Bangga Berbahasa Indonesia dan Bahasa Daerah


Saat ini, ada satu hal yang cukup memprihatinkan bagi bangsa Indonesia, yaitu keberadaan beberapa bahasa daerah yang sedang diambang kepunahan. Kenapa? Karena sudah jarang orang sekarang mau menggunakan bahasa daerah. Penyebabnya bisa beragam antara lain; perkawinan antar suku sehingga digunakanlah bahasa Indonesia saja sebagai bahasa ibu, enggan menggunakan bahasa daerah karena menganggap bahasa daerah sudah tidak sesuai zamannya lagi  [1].  
Di kampung saya di Aceh Selatan, tepatnya di Terbangan, Pasie Raja, umumnya masyarakatnya menggunakan bahasa Aceh sebagai pengantar bahasa sehari-hari. Bahasa Indonesia hanya digunakan misalnya; di sekolah-sekolah formal pada saat guru mengajar di kelas namun begitu mereka berada di luar kelas, mereka, antara guru dan murid, biasanya kembali bercakap-cakap dalam bahasa Aceh. Begitu juga di perkantoran pemerintah, lebih sering terdengar mereka menggunakan bahasa daerah. Tentu saja ini bagus karena sudah jarang anak muda sekarang yang menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa sehari-hari, atau lebih parah lagi, malah sama sekali lupa dengan bahasa nenek moyangnya.  
Sedikit ke kota, semisal kota Banda Aceh, jangan berharap fakta yang ada di kampung saya akan ditemukan di sini. Jangankan anak-anak muda, bahkan ada dari kalangan orangtua yang tidak lagi mau (bisa) berbahasa daerah. Hal ini membuat anak-anak jaman sekarang merasa asing begitu mendengar penggalan  kalimat bahasa daerah. Meski masih ada yang bisa berbahasa daerah, namun jumlahnya sangat kecil.
Dalam tulisan ini, saya tidak hanya berfokus pada bahasa daerah saja, tapi juga bahasa Indonesia yang menjadi pengantar komunikasi antar warga negara Indonesia. Meskipun bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional yang resmi, bukan berarti bahasa daerah berada pada posisi inferior. Tidak ada yang lebih utama, apakah bahasa Indonesia atau bahasa daerah. Baik bahasa Indonesia maupun bahasa daerah sama-sama budaya bangsa yang mesti kita lestarikan bersama. Hanya saja, dalam penggunaannya, meskipun kita sering menggunakan bahasa Indonesia, ada baiknya tidak pula melupakan bahasa daerah.
Sebagaimana halnya bahasa daerah yang mulai dilupakan, bukan tidak mungkin hal yang sama juga akan terjadi dengan bahasa Indonesia. Beberapa tahun belakangan ini, remaja Indonesia seperti sedang ‘dicecoki’ sebuah pemahaman bahwa mempelajari bahasa asing (Inggris) adalah sebuah keharusan. Dalam berbicara kita sudah memcampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris. Merujuk pada istilah yang dipakai oleh seorang teman saya dalam sebuah artikelnya yang dimuat di sebuah harian di Aceh [2],  dia menyebut dengan istilah Indogris untuk fenomena penggabungan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam satu kalimat. Dan secara tidak sadar kita ikut ‘menyuburkan’ istilah ini. Saat bertemu teman kita biasa menggunakan sapaan-sapaan seperti; ‘Apa kabar, bro?’ ‘apa kabar, sist?’ ‘Plis, sharing info ke saya’ (bro = brother, sist = sister, plis =please, sharing), dan banyak lagi contoh percakapan sehari-hari yang menggunakan Indogris ini.  
Memang, untuk saat ini, menguasai bahasa asing terutama bahasa Inggris itu penting. Tidak hanya berguna saat kita bepergian ke luar negeri, juga karena bahasa ini sudah menjadi bahasa yang mendunia. Tapi, sungguh disayangkan jika kemudian dengan maksud ingin menguasai bahasa asing lantas melupakan bahasa daerah atau menggunakan bahasa Indogris seperti istilah teman saya tadi. Mungkin tidak begitu masalah jika Indogris  ini hanya terjadi dalam percakapan sehari-hari lalu selesai sampai di situ.  Tapi bagaimana jika dari kebiasaan sehari-hari, dari lisan lantas terbawa sampai ke bahasa tulisan? Dalam penulisan artikel-artikel ilmiah, makalah den sejenisnya memang tidak masalah jika terdapat beberapa kata dalam bahasa asing. Tapi alangkah lebih baiknya jika menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar saja. Saya ingat pesan guru menulis saya saat saya masih menjadi murid di sebuah  sekolah menulis dulu. Beliau adalah wartawan senior sebuah majalah berita ternama ibukota yang didatangkan khusus ke Aceh untuk sekolah menulis ini yang berlangsung selama sebulan. Pesan beliau kira-kira begini;
