Saat ini, ada satu hal yang cukup memprihatinkan bagi
bangsa Indonesia, yaitu keberadaan beberapa bahasa daerah yang sedang diambang
kepunahan. Kenapa? Karena sudah jarang orang sekarang mau menggunakan bahasa daerah.
Penyebabnya bisa beragam antara lain; perkawinan antar suku sehingga
digunakanlah bahasa Indonesia saja sebagai bahasa ibu, enggan menggunakan
bahasa daerah karena menganggap bahasa daerah sudah tidak sesuai zamannya lagi [1].
Di kampung saya di Aceh Selatan, tepatnya di Terbangan, Pasie Raja, umumnya
masyarakatnya menggunakan bahasa Aceh sebagai pengantar bahasa sehari-hari.
Bahasa Indonesia hanya digunakan misalnya; di sekolah-sekolah formal pada saat
guru mengajar di kelas namun begitu mereka berada di luar kelas, mereka, antara
guru dan murid, biasanya kembali bercakap-cakap dalam bahasa Aceh. Begitu juga
di perkantoran pemerintah, lebih sering terdengar mereka menggunakan bahasa
daerah. Tentu saja ini bagus karena sudah jarang anak muda sekarang yang
menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa sehari-hari, atau lebih parah lagi, malah
sama sekali lupa dengan bahasa nenek moyangnya.
Sedikit ke kota, semisal kota Banda Aceh, jangan berharap fakta yang ada di
kampung saya akan ditemukan di sini. Jangankan anak-anak muda, bahkan ada dari
kalangan orangtua yang tidak lagi mau (bisa) berbahasa daerah. Hal ini membuat
anak-anak jaman sekarang merasa asing begitu mendengar penggalan kalimat bahasa daerah. Meski masih ada yang
bisa berbahasa daerah, namun jumlahnya sangat kecil.
Dalam tulisan ini, saya tidak hanya berfokus pada bahasa daerah saja, tapi
juga bahasa Indonesia yang menjadi pengantar komunikasi antar warga negara
Indonesia. Meskipun bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional yang resmi,
bukan berarti bahasa daerah berada pada posisi inferior. Tidak ada yang lebih
utama, apakah bahasa Indonesia atau bahasa daerah. Baik bahasa Indonesia maupun
bahasa daerah sama-sama budaya bangsa yang mesti kita lestarikan bersama. Hanya
saja, dalam penggunaannya, meskipun kita sering menggunakan bahasa Indonesia,
ada baiknya tidak pula melupakan bahasa daerah.
Sebagaimana halnya bahasa daerah yang mulai dilupakan, bukan tidak mungkin
hal yang sama juga akan terjadi dengan bahasa Indonesia. Beberapa tahun
belakangan ini, remaja Indonesia seperti sedang ‘dicecoki’ sebuah pemahaman
bahwa mempelajari bahasa asing (Inggris) adalah sebuah keharusan. Dalam
berbicara kita sudah memcampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris.
Merujuk pada istilah yang dipakai oleh seorang teman saya dalam sebuah
artikelnya yang dimuat di sebuah harian di Aceh [2],
dia menyebut dengan istilah Indogris untuk fenomena penggabungan
bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam satu kalimat. Dan secara tidak sadar
kita ikut ‘menyuburkan’ istilah ini. Saat bertemu teman kita biasa menggunakan
sapaan-sapaan seperti; ‘Apa kabar, bro?’ ‘apa kabar, sist?’ ‘Plis, sharing info
ke saya’ (bro = brother, sist = sister, plis =please, sharing), dan
banyak lagi contoh percakapan sehari-hari yang menggunakan Indogris ini.
Memang, untuk saat ini, menguasai bahasa asing terutama bahasa Inggris itu
penting. Tidak hanya berguna saat kita bepergian ke luar negeri, juga karena
bahasa ini sudah menjadi bahasa yang mendunia. Tapi, sungguh disayangkan jika
kemudian dengan maksud ingin menguasai bahasa asing lantas melupakan bahasa
daerah atau menggunakan bahasa Indogris seperti istilah teman saya tadi.
