Setelah Menikah, Tinggal di Mana?: Sekelumit Adat di Aceh Selatan

Pemandangan kota Tapaktuan. Foto dari www.indonesia.travel
April lalu, saya dan suami pulang ke kampung halaman kami di Aceh Selatan. Saya dan suami memang berasal dari kecamatan yang sama di Aceh Selatan. Saat itu saya sedang dalam masa liburan kuliah dan baru kembali dari Thailand, tempat saya menuntut ilmu sekarang. Kampung saya dan suami tidak terlalu jauh. Masih dalam satu kecamatan yang sama, hanya berbeda desa saja. Begitu menuruni ujung gunung Tapaktuan,  langsung terhampar jalan nasional yang membelah kecamatan Pasie Raja, Aceh Selatan, memisahkan daerah pesisir dan daerah pegunungan. Sebagaimana umumnya daerah Tapaktuan (ibukota Kabupaten Aceh Selatan)  dan sekitarnya, yang masyarakatnya hidup di daerah pesisir juga pegunungan, demikian juga dengan sebagian besar penduduk di Kecamatan Pasie Raja. Desa pertama yang kami jumpai di kecamatan ini adalah desa suami saya. Rumah mertua saya pun berada di pinggir jalan nasional tersebut. Jadi begitu turun dari angkutan yang membawa kami dari kota Banda Aceh, kami langsung turun di halaman rumah mertua saya. Setelah berjalan kira-kira sepuluh langkah, langsung masuk ke rumah mertua. Selain dekat dengan gunung, desa ini juga dekat dengan laut.
 Sementara itu, desa tempat orangtua saya tinggal jauh masuk ke dalam (‘dalam’ yang saya maksud di sini jika dilihat dari jalan raya) dan sangat dekat dengan gunung. Otomatis sebagian besar mata pencaharian penduduk di desa tempat orangtua saya tinggal adalah mengolah hasil alam yang ada di gunung, seperti pala, cengkeh, durian, dan nilam. Bagi yang belum pernah mendengar atau melihat tumbuhan yang bernama nilam ini, berikut ini saya sertakan gambarnya;   
Foto dari SINI