"Dalam membuat sebuah tulisan, sebaiknya hindari terlalu banyak menggunakan bahasa asing atau bahasa yang sekarang disebut bahasa alay. Jika memang ada padanannya dalam  bahasa Indonesia, sebaiknya gunakan bahasa Indonesia saja. Jangan karena ingin terlihat keren dengan menggunakan bahasa asing sehingga orang tidak mengerti, dan membuat orang tidak mengerti itu sama sekali tidak keren. Kecuali; jika bahasa Indonesia memang menggunakan bahasa yang sama dengan bahasa asing tersebut atau jika memang tak bisa menghindari penggunaan penulisan bahasa asing tersebut".
Hal lain yang cukup mengkhawatirkan adalah makin maraknya penggunaan bahasa prokem atau bahasa gaul. Bahasa prokem adalah bentuk tidak baku dari bahasa Indonesia, biasanya sering digunakan untuk percakapan sehari-hari. Ada yang menyebutkan bahwa bahasa prokem merupakan bahasa yang hanya digunakan oleh remaja dan merupakan bahasa rahasia yang digunakan oleh kelompok tertentu saja. Memang pada awalnya bahasa ini bermula dan dipakai oleh anak-anak muda Jakarta (Betawi). Namun kenyataannya sekarang, bahasa ini digunakan oleh siapa saja, tua muda, dan menyebar hampir ke seluruh pelosok nusantara. Kita sudah lazim mendengar bahkan menggunakan kata-kata seperti; nih, bokap, lu, gue, nggak, sih, dong, dan banyak contoh  lainnya [3].
Tapi, akhir-akhir ini, bahasa prokem atau bahasa gaul mengalami perubahan yang sangat signifikan ke bentuk yang tidak lazim yang disebut bahasa alay. Bahasa ini bermula sejak maraknya penggunaan ponsel dengan layanan pesan singkatnya. Namanya juga pesan singkat yang dibatasi dengan karakter serta penggunaan pulsa, maka bahasa Indonesia mengalami penyingkatan yang cukup memprihatinkan dalam layanan pesan singkat tersebut. Masalahnya, ternyata pengguna ponsel tidak hanya menggunakan bahasa singkat sesingkat-singkatnya ini dalam layanan pesan singkat saja, karena sudah terbiasa, bahkan terbawa saat membuat sebuah tulisan, apakah berupa tugas kuliah, makalah, atau tulisan untuk blog. Penyingkatan kata-kata dalam bahasa Indonesia terus berkembang sehingga sudah berbeda sama sekali dari bentuk aslinya. Begitu ‘kreatifnya’ remaja sekarang, mereka mengutak-atik bahasa Indonesia yang baik dan benar bahkan sampai dengan menambahkan angka-angka sebagai pengganti huruf pada singkatan tersebut. Bayangkan, sudah disingkat sesingkat-singkatnya, mengganti huruf dengan angka pula.  Coba lihat contoh yang ini; 9w 9ag 8i5a 5kr9. Buat saya, perlu waktu lama untuk memahami kalimat tersebut hingga saya mengerti ternyata itu adalah bentuk ‘kreatif’ dari gw gag bisa skrg.
Sungguh, seperti kata guru saya, membuat orang lain tidak mengerti itu sama sekali tidak keren.
Jadi, melalui tulisan ini, saya ingin mengajak teman-teman setanah air, tua muda, kaya miskin, siapapun saja, untuk kembali menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sebagai bahasa pengantar dalam berkomunikasi. Saya ingat dengan penulis buku Lampuki, Arafat Nur, ketika setiap kali membalas pesan singkat melalui ponsel, beliau tidak pernah menyingkat kata-kata meskipun kalimatnya sedikit agak panjang. Nah, sebagai penulis, tentu beliau ingin selalu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sebagai bentuk latihan menulis meskipun hanya berupa pesan singkat.  
Kita pun bisa mengikuti apa yang beliau lakukan. Sekarang dan tidak perlu menunggu lama. Sebelum bahasa ini benar-benar punah dan dilupakan oleh generasi yang akan datang. Kita bisa memulainya dari hal-hal kecil semisal ketika menulis status di jejaring sosial atau mengirim pesan singkat dengan tetap menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
***
Jadi, sebagai warga negara Indonesia yang baik budi, selain berusaha melestarikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu semua suku bangsa, juga jangan sampai kita melupakan bahasa daerah. Dalam menulis bahasa Indonesia yang baik dan benar untuk sebuah tulisan, seperti yang saya tulis di atas, bahasa daerah juga termasuk ke dalam bahasa asing. Jadi, bahasa asing bukan hanya bahasa yang berasal dari luar negeri. Perlakuannya sama saja seperti bahasa asing lainnya. Ketika akhirnya harus menggunakan bahasa daerah dalam tulisan karena misalnya tidak bisa digantikan dengan bahasa Indonesia dan keindahannya akan hilang jika menggunakan bahasa Indoensia, maka biasanya penulisannya ditulis dalam bentuk miring dengan memberikan catatan kaki. Saya ambil satu contoh kata bahasa daerah yang tidak bisa digantikan dengan bahasa Indonesia, misalnya Merarik. Merarik adalah istilah dari bahasa suku Sasak, Lombok, Nusa Tenggara Barat, yang berarti  melarikan seorang anak gadis untuk diajak menikah (kawin lari) karena sebuah hubungan yang tidak mendapat restu dari orangtua [4].  Kata ini telah mengalami perubahan makna yang tidak hanya melarikan seorang anak gadis dalam artian yang sebenarnya. Nah, cukup panjang juga bukan, jika kita harus menuliskannya dalam bahasa Indonesia? Oleh sebab itulah diperlukan catatan kaki sehingga ketika dibaca oleh orang yang berbeda suku, hal ini bisa  menambah wawasan akan istilah dan budaya suku lainnya.  Dan masih banyak lagi  istilah-istilah bahasa daerah lainnya yang justru akan memperkaya khazanah bahasa Indonesia.  