Mungkin tidak begitu masalah jika Indogris
ini hanya terjadi dalam percakapan sehari-hari lalu selesai sampai di
situ. Tapi bagaimana jika dari kebiasaan
sehari-hari, dari lisan lantas terbawa sampai ke bahasa tulisan? Dalam
penulisan artikel-artikel ilmiah, makalah den sejenisnya memang tidak masalah
jika terdapat beberapa kata dalam bahasa asing. Tapi alangkah lebih baiknya
jika menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar saja. Saya ingat pesan
guru menulis saya saat saya masih menjadi murid di sebuah sekolah menulis dulu. Beliau adalah wartawan
senior sebuah majalah berita ternama ibukota yang didatangkan khusus ke Aceh
untuk sekolah menulis ini yang berlangsung selama sebulan. Pesan beliau
kira-kira begini;
"Dalam membuat sebuah tulisan, sebaiknya hindari terlalu banyak menggunakan
bahasa asing atau bahasa yang sekarang disebut bahasa alay. Jika memang ada padanannya dalam bahasa Indonesia, sebaiknya gunakan bahasa
Indonesia saja. Jangan karena ingin terlihat keren dengan menggunakan bahasa asing
sehingga orang tidak mengerti, dan membuat orang tidak mengerti itu sama sekali
tidak keren. Kecuali; jika bahasa Indonesia memang menggunakan bahasa yang sama
dengan bahasa asing tersebut atau jika memang tak bisa menghindari penggunaan penulisan
bahasa asing tersebut".
Hal lain yang cukup mengkhawatirkan adalah makin maraknya penggunaan bahasa
prokem atau bahasa gaul. Bahasa prokem adalah bentuk tidak baku dari bahasa
Indonesia, biasanya sering digunakan untuk percakapan sehari-hari. Ada yang
menyebutkan bahwa bahasa prokem merupakan bahasa yang hanya digunakan oleh
remaja dan merupakan bahasa rahasia yang digunakan oleh kelompok tertentu saja.
Memang pada awalnya bahasa ini bermula dan dipakai oleh anak-anak muda Jakarta
(Betawi). Namun kenyataannya sekarang, bahasa ini digunakan oleh siapa saja,
tua muda, dan menyebar hampir ke seluruh pelosok nusantara. Kita sudah lazim
mendengar bahkan menggunakan kata-kata seperti; nih, bokap, lu, gue, nggak, sih, dong, dan banyak contoh lainnya [3].
Tapi, akhir-akhir ini, bahasa prokem atau bahasa gaul mengalami perubahan
yang sangat signifikan ke bentuk yang tidak lazim yang disebut bahasa alay. Bahasa ini bermula sejak maraknya
penggunaan ponsel dengan layanan pesan singkatnya. Namanya juga pesan singkat
yang dibatasi dengan karakter serta penggunaan pulsa, maka bahasa Indonesia
mengalami penyingkatan yang cukup memprihatinkan dalam layanan pesan singkat
tersebut. Masalahnya, ternyata pengguna ponsel tidak hanya menggunakan bahasa
singkat sesingkat-singkatnya ini dalam layanan pesan singkat saja, karena sudah
terbiasa, bahkan terbawa saat membuat sebuah tulisan, apakah berupa tugas
kuliah, makalah, atau tulisan untuk blog. Penyingkatan kata-kata dalam bahasa
Indonesia terus berkembang sehingga sudah berbeda sama sekali dari bentuk
aslinya. Begitu ‘kreatifnya’ remaja sekarang, mereka mengutak-atik bahasa
Indonesia yang baik dan benar bahkan sampai dengan menambahkan angka-angka
sebagai pengganti huruf pada singkatan tersebut. Bayangkan, sudah disingkat
sesingkat-singkatnya, mengganti huruf dengan angka pula. Coba lihat contoh yang ini; 9w 9ag 8i5a 5kr9. Buat saya, perlu waktu lama untuk
memahami kalimat tersebut hingga saya mengerti ternyata itu adalah
bentuk ‘kreatif’ dari gw gag bisa skrg.
