A beautiful Mind, Melihat Bagaimana Skizofrenia Bekerja


Saya menonton film A Beautiful Mind untuk yang ketiga kalinya. Dulu, ketika saya sempat kuliah di jurusan psychiatric of nursing, film ini merupakan salah satu film wajib yang kami tonton dan diskusikan di kelas. Film ini, salah satunya, cukup membantu kami untuk memahami Skizofrenia. Terkadang, belajar lewat film malah lebih cepat melekat di ingatan dibanding membaca buku-buku teori setebal bantal.

A Beautiful Mind adalah film semibiografi, sebuah film yang mengangkat kisah hidup John Forbes Nash, seorang penerima nobel di bidang ekonomi pada tahun 1994. Faktanya, John Nash bukan seorang ahli ekonomi, dia adalah seorang matematikawan. John Nash kuliah di universitas bergengsi Princeton University, Amerika, dan meraih gelar doktoral di bidang matematika di usia yang sangat muda, 22 tahun. Bagaimana seorang ahli matematika seperti John Nash bisa menerima nobel di bidang ekonomi? Film ini tidak menjelaskan dengan sangat detail tentang keilmuwan John, kalian bisa menemukannya dengan membaca buku biografi John Nash yang ditulis oleh Sylvia Nasar.

Tulisan ini tidak akan membahas kehidupan John Nash yang sebenarnya. Tulisan ini adalah sepenuhnya tentang kehidupan John Nash—yang diperankan oleh Russel Crowe—dalam film A Beautiful Mind.

Dalam A Beautiful Mind, John digambarkan sebagai seseorang yang pendiam, penyendiri, dan pria yang pemalu. Karena kepribadiannya yang tertutup dan antisosial, selama di Princeton, John jarang masuk ke kelas. Menurut John, kelas akan menumpulkan pikiran dan menghancurkan potensi untuk kreativitas. Namun John bukan mahasiswa pemalas, sebaliknya, dia adalah seorang pemikir. Hari-hari John di apartemen disibukkan dengan eksperimen untuk mencari ide orisinal. Dia hanya ingin menciptakan idenya sendiri. Setiap hari dia bergumul dengan teori-teori dan rumus-rumus. Ketika orang-orang di luar apartemennya sibuk beraktivitas dalam keramaian, John sibuk menuliskan rumus-rumus tertentu di jendela kamarnya.


Di mata para mahasiswa doktoral teman seangkatannya, meski jarang masuk kelas, John sangat jenius, tetapi dia sangat aneh. John sering melakukan hal-hal yang tampaknya konyol. Memerhatikan orang-orang yang bermain sepak bola di bawah apartemennya dan menarik rumus matematika untuk kegiatan tersebut, di jendela kamarnya. Atau, mengamati sekelompok merpati berebutan remah roti di kampusnya dan mengekstrak algoritma untuk mendefinisikan pergerakan merpati tersebut. Atau, melihat seorang wanita yang mengejar seorang pria yang mencuri tasnya dan membuat kesimpulannya dalam bentuk rumus tertentu. Sesuatu yang mungkin orang lain tidak akan melakukannya.

Meski dari luar John terlihat hidup menyendiri, tetapi sesungguhnya John tidak benar-benar hidup sendiri. Dalam kamarnya, dia memiliki seorang ‘teman’ yang sama anehnya, bernama Charles. Di satu sisi, Charles selalu mengejek John akan pencarian ide orisinal yang tak kunjung ditemuinya, namun di sisi lain, dia senantiasa mendukung John. Charles menyukai John yang terlihat jenius di mata orang lain.

Ketika professor John menegur John yang tidak pernah masuk kelas dan terancam gagal karena belum mempublikasikan karya ilmiah, John tetap bersikukuh dengan rencana publikasi ide orisinalnya. John dan teman-teman seangkatannya terobsesi bisa bekerja di Wheeler Laboratorium Pentagon di Massachusetts Institute of Technology (MIT), selepas doktoral. Berbeda dengan teman-temannya yang begitu menikmati hidup dan kuliah mereka demi cita-cita tersebut, John terlalu sibuk dengan dunianya sendiri tentang ide orisinal, sehingga di mata profesornya, ia terkesan tidak fokus dan tidak serius.