Sebagaimana kita tahu, Indonesia memiliki lebih dari 700 bahasa daerah dari Sabang sampai Merauke. Banyaknya jumlah bahasa daerah menjadi sumber kekayaan tersendiri bagi Indonesia selain sumber alamnya yang melimpah. Jumlah ini hampir setengah dari jumlah suku di Indonesia menurut data dari Badan Pusat Staistik (BPS) tahun 2010, yaitu 1.128 suku [5]. 
Setiap propinsi memiliki beberapa suku dengan memakai bahasa yang berbeda dari suku lainnya di propinsi tersebut. Bahkan dalam satu bahasa daerah pun bisa memiliki banyak perbedaan. Misalnya, bahasa Minangkabau sebagai bahasa daerah yang dominan di provinsi Sumatera Barat. Dulu saya pikir bahasa Minangkabau itu cuma satu. Namun ketika saya berkunjung ke Sumatera Barat tahun 2006 lalu,  tahulah saya bahwa bahasa Minangkabau ada banyak ragamnya. Bahasa Minangkabau daerah Pariaman berbeda dengan bahasa Minangkabau daerah Solok. Begitu juga dengan bahasa Minang lainnya yang ada di propinsi tersebut. Saya jadi teringat suku Aceh dengan bahasa Aceh-nya yang beragam yang akan saya tulis di paragraf selanjutnya.
***
Sebagai warga negara Indonesia yang berlatar belakang suku Aceh, maka dalam tulisan ini saya akan menuliskan beberapa bahasa daerah di provinsi Aceh. Sebagai informasi, sejak 2009 provinsi ini bernama propinsi ‘Aceh’ saja dari sebelumnya dengan beragam nama; Aceh Darussalam (1511-1959), Daerah Istimewa Aceh (1959-2001), Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009).  Di Aceh terdapat 13 suku. Masing-masing suku memiliki satu bahasa daerahnya tersendiri. Otomatis jumlah bahasa daerah juga berjumlah 13 bahasa, yaitu; bahasa Aceh, Gayo, Aneuk Jamee, Singkil, Alas, Tamiang, Kluet, Devayan, Sigulai, Pakpak, Haloban, Lekon, dan Nias [6].  Perlu saya garis bawahi bahwa bahasa daerah Aceh bukan berarti bahasa Aceh. Bahasa daerah Aceh adalah sekumpulan bahasa daerah yang dipakai oleh masyarakat di propinsi Aceh, apapun sukunya, apapun bahasanya, termasuk di dalamnya bahasa Aceh. Jadi, bahasa Aceh adalah bagian dari bahasa daerah Aceh.
Baiklah, saya akan mengulasnya satu persatu
1.        Bahasa Aceh
Bahasa Aceh merupakan bahasa yang memiliki paling banyak penutur  dengan wilayah sebaran paling luas dibandingkan bahasa daerah Aceh lainnya.  Bahasa Aceh digunakan oleh masyarakat suku Aceh, meski ada juga dipakai atau dimengerti oleh suku lainnya di Aceh. Ini karena bahasa Aceh dijadikan sebagai lambang kebanggan masyarakat Aceh. Bahasa Aceh ini sendiri memiliki banyak perbedaan dari segi pengucapan, kata, dan dialek, berdasarkan masing-masing kabupaten. Untuk bahasa Aceh kawasan pantai barat selatan yang mencakup beberapa kabupaten di kawasan itu menggunakan bahasa yang hampir seragam, yaitu pengucapan ‘r’ yang tidak begitu kentara dengan dialek yang agak mendayu-dayu. Bahasa Aceh di kabupaten Aceh Besar lain lagi. Meski memiliki kemiripan dengan kawasan pantai barat selatan dalam hal pengucapan ‘r’ yang tidak begitu kentara, namun dialek bahasa Aceh-nya Aceh Besar sangat bertolak belakang dengan dialek di kawasan barat selatan. Untuk penduduk Aceh Besar asli yang tinggal di perkampungan semisal Leupung atau Lhoong, bahasa Aceh-nya justru lebih sulit  dimengerti. Setidaknya begitulah pengalaman saya ketika berkunjung ke kedua desa itu dan berbincang dengan orang-orang tua di situ. Bagaimana dengan bahasa Aceh di kabupaten lainnya? Sama juga, berbeda dalam hal dialek dan pengucapan beberapa kosa kata. Bahasa Aceh di Pidie berbeda dengan Bireuen atau Lhokseumawe meski mereka sama-sama di kawasan pantai utara Aceh. Begitu juga Aceh Timur yang dan beberapa kabupaten di kawasan pantai timur.
Jika mendengar seseorang berbicara dalam bahasa Aceh dengan logat tertentu, kita akan bisa menebak dia berasal dari Aceh sebelah mana. Dan, meskipun terdapat banyak perbedaaan dalam satu bahasa ini, tidak sekalipun terjadi perpecahan atau perdebatan tentang mana bahasa Aceh yang benar atau yang salah. Tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah. Semua perbedaan itu adalah kekayaan budaya bangsa ini.  
   