Sungguh, seperti kata
guru saya, membuat orang lain tidak mengerti itu sama sekali tidak keren.
Jadi, melalui tulisan
ini, saya ingin mengajak teman-teman setanah air, tua muda, kaya miskin,
siapapun saja, untuk kembali menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar
sebagai bahasa pengantar dalam berkomunikasi. Saya ingat dengan penulis buku
Lampuki, Arafat Nur, ketika setiap kali membalas pesan singkat melalui ponsel,
beliau tidak pernah menyingkat kata-kata meskipun kalimatnya sedikit agak
panjang. Nah, sebagai penulis, tentu beliau ingin selalu menggunakan bahasa
Indonesia yang baik dan benar sebagai bentuk latihan menulis meskipun hanya
berupa pesan singkat.
Kita pun bisa mengikuti
apa yang beliau lakukan. Sekarang dan tidak perlu menunggu lama. Sebelum bahasa
ini benar-benar punah dan dilupakan oleh generasi yang akan datang. Kita bisa
memulainya dari hal-hal kecil semisal ketika menulis status di jejaring sosial
atau mengirim pesan singkat dengan tetap menggunakan bahasa Indonesia yang baik
dan benar.
***
Jadi, sebagai warga negara Indonesia yang baik budi, selain berusaha melestarikan
bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu semua suku bangsa, juga jangan sampai
kita melupakan bahasa daerah. Dalam menulis bahasa Indonesia yang baik dan
benar untuk sebuah tulisan, seperti yang saya tulis di atas, bahasa daerah juga
termasuk ke dalam bahasa asing. Jadi, bahasa asing bukan hanya bahasa yang
berasal dari luar negeri. Perlakuannya sama saja seperti bahasa asing lainnya.
Ketika akhirnya harus menggunakan bahasa daerah dalam tulisan karena misalnya
tidak bisa digantikan dengan bahasa Indonesia dan keindahannya akan hilang jika
menggunakan bahasa Indoensia, maka biasanya penulisannya ditulis dalam bentuk
miring dengan memberikan catatan kaki. Saya ambil satu contoh kata bahasa
daerah yang tidak bisa digantikan dengan bahasa Indonesia, misalnya Merarik. Merarik adalah istilah dari bahasa suku Sasak, Lombok, Nusa
Tenggara Barat, yang berarti melarikan seorang
anak gadis untuk diajak menikah (kawin lari) karena sebuah hubungan yang tidak
mendapat restu dari orangtua [4]. Kata ini telah mengalami perubahan makna yang
tidak hanya melarikan seorang anak gadis dalam artian yang sebenarnya. Nah, cukup
panjang juga bukan, jika kita harus menuliskannya dalam bahasa Indonesia? Oleh
sebab itulah diperlukan catatan kaki sehingga ketika dibaca oleh orang yang
berbeda suku, hal ini bisa menambah wawasan akan
istilah dan budaya suku lainnya. Dan
masih banyak lagi istilah-istilah bahasa
daerah lainnya yang justru akan memperkaya khazanah bahasa Indonesia.
Sebagaimana kita tahu, Indonesia memiliki lebih dari 700 bahasa daerah dari
Sabang sampai Merauke. Banyaknya jumlah bahasa daerah menjadi sumber kekayaan
tersendiri bagi Indonesia selain sumber alamnya yang melimpah. Jumlah ini
hampir setengah dari jumlah suku di Indonesia menurut data dari Badan Pusat
Staistik (BPS) tahun 2010, yaitu 1.128 suku [5].
Setiap propinsi memiliki beberapa suku dengan memakai bahasa yang berbeda
dari suku lainnya di propinsi tersebut. Bahkan dalam satu bahasa daerah pun bisa
memiliki banyak perbedaan. Misalnya, bahasa Minangkabau sebagai bahasa daerah yang
dominan di provinsi Sumatera Barat. Dulu saya pikir bahasa Minangkabau itu cuma
satu. Namun ketika saya berkunjung ke Sumatera Barat tahun 2006 lalu, tahulah saya bahwa bahasa Minangkabau ada
banyak ragamnya. Bahasa Minangkabau daerah Pariaman berbeda dengan
bahasa Minangkabau daerah Solok. Begitu juga dengan bahasa Minang lainnya yang
ada di propinsi tersebut. Saya jadi teringat suku Aceh dengan bahasa Aceh-nya
yang beragam yang akan saya tulis di paragraf selanjutnya.
