11 Alasan Ini yang Membuat Perpustakaan Unsyiah is More Than just A Library





“Harry ... aku pikir aku baru saja memahami sesuatu! Aku harus pergi ke perpustakaan!”
Dan dia berlari menjauh, menaiki tangga.
“Apa yang dia mengerti?” Kata Harry bingung, masih memandang berkeliling, mencoba untuk mengatakan di mana suara itu berasal.
“Lebih  banyak dari yang kulakukan,” kata Ron, menggelengkan kepala.
“Tapi kenapa dia harus pergi ke perpustakaan?”
“Karena itulah yang dilakukan Hermione,” kata Ron, mengangkat bahu. “Jika ragu, pergi ke perpustakaan.”

Harry Potter dan Kamar Rahasia

That’s absolutely right! Jika ragu-ragu, jangan mundur dulu, tapi pergilah ke perpustakaan, baca buku-buku dan bukannya baca hoax di facebook, modali isi kepalamu dengan pengetahuan, barulah melamar si dia. Eh, gimana? Ini mau melamar atau belajar? 

Jika modal untuk melamar si dia masih terasa berat, tidak demikian dengan modal memperkaya isi kepala. Asal ada keinginan untuk terus belajar dan belajar terus, rasanya zaman sekarang tidak terlalu sulit mendapatkan akses sumber pengetahuan. Di Banda Aceh terdapat beberapa perpustakaan besar, UPT. Perpustakaan Unsyiah—perpustakaan yang bernaung di bawah Universitas Syiah Kuala—salah satunya. Knowledge is free at our library, just bring your own container.  All is free, kita tinggal datang saja ya, bo!
Foto: dokumen pribadi
 Eh, tunggu! Perpustakaan Unsyiah? 

Kaku, nggak asik, bukunya kurang, nggak ada buku yang mau dipinjam, pustakawannya jutek — kata teman saya yang sama-sama kuliah di Unsyiah empat belas tahun lalu, setahun lalu. Sebelum teman saya mengatakan hal tersebut setahun lalu itu, saya pun sependapat dengannya. Tidak ada buku yang kami cari, jadi yeah … agak malesin.  

Dulu, empat atau tiga belas tahun lalu itu, tujuan saya ke perpustakaan, kalau bukan untuk mencari buku-buku fiksi bagus, ya buku-buku penunjang kuliah saya di Keperawatan. Untuk kategori pertama, sudah pasti Perpustakaan Unsyiah di empat belas tahun lalu tidak menyediakan. Tidak ada buku-buku sastra bagus. Saya sempat berpikir, kasihan juga mahasiswa yang kuliah di jurusan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia. Yeah … meskipun mereka pada akhirnya akan menjadi guru dan bukannya sastrawan (harus diakui bahwa ada sangat sedikit lulusan FKIP bahasa yang menjadi sastrawan atau penulis), mereka kan tetap harus membaca buku-buku sastra yang bagus: karya sastra klasik dari dalam dan luar negeri; karya sastra kontemporer dari dalam dan luar negeri; buku-buku fiksi bagus apa saja. Jika tidak, bagaimana mereka akan mengajarkan anak-anak didik mereka di sekolah; bagaimana mereka bisa meminta murid-murid mereka untuk membaca buku-buku bagus; jika mereka sendiri tidak pernah membaca buku-buku bagus. Di luar negeri—tidak usah jauh-jauh luar negerinya—Australia misalnya, anak-anak sekolah menengah diwajibkan membaca buku-buku sastra klasik dan mengulasnya di dalam kelas. Dengan demikian, belajar tidak hanya cukup dengan membaca saja. Negara tetangga kita itu sadar bahwa imajinasi lebih penting daripada pengetahuan. Bahkan Umar bin Khattab pernah berkata: Ajarkan sastra kepada anak-anakmu karena itu dapat mengubah anak yang pengecut menjadi pemberani

Saya berpikir positif saja, mungkin dulu perpustakaan Unsyiah belum dapat hidayah (((HIDAYAH))) bahwa membaca buku-buku sastra itu penting :p 

Sementara di sisi lain terkait latar belakang pendidikan saya (keperawatan), saya pun sering kecele dengan perpustakaan Unsyiah di empat belas tahun lalu. Buku-buku rujukan keilmuwan saya sangat kurang sekali. Ada, sedikit, tapi terbitan lama. Jadul, kusam, berdebu, berantakansangat tidak menggoda sekali! 

Intinya, dulu, perpustakaan Unsyiah hanya sekadar kami—saya dan teman-teman saya—jadikan sebagai tempat persinggahan sebentar. Datang, pinjam buku—itu juga kalau bukunya ada, lol—lalu keluar. Kayak orang pacaran yang lagi berantem, cinta tapi males ketemu dia. 