2.        Bahasa Jamee
Bahasa ini dituturkan oleh masyarakat di kabupaten Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, sebagian kecil Aceh Barat, Simeulue dan Singkil. Bahasa Jamee menjadi bahasa pengantar utama di kota Tapaktuan, yaitu ibukota Kabupaten Aceh Selatan. Bahasa Jamee mirip dengan bahasa Minangkabau. Jamee dalam bahasa Aceh berarti tamu. Konon, penutur asli bahasa Jamee yang berdiam di kota Tapaktuan, kecamatan Kluet Selatan dan Labuhan Haji adalah pendatang dari Sumatera Barat. Ketika terjadi perang Paderi di Sumatera Barat, para pejuang Paderi mulai kewalahan oleh serangan kolonial Belanda. Kerajaan Aceh membantu perang Paderi ini. Ketika keadaan semakin tidak membaik, sebagian rakyat Sumatera Barat diungsikan ke daerah selatan Aceh. Bertahun-tahun kemudian hidup di Aceh, mereka mulai beradaptasi dengan kebudayaan setempat termasuk dalam hal bahasa. Bahasa Minangkabau telah berasimilasi dengan daerah setempat sehingga saat ini terdengar sedikit berbeda, terutama dari segi dialek, vokal, dan konsonan [7].