***
Sebagai warga negara Indonesia yang berlatar belakang suku Aceh, maka dalam tulisan ini saya akan
menuliskan beberapa bahasa daerah di provinsi Aceh. Sebagai informasi, sejak 2009 provinsi
ini bernama propinsi ‘Aceh’ saja dari sebelumnya dengan beragam nama; Aceh
Darussalam (1511-1959), Daerah Istimewa Aceh (1959-2001), Nanggroe Aceh
Darussalam (2001-2009). Di Aceh terdapat
13 suku. Masing-masing suku memiliki satu bahasa daerahnya tersendiri. Otomatis
jumlah bahasa daerah juga berjumlah 13 bahasa, yaitu; bahasa Aceh, Gayo, Aneuk
Jamee, Singkil, Alas, Tamiang, Kluet, Devayan, Sigulai, Pakpak, Haloban, Lekon,
dan Nias [6]. Perlu saya garis bawahi bahwa bahasa daerah
Aceh bukan berarti bahasa Aceh. Bahasa daerah Aceh adalah sekumpulan bahasa
daerah yang dipakai oleh masyarakat di propinsi Aceh, apapun sukunya, apapun
bahasanya, termasuk di dalamnya bahasa Aceh. Jadi, bahasa Aceh adalah bagian
dari bahasa daerah Aceh.
Baiklah, saya akan mengulasnya satu persatu
1.
Bahasa
Aceh
Bahasa Aceh merupakan bahasa yang memiliki paling
banyak penutur dengan wilayah sebaran
paling luas dibandingkan bahasa daerah Aceh lainnya. Bahasa Aceh digunakan oleh masyarakat suku
Aceh, meski ada juga dipakai atau dimengerti oleh suku lainnya di Aceh. Ini karena bahasa Aceh dijadikan sebagai lambang kebanggan masyarakat
Aceh. Bahasa Aceh ini sendiri memiliki banyak perbedaan dari segi pengucapan,
kata, dan dialek, berdasarkan masing-masing kabupaten. Untuk bahasa Aceh
kawasan pantai barat selatan yang mencakup beberapa kabupaten di kawasan itu
menggunakan bahasa yang hampir seragam, yaitu pengucapan ‘r’ yang tidak begitu
kentara dengan dialek yang agak mendayu-dayu. Bahasa Aceh di kabupaten Aceh
Besar lain lagi. Meski memiliki kemiripan dengan kawasan pantai barat selatan
dalam hal pengucapan ‘r’ yang tidak begitu kentara, namun dialek bahasa
Aceh-nya Aceh Besar sangat bertolak belakang dengan dialek di kawasan barat
selatan. Untuk penduduk Aceh Besar asli yang tinggal di perkampungan semisal
Leupung atau Lhoong, bahasa Aceh-nya justru lebih sulit dimengerti. Setidaknya begitulah pengalaman
saya ketika berkunjung ke kedua desa itu dan berbincang dengan orang-orang tua
di situ. Bagaimana dengan bahasa Aceh di kabupaten lainnya? Sama juga, berbeda
dalam hal dialek dan pengucapan beberapa kosa kata. Bahasa Aceh di Pidie berbeda
dengan Bireuen atau Lhokseumawe meski mereka sama-sama di kawasan pantai utara
Aceh. Begitu juga Aceh Timur yang dan beberapa kabupaten di kawasan pantai
timur.
Jika mendengar seseorang berbicara dalam bahasa Aceh
dengan logat tertentu, kita akan bisa menebak dia berasal dari Aceh sebelah
mana. Dan, meskipun terdapat banyak perbedaaan dalam satu bahasa ini, tidak
sekalipun terjadi perpecahan atau perdebatan tentang mana bahasa Aceh yang
benar atau yang salah. Tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah. Semua
perbedaan itu adalah kekayaan budaya bangsa ini.