Sekian tahun meninggalkan Unsyiah, saya memang sudah jarang ke perpustakaan Unsyiah. Sampai setahun lalu saat saya kembali bekerja di Unsyiah, saya kembali ke perpustakaan tercinta ini dan … jreng … jreeeng …  

Perpustakaan milik perguruan tinggi Jantong Ratee Rakyat Aceh ini sudah berubahhhhh! 

Tempatnya terlihat lebih nyaman, terdapat banyak kursi baca dan sofa, free wifi, full AC.

Well, ketika mendengar kata ‘perpustakaan’, sebagian besar orang pasti berpikir tentang buku dan hanya tentang buku. Betul atau betul?

Padahal perpustakaan lebih dari itu. Perpustakaan adalah gudang informasi. Informasi yang tidak hanya berasal dari buku, juga sumber lainnya seperti buku elektronik (e-book), DVD, database internet, dan bahkan bahkan pustakawan.

Sementara menurut saya perpustakaan adalah: sebuah tempat yang bisa menyimpan energi sebagai bahan bakar imajinasi; tempat menjelajahi dunia bersama buku-buku; ‘rumah' untuk jiwa-jiwa yang haus akan ilmu; tempat mencari jawaban atas segala pertanyaan; tempat berekspresi dan menyalurkan kreativitas; dan sebuah tempat yang nyaman seperti di rumah, sehingga meskipun orang-orang akan pergi, mereka pasti akan kembali.

I have always imagined that paradise will be a kind of library!



Pak 'Topgan' sang Pembaharu

Melihat Pustaka Unsyiah sekarang, saya senang sekali karena saya tidak perlu terjebak pada tindakan tak tahu diri seperti ini: menyanjung-nyanjung betapa menyenangkannya perpustakaan di negara orang  dan mengatai-ngatai betapa bobroknya perpustakaan di negeri sendiri *penyakit kebanyakan mahasiswa Aceh sepulang kuliah dari luar negeri, lol* *tunjuk diri sendiri :p*

Big thanks to Bapak Taufik Abdul Gani (di lingkungan Unsyiah beliau lebih dikenal dengan sebutan Pak Topgan) yang telah memberi andil terhadap perubahan perpustakaan Unsyiah ke arah yang lebih baik. Sejak ditunjuk sebagai kepala UPT. Perpustakaan Unsyiah tahun 2012 lalu, Pak Topgan mulai melakukan reformasi mental eh pelayanan perpustakaan.

“Hal yang paling utama kami benahi adalah masalah pelayanan. Untuk itu, SDM yang ada di Perpustakaan Unsyiah di-upgrade habis-habisan. Selama ini pustakawan seolah-olah hanya sebagai penjaga buku. Padahal mereka juga bagian dari partner kerja dosen dalam penelitian. Awalnya, antara perpustakaan dengan mahasiswa maupun dosen seperti ada sekat yang memisahkan. Nah, kita ingin membuka sekat itu.”

Pak Topgan memang top—sesuai dengan nama bekennya. Semangat dan optimismenya dalam mereformasi pelayanan Pustaka Unsyiah terlihat saat beliau mengisi materi di kampus saya, Fakultas Keperawatan Unsyiah, April 2016 lalu.  Mendengar informasi akan adanya semacam workshop dengan tema yang kece—yaitu Our Library Our Story—saya berkata pada diri sendiri bahwa saya harus mengikuti kegiatan tersebut. Maka itulah momen setahun lalu yang saya maksud di atas ketika untuk kali pertama—setelah beberapa tahun lamanya—saya mendapat informasi bahwa perpustakaan Unsyiah yang sekarang bukan lagi perpustakaan Unsyiah yang dulu.
Pak Topgan di Fakultas Keperawatan Unsyiah, April 2016. Foto: dokumen pribadi
“Kami punya impian supaya semua orang berbondong-bondong ke perpustakaan. Dan bukan sekadar menikmati suasananya, tapi juga ada ilmu yang dibawa setelah meninggalkan perpustakaan. Dengan kata lain, jadikan perpustakaan sebagai our library our story.”
*Kemudian saya pun berkata dalam hati ‘kalau dilihat dari tagline-nya, naga-naganya, Perpus Unsyiah bakal ngadain lomba blog nih.’* *kemudian kata hati saya pun terbukti  setahun kemudian—yaitu sekarang, yeaayy!*   

More than Just A Library

Hal pertama yang beliau dan timnya lakukan adalah membenahi pelayanan. Area parkiran terlihat lebih tertata dengan dijaga oleh petugas parkir, dan tentu saja gratis. Kemudian petugas yang bekerja sejak dari gerbang terdepan (gerbang masuk/keluar dan Information Corner) hingga petugas bagian dalam  gedung perpustakaan terlihat ramah, welcome, dan tampak melayani dengan tulus. Mereka tak pernah absen memberikan senyum kepada pengunjung.