Inspirasi penulisan paper-nya justru datang ketika suatu malam John bertemu seorang gadis pirang di sebuah klub. Dia dan teman-teman seangkatannya sedang menggoda dan mengira-ngira gadis tersebut. Saat itu, John tiba-tiba teringat akan teori ekonomi yang digagas oleh Adam Smith dan menghubungkannya dengan si gadis di klub. Menurutnya, teori tersebut kurang tepat dan harus direvisi. Ibarat seseorang yang baru saja mendapat penerangan dan sebuah bohlam muncul kemudian, setelah John terus mengurung diri untuk menulis rumus-rumus untuk paper-nya. Mengejutkan ketika paper-nya, meskipun menentang teori yang sudah ada, diterima dengan baik oleh sang professor. Impiannya menuju Wheeler Laboratorium semakin dekat.

John akhirnya berhasil meraih gelar doktor dan bekerja di Massachusetts Institute of Technology (MIT) sebagai pemecah kode rahasia di Pentagon sekaligus menjadi tenaga pengajar di universitas tersebut.


Di MIT, kehidupan John berubah. Dia bertemu dengan dua orang yang kemudian mengubah jalan hidupnya secara signifikan. Orang pertama adalah Alicia Larde, mahasiswinya di MIT, seorang perempuan yang dijatuhcintai John dan kemudian menjadi istrinya. Di kemudian hari, Alicia adalah orang yang membantu John keluar dari kegelapan hidupnya. Orang kedua adalah William Parcher, seseorang yang, ketika bertemu John, mengaku sebagai petugas dari Departemen Pertahanan. John dibawa ke sebuah tempat yang disebut-sebut William sebagai tempat untuk mengumpulkan informasi rahasia kenegaraan. John tidak menolak ketika ia didaulat sebagai mata-mata Amerika untuk Rusia. Sejak hari itu, kehidupan John tidak pernah sama lagi. Suatu hari John memutuskan untuk menolak bekerja untuk Willian Parcher karena alasan kehamilan Alicia, sayangnya John tidak pernah bisa mundur lagi. Kehidupannya selalu dihantui oleh kehadiran William Parcher. John mulai sering mengalami paranoid (curiga berlebihan). Inilah awal dari kehidupan John yang suram.


Kehadiran William Parcher ternyata semu, termasuk Charles. Mereka berdua tidak pernah benar-benar ada dalam kehidupan John Nash, termasuk proyek misi rahasia yang dikenalkan oleh Wiliam Parcher. Dan tempat yang disebut-sebut John sebagai tempat bekerjanya sebagai mata-mata kemudian diketahui hanyalah gedung kosong yang telah lama terbengkalai dan berada tak jauh dari kampus MIT. Hal tersebut terungkap ketika John pada akhirnya dibawa ke psikiater.

Dengan semua gejala dan perilaku yang ditunjukkan John, ia didiagnosa menderita skizofrenia. Hari-hari berat dialami oleh Alicia. Namun berkat kesabaran dan kebesaran hati Alicia selama mendampingi John, bertahun-tahun kemudian John bisa berdamai dengan orang-orang yang hanya berada dalam pikirannya tersebut. Dalam dunia psikiatrik, ini disebut halusinasi, yang merupakan salah satu gejala skizofrenia. Orang-orang tersebut, Parcher dan Charles, tidak pernah benar-benar hilang. John tetap melihat mereka dan mereka juga terus mengikuti John sampai masa tuanya. Bahkan saat John menghadiri penganugerahan hadiah nobel, mereka tetap hadir dan saling melihat dari kejauhan.

Skizofrenia adalah penyakit menahun. Hanya dukungan dari keluarga dan kepatuhan pada pengobatanlah yang membuat mereka bisa tetap hidup normal di masyarakat. Terbukti meski telah sembuh dan bisa beraktivitas kembali, John masih berhalusinasi, Parcher dan Charles masih mengikutinya. Bedanya, John tidak lagi agresif dan paranoid seperti ketika muda dulu. Ia sudah bisa membedakan mana realita dan mana halusinasi. John sudah bisa mengendalikan Parcher dan Charles yang masih sering dilihatnya.

A Beautiful Mind menjadi salah satu film terbaik versi saya. Diperankan dengan sangat baik oleh Russel Crowe dan Jennifer Connely, lengkaplah sudah, ini menjadi salah satu film favorit saya sepanjang masa. Film ini menghadirkan dialog-dialog yang cerdas , alur yang tak terduga, dan karakter John Nash yang memuaskan. Russel Crowe tidak pernah mengecewakan saya—dan semoga kalian juga.

Film ini mengajarkan kita bagaimana Skizofrenia dan halusinasi bekerja dan bagaimana harus bersikap ketika berhadapan dengan penderita Skizofrenia.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Previous
Next Post »

Instagram @fardelynhacky