2.
Bahasa
Jamee
Bahasa ini dituturkan oleh masyarakat di kabupaten
Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, sebagian kecil Aceh Barat, Simeulue dan Singkil.
Bahasa Jamee menjadi bahasa pengantar utama di kota Tapaktuan, yaitu ibukota Kabupaten
Aceh Selatan. Bahasa Jamee mirip dengan bahasa Minangkabau. Jamee dalam bahasa
Aceh berarti tamu. Konon, penutur asli bahasa Jamee yang berdiam di kota Tapaktuan, kecamatan Kluet Selatan dan Labuhan Haji adalah pendatang dari
Sumatera Barat. Ketika terjadi perang Paderi di Sumatera Barat, para pejuang Paderi mulai kewalahan oleh serangan kolonial Belanda. Kerajaan Aceh membantu
perang Paderi ini. Ketika keadaan semakin tidak membaik, sebagian rakyat
Sumatera Barat diungsikan ke daerah selatan Aceh. Bertahun-tahun kemudian hidup
di Aceh, mereka mulai beradaptasi dengan kebudayaan setempat termasuk dalam hal
bahasa. Bahasa Minangkabau telah berasimilasi dengan daerah setempat sehingga
saat ini terdengar sedikit berbeda, terutama dari segi dialek, vokal, dan
konsonan [7].
3.
Bahasa
Singkil
Bahasa ini memiliki penutur di Kota Subulussalam dan Kabupaten
Singkil dan masih merupakan kelompok bahasa-bahasa Batak di Sumatera Utara.
Termasuk ke dalam kelompok ini tiga bahasa lainnya yang akan saya tulis, yaitu bahasa
Gayo, Kluet, dan Pakpak. Bahasanya sedikit mirip dengan bahasa Pakpak namun
masyarakat Singkil menolak jika bahasa Singkil dikatakan sebagai bahasa Pakpak [8].
Meskipun terdapat sedikit perselisihan masalah bahasa, hal ini tidak menjadi
suatu perpecahan di antara masyarakat di dua kabupaten tersebut. Sejak dulu
sampai hari ini, masyarakat Singkil hidup rukun dan damai.
4.
Bahasa
Gayo
Bahasa Gayo
memiliki penutur di kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, dan
sebagian Aceh Tenggara. Seperti halnya bahasa Aceh, bahasa Gayo juga memiliki
beberapa perbedaan dialek dan kosa kata sehingga membedakannya dalam beberapa
bentuk bahasa gayo antara lain; Gayo Lut, Gayo Deret, Gayo Lues, Lokop, dan
Kalul) [9].
5.
Bahasa
Kluet
Bahasa Kluet atau Kluat juga termasuk dalam kelompok Batak Karo meskipun orang-orang suku Kluet menolak mengatakan bahasa mereka
masuk dalam kelompok bahasa Batak. Pada kenyataannya, ada beberapa kata dalam
bahasa Kluet yang mirip dengan bahasa Batak Karo. Bahasa ini hanya terdapat di
beberapa daerah di Kabupaten Aceh Selatan. Kecamata-kecamatan dengan bahasa Kluet
sebagai bahasa pengantar yang dominan ditandai dengan nama awal kecamatan
memakai kata ‘Kluet’, seperti Kluet Utara, Kluet Selatan, Kluet Timur, dan
Kluet Tengah. Bahasa Kluet memiliki tiga dialek yaitu Manggamat, Krueng Kluet,
dan Paya Dapur [10].
6.
Bahasa
Tamiang
Bahasa Tamiang memiliki penutur di kabupaten Aceh
Taming. Kabupaten ini berbatasan langsung dengan propinsi Sumatera Utara. Bahasa Tamiang mirip seperti bahasa Melayu.
7.
Bahasa
Alas
Memiliki penutur di daerah Kutacane dengan tiga
dialek yaitu dialek Alas, dialek Kluet,dan dialek Singkil [11].
