Adat dan Prosesi Pernikahan di Aceh Selatan

Tulisan ini adalah tulisan lanjutan dari tulisan sebelumnya yaitu Setelah Menikah,Tinggal di Mana? yang juga saya ikutkan dalam lomba blog Paling Indonesia.
Ketika saya dan suami pulang ke Aceh Selatan, saat singgah sebentar di rumah mertua sebelum melanjutkan perjalanan ke rumah orangtua saya, saya melihat ada banyak sekali orang di rumah mertua saya. Ada apa, ya? Begitu tanya saya dalam hati. Sepertinya akan ada acara. Ternyata dugaan saya benar. Akan ada acara pernikahan sepupu perempuan suami.  Padahal saat kami memberitahu bahwa kami akan pulang ke kampung melalui telepon, mertua sama sekali tidak mengatakan apa-apa. Ini berarti bahwa acara tersebut bukan berlangsung di rumah mertua. Dan, memang demikianlah adanya.
Jadi ceritanya, sepupu perempuan suami saya menikah dengan seorang laki-laki dari Kabupaten Nagan Raya (dulunya masuk dalam Kabupaten Aceh Barat, sekarang setelah mengalami pemekaran, namanya menjadi Kabupaten Nagan Raya). Jarak tempuh dari kecamatan kami (Pasie Raja) di Aceh Selatan ke Nagan Raya biasanya sekitar lima sampai enam jam perjalanan dengan menggunakan minibus. Sebagian jalan nasional dari Aceh Jaya hingga Aceh Selatan berada di gunung-gunung hingga membuat jarak tempuh yang sebenarnya tidak jauh menjadi sangat jauh.
Hal inilah yang menjadi salah satu faktor calon mempelai pria datang terlebih dahulu daripada keluarganya karena harus mengurus banyak hal yang berhubungan dengan acara pernikahan dan ritual adat lainnya. Keluarganya akan datang pada hari resepsi pernikahan atau yang disebut kenduri. Sebenarnya, mereka sudah melangsungkan akad nikah, dua minggu sebelum kami tiba di kampung. Tetapi, karena  kendurinya akan dilaksanakan dua minggu setelah akad nikah, mempelai pria tidak  langsung boleh menginap di rumah mempelai wanita, tapi kembali ke kampungnya di Nagan Raya. Mungkin ada yang bertanya-tanya, kenapa bisa demikian, ya? Padahal seharusnya si mempelai pria sudah boleh menginap di rumah mempelai wanita. Toh, mereka sudah sah sebagai suami istri. Sebenarnya boleh saja si pria langsung menginap di rumah istrinya begitu selesai akad nikah, hanya saja mereka masih sangat memegang adat dalam hal pernikahan.
Dalam bahasa Aceh, mempelai pria disebut Linto dan mempelai wanita disebut Dara Baroe. Untuk selanjutnya akan saya sebut Linto dan Dara Baroe saja.
Umumnya di Aceh Selatan, jika setelah menikah tak langsung melaksanakan resepsi atau kenduri, Linto biasanya pulang ke rumah orangtuanya terlebih dahulu, menunggu hari kenduri tiba, barulah dia akan tinggal di rumah Dara Baroe. Tidak ada yang melarang sebenarnya. Tapi hal ini sudah menjadi aturan tak tertulis dalam pergaulan di Aceh Selatan. Kata mertua saya, orang-orang tua dulu  jika menikah dan kendurinya tidak dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan, Linto akan pulang ke rumah orangtuanya terlebih dahulu. Tidak akan terasa istimewa lagi jika Linto sudah tidur duluan di rumah Dara Baroe karena si Linto sudah melihat bagaimana Dara Baroe-nya. Sementara di hari kenduri, yang diharapkan adalah Linto belum melihat Dara Baroe-nya. Makanya, para tetua adat kampung mengharapkan sebaiknya kendurinya jangan terlalu lama dilaksanakan setelah akad nikah untuk menghindari kerinduan yang menggebu antara Linto dan Dara Baroe.