3.        Bahasa Singkil
Bahasa ini memiliki penutur di Kota Subulussalam dan Kabupaten Singkil dan masih merupakan kelompok bahasa-bahasa Batak di Sumatera Utara. Termasuk ke dalam kelompok ini tiga bahasa lainnya yang akan saya tulis, yaitu bahasa Gayo, Kluet, dan Pakpak. Bahasanya sedikit mirip dengan bahasa Pakpak namun masyarakat Singkil menolak jika bahasa Singkil dikatakan sebagai bahasa Pakpak [8]. Meskipun terdapat sedikit perselisihan masalah bahasa, hal ini tidak menjadi suatu perpecahan di antara masyarakat di dua kabupaten tersebut. Sejak dulu sampai hari ini, masyarakat Singkil hidup rukun dan damai.   

4.        Bahasa Gayo
Bahasa Gayo memiliki penutur di kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, dan sebagian Aceh Tenggara. Seperti halnya bahasa Aceh, bahasa Gayo juga memiliki beberapa perbedaan dialek dan kosa kata sehingga membedakannya dalam beberapa bentuk bahasa gayo antara lain; Gayo Lut, Gayo Deret, Gayo Lues, Lokop, dan Kalul) [9].

5.        Bahasa Kluet
Bahasa Kluet atau Kluat juga termasuk dalam kelompok Batak Karo meskipun orang-orang suku Kluet menolak mengatakan bahasa mereka masuk dalam kelompok bahasa Batak. Pada kenyataannya, ada beberapa kata dalam bahasa Kluet yang mirip dengan bahasa Batak Karo. Bahasa ini hanya terdapat di beberapa daerah di Kabupaten Aceh Selatan. Kecamata-kecamatan dengan bahasa Kluet sebagai bahasa pengantar yang dominan ditandai dengan nama awal kecamatan memakai kata ‘Kluet’, seperti Kluet Utara, Kluet Selatan, Kluet Timur, dan Kluet Tengah. Bahasa Kluet memiliki tiga dialek yaitu Manggamat, Krueng Kluet, dan Paya Dapur [10].

6.        Bahasa Tamiang
Bahasa Tamiang memiliki penutur di kabupaten Aceh Taming. Kabupaten ini berbatasan langsung dengan propinsi Sumatera Utara. Bahasa Tamiang mirip seperti bahasa Melayu.

7.        Bahasa Alas
Memiliki penutur di daerah Kutacane dengan tiga dialek yaitu dialek Alas, dialek Kluet,dan dialek Singkil [11].

8.        Bahasa Devayan, bahasa Sigulai dan bahasa Lekon
Ketiga bahasa ini terdapat pulau Simeulu. Bahasa Devayan merupakan bahasa daerah suku Devayan sementara bahasa Sigulai merupakan bahasa suku Sigulai. Terakhir bahasa lekon hanya terdapat di satu kecamatan yang ada di Pulau Simeulu, yaitu Kecamatan Alafan.

9.        Bahasa Pakpak
Bahasa ini memiliki penutur di kabupaten Singkil. Sebenarnya bahasa Pakpak aslinya adalah bahasa dari propinsi Sumatera Utara, hanya saja karena Singkil termasuk salah satu kabupaten yang berbatasan dengan propinsi Sumatera Utara, terjadilah asimilasi antara kedua daerah ini. Propinsi Aceh telah menetapkan bahasa Pakpak sebagai bagian dari bahasa daerah Aceh.

