Sekadar pengantar:
Ketika menulis review ini, saya
berusaha untuk tidak terlalu banyak menulis nama tokoh. Saya tahu bahwa
nama-nama orang yang berwajah oriental di kawasan Asia Timur, cukup sulit untuk
disebut, apalagi jika diingat :D Review ini saya tulis dalam rangka mengenang
10 tahun tsunami di Aceh, hari ini, 26 Desember 2014. Selamat membaca. Semoga
berkenan.
***
Momen mengenang 10 tahun tsunami lalu, salah
satunya saya lewati dengan menonton film tentang tsunami juga. Saya memilih
film berjudul Haeundae, sebuah film besutan sutradara Korea Selatan,
Youn Jk. Film ini dirilis pada akhir Juli 2009 dan termasuk dalam daftar film box
office di Korea Selatan. Terhitung sejak dirilis pertama sekali hingga saat
ini, Haeundae masih berada dalam daftar 10 besar film-film Korea Selatan
yang menjadi box office. Itu alasan pertama saya memilih Haeundae.
Alasan kedua adalah karena dipasangnya Ha Ji Won sebagai salah satu aktris yang
meramaikan film ini.
Saya pertama sekali melihat akting Ha
Ji Won dalam film 100 Days with Mr. Arrogant (rilis 2004), tetapi sama
sekali tidak menemukan di mana bagusnya akting aktris ini. Namun ternyata saya
salah. Tahun 2014 ini, saya kaget melihat kematangan akting Ha Ji Won ketika
menjadi salah satu lead actress dalam film The Huntresses. Selain
Ha Ji Won, ada aktris cilik Kim Yoo Yung yang mengambil sedikit peran dalam
film Haeundae ini. Sedikit peran yang sungguh sangat disayangkan,
mengingat aktingnya yang sooo natural.
Haeundae adalah nama pantai terkenal di Busan.
Jika dilihat secara geografis, tidak mungkin terjadi yang namanya tsunami di
daerah ini, mengingat lautnya berbatasan dengan laut Jepang. Untuk lebih
mudahnya, bayangkan Korea sebagai pulau Kalimantan dan Jepang sebagai pulau
Sulawesi. Mungkinkah terjadi tsunami di antara kedua garis pantai tersebut?
Tapi apa yang tidak mungkin terjadi di dunia ini? Apalagi Jepang adalah negara
yang terkenal dengan gempanya. Tapi orang-orang sudah kadung punya keyakinan
–ditambah melihat pengalaman tsunami di Indonesia– bahwa tsunami tidak mungkin
terjadi di laut Busan, bahkan meski itu oleh mereka yang bekerja di badan
geologi, bahkan kitapun mungkin tidak akan percaya, kecuali seorang staf badan
Geologi di Busan, Mr. Kim Hee. Sejak awal, bahkan Mr. Kim Hee sudah meyakinkan
atasannya bahwa gempa yang berasal dari salah satu pulau di Laut Jepang,
berpotensi akan terjadinya tsunami di pantai Haeundae. Namun, siapa yang mau
percaya? Akibatnya, ketika gelombang hitam setinggi gedung-gedung bertingkat di
Haeundae menghantam pantai dan daerah sekitarnya tanpa ampun, ratusan ribu
nyawa tidak bisa diselamatkan.
Menonton film ini mengingatkan saya
akan dua film Hollywood bertema bencana; Dante’s Peak (1997) yang
menceritakan tentang letusan gunung merapi dan The Impossible (2012)
yang menceritakan tentang tsunami di Thailand pada 2004 lalu. Tentu saja,
film-film bertema bencana ini bukan film dokumenter, tapi murni film komersil,
murni fiksi belaka, di mana ada cerita di dalamnya, yang tidak hanya tentang
cerita bencana. Tetapi Haeundae menampilkan terlalu banyak cerita. Tidak
terlalu banyak tokoh sebenarnya, tapi ada beberapa bagian cerita yang saya
pikir tidak perlu ditampilkan agar kesan ‘bertarung’ dengan laut hitam yang
mengganas pada saat berlangsung dan setelah kejadian, akan lebih terasa. Apalagi
mengingat tokohnya, Mr. Kim Hee adalah seorang Geologist, profesi yang
sama sebagaimana tokoh di film Dante’s Peak. Seharusnya, ceritanya cukup
berfokus pada kehidupan sang Geologist saja, tentang keluarganya dan tentang
bagaimana akhirnya Mr. Kim Hee yang berusaha menyelamatkan orang-orang,
sebagaimana di Dante’s Peak.