Saat ini, adat seperti ini sudah jarang yang melaksanakannya. Bisa karena berbagai faktor; karena anggapan sudah resmi sebagai suami istri atau perhelatan kenduri yang lebih lama waktunya dari akad nikah. Tapi di kampung-kampung seperti beberapa kampung di Aceh Selatan, masih melaksanakan adat ini.
Jadi, intinya, kehadiran seorang Linto di rumah mertua saya hari itu adalah dalam rangka acara ‘Intat Linto’. Apa itu Intat Linto?
Intat Linto adalah acara mengantar Linto ke rumah Dara Baroe pada saat diadakannya kenduri pernikahan di rumah Dara Baroe. Sementara acara mengantar Dara Baroe ke rumah Linto atau yang disebut Tueng Dara Baroe dilakukan pada saat diadakannya kenduri di rumah si Linto. Tapi biasanya hal ini tidak wajib karena sudah dilakukan salah satu syarat untuk syiar kepada khalayak yaitu kenduri di rumah Dara Baroe. Namun jika keluarga Linto tetap ingin melakukan kenduri di rumah mereka, lengkaplah adat Intat Linto dengan dibarengi acara Tueng Dara Baroe  sesudahnya. Biasanya, keluarga-keluarga yang ingin tetap melaksanakan kenduri karena hal-hal berikut; berada di daerah yang berbeda dengan daerah Dara Baroe, atau karena permintaan keluarga Dara Baroe yang menginginkan adanya acara Tueng Dara Baroe atau Intat Dara Baroe.
Acara Intat Linto ini bisa dilakukan dari mana saja. Bila Linto tinggal jauh dari tempat diadakannya kenduri di rumah Dara Baroe, biasanya dua atau tiga hari sebelum hari H, Linto sudah datang duluan ke kampung si  Dara Baroe sementara keluarganya baru akan tiba malam sebelumnya atau di hari kenduri. Linto bisa menumpang menginap di rumah salah satu saudara Dara Baroe, seperti yang dilakukan seorang Linto di rumah mertua saya. Dia menumpang tidur di rumah mertua saya.
Jadi, setelah malam pertama saya menginap di rumah orangtua saya, malam besoknya saya tidur di rumah mertua karena ada sedikit acara di rumah mertua, yaitu acara memakai inai untuk Linto, atau dalam bahasa Aceh Selatan disebut Meugaca. Dalam adat Aceh umumnya, Meugaca dilakukan tiga malam berturut-turut. Malam terakhir Meugaca adalah di malam menjelang hari H kenduri.  Meugaca juga dilakukan oleh mempelai pria di rumahnya atau di rumah siapapun yang dia jadikan tempat menginap untuk sementara waktu. Tapi biasanya, kegiatan Meugaca linto hanya semalam saja yaitu di malam menjelang kenduri. Nah, Linto yang sedang berada di rumah mertua saya hari itu, juga ikut dipeugaca pada malam hari menjelang acara kenduri. Saya tidak mengikuti acara Meugaca si Linto, karena sebagai orang yang baru pulang ke kampung, saya mendapat undangan untuk menghadiri seluruh acara persiapan menjelang kenduri di rumah si Dara Baroe, termasuk acara Meugaca-nya si Dara Baroe. Sebelum dimulai acara Meugaca, terlebih dahulu Linto dan Dara Baroe dipeusijuk di tempat masing-masing, si Dara Baroe di rumahnya dan si Linto di rumah mertua saya. Peusijuk adalah semacam ritual di Aceh sebelum dimulai kegiatan-kegiatan tertentu dalam masyarakat Aceh, termasuk sebelum dimulainya acara Meugaca. Semoga di tulisan selanjutnya, saya bisa menuliskan tentang tradisi Peusijuk ini.
Foto: dokumen pribadi
Pada malam Meugaca, diundang juga beberapa keluarga dekat (termasuk teman-teman dekat si Dara Baroe) untuk ikut ‘menonton’ si Dara Baroe dipeugaca. ‘Menonton’ ini dimaksudkan agar si Dara Baroe tidak merasa bosan dengan ritual Meugaca yang kadang memakan waktu lama dan membuat tubuh penat. Bagimana tidak penat, selama dipeugaca, Dara Baroe tidak boleh banyak bergerak. Kalau tidak, tentu inai yang sudah dipasangkan di tangan dan kaki akan terlepas. 
Foto: dokumen pribadi

