kenyataan bahwa korupsi masih mengurat mengakar dengan kuat dalam sistem
birokrasi Indonesia. Terdapat 160 izin HGU yang tersebar di seluruh Aceh, namun
sejak dikeluarkan hingga saat ini, tidak ada satupun yang dievaluasi3. Ini menunjukkan lemahnya sistem
evaluasi pemerintah Aceh, terutama dalam hal pemberian izin GHU perkebunan
perusahaan sawit.
Usulan tentang pentingnya review izin untuk penataan perizinan
disampaikan oleh Baihaqi, Koordinator Bidang Advokasi Masyarakat TransparansiAceh (MaTA). Menurut Baihaqi, review ini
penting dilakukan untuk melihat sejauh mana perusahaan mematuhi izin HGU yang
telah diberikan. Lebih lanjut, menurutnya, banyak dari keberadaan perusahaan
tersebut, justru tidak memberikan dampak positif untuk masyarakat dan
pemerintah di Aceh3.
Usulan Baihaqi tersebut senada dengan pernyataan Muhammad Nasir (Kepala Bidang
Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [WALHI]), bahwa ekspansi secara masif
perkebunan kelapa sawit telah mengubah fungsi kawasan hutan.
Dengan dilakukannya review izin tersebut, ini penting untuk
memastikan prosedur ketaatan dan kepatuhan perusahaan telah berjalan dengan
baik dan benar: menggunakan lahan yang masuk ke dalam kawasan izin; tidak
mengancam keselamatan lahan sekitar yang tidak masuk ke wilayah pemberian izin;
serta tidak merusak lingkungan yang masuk dalam area usaha yang diizinkan.
Dengan adanya review ini, tidak tertutup kemungkinan nantinya akan ditemukan mana
perusahaan yang patuh terhadap aturan dan mana yang tidak. Sangsi harus diterapkan agar perusahaan yang
nakal bisa kembali ke jalan yang benar, sehingga alam dan manusia bisa kembali
menjadi dua sejoli yang harmonis.
Sebagai bagian dari penataan perizinan di Aceh, diharapkan hasil positif
dari review izin untuk penataan perizinan usaha perkebunan perusahaan sawit ini nantinya bisa menjadi
contoh bagi penataan perizinan-perizinan lainnya yang di Aceh, bahwa bagaimana
sebuah perizinan seyogyanya tidak hanya diberikan saja, tetapi perlu juga
dilakukan evaluasi dengan sungguh-sungguh––tidak pandang bulu, dan dengan
syarat yang ketat. Apalagi pemerintah Jokowi sedang getol-getolnya dengan program
reformasi mental di berbagai lini. Mari
kita kawal gerakan reformasi perizinan-perizinan di Aceh, termasuk izin usaha
perkebunan perusahaan sawit, agar berjalan dengan baik.
Upaya Pemerintah
Saat melakukan review izin usaha perkebunan perusahaan sawit di
Aceh, pemerintah bisa melakukan beberapa upaya berikut:
1.
Syarat pengajuan izin usaha harus
lebih diperketat dan dalam pemberiannya tidak
tebang pilih, serta tidak ragu memberikan sangsi kepada perusahaan yang
didapati melakukan pelanggaran terhadap izin usaha. Perlu juga dibuat syarat
baru tentang pembatasan pemberian izin untuk penambahan/perambahan kawasan baru
demi menjaga kelangsungan kawasan hutan di sekitar area perkebunan perusahaan
sawit. Kawasan yang menjadi hutan lindung tidak boleh menjadi area perkebunan
perusahaan sawit.
2.
Libatkan para ahli yang berkompeten
dalam bidang perkebunan, birokrasi, dan evaluasi sistem.
3.
Bekerjasama dengan
lembaga-lembaga non-pemerintah yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap
lingkungan dan isu-isu di masyarakat, seperti WALHI atau Masyarakat Transparansi Aceh. Mereka tentu memiliki
track record yang baik dan professional
terkait isu-isu lingkungan.
4.
Libatkan perempuan dalam pengambilan
keputusan.