10.    Bahasa Haloban
Bahasa Haloban mirip dengan bahasa Devayan di Pulau Simeulu, tetapi penuturnya ada di Pulau Banyak, Kabupaten Singkil.

11.    Bahasa Nias
Sama seperti Pakpak, bahasa Nias juga merupakan bahasa dari daerah Sumatera Utara, tepanya di Pulau Nias, namun masih termasuk dalam ragam bahasa daerah Aceh karena dituturkan oleh sebagian kecil penduduk di Kabupaten Singkil dan Pulau Banyak.
***
Nah, cukup beragam bukan bahasa-bahasa yang ada di Aceh? Meski demikian, masyarakat Aceh tetap hidup rukun dan damai dengan semua keragamam yang dimiliki, termasuk keragaman bahasa.
Sebagai orang dari suku Aceh, saya justru bangga ketika berbicara dalam bahasa Indonesia tetapi dengan logat Aceh. Kenapa harus malu dengan logat daerah sendiri? Bukankah orang lain dari daerah lain juga berbicara dalam bahasa Indonesia dengan logatnya sendiri? Dan lebih bangga lagi, karena saya tidak melupakan bahasa nenek moyang. Meski sejak kecil saya tidak diajarkan berbicara bahasa daerah oleh orangtua saya, tapi saya belajar banyak dari lingkungan saya. Orangtua saya juga berbicara dalama bahasa daerah, jadi saya selalu mendengarkan mereka berbicara bahasa daerah sehingga banyak yang saya pahami dari mendengarkan ini. Hal yang sama juga saya terapkan pada anak saya yang kini berumur tiga tahun. Di rumah, saya dan suami menggunakan dua bahasa; bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Hal ini untuk pembiasaan agar anak kami juga bisa berbahasa daerah. Sejak umur dua tahun dia sudah kami ajarkan sedikit bahasa daerah dengan mengajaknya berbincang atau mengenalkan kosa kata sederhana bahasa daerah. Alhamdulillah, saat ini dia sudah mengerti bahasa daerah (Aceh) selain bahasa Indonesia-nya yang masih cadel.
Kenapa kami memutuskan mengajarkannya bahasa daerah selain bahasa Indonesia, dan bukannya bahasa Inggris? Saya membaca artikel, anak umur dua tahun sudah diperbolehkan diajari bahasa lain selain bahasa ibu. Lalu kami memutuskan bahwa bahasa kedua yang harus dia ketahui adalah bahasa daerah. Dia adalah generasi yang akan membangun negeri ini, mungkin belasan atau puluhan tahun kemudian. Kami berharap, semoga dia tidak menjadi generasi yang melupakan bahasa daerahnya sendiri. Bahasa asing juga penting, tapi buat kami, biarlah dia menguasai dua bahasa ini terlebih dahulu sampai cukup waktunya untuk dia mengenal bahasa lain. Toh, sekarang di sekolah-sekolah dasar bahkan Taman Kanak-kanak sudah diajarkan bahasa Inggris sederhana. Bahasa Inggris diajarkan di mana-mana, tapi bahasa daerah tidak. Jadi, dengan cara ini kami berharap ketika dia mengenal bahasa asing, dia sudah punya bekal pengetahuan bahasa daerahnya. 
Akhirnya, saya berharap, semoga masih ada orang-orang Indonesia yang peduli dengan bahasa nasional dan bahasa daerah. Peduli pada bahasa nasional adalah dengan menggunakannya secara baik dan benar dan sesuai EYD. Peduli pada bahasa daerah adalah dengan tidak melupakannya, mengusahakan menggunakannya jika bertemu teman sesama daerah dan mengajarkannya pada anak-anak kita. Bahasa Indonesia dan bahasa daerah adalah kekayaan bangsa Indonesia yang harus dilestarikan. Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau tidak dari sekarang, kapan lagi?
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Previous
Next Post »

22 comments

Write comments
Binta Almamba
AUTHOR
19 Juni 2012 pukul 10.37 delete

keren mbak.. dukuuung :)

Reply
avatar
19 Juni 2012 pukul 10.46 delete

Saya juga dukung mbak Binta, hehee

Reply
avatar
19 Juni 2012 pukul 11.04 delete

daftar pertamax dulu deh mba... ntar balik lagi untuk membaca keseluruhan tulisan. Sukses yaaa!