Si Dara Baroe diminta tidur di atas kasur yang telah disiapkan sedemikian rupa, dialasi dengan banyak kain supaya inai tidak sampai mengotori kasur. Dua orang ibu paruh baya duduk di samping kiri dan kanan si Dara Baroe dan mulailah mereka bekerja. Satu persatu anak jari si Dara Baroe ditempeli dengan adonan daun inai yang telah halus digiling dengan menggunakan batu giling. Bentuknya juga sangat sederhana. Hanya menutupi bagian teratas setiap anak jari hingga ke batas kuku. 
Foto: dokumen pribadi
Namun untuk bagian kaki, perlakuannya agak berbeda dengan tangan. Inai di kaki diletakkan di seluruh telapak kaki dan sedikit bagian pinggir kaki. Bentuknya jadi seperti memakai sepatu.
Inai yang dipakai oleh Dara Baroe kali ini adalah perpaduan gaya lama dan gaya modern. Setelah tangan dan kaki dibalur dengan inai oleh empat orang; dua orang di sisi kanan dan kiri tangan dan dua orang di sisi kanan dan kiri kaki, kemudian posisi empat orang pemasang inai ini digantikan oleh seorang gadis dengan membawa inai dalam bentuk odol. Si gadis adalah pembuat inai ala modern dengan ukiran cantik di atas permukaan tangan dan kaki sang mempelai wanita. Inai seperti ini tentu sudah biasa kita lihat bukan hanya di Aceh tapi juga di beberapa daerah yang pengantinnya memakai inai. Ini adalah inai instan yang biasanya banyak di jual di supermarket-supermarket. Beda halnya inai yang pertama sekali dioleskan ke tangan dan kaki mempelai wanita. Inai ini diolah dari daun inai yang banyak tumbuh di kampung-kampung di Aceh Selatan. Tradisi mengolah daun inai menjadi adonan inai termasuk bagian dari acara kenduri. Anak-anak gadis yang malas masuk ke dapur dan tidak mau belepotan dengan asap pembakaran tungku kayu, mereka biasanya duduk beramai-ramai di balee-balee rumah, memetik daun-daun inai yang kecil lalu menggilingnya dengan menggunakan gilingan batu yang biasa digunakan oleh orang-orang zaman dahulu dalam menggiling aneka bumbu masakan. Sekarang, gilingan batu berbentuk lonjong ini sudah jarang dipakai karena sudah ada blender sebagai pengganti alat menggiling bumbu. Praktis dan hemat waktu. Baru akan berfungsi kembali jika ada kenduri pernikahan, yaitu dimanfaatkan sebagai alat menggiling inai.
Inai hasil digiling di batu ini tentu saja hanya dipakai untuk inai gaya lama karena meskipun sudah digiling dengan halus dan lembut, tetap saja tak sehalus inai dalam kemasan yang dijual di  toko-toko. Kita masih lihat serat-serat daunnya sehingga serat-serat ini akan mengganggu dalam pembuatan motif baru yang biasanya sering berupa ukiran kecil-kecil. Sebagai tambahan informasi, inai motif lama yang dipakaikan ke tangan dan kaki Dara Baroe  ini sudah jarang dipakai di daerah Aceh yang lainnya. Kenapa demikian? Karena tidak bermotif dan terkesan asal tempel saja ke tangan dan telapak kaki.   
Foto: dokumen pribadi
Gadis-gadis sekarang banyak yang kurang suka dengan inai yang seperti asal tempel ini, saat mereka menjadi pengantin. Terlalu sederhana. Sementara buat para wanita pembuat inai ukir, pekerjaan seperti ini sudah menjadi pekerjaan musiman jika ada kegiatan kenduri nikahan. Mereka tentu lebih menyukai inai ukir dibandingkan inai asal tempel saja. Semakin banyak diukir di tangan atau di kaki, semakin mahallah bayaran untuk mereka. Begitulah yang terjadi di kota-kota. Tapi di kampung saya dan beberapa kampung di Aceh Selatan, para gadis dan ibu-ibu pembuat inai untuk pengantin, biasanya mereka tidak dibayar dan melakukannya secara sukarela sebagaimana gadis-gadis dan ibu-ibu lain yang sukarela membantu semua pekerjaan di rumah pengantin seperti memasak untuk tamu kenduri, mencuci piring, memetik daun inai dan menggilingya dengan batu gilingan, dan semua pekerjaan lain di rumah kenduri tersebut. 
