Rasanya,
baru sebentar Jessica bertemu dengan kasus-kasus seperti ini:
A dan B
adalah rekan sekerja Jessica di sebuah kampus. Keduanya adalah perawat pendidik
(perawat yang menjadi dosen) spesialis perawat anak. Sebagaimana umumnya drama
dan dilema ibu bekerja, Jessica tahu bahwa kedua rekan kerjanya tersebut––termasuk
juga dirinya––tak lepas dari ragam dilema terkait dualisme peran mereka sebagai
ibu dan istri di satu sisi dan wanita karir (dosen) di sisi lain. Jessica juga
tahu, ketika menjalani peran ganda ini, terkadang ada hal yang dikorbankan,
termasuk anak. Mungkin menitipkan anak ke asisten rumah tangga atau ke daycare, bukan sebuah perkara yang
terlalu besar, selama si ibu tetap bisa memenuhi kebutuhan anak, dalam segala
hal.
Tapi bagi Jessica,
meninggalkan bayi dengan kemudian mengabaikan kebutuhan ASI eksklusif si bayi,
sementara persediaan ASI si ibu sangat mungkin untuk ASI-X, itu adalah perkara
besar. Sialnya, ini menjadi beban pikirannya pula.
Tidak,
Jessica tidak sedang berbicara tentang pilihan. Di luar sana, ada banyak ibu
yang bayinya tidak mendapatkan ASI-X. Bisa jadi karena ASI si ibu yang kurang
atau kelainan-kelainan tertentu, bisa jadi juga karena memang keinginan si ibu yang
tidak mau memberikan ASI-X ke bayinya karena alasan tertentu. Pokoknya, tidak
mau ya tidak mau. Apapun pilihan perempuan di dunia ini, Jessica belajar untuk
menghargainya.
Tapi untuk
kasus sesama rekan kerjanya yang dulu sama-sama menuntut ilmu di bidang ini,
ini sedikit menjadi tanda tanya di benak Jessica. Dulu waktu kuliah, mereka
belajar tentang perawatan Ibu dan anak (mulai dari ilmu kehamilan, saat dan
setelah melahirkan, hingga tentang bagaimana mendorong ibu-ibu [pasien mereka] agar
memberikan hanya ASI sebagai makanan terbaik bagi bayi). Tidak cukup di bangku
kuliah, mereka kemudian giat melakukan penyuluhan kesehatan dari rumah sakit
hingga masyarakat di kampung-kampung. Tujuannya apalagi jika bukan ingin
menyadarkan banyak perempuan bahwa ASI-X itu penting.
Sekarang,
mereka adalah perawat spesialis perawat anak. Artinya, mereka tak cukup hanya
kuliah S1 lalu selesai. Mereka sekolah lagi tentang dunia keperawatan ibu dan
anak secara intens. Mereka belajar tentang pentingnya ASI-X. Sekolah tinggi
mengantarkan mereka manjadi pendidik di kampus. Di depan mahasiswa, mereka
berapi-api menjelaskan kepada mahasiswa tentang pentingnya ASI-X, meminta
mahasiswa belajar tentang hal tersebut dan turun ke lapangan untuk memberikan
penyuluhan. Sebagaimana mereka dulu.
Sampai kemudian
Jessica menemukan fakta yang bertolak belakang.
Sebagai
pejabat kampus, A misalnya, sering keluar kota karena dinas. “Anakku gagal
ASI-X karena aku tidak sempat memerah ASI. Sehabis cuti, pekerjaan menumpuk, cyin.
Sudahlah, bantu pakai susu formula aja,” curhat A. Dan belum setahun, bayinya A
total tidak disusui lagi karena sering ditinggalkan dan A tidak sempat
berurusan dengan perah memerah.
Dan drama
yang sama pun terjadi pada dua, tiga… dan entah berapa orang lagi. Mereka yang
bertahun-tahun belajar dunia bayi, dunia anak, tumbung kembang bayi dan anak, dunia
ibu dan anak, dunia parenting yang
ideal; dan kemudian mengajarkannya pula ke orang lain (mahasiswa)… amblas byar karena…
mereka bekerja!