8.
Bahasa
Devayan, bahasa Sigulai dan bahasa Lekon
Ketiga bahasa ini terdapat pulau Simeulu. Bahasa
Devayan merupakan bahasa daerah suku Devayan sementara bahasa Sigulai merupakan
bahasa suku Sigulai. Terakhir bahasa lekon hanya terdapat di satu kecamatan
yang ada di Pulau Simeulu, yaitu Kecamatan Alafan.
9.
Bahasa
Pakpak
Bahasa ini memiliki penutur di kabupaten Singkil.
Sebenarnya bahasa Pakpak aslinya adalah bahasa dari propinsi Sumatera Utara,
hanya saja karena Singkil termasuk salah satu kabupaten yang berbatasan dengan
propinsi Sumatera Utara, terjadilah asimilasi antara kedua daerah ini. Propinsi
Aceh telah menetapkan bahasa Pakpak sebagai bagian dari bahasa daerah Aceh.
10. Bahasa Haloban
Bahasa Haloban mirip dengan bahasa Devayan di Pulau
Simeulu, tetapi penuturnya ada di Pulau Banyak, Kabupaten Singkil.
11. Bahasa Nias
Sama seperti Pakpak, bahasa Nias juga merupakan bahasa
dari daerah Sumatera Utara, tepanya di Pulau Nias, namun masih termasuk dalam
ragam bahasa daerah Aceh karena dituturkan oleh sebagian kecil penduduk di Kabupaten
Singkil dan Pulau Banyak.
***
Nah, cukup beragam bukan bahasa-bahasa yang ada di Aceh? Meski
demikian, masyarakat Aceh tetap hidup rukun dan damai dengan semua keragamam
yang dimiliki, termasuk keragaman bahasa.
Sebagai orang dari suku Aceh, saya justru bangga ketika berbicara dalam bahasa
Indonesia tetapi dengan logat Aceh. Kenapa harus malu dengan logat daerah
sendiri? Bukankah orang lain dari daerah lain juga berbicara dalam bahasa
Indonesia dengan logatnya sendiri? Dan lebih bangga lagi, karena saya tidak
melupakan bahasa nenek moyang. Meski sejak kecil saya tidak diajarkan berbicara
bahasa daerah oleh orangtua saya, tapi saya belajar banyak dari lingkungan
saya. Orangtua saya juga berbicara dalama bahasa daerah, jadi saya selalu
mendengarkan mereka berbicara bahasa daerah sehingga banyak yang saya pahami
dari mendengarkan ini. Hal yang sama juga saya terapkan pada anak saya yang
kini berumur tiga tahun. Di rumah, saya dan suami menggunakan dua bahasa;
bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Hal ini untuk pembiasaan agar anak kami
juga bisa berbahasa daerah. Sejak umur dua tahun dia sudah kami ajarkan sedikit
bahasa daerah dengan mengajaknya berbincang atau mengenalkan kosa kata sederhana
bahasa daerah. Alhamdulillah, saat ini dia sudah mengerti bahasa daerah (Aceh)
selain bahasa Indonesia-nya yang masih cadel.
Kenapa kami memutuskan mengajarkannya bahasa daerah selain bahasa
Indonesia, dan bukannya bahasa Inggris? Saya membaca artikel, anak umur dua
tahun sudah diperbolehkan diajari bahasa lain selain bahasa ibu. Lalu kami memutuskan
bahwa bahasa kedua yang harus dia ketahui adalah bahasa daerah. Dia adalah
generasi yang akan membangun negeri ini, mungkin belasan atau puluhan tahun kemudian. Kami
berharap, semoga dia tidak menjadi generasi yang melupakan bahasa daerahnya
sendiri. Bahasa asing juga penting, tapi buat kami, biarlah dia menguasai dua
bahasa ini terlebih dahulu sampai cukup waktunya untuk dia mengenal bahasa lain. Toh, sekarang di sekolah-sekolah dasar bahkan Taman Kanak-kanak sudah
diajarkan bahasa Inggris sederhana. Bahasa Inggris diajarkan di
mana-mana, tapi bahasa daerah tidak. Jadi, dengan cara ini kami berharap ketika
dia mengenal bahasa asing, dia sudah punya bekal pengetahuan bahasa daerahnya.