Setelah selesai kegiatan Meugaca, saya kembali ke rumah mertua yang hanya berjarak sekitar dua ratus meter dari rumah Dara Baroe. Sesampai di rumah mertua, Linto sudah duduk dengan manis di depan tivi sambil mengangkat tangan ke atas seperti orang yang sedang berdoa. Tapi, dia tidak sedang berdoa. Kedua tangannya sudah diberi inai. Inai untuknya hanya inai yang menutupi setiap ujung jari tangannya, tanpa ada motif ukir tambahan lainnya. Ya, untuk si Linto, Meugaca hanya sebagai syarat saja. Tidak perlu banyak motif, itu pun hanya di tangan saja.
***
Besok paginya, rombongan keluarga mempelai pria tiba di rumah mertua saya. Tidak begitu banyak yang ikut dalam acara Intat Linto ini. Mungkin karena acaranya diadakan bukan pada hari libur sehingga banyak yang tidak bisa ikut, apalagi tempatnya agak jauh dari daerah mereka di Nagan Raya. Mereka datang dengan menyewa dua buah minibus L300. Lumayan sibuk juga kami pagi itu dengan kedatangan banyak tamu. Sebagai rumah yang disinggahi Linto untuk tidur selama tiga hari sebelumnya, maka rumah mertua saya pun dijadikan titik awal keberangkatan rombongan Intat Linto yang akan dilaksanakan siang hari selepas salat Zuhur.
Dulu, ketika saya masih SD dan SMP, acara Intot Linto di Kabupaten Aceh Selatan, khusunya daerah-daerah dari Tapaktuan hingga Trumon, dilaksanakan pada malam hari. Meskipun acaranya pada malam hari, namun kendurinya sudah dilaksanakan sedari pagi, bahkan jika keluarga mampu, mereka bisa melaksanakan kenduri sampai tiga berturut-tururt sesuai  dengan acara Meugaca si Dara Baroe. Namun sejak konflik melanda hampir seluruh kawasan Aceh  termasuk Aceh Selatan, acara Intat Linto tidak lagi dilaksanakan pada malam hari. Saat itu, malam hari adalhm waktu-waktu yang sangat mencekam dan jarang ada yang keluar dari rumah. Jadi, jika ada yang menikah pada masa itu, acara Intat Lintoe pun beralih dilakukan pada siang hari, biasanya selepas salat Zuhur. Sampai saat ini, acara Intat Linto tetap dilaksanakan pada siang hari.
Di kota semisal Banda Aceh dan kota-kota sekitarnya, acara kenduri hanya dilaksanakan sehari saja yaitu pada hari dilaksanakanannya acara Intat Linto. Ini bukan perkara mampu atau tidak, hanya saja, melaksanakan kenduri selama tiga hari tiga malam dianggap terlalu membuang waktu sang empu rumah dan sangat melelahkan. Apalagi dengan gaya hidup di kota besar yang tak kenal tetangga kiri kanan depan belakang, serta tidak punya cukup waktu untuk mengurus banyak hal. Beberapa orang bahkan cukup dengan menyewa Wedding Planner dan gedung, maka acara pun bisa dilangsungkan.
Di kampung saya, acara kenduri tiga hari tiga malam masih dilaksanakan jika memang mampu melaksanakannya. Jika tidak, ya cukup sehari saja yaitu sejak malam terakhir Dara Baroe Meugaca hingga besoknya di datangnya Lintoe. Tamu-tamu undangan biasanya akan datang sejak pagi hingga sore hari.
Para tamu yang datang ke rumah mertua tidak hanya terdiri dari anggota keluarga Linto saja. Keluarga Linto boleh mengajak siapa saja orang kampungnya yang mau ikut ke acara Intat Lintoe ini. Karena ini acara Intat Lintoe, jadi keluarga Linto mestilah juga membawa beberapa tokoh desa mereka, seperti Keuchik (kepala desa) beserta istrinya, tengku atau istri tengku (boleh datang salah satunya), satu orang perwakilan Tuha Peut (orang yang dituakan di kampung).
Sesampainya mereka di rumah mertua saya, mereka mengeluarkan banyak barang sebagai isian untuk Peunuwoe (hantaran Dara Baroe). Mereka belum membungkusnya karena perjalanan jauh. Jadi, mereka membungkusnya pagi itu. Ini beberapa hasil kreasi sederhana Peunuwoe ala kampung saya. 