Dalam tulisan ini, saya bukan hendak menuliskan tentang tumbuhan di atas, tapi sekelumit adat yang ada di kampung saya. Semoga kelak saya bisa menuliskan tentang petani nilam.
Nah, karena desa suami saya yang duluan bertemu dari kota Tapaktuan, otomatis setiap kali pulang kampung, kami akan singgah terlebih dahulu di tempat suami. Begitu menjelang malam, barulah kami berangkat lagi ke desa tempat orangtua saya tinggal. Jarak desa suami dan desa orangtua saya hanya 5 kilometer saja, bisa ditempuh sekitar lima belas menit dengam motor.  Kenapa kami tidak memutuskan tidur di tempat mertua saya saja sementara waktu sudah menjelang malam?
Begini, menurut adat di Aceh, khususnya di Aceh Selatan, jika laki-laki dan perempuan menikah, dan sang suami bekerja di kota yang sama, biasanya mereka akan tinggal di rumah orangtua si perempuan. Suka tidak suka, senang tidak senang, mereka harus tinggal di rumah orangtua perempuan sampai mereka memiliki anak. Menurut orang-orang tua kampung, ada banyak makna di balik itu. Yang pertama, karena orangtua perempuan masih ingin anaknya tinggal bersama mereka sehingga enggan jika langsung melepas anaknya dibawa pergi oleh menantu laki-laki. Intinya sih, sebuah pembiasaan jika anak mereka bukan lagi sepenuhnya milik mereka tapi sudah ada suami yang lebih berhak atas mereka. Kedua, biasanya setelah menikah banyak pasangan yang belum bisa langsung memiliki rumah, jadi mereka tinggal di rumah orangtua sampai mereka ada rejeki untuk memiliki rumah sendiri. Tinggal di rumah orangtua ini juga ada batas waktu. Biasanya hanya sampai pasangan suami istri ini memiliki anak pertama.
Apakah langsung pindah setelah anak lahir? Itu juga tergantung dari pasangan suami istri itu sendiri. Jika sedari awal, sejak setelah menikah mereka sudah mempersiapkan rumah untuk mereka tempati nantinya, biasanya mereka akan pindah ke rumah tersebut begitu anak sudah berumur minimal setahun. Pertimbangan umur minimal setahun ini juga masih berdasarkan adanya ketergantungan anak perempuan terhadap ibunya dalam hal merawat bayi. Sudah lazim di Aceh, anak perempuan manja dan dekat dengan ibunya. Semua hal akan ditangani si ibu walaupun si anak sudah menikah, termasuk dalam hal merawat bayi, apalagi untuk pasangan yang baru memiliki anak, belum berpengalaman merawat bayi, pastilah andalan satu-satunya adalah ibu mereka. Begitu juga jika kelak si anak ini memiliki anak perempuan, hal yang sama juga akan berlaku jika anaknya si anak ini kelak dewasa.
Setelah si anak sudah cukup merasa mandiri untuk lepas dari ibunya dan siap untuk menempati rumah baru, barulah mereka akan pindah dari rumah orangtua. Namun, jika pada usia si bayi sudah lebih dari setahun sementara si anak dan suaminya belum memiliki rumah baru, mereka tetap diperbolehkan tinggal dengan orangtua setahun atau dua tahun lagi. Kecuali, jika ada adik perempuannya yang menikah, maka anak perempuan yang pertama menikah  harus siap-siap memikirkan mencari rumah kontrakan karena kamar pengantin mereka akan dihuni oleh pasangan lain, jika di rumah orangtua mereka tidak memiliki kamar lain. Tapi meski memiliki banyak kamar, tetap saja pasangan yang sudah punya anak ini harus memikirkan untuk pindah karena pernikahan saudara perempuannya. Bukan diusir atau sejenisnya, tapi sudah menjadi sebuah kelaziman seperti itu dalam masyarakat di Aceh Selatan. Jadi, tidak ada yang protes kenapa harus begini atau kenapa begitu. Saudara perempuan yang telah punya anak tadi memiliki kesadaran dengan sendirinya untuk segera pindah, dengan atau tanpa adanya rumah sendiri.
Dalam adat di Aceh Selatan, jarang ditemukan ada lebih dari dua keluarga yang tinggal bersama dalam satu keluarga inti. Minimal dua keluarga, yaitu orangtua si anak perempuan yang sudah menikah tadi beserta saudaranya yang lain dan si anak perempuan dengan suaminya. Nah, jika terjadi pernikahan saudara perempuannya yang lain, maka seperti yang saya sebutkan sebelumnya, saudara perempuan yang telah duluan menikah akan segera pindah. Namun, jika yang pertama menikah belum memiliki anak dalam kurun dua tahun pertama pernikahan, biasanya orangtua masih menahan mereka untuk tetap tinggal di rumah orangtuanya. 
Nah, kembali ke cerita saya yang mudik ke kampung.
Saya dan suami adalah pengecualian. Setelah akad nikah dengan melalui aneka upacara adat, kami langsung kembali ke kota Banda Aceh. Menyewa rumah mungil dan memulai hidup dari nol. Pengecualian ini terjadi karena lama sejak sebelum menikah saya dan suami tinggal di kota Banda Aceh dan memiliki kegiatan di kota ini; saya masih kuliah dan suami bekerja di kota Banda Aceh.
Meskipun demikian, setiap pulang ke kampung, apakah pulang pada saat lebaran atau karena ingin menjenguk orangtua di waktu-waktu tertentu, saya dan suami tidur di rumah orangtua saya, meskipun yang duluan kami jumpai dan singgahi adalah rumah mertua saya. Justru aneh jika kami tidak singgah ke rumah mertua sementara desa dan rumah yang kami lalui untuk ke desa saya adalah desa mertua saya. Apalagi seandainya kami tidak pulang dalam jangka waktu yang lama, tentunya kerinduan orangtua sangat menggebu-gebu terhadap anak dan cucu, termasuk kerinduan mertua saya, meski kami tidak menginap di rumahnya. Jadi, sebagai rasa hormat, kami tetap singgah terlebih dahulu di rumah mertua baru kemudian melanjutkan kembali perjalanan ke rumah orangtua saya.
Ya, begitulah adat di sana. Meski sudah terpisah jauh dan tinggal di daerah lain, ketika kembali ke kampung, si anak perempuan yang sudah menikah harus tetap kembali dan tidur di rumah orangtuanya, bukan di rumah mertuanya. Mertua saya pun tidak keberatan karena mertua juga punya anak perempuan yang berarti hal yang sama juga berlaku pada beliau. Kecuali jika ada sesuatu hal semisal mertua sakit atau ada kenduri di rumah mertua, nah, barulah saya dan suami tidur di rumah mertua.
Setelah menulis panjang lebar tentang anak perempuan yang menikah dan tinggal bersama orangtuanya, sekarang pertanyaannya, bagaimana perlakuan terhadap anak laki-laki?
Di kampung saya dan kampung suami saya, beserta kampung-kampung di sekitarnya, yang masih sangat memegang adat dalam kehidupan sehari-hari, sehubungan dengan tempat tinggal ini, anak laki-laki tidak memiliki kamar di rumah orangtuanya seperti halnya anak perempuan. Wah, sepertinya tidak adil, ya? Tidak juga. Seperti yang saya tulis sebelumnya, pasangan yang baru menikah akan tinggal di rumah orangtua si perempuan. Mungkin dengan pertimbangan itulah anak laki-laki tidak dibuatkan kamar. Toh, setelah dewasa mereka tidak akan pernah lagi tidur di rumah orangtuanya.
Sebetulnya hal ini tidak berlaku semua sama. Jika orangtua mereka adalah orang yang mampu secara ekonomi, mereka akan membuatkan kamar untuk anak laki-laki. Tetapi kamar mereka hanya kamar asal-asalan saja. Tidak terlalu diurus atau diperindah layaknya kamar untuk anak perempuan yang nantinya akan dipersiapkan menjadi kamar pengantin. Bahkan jika orangtua memiliki banyak anak laki-laki, mereka hanya memberi satu kamar untuk semua anak laki-laki mereka.
Lalu bagaimana kondisi anak laki-laki yang tak ada kesempatan memiliki kamar karena orangtua yang tidak mampu? Pada malam hari, selepas belajar di rumah dan pergi mengaji ke mushalla kampung, mereka tidak kembali lagi ke rumah. Mereka akan tidur di mushala kampung dan kembali ke rumah setelah salat Subuh. Jika harus tidur di rumah karena suatu hal, mereka cukup tidur di ruang tamu saja. Beralaskan tikar atau kasur tipis. Hal ini berlangsung sampai kelak mereka memiliki kamar yang indah di kamar istri mereka.
Mungkin terdengar aneh, ya? Apalagi di zaman modern seperti ini. Saya hanya menuliskan tentang apa yang menjadi kebiasaan di kampung saya dan kampung suami saya. Dua perkampungan yang masih jauh dari hiruk pikuk modernitas dan gaya hidup perkotaan. Sebenarnya, hal demikian tidak hanya terjadi di kampung saya saja, bahkan hampir seluruh penjuru Aceh, bahkan lagi, mungkin di beberapa daerah lainnya di Indonesia. Hanya saja, mungkin kondisinya sudah sedikit berbeda dengan yang ada di kampung saya. Anak-anak sekarang, yang tinggl di kota, laki-laki dan perempuan mendapatkan hal yang sama dalam hal kamar sebagai tempat yang sangat pribadi bagi seseorang. Di kamar, mereka bisa belajar dengan bebas, menyimpan barang-barang pribadi, dan yang paling penting menjadi tempat peristirahatan paling nyaman dibandingkan tempat apapun di dunia ini. Halah..jadi lebay ya, hehee...
Jadi, sampai saat ini, orang-orang tua di kampung kami, anak-anak muda, masih melakoni kebiasaan ini sebagaimana generasi sebelumnya yang juga melakukan hal yang sama.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Previous
Next Post »