Reply
avatar
19 Juni 2012 pukul 11.10 delete

yah ternyata udh di posisi ketiga, hehe

Reply
avatar
19 Juni 2012 pukul 11.24 delete

Makasih udah mau membaca ya kak. Makasih juga udah berkunjung :)

Reply
avatar
dongeng naura
AUTHOR
19 Juni 2012 pukul 13.57 delete

kerennnn mbak elyn.goodluck yaa...smoga kita menang.aamiin.:D

Reply
avatar
winditeguh
AUTHOR
19 Juni 2012 pukul 15.49 delete

setujuuu, lestarikan bahasa daerah kita. #saya juga gak bisa bahasa Jawa, batak juga gagk bisa, SUnda juga gak bisa hahahah

Reply
avatar
19 Juni 2012 pukul 16.00 delete

mantap tulisannya... semoga sukses kontesnya yaaa.

Reply
avatar
19 Juni 2012 pukul 16.03 delete

Amin. Semoga kita semua menaaang, hehee

Reply
avatar
19 Juni 2012 pukul 16.04 delete

Mbak windi:
Gak apa mbak, yang penting bisa melaestarikan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bukan bahasa alay, hehee

Reply
avatar
19 Juni 2012 pukul 16.06 delete

Lovely Little Garden:
Alhamdulillah. Amin. Makasih atas kunjungannya mbak :)

Reply
avatar
19 Juni 2012 pukul 17.03 delete

Setuju. Tapi membaca uraina mba terkadang menjadi dileba tersendiri. Saat ini saya masih punya anak yang akan naik ke kelas IV. Dari kelas I hingga kelas III SD, sangat kental ajaran untuk berbahasa Indonesia. berbahsa daerah diperkenankan jika di rumah dengan orang tua (Orang rumah) di lingkungan pertemenan sekitar rumah sekolah utamakan bahasa Indonesia.
Ini yang saya maksud dilema. Di satu sisi ingin turut melestarikan bahasa daerah disisi lain, anak baru belajar bahasa Indonesia dan makna penggunaannya.
Saya ingat ketika saya kecil, bahasa rumah sangat dominan. Di rumah orang tua banyak menggunakan bahasa Belanda. Alhasil ketika bermain dengan teman, saya kerap pulang dan enggan keluar lagi. Karena saya tak paham bahasanya. Hal kecil, sebutan teras, sendok, gelas, ucapan terima kasih, semua berbeda dengan bahasa yang digunakan di rumah saya. Perlahan-lahan ibu saya mengajarakan bahasa Indonesia dengan benar. Akhirnya bahasa belandanya bisa hilang betulan. Saya tidak mau terjadi seperti itu pada anaka-anak saya. tapi saya setuju jika mereka sudah paham penggunaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, bahasa daerah boleh dibiasakan sebagai bahasa percakana di rumah dengan keluarga. Salam.

Reply
avatar
19 Juni 2012 pukul 22.58 delete

Wow, tulisan yang sangat panjang dan lengkap. Alhamdulillah sukses menuntaskan sampai akhir. :).
Saya sependapat bahwa Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional harus dipergunakan dengan sebaik-baiknya, dan bahasa daerah haruslah dilestarikan. Adalah kewajiban kita untuk melestarikan bahasa daerah kita sendiri.

Namun.... kita juga tidak boleh memandang miring terhadap teman-teman yang berusaha mempertahankan kemampuan berbahasa asing yang selama ini dipakainya ketika mereka berdomisili di sebuah negara, kala kembali ke tanah air. Karena kita tentu paham, bahwa sebuah bahasa, akan hilang dari lisan dan ingatan, jika kita tidak sering mempergunakannya lagi.

Yang harus dilakukan adalah, mari kita seimbangkan saja, tetap bangga berbahasa Indonesia, mampu berbahasa daerah, dan bisa juga berbahasa asing (misalnya bahasa Inggris).