Foto-foto: dokumen pribadi

Menurut adat di Aceh, Peunuwoe ini diberikan kepada Dara Bare sebagai bentuk penghormatan keluarga Linto kepada  Dara Baroe dan keluarganya. Peunuwoe ini berisi bermacam ragam pernak-pernik dan semua kebutuhan si Dara Baroe, mulai dari ujung kaki sampai ujung rambut. Mulai dari sepatu, dalaman, mukena, beberapa helai baju, kosmetik, sampai sisir. Bahkan pentol dan peniti juga ada. Pokoknya, isinya komplit.
***
Foto: dokumen pribadi
Siang hari selepas salat zuhur dan makan siang, saya ikut dalam rombongan Intat Lintoe. Dari rumah mertua saya, kami cukup berjalan kaki saja. Linto berjalan paling depan dengan diapit oleh beberapa orang anak muda sambil dipayungi dengan payung kuning bersulam emas khas sulaman Aceh. Sementara berjalan di sampingnya lagi adalah para perwakilan tokoh kampung dari kampung si Linto (Keuchik, Tengku, dan Tuha Peut). Di belakangnya para bapak-bapak dan ibu-ibu rombongan pengantar Linto. Paling belakang adalah anak-anak muda yang berjalan dengan membawa nampan-nampan Peunuwoe. Yang menjadi ciri khas acara Intat Linto adalah Linto dan rombongan harus berjalan kaki dari suatu tempat ke rumah Dara Baroe supaya terasa semaraknya.
Sesampainya di halaman rumah Dara Baroe, rombongan disambut oleh orang-orang dan tokoh kampung dari kampungnya Dara Baroe, seperti Tengku, Keuchik dan Tuha Peut. Usai menjawab salam, sebelum masuk ke rumah, ada acara berbalas pantun antara perwakilan rumah Dara Baroe dengan perwakilan dari rombongan keluarga Linto. Orang yang ditunjuk untuk kegiatan ini adalah orang yang ahli berpantun. Jika diberi pantun dengan hal-hal yang tak terduga, seorang lagi akan menjawab dengan cara yang unik pula. Pantun pertama datang dari perwakilan rumah Dara Baroe, biasanya berisi salam, tegur sapa kepada rombongan. Pantun pertama akan dijawab salam pula dari perwakilan Linto. Pantun tidak hanya sekali saja di pembukaan lalu selesai. Setelah pantun pembuka, akan ada lagi pantun yang sambung menyambung. Jika salah satu dari dua orang yang berbalas pantun tadi belum bisa menjawab atau membalas pantun, biasanya salah satu akan memberikan pertanyaan-pertanyaan; di manakah besan? Kemudian akan dijawab lagi; kami masih di sini! Begitulah seterusnya. Para rombongan pengantar Intat Linto ini belum boleh masuk ke rumah  Dara Baroe jika acara berbalas pantun ini belum selesai.   Apabila pantunnya berisi pertanyaan maka pertanyaan tersebut akan dijawab berupa pantun juga. Tradisi berbalas pantun ini sudah jarang dilakukan di kota-kota, tetapi masih ada di beberapa kampung di Aceh Selatan.
Pada tengah acara berbalas pantun, terjadi saling tukar sirih. Masing-masing pihak, baik pihak Dara Baroe maupun pihak yang mengantar Lintoe membawa sirih yang sudah dibentuk sedemikian rupa dan diletakkan dalam sebuah wadah bernama Ceurana. Kegiatan saling tukar sirih ini diiringi dengan saling berbalas pantun yang tadi masih berlanjut. 
Foto: dokumen pribadi