Yang lebih
memprihatinkan adalah ketika Jessica bertemu Mirna, di hari pertama Mirna masuk
kerja usai cuti melahirkan. Setelah basa-basi, puja-puji––karena Mirna terlihat
cantik sehabis melahirkan, bahan perbincangan selanjutnya adalah tentang bayi.
“Bayi aku
sehat, cantik, baru dua bulan meskipun sekarang aku terpaksa harus mengirimnya
ke kota Arun, ke tempat orangtuaku. Aku tidak punya ART, jaman sekarang susah cari
ART, jadi ibuku yang berinisiatif menjaganya.”
ASI-nya?
“Lewaaat. Sekarang
full susu formula.”
Jessica
kemudian tahu, Mirna sebenarnya merasa dilema karena harus meninggalkan bayi
dua bulan-nya kepada ibunya, apalagi ASI-nya melimpah. Tetapi Mirna harus
memilih. Dan dia memilih pekerjaannya.
Jessica
sangat menghargai pilihan hidup orang lain. Pilihan Mirna, pilihan A, B, C…
siapapun.
Tapi, khusus
untuk mereka yang di atas, yang dikenal Jessica dengan baik, itu bukan lagi
soal pilihan atau bukan. Mereka belajar tentang itu, mengajarkan hal itu kepada
orang lain, tetapi mereka tidak melaksanakannya untuk kehidupan pribadi mereka.
Rasa-rasanya,
itu adalah omong kosong.
Sekarang,
terlalu banyak orang yang belajar tentang sesuatu, terlalu banyak orang yang
meminta orang lain untuk melakukan ini dan itu, tetapi tidak menerapkannya
dalam kehidupannya sehari-hari.
Dosen
pertanian mengajarkan mahasiswanya cara menanam cabe, meminta mahasiswanya
menanam cabe. Tetapi di luar kampus, baik dosen maupun mahasiswa, tidak ada
seorangpun yang menanam cabe.
Yang paling
gawat, mungkin adalah ini:
Dosen Ilmu
Komunikasi mengajarkan mahasiswanya bagaimana cara berkomunikasi yang baik, menyampaikan
pendapat dengan baik, mengajar dan meminta mahasiswanya menulis dengan baik.
Tetapi, baik dosen maupun mahasiswa, tidak ada seorangpun yang bisa
berkomunikasi dengan baik. Akibatnya sekarang, mereka menabuh genderang perang.
*) :
meminjam judul buku Seno Gumira Adjidarma
8 comments
Write commentsHahaha, ini bukan pukul samping. Tapi langsung, jap.
ReplyNgena betul, Qie. Kalo bahasa kerennya, banyak kasus tersebab 'pintarnya menggunakan retorika utk menyembunyikan ketiadaan makna'.
Btw, gaya baru Eqie nih ya? :D
Aha, pembahasannya mantap x kak, tentang ASI. Orang yang menggembar gemborkan tentang ASI eksklusif malah kasih sufor utk anaknya
ReplyIntinya emang di bagian akhir tu kak .. jleb kali :D
ReplyJadi intinya cuma teori kali, ya :D
ReplySepakat banget mbak, salah satu tantangan orang yang belajar terutama dalam konteks kesehatan yah masalah integritas, apakah ilmu yang dipelajarinya, apakah ilmu yang dia ajarkan ke orang lain, sudah terlebih dahulu kita kerjakan sendiri atau tidak.
ReplyTulisan yang menginspirasi, simpel, dan menohok hehe.
Salam kenal Mbak. :D
sama aku mau kenalan juga gak? hehe :)
Replyintinya adalah omong kosong saja hihi
ReplyBagus. Pesannya sampai tanpa bosen dibaca. :D
ReplyConversionConversion EmoticonEmoticon