Tulisan yang sangat menarik, sukses untuk kontesnya ya cut adek! :)

Reply
avatar
Keke Naima
AUTHOR
20 Juni 2012 pukul 08.26 delete

Salut untuk mereka yg masih mempertahankan bahasa daerah.. Semoga sukses ikut kontesnya ya :)

Reply
avatar
20 Juni 2012 pukul 09.54 delete

Mbak ke2nai:
Makasih mbak, yuuuk kita lestarikan bahasa daerah, apapun daerahnya, di seluruh nusantara :)
Makasih sudah berkunjung mbak :)

Reply
avatar
20 Juni 2012 pukul 09.59 delete

Bunda Gaul:
Saya justru salut sama bunda, bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, diajarkan berbahasa daerah, dan.. bisa berbahasa Belanda pula. Ini sesuatu yang luar biasa untuk anak-anak. Cuman sungguh disayangkan kalau ternyata samapai melupakan bahasa Belanda-nya ya mbak. Setujua seperti katak Kak Alaika, cuma perlu diseimbangkan saja bunda.
Dan dalam tulisan saya ini, saya tidak bermaksud mengatakan bahwa bahwa anak-anak yang sudah mengerti bahasa asing selain bahasa Indonesia dan bahasa daerahnya sendiri, adalah hal yang tidak baik. saya justru kagum dengan anak-anak yang bisa menguasai beragam bahasa. Jadi bunda, tdak perlu dilema lagi ya bunda. Semua pilihan terjadi tentu karena ada sebab yang melatarbelakanginya.
Sukses untuk bunda ya :)

Reply
avatar
20 Juni 2012 pukul 10.04 delete

Kak Alaika Abdullah:
Setujuuuuu sama ide kakak.
Dalam contoh yang kakak berikan, mungkin kasusnya berbeda ya kak. Jika selama bertahun-tahun tinggal di luar negeri dan bisa berbahasa negeri tersebut, itu yang mesti dpertahankan. Karena belajar bahasa asing itu tidak mudah. Kesimbangan yang kakak usulkan perlu agar siapa saja warga Indonesia yang tinggal lama di luar negeri dan menguasai banyak bahasa asing, memang sebaiknya tidak melupakan bahasa Indonesia, juga bahasa daerahnya.
Terima kasih kakak atas idenya yang cemerlang :)

Reply
avatar
Mugniar
AUTHOR
20 Juni 2012 pukul 11.46 delete

Kejadiannya seperti di sini mbak. Di Makassar, sebagian besar orang berbahasa Indonesia dialek Makassar. Beda dengan di daerah (kabupaten) mereka sehari2nya memang berbahasa daerah.

Sukses ya mbak :)

Reply
avatar
Unknown
AUTHOR
24 Juni 2012 pukul 15.22 delete

Wah... si mbak eh... si kakak orang Aceh toh... Pue haba kak???? Saya sih lama tinggal di Aceh Utara...

Tapi memang benar, jaman sekarang anak-anak lebih pede pakai bahasa asing daripada bahasa daerah. Ngomong-ngomong, di kurikulum SMP di Aceh masih ada muatan lokal Bahasa Daerah / Bahasa Aceh nggak yah??? Dulu saya sempat dapat mata pelajaran itu. Masih inget tuh huruf "e" ada yang tanpa garis miring diatas, ada yang garis miring diatasnya ke kanan, ada yang garis miring diatasnya ke kiri. Duh... jadi rindu sama Aceh... :'(

Reply
avatar
24 Juni 2012 pukul 17.26 delete

Putriiiiii; olalaaaahhhh..ternyata oh ternyata dirimu pernah tinggal di Aceh tho?
tentang kurikulum itu, ya, ada memang tapi hanya sedikit, disebut muatan lokal, ya. Tapi saya kurang tahu apakah kurikulum itu masih dipakek sekarang. Kalaupun ada, perhatian muris tidak sebesar pelajaran asing. Selesai kelas muatan lokal, ya selesai juga bicara bahada daerahnya. Bahasa daerah tertinggal dalam kelas, hehehee..
Terima Kasih ya putri atas kunjungannya. Senang bisa berteman dengan teman yang pernah tinggal di Aceh :)

Reply
avatar
Dav Dmilano
AUTHOR
17 Oktober 2012 pukul 07.46 delete Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
avatar

Instagram @fardelynhacky