Your smile will give you a positive countenance that will make people feel comfortable around you. Les Brown. Foto: dokumen pribadi

Sekarang, beliau dan tim UPT. Perpustakaan Unsyiah meluncurkan program yang disebut ‘Unsyiah Library Fiesta’ agar perpustakaan milik universitas tertua di Aceh ini menjadi perpustakaan yang ‘More than Just A Library’

Menurut Pak Topgan, ‘More than Just a Library’ adalah sebuah konsep yang berusaha memberikan ruang yang menumbuhkan kreativitas dan inovasi dalam mendukung tujuan dan misi pendidikan.  Seiring perubahan zaman yang semakin ‘Go Digital’, maka konsep perpustakaan juga harus berubah. Ketika teknologi digital semakin menyatu dalam kehidupan, maka perpustakaan harus beradaptasi. Literasi informasi tidak hanya berasal dari buku dan perpustakaan harus menjadi ‘second home’ bagi pengunjung. 



Nah, hal apa sajakah yang membuat Pustaka Unsyiah menjadi layak disebut more than just a library?

👌 Jumlah kunjungan yang terus meningkat
Pada 2010, DETAK-UNSYIAH menulis bahwa perpustakaan Unsyiah saat itu sedang dalam keadaan hidup segan mati tak mau. Kondisi tersebut membuat mahasiswa malas berkunjung ke perpustakaan sehingga perpustakaan menjadi sepi seperti di kuburan. Apa yang ramai? Pasar! Yang lebih ramai? Pasar malam! Yang lebih ramai lagi? Demo Ahok!
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan demo—demo apapun itu—karena demo adalah salah satu bentuk penyaluran aspirasi rakyat. Di sisi lain kita tidak bisa menampik kenyataan bahwa minat baca orang Indonesia masih rendah. Itulah mengapa mengajak orang untuk berdemo lebih mudah daripada mengajak orang ke perpustakaan, kata Ketua Umum Pimpinan Pusat  Muhammadiyah, Haedar Nashir.
Alhamdulillah di tempat kita masih lebih mudah mengajak orang ke perpustakaan. Sehari-hari, perpustakaan Unsyiah semakin ramai oleh pengunjung. 
Foto: dokumen pribadi

👌 Terdapat puluhan ribu jumlah buku
Jiwa dari sebuah perpustakaan adalah buku dan tersedianya buku-buku yang lengkap adalah kesenangan bagi jiwa. Terdapat lebih dari 70 ribu judul buku dengan total eksemplar sebanyak ± 110.00 eksemplar. Buku-buku tersebut terdiri dalam berbagai jenis ilmu dan tersebar dari lantai 1 hingga lantai 3. Komplit plit plit! Termasuk buku-buku latar belakang keilmuwan saya. Favorit saya ada di lantai 3. Apalagi kalau bukan di pojok fiksi. 
Pojok fiksi favorit saya, si fiction writer wannabe, doakan saya jadi penulis novel di masa depan ya, hihi. Foto: dokumen pribadi
Dulu, empat belas tahun lalu, jangan harap bisa menemukan buku-buku fiksi di perpustakaan Unsyiah. Nihil! Sekarang, ada banyak sekali buku fiksi, bagus-bagus pula. Saya menemukan beberapa di antaranya adalah karya sastra klasik.  
Saya menemukan salah satu karya Jane Austen
Jumlah buku yang lengkap didukung dengan fasilitas yang ciamik adalah magnet yang akan selalu menarik orang-orang untuk kembali lagi dan lagi. Ya, seperti kembali ke rumah.
Foto: dokumen pribadi
👌 Self service
Pinjam buku mandiri dan kembalikan buku mandiri.