Akhirnya, saya berharap, semoga masih ada orang-orang Indonesia yang peduli
dengan bahasa nasional dan bahasa daerah. Peduli pada bahasa nasional adalah
dengan menggunakannya secara baik dan benar dan sesuai EYD. Peduli pada bahasa
daerah adalah dengan tidak melupakannya, mengusahakan menggunakannya jika
bertemu teman sesama daerah dan mengajarkannya pada anak-anak kita. Bahasa
Indonesia dan bahasa daerah adalah kekayaan bangsa Indonesia yang harus
dilestarikan. Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau tidak dari sekarang, kapan
lagi?
22 comments
Write commentskeren mbak.. dukuuung :)
ReplySaya juga dukung mbak Binta, hehee
Replydaftar pertamax dulu deh mba... ntar balik lagi untuk membaca keseluruhan tulisan. Sukses yaaa!
Replyyah ternyata udh di posisi ketiga, hehe
ReplyMakasih udah mau membaca ya kak. Makasih juga udah berkunjung :)
Replykerennnn mbak elyn.goodluck yaa...smoga kita menang.aamiin.:D
Replysetujuuu, lestarikan bahasa daerah kita. #saya juga gak bisa bahasa Jawa, batak juga gagk bisa, SUnda juga gak bisa hahahah
Replymantap tulisannya... semoga sukses kontesnya yaaa.
ReplyAmin. Semoga kita semua menaaang, hehee
ReplyMbak windi:
ReplyGak apa mbak, yang penting bisa melaestarikan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bukan bahasa alay, hehee
Lovely Little Garden:
ReplyAlhamdulillah. Amin. Makasih atas kunjungannya mbak :)
Setuju. Tapi membaca uraina mba terkadang menjadi dileba tersendiri. Saat ini saya masih punya anak yang akan naik ke kelas IV. Dari kelas I hingga kelas III SD, sangat kental ajaran untuk berbahasa Indonesia. berbahsa daerah diperkenankan jika di rumah dengan orang tua (Orang rumah) di lingkungan pertemenan sekitar rumah sekolah utamakan bahasa Indonesia.
ReplyIni yang saya maksud dilema. Di satu sisi ingin turut melestarikan bahasa daerah disisi lain, anak baru belajar bahasa Indonesia dan makna penggunaannya.
Saya ingat ketika saya kecil, bahasa rumah sangat dominan. Di rumah orang tua banyak menggunakan bahasa Belanda. Alhasil ketika bermain dengan teman, saya kerap pulang dan enggan keluar lagi. Karena saya tak paham bahasanya. Hal kecil, sebutan teras, sendok, gelas, ucapan terima kasih, semua berbeda dengan bahasa yang digunakan di rumah saya. Perlahan-lahan ibu saya mengajarakan bahasa Indonesia dengan benar. Akhirnya bahasa belandanya bisa hilang betulan. Saya tidak mau terjadi seperti itu pada anaka-anak saya. tapi saya setuju jika mereka sudah paham penggunaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, bahasa daerah boleh dibiasakan sebagai bahasa percakana di rumah dengan keluarga. Salam.
Wow, tulisan yang sangat panjang dan lengkap. Alhamdulillah sukses menuntaskan sampai akhir. :).
ReplySaya sependapat bahwa Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional harus dipergunakan dengan sebaik-baiknya, dan bahasa daerah haruslah dilestarikan. Adalah kewajiban kita untuk melestarikan bahasa daerah kita sendiri.
Namun.... kita juga tidak boleh memandang miring terhadap teman-teman yang berusaha mempertahankan kemampuan berbahasa asing yang selama ini dipakainya ketika mereka berdomisili di sebuah negara, kala kembali ke tanah air. Karena kita tentu paham, bahwa sebuah bahasa, akan hilang dari lisan dan ingatan, jika kita tidak sering mempergunakannya lagi.