Setelah acara berbalas pantun selesai, Linto diiringi beberapa orang pendamping berjalan menuju pintu rumah Dara Baroe. Linto berhenti sebentar karena perwakilan yang punya rumah akan menyambut Linto dengan taburan padi dan beras. Sementara di dalam rumah, Dara Baroe duduk di atas pelaminan dengan hati cemas campur bahagia. Cemas karena sudah duduk  lama menunggu di atas pelaminan namun sang arjuna belum masuk-masuk juga, masih tertahan dengan pantun-pantun. Juga bahagia karena sebentar lagi akan segera bersanding dengan kekasih hati yang sudah lama dirindukan. Sejak resmi berstatus sebagai istri, belum sekalipun mereka bertemu. Namun cemas dan bahagia yang terpancar di wajah Dara Baroe harus segera ditutup dengan tubuh dua perempuan yang sudah agak berumur. Mereka disebut Peunganjo. Mereka seperti ingin main kucing-kucingan dengan Linto yang sebentar lagi akan masuk ke dalam rumah. 
Foto: dokumen pribadi
Linto sudah berdiri di ambang pintu dengan tetap diiringi dua anak muda di kiri kananya. Terus berjalan ke arah pelaminan dengan hati berdebar-debar di mana sang permaisuri hati sudah menanti. Tapi oh, si permaisuri hati sedang bermain kucing-kucingan dengannya. Begitu Linto sudah berdiri sekitar dua langkah di depan dua Peunganjo yang menyembunyikan Dara Baroe di belakang tubuh mereka, kedua Peunganjo tersebut langsung bergerak ke samping kiri dan  kanan mereka. Salah satunya menuntun Dara Baroe  turun dari pelaminan dan berdiri menyambut Dara Baroe.  Dengan dituntun oleh Penganjo tadi, Dara Baroe  berdiri malu-malu di hadapan  Linto dan mencium tangan Linto sebagai tanda hormat seorang istri kepada suaminya. Setelah itu barulah mereka duduk bersisian berdua di singgasana pelaminan. Setelah pengantin duduk di pelaminan, para pengantar masuk satu persatu ke dalam ruangan tersebut, ruangan tempat Linto dan Dara Baroe duduk di pelaminan. Yang masuk ke ruangan ini hanya perempuan saja sementara rombongan pria disediakan ruangan yang berbeda.
Foto: dokumen pribadi
Para rombongan pengantar Linto akan disuguhi makanan yang lezat-lezat yang terhampar di depan pelaminan. Saat rombongan pengantar mulai makan, Linto dan Dara Baroe juga harus ikut makan. Mereka duduk di bawah pelaminan dan makan bersama dengan yang lainnya.
Saat makan, dua Penganjo tadi tetap duduk di samping Linto dan Dara Baroe. Mereka lalu saling sulang minum. Dara Baroe menyulang minum ke mulut Linto, sebaliknya Linto juga begitu, melakukannya pada saat yang bersamaan. Begitu juga saat makan. Mereka saling menyuapi dengan mengikuti apa  yang diperintahkan oleh Peunganjo. Kemudian dilanjutkan adu ayam pura-pura. Dulu, adu ayam dilakukan dengan menggunakan ayam yang sebenarnya. Di depan pelaminan, di atas meja tempat mereka makan akan disediakan  ayam yang sudah dipanggang lalu kedua mempelai dengan masing-masing tangan dibantu pegang oleh kedua Penganjo akan mengadu kedua ayam tersebut. Namun, akhir-akhir ini kebiasaan tersebut dilarang oleh ulama-ulama karena agama tidak membolehkan mengadu ayam meskipun ayam mati. Maka, untuk tetap mempertahankan adat ini, digunakanlah ayam pengganti berupa jenis makanan tertentu yang dibuat menyerupai ayam. Selesai makan, kedua mempelai dipeusijuk oleh beberapa orang tua kampung. Di tulisan selanjutnya, saya akan menuliskan lebih banyak lagi tentang adat peusijuk di Aceh.