4 comments

Write comments
Keke Naima
AUTHOR
29 Juni 2012 pukul 23.42 delete

terlihat aneh atau tdk, tp adat istiadat setiap daerah memang menarik utk di simak :)

Reply
avatar
30 Juni 2012 pukul 02.40 delete

Iya, betul sekali mbak. Menyimak 'keanehan' dan keunikan setiap daerah memang menarik. Jadi semakin cinta dengan Indonesia :)
Makasih mbak udah menyimak salah satu keunikan di Aceh :)

Reply
avatar
King Gadget
AUTHOR
26 September 2013 pukul 02.43 delete

Cerita menarik mbak...
Sebenarnya saya tertarik untuk mengunjungi aceh karena pemandangannya yangindah dan hasil alamnya salah satunya nilam yang katanya merupakan kualitas terbaik yang dihasilkan.
Mohon infonya mbak mengenai aceh dan mengenai tanaman nilam yang ada di aceh selatan khususnya Tapaktuan. email : stew.hendry@yahoo.com

Reply
avatar
3 April 2017 pukul 16.43 delete

Tapaktuan itu salah satu dari banyak tempat yang belum saya kunjungi di Aceh.
Menurut cerita kawan-kawan, banyak orang pintar Aceh berasal dari sana. bener ga?
Mudah-mudahan bisa berkunjung lagi ke Aceh. Mau ke Tapaktuan & Pulau Banyak :)

Reply
avatar

Instagram @fardelynhacky