Yang harus dilakukan adalah, mari kita seimbangkan saja, tetap bangga berbahasa Indonesia, mampu berbahasa daerah, dan bisa juga berbahasa asing (misalnya bahasa Inggris).
Tulisan yang sangat menarik, sukses untuk kontesnya ya cut adek! :)
Salut untuk mereka yg masih mempertahankan bahasa daerah.. Semoga sukses ikut kontesnya ya :)
ReplyMbak ke2nai:
ReplyMakasih mbak, yuuuk kita lestarikan bahasa daerah, apapun daerahnya, di seluruh nusantara :)
Makasih sudah berkunjung mbak :)
Bunda Gaul:
ReplySaya justru salut sama bunda, bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, diajarkan berbahasa daerah, dan.. bisa berbahasa Belanda pula. Ini sesuatu yang luar biasa untuk anak-anak. Cuman sungguh disayangkan kalau ternyata samapai melupakan bahasa Belanda-nya ya mbak. Setujua seperti katak Kak Alaika, cuma perlu diseimbangkan saja bunda.
Dan dalam tulisan saya ini, saya tidak bermaksud mengatakan bahwa bahwa anak-anak yang sudah mengerti bahasa asing selain bahasa Indonesia dan bahasa daerahnya sendiri, adalah hal yang tidak baik. saya justru kagum dengan anak-anak yang bisa menguasai beragam bahasa. Jadi bunda, tdak perlu dilema lagi ya bunda. Semua pilihan terjadi tentu karena ada sebab yang melatarbelakanginya.
Sukses untuk bunda ya :)
Kak Alaika Abdullah:
ReplySetujuuuuu sama ide kakak.
Dalam contoh yang kakak berikan, mungkin kasusnya berbeda ya kak. Jika selama bertahun-tahun tinggal di luar negeri dan bisa berbahasa negeri tersebut, itu yang mesti dpertahankan. Karena belajar bahasa asing itu tidak mudah. Kesimbangan yang kakak usulkan perlu agar siapa saja warga Indonesia yang tinggal lama di luar negeri dan menguasai banyak bahasa asing, memang sebaiknya tidak melupakan bahasa Indonesia, juga bahasa daerahnya.
Terima kasih kakak atas idenya yang cemerlang :)
Kejadiannya seperti di sini mbak. Di Makassar, sebagian besar orang berbahasa Indonesia dialek Makassar. Beda dengan di daerah (kabupaten) mereka sehari2nya memang berbahasa daerah.
ReplySukses ya mbak :)
Makasih mbak Niar :)
ReplyWah... si mbak eh... si kakak orang Aceh toh... Pue haba kak???? Saya sih lama tinggal di Aceh Utara...
ReplyTapi memang benar, jaman sekarang anak-anak lebih pede pakai bahasa asing daripada bahasa daerah. Ngomong-ngomong, di kurikulum SMP di Aceh masih ada muatan lokal Bahasa Daerah / Bahasa Aceh nggak yah??? Dulu saya sempat dapat mata pelajaran itu. Masih inget tuh huruf "e" ada yang tanpa garis miring diatas, ada yang garis miring diatasnya ke kanan, ada yang garis miring diatasnya ke kiri. Duh... jadi rindu sama Aceh... :'(
Putriiiiii; olalaaaahhhh..ternyata oh ternyata dirimu pernah tinggal di Aceh tho?
Replytentang kurikulum itu, ya, ada memang tapi hanya sedikit, disebut muatan lokal, ya. Tapi saya kurang tahu apakah kurikulum itu masih dipakek sekarang. Kalaupun ada, perhatian muris tidak sebesar pelajaran asing. Selesai kelas muatan lokal, ya selesai juga bicara bahada daerahnya. Bahasa daerah tertinggal dalam kelas, hehehee..
Terima Kasih ya putri atas kunjungannya. Senang bisa berteman dengan teman yang pernah tinggal di Aceh :)
ConversionConversion EmoticonEmoticon