Perempuan
dan Izin Usaha Perkebunan Perusahaan Sawit
Perempuan adalah bagian yang––seharusnya––tak
terpisahkan dari sistem, namun terlalu sering kita lihat, dalam kehidupan
masyarakat tradisional, perempuan tidak diberi kesempatan dalam mengemukakan
pendapat. Namun ketika masyarakat
tersingkir karena adanya HGU perkebunan perusahaan sawit, perempuanlah yang
menjadi pihak yang dirugikan dan dimiskinkan. Perempuan-perempuan yang hidup di
kampung-kampung, di kaki gunung, bahkan di gunung-gunung; adalah yang sebenar-benarnya
perempuan tangguh. Mereka mungkin tidak mengenal sepatu bertumit dan blazer,
tetapi dengan modal daster, mereka bisa menjadi pencari nafkah kedua setelah
laki-laki. Alam telah purba menjadi sahabat perempuan. Namun ketika alam telah
dikuasai korporasi raksasa perkebunan sawit, perempuan acapkali menjadi korban.
Memang tidak selamanya kondisinya demikian.
Terkadang para laki-laki sekitar diperbolehkan bekerja di perusahaan sawit. Jika beruntung, mereka
akan mendapatkan tempat tinggal di mana anggota keluarga bisa tinggal di situ,
selama mereka masih bekerja di perusahaan tersebut. Saya memiliki tiga ipar
laki-laki (tiga saudara laki-laki Salmi) yang bekerja di perusahaan sawit Nagan
Raya, CV. Fajar Baizury. Mungkin mereka bukan contoh untuk kasus di atas dalam
hal ini, tetapi yang ingin saya katakan adalah, adanya perusahaan tersebut tidak
serta merta membuat perempuan memiliki kesempatan yang sama sebagaimana
laki-laki.
Apakah perempuan bisa diajak dalam perbaikan
tata kelola hutan dan lahan di Aceh? Tentu saja bisa. Tentu dibutuhkan
inisiator dalam hal ini, mungkin seseorang atau beberapa orang yang memiliki kapasitas
dalam menggerakkan kelompok perempuan, peka dan peduli dengan problematika dunia
perempuan terutama di Aceh, dan pastinya memiliki kepedulian yang tinggi
terhadap lingkungan.
Menjaga keberlangsungan hutan dan lahan di
Aceh adalah tanggung jawab kita semua. Kita perlu bergandeng tangan,
bersama-sama mengawal pelaksanaan review izin untuk penataan perizinan ini. Semoga.
Referensi:
1. http://www.wsj.com/articles/asian-biofuel-motorists-drive-palm-oil-prices-higher-1401354565
2.
http://aceh.tribunnews.com/2016/04/08/aceh-tamiang-dikepung-hgu
3.
http://www.mongabay.co.id/2016/08/18/izin-hgu-di-aceh-harus-dikaji-kembali-mengapa/
Tulisan ini
diikutsertakan pada Lomba Blog “Review Izin untuk Penataan Perizinan”
9 comments
Write commentsIkutan juga akhirnya ya kaak
ReplyIkutan juga akhirnya ya kaak
Replykeren ulasannya, mba Eky. lahan sawit harusnya direview dulu ya, biar nggak terjadi hal2 seperti tahun sebelumnya yang kebakaran parah banget. hiks.
Replymemang malu ya kalau ingat kasus asap. sampai ekspor ke luar negeri.
Replyselain review izin, mestinya pengawasannya juga diperketat bagi perusahaan yang sudah direview izinnya.
Wah topiknya asap ya kak. Sama kak, pas kejadian itu Isni juga lagi di Malaysia. Ditanyain juga sama teman-teman. Tapi beberapa teman di kampus mereka enggak nyalahin, lebih kepada diskusi. Mungkin karena kami anak sains kali ya. Jadi isu-isu dikaji secara berpendidikan. Sayangnya banyak sekolah yang ikut diliburkan. Semoga enggak kejadian lagi. Postingan2 lewat lomba blog ini menjadi sarana kita membuka minda masyarakat. Semoga menang, Kak Eky. :)
ReplySabe jih, hantom gob. Neu jok peluang keu gob bek sabe neu raba. HAHA. LOL
ReplyMantap :D
ReplySetuju ka millati :D
Replywah, keren ulasannya, mba Eky. lahan sawit harusnya direview dulu ya, biar nggak terjadi hal2 seperti tahun sebelumnya yang kebakaran parah banget. hiks.
ReplyConversionConversion EmoticonEmoticon