Ada tiga cerita dalam satu film dengan durasi
120 menit. Saya kira, ini tidak akan meng-cover semuanya. Akibatnya,
terjadi missing di beberapa bagian. Klimaks film ini adalah pada hari
ketika bencana terjadi. Namun bagian awal film memakan terlalu banyak
penggambaran tokoh serta latar belakang persoalan masing-masing. Dengan membawa
persoalan tiga cerita, lalu bermuara pada satu hari, yaitu hari ketika bencana. Sebagaimana
gelombang laut yang menghantam semua sisi pantai Haeundae, semua tokoh dengan
cerita masing-masing pun ingin menunjukkan sisi terbaiknya. Di sinilah letak missing-nya.
Ketika sedang disuguhkan scene gelombang naik lalu turun pada satu
cerita, tiba-tiba scene berpindah ke cerita lainnya dengan memperlihatkan
gelombang yang baru mulai naik. Belum lagi cerita tentang penjaga pantai yang
sangat terasa missing-nya.
Jika dibandingkan dengan The
Impossible (2012) yang juga merupakan film tsunami, tetapi besutan
Hollywood, ‘feel’ tsunami dalam Haeundae lebih bisa membawa saya
ke perasaan mengharu biru. Kejadian tsunami dalam Haeundae lebih terasa natural
meskipun di sedikit bagian masih terasa janggal. Terlihat betul bahwa kru film Haeundae
sudah melakukan riset mendalam tentang tsunami, baik sebelum maupun sesudah
bencana. Di Haeundae, terlihat
bagaimana proses tsunami terjadi secara alami. Didahului dengan pertanda dari
hewan-hewan yang menuju darat; burung camar yang terbang secara bergerombolan
menuju darat, hewan-hewan kecil di pantai yang bergerak cepat menuju darat;
lalu dilanjutkan dengan gempa, dan terakhir… air laut yang surut secara
perlahan-lahan, sebelum akhirnya kembali ke pantai dalam bentuk gelombang
raksasa. Sementara dalam The Impossible, tidak begitu adanya, di mana
tanpa gempa, tanpa pertanda alam, tiba-tiba saja terjadi tsunami. Sehingga pada
bagian ini, menonton Haeundae, lebih mengingatkan saya akan tsunami di
Aceh sepuluh tahun lalu. Mungkin karena saya sendiri pun mengalaminya.
Secara efek visual, terutama saat hari
ketika bencana, adalah bagian yang sangat memukau. Begitu nyata dan hidup.
Kiranya, sutradara Youn Jk tidak main-main ketika mengerjakan film ini. Dengan
menghabiskan dana lebih dari $10 juta, mereka mengerjakan efek visual saat bencana
tersebut di Amerika, dengan dibantu oleh kru film Star Wars dan The Day After Tomorrow.
Maka menonton Haeundae, seperti menonton film-film Hollywood dengan
sentuhan efek visual berteknologi tinggi namun tetap smooth.
Bagian yang menyedihkan, sekaligus menjadi scene
terbaik film ini adalah ketika orang-orang sedang berlari dalam hantaman
gelombang, tiba-tiba sebuah tiang listrik dengan arus yang menyala-nyala,
tumbang dan terjatuh ke dalam air laut di jalanan kota Busan. Ratusan orang
yang sedang menyelamatkan diri, meninggal seketika karena kesetrum. Scene
ini terasa sangat natural.
Ekspektasi saya terhadap dua aktris
berbeda generasi; Ha Ji Won dan Kim Yoo Jung, sangat memuaskan. Ha Ji Won,
aktris dengan garis wajah yang keras, sangat cocok mendapat peran sebagai gadis
pantai dengan kehidupan yang keras sebagai penjual ikan. Dia juga berhasil
menirukan logat Hangul daerah pesisir.
Overall, Haeundae bukan film yang luar
biasa. Tapi film-film seperti ini, hampir selalu berhasil menyentuh sisi
kemanusiaan penonton. Satu pelajaran penting yang bisa dipetik adalah, bahwa
tsunami mungkin saja tidak terjadi pada pantai-pantai yang terletak di antara
selat. Tapi bencana, siapa yang bisa menduga?
***
11 comments
Write commentsKeren Ki. Jadi ingin nonton :)
Replynontonlah bai. bisa disedot di mana-mana film ini :D
ReplyWuiih harius dicari nih filmnya... kakak download dmn film ni?
ReplyMakasih reviewnya kak Eqi... bisa masuk wishing list untuk tontonan berdua suami.
ReplyAku gak download kak, tapi nonton streaming. di situs yang biasa aku pake buat nonton drakor, xixxiii.... ada film juga, bukan hanya drama :D
ReplyYuk ditonton fus :D
Replywaaah.... sepertinya film yg sangat menarik. Jadi pengen nonton filmnya :)
Replycari ah link filmnya. buat nonton bareng keluarga
ReplyYuk mbak ditonton :D
ReplySelamat menonton mbak santy :D
Replyfilm nya lg di puter di trans7 hari ini
ReplyConversionConversion EmoticonEmoticon