Foto: dokumen pribadi

***
Ketika saya sedang duduk-duduk di luar, ibu  Dara Baroe menghampiri saya dan meminta saya 
Foto: dokumen pribadi
untuk ikut mem-peusijuk kedua mempelai. Tentu saja saya kaget. Kegiatan peusijuk ini biasanya dilakukan oleh orang-orang yang sudah agak tua yang berasal dari keluarga dari dua belah dan cukup dihormati. Awalnya saya menolak karena saya sungkan dan... karena sebelumnya saya belum pernah melakukan yang namanya peusijuk ini. Meski saya sering melihat orang-orang melakukan peusijuk dan ini sudah menjadi hal yang biasa di Aceh, tapi tetap saja jika diminta saya yang melakukannya, saya merasa kaku. Tapi akhirnya saya lakukan juga setelah dipaksa-paksa dengan alasan saya termasuk orang yang jarang pulang ke kampung, hehe...
Selesai semua acara Intat Linto, keluarga Linto beserta rombongan yang datang dari Nagan Raya langsung bersiap-siap untuk balik ke Nagan Raya. Sementara si Linto kembali ke rumah mertua saya dengan saudara-saudara suami lainnya.
Menurut adat di beberapa kampung di Aceh Selatan, meskipun Linto dan Dara Baroe sudah bertemu di pelaminan, namun Dara Baroe belum boleh tinggal di rumah Dara Baroe  sebelum datangnya malam. Maka si Linto harus kembali dulu ke rumah mertua saya, tempat dia menumpang tidur selama beberapa sebelumnya. Saat malam hari, barulah dia ke rumah istrinya dan tidur di sana.  Tetapi, si Linto harus menghilang dari rumah si istri sebelum subuh menjelang. Jadi, waktu dia bersama istrinya adalah saat malam sampai sebelum subuh. Hal ini dilakukan supaya orang kampung jangan sampai tahu bahwa malam itu dia tidur di rumah istrinya. Mungkin sedikit aneh ya, padahal mereka kan sudah resmi sebagai suami istri, hehe. Tapi hal ini hanya berlangsung sehari saja.
Begitulah adat yang masih dipertahankan di beberapa kampung di Aceh Selatan.  Semoga semua upacara adat ini tidak terkikis oleh waktu dan modernitas sehingga banyak yang sama sekali tidak tahu atau bahkan melupakan. Semoga tulisan ini bermanfaat sebagai catatan pengingat untuk generasi yang akan datang. 

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Previous
Next Post »

20 comments

Write comments
uniek
AUTHOR
1 Juli 2012 pukul 02.09 delete

secara umum, banyak hal yang mirip dengan acara pernikahan di minang kabau mba :)

Reply
avatar
1 Juli 2012 pukul 12.45 delete

Kak Uniek:
Secara kak, orang Aceh Selatan banyak yang keturunan Minang kak, pernah saya tuliskan di sini, kak :)
http://www.fardelynhacky.blogspot.com/2012/06/bangga-berbahasa-indonesia-dan-bahasa.html

Reply
avatar
1 Juli 2012 pukul 12.45 delete

Panyoet:
Saya sedang suka menulis tentang Aceh Isni :)

Reply
avatar
Nawie Syahza
AUTHOR
2 Juli 2012 pukul 08.59 delete

kalo mengutip kata mas tukul " AMAZING"
keren sangat kak :-)

Reply
avatar
2 Juli 2012 pukul 10.08 delete

Hahaaaa..kelihatan penggemar Tukul
Makasih wi atas kunjungannya ke sini

Reply
avatar
Aini
AUTHOR
4 Juli 2012 pukul 16.04 delete

Yang ini juga keren, Kak :)komplit! Kayaknya recomended buat yang ingin mempersunting gadis Aceh :D

Reply
avatar
6 Juli 2012 pukul 15.11 delete

Ayooo..buat yang ingin mempersuntng gadis Aceh, baca ini dulu yak. Lho..? hahaa..
Makasih ya aini :)

Reply
avatar
Evendri
AUTHOR
18 Agustus 2012 pukul 01.14 delete

hebat x ya, sy lagi cari2 artikel ini kebetulan ja ketemu ya.. jiahaha, dunia memang selebar tapak tangan sekrg :D

Reply
avatar
Evendri
AUTHOR
18 Agustus 2012 pukul 01.16 delete

ini dari suku apa aneuk jamee apa aceh fardelyn? salam buat Uda safar manaf y ^_*

Reply
avatar
Evendri
AUTHOR
18 Agustus 2012 pukul 01.20 delete

ini siapa yang nikah? fardelyn di Tapak tuan ? haha..hh ^_^ sama bg Safar ya hah.. pizz Mr. Safar untong2 beik teumeung lom di rumoh fardelyn nyoe tanyoe ^_^V

Reply
avatar
8 September 2012 pukul 15.51 delete

Hallo evendri, maaf ya baru balas.
pertama saya mau bilang kalau suami saya bukan Safar Manaf, beliau hanya teman, hehee
Saya sendiri berasal dari tapaktuan, tapi aslinya saya suku Aceh, bukan suku aneuk jamee ataupun Kluet. Silakan membuka-buka tulisan saya yang lain. Jika butuh referensi bahasa, saya pernah menuliskannya di sini:
http://www.fardelynhacky.blogspot.com/2012/06/bangga-berbahasa-indonesia-dan-bahasa.html

Semoga bermanfaat dan makasih ya udah berkunjung :)

Reply
avatar
Dav Dmilano
AUTHOR
7 November 2012 pukul 10.47 delete

Saleum,
Yang merangkap suku kluat dan Aneuk jamee itu saya, hahaha....

Reply
avatar
7 November 2012 pukul 22.56 delete

Naaah..ini dia orangnya datangnya, yang merupakan pencampuran suku Kluet dan suku aneuk Jamee, hehee...

Reply
avatar
Azhar Penulis
AUTHOR
13 Februari 2014 pukul 22.50 delete

asyik cara kakak menceritakannya langkah demi langkah, tak-tik-tok nya tidak langsung to de poin tapi runut namun juga deskripsinya dapat kami tangkap dengan jelas.

inilah sisi keunggulan seorang kak Fardelyn Hacky ... :)

Reply
avatar
13 Februari 2014 pukul 22.59 delete

weww...dapat pujian berlebihan ini dari seorang azhar, hahaa.. btw, terima kasih azhar udah membaca tulisan lama ini :D

Reply
avatar
29 Mei 2015 pukul 09.57 delete

bertambah lagi wawasan tentang tatacara pernikahan

Reply
avatar
Unknown
AUTHOR
2 November 2016 pukul 23.33 delete

Assalamualaikum kak fardelyn. Saya nisa. Anak medan campuran gayo, tapi lahir dan besar di aceh selatan,, wkwkk,. Nah, kebetulan mudah2an berjodoh sama orng aceh selatan,. Lgi dalam tahap proses kak,. Trus baca artikel kk,. Ternyata pernikahandi aceh selatan itu lumayan ribet ya kak,. Prosesnya panjang,. Hahha,.

Reply
avatar

Instagram @fardelynhacky