👌 Literature Search Service
Adanya UILIS (Unsyiah Integrated Library Information System) yang menyediakan ribuan e-jurnal dan e-book, UILIS juga bisa menjadi media tempat pemesanan buku-buku oleh dosen atau mahasiswa, dan segala hal terkait informasi literasi di Unsyiah bisa dilakukan di UILIS; adanya OPAC  (Online Public Access catalog), saya tidak asing dengan OPAC karena perpustakaan kampus saya di negara tetangga sudah lama menggunakan OPAC, dan adanya OPAC semakin mempermudah pengunjung dalam mengakses sejumlah buku, katalog, dan dokumen yang tersedia di perpustakaan Unsyiah;  ETD (Electronic Theses and Dissertation) yang bisa diakses dari luar Unsyiah; E-Journal, yaitu sebuah aplikasi untuk pencarian jurnal ilmiah hasil terbitan dari sejumlah kampus di Unsyiah; Google UPT Unsyiah; UUC (Unsyiah Union Catalog) yang terintegrasi langsung dengan sejumlah katalog yang ada di Perpustakaan Unsyiah; dan yang paling baru adalah Unsyiana, yaitu sebuah fitur berita yang memuat berita-berita tentang Unsyiah atau hasil penelitian dosen. 
Foto: dokumen pribadi
👌 More cozy reading corner
Posisi menentukan nilai! Salah satu kenyamanan membaca, menurut saya, adalah posisi. Membaca dengan duduk di kursi dengan menggantung dan kepala tegak dalam waktu lama akan membuat lelah. Kalau sudah merasa lelah, sudah pasti tidak ada lagi kenyamanan dalam menikmati bacaan. Berganti posisi menjadi lesehan atau bersandar di sofa adalah pilihan yang lebih baik, setidaknya begitu menurut saya, lol. Untuk mengakomodir kenyamanan pengunjung, perpustakaan Unsyiah menyediakan lebih luas ruang baca dengan tempat duduk berbentuk lesehan dengan meja-meja rendah serta sofa. Pengunjung bebas membaca dengan berbagai posisi, mau santai seperti di pantai atau enjoy seperti di rumah sendiri, tinggal pilih. Asal bukan bebas yang bablas. 
Foto: dokumen pribadi
👌 Tersedianya ruang ekspresi dan kreativitas
Di sebelah kanan dari gerbang utama pintu masuk perpustakaan, terdapat satu sudut yang disulap menjadi kafe, stationery, dan sebuah panggung mini. Sebenarnya, ini sesuatu yang sama seperti jadul. Dulu juga ada kok satu atau dua pedagang makanan kecil-kecilan yang duduk di luar pintu masuk. Iya, mereka tetap berada di dalam gedung perpustakaan kok, yang penting tidak di dalam perpustakaannya. Sekarang pun begitu, hanya saja, yang sekarang konsepnya lebih kekinian. Café dan stationery-nya terlihat lebih modern. 

Yang unik, persis di sebelah kafe tersebut, terdapat sebuah panggung mini yang terlihat tak kalah kekinian. Di panggung itulah berlangsung kegiatan yang disebut Relax and Easy, antara lain berisi penampilan seni, band, diskusi. Kegiatan tersebut berlangsung pada hari Rabu setiap minggunya. Saya datang pada hari Sabtu, jadi panggung terlihat kosong pada hari itu.
Foto: koleksi pribadi
👌 Relawan Perpustakaan
Nah, kedatangan saya di hari Sabtu tersebut disambut oleh muda-mudi berompi orange. Mereka adalah para relawan perpustakaan, umumnya adalah mahasiswa. Kehadiran mereka terasa sangat membantu, terutama saat weekend begini di mana para pekerja tidak masuk kantor. Pelayanan mereka juga bagus karena mereka adalah relawan yang sudah terlatih. 
Foto: dokumen pribadi
👌 Desain interior yang kece abis
Barang lama casing baru, begitulah kira-kira sebutan untuk perpustakaan Unsyiah saat ini. Unsyiah tidak perlu merobohkan bangunan lama untuk kemudian membangun bangunan baru. Cukup dengan hanya menggganti casing saja bisa membuat barang lama terlihat seperti baru. Permainan pada kreativitas desain interior secara ajaib menyulap gedung tua yang dulu terlihat kusam menjadi ruang-ruang yang terlihat modern dan berkelas.  Inilah perpustakaan yang memanjakan pengunjungnya.
Foto: koleksi pribadi
👌 Library Award
Library award diberikan kepada dosen Unsyiah yang rajin mendorong mahasiswa untuk rajin ke perpustakaan Unsyiah. Febuari lalu, teman sekantor mendapat award dari perpustakaan Unsyiah. Bagaimana kok bisa dapat award, tanya saya. Teman saya mengaku kaget dengan pemberitahuan tersebut, tetapi tentu saja kaget yang bikin senang karena mendapat hadiah, haha. Award ini didapatkan karena ternyata teman saya ini rajin mengajak mahasiswa-mahasiswanya ke perpustakaan, dalam rangka literature study. Tidak hanya untuk dosen, Library Award juga diberikan kepada mahasiswa.
Pemberian award seperti ini ibarat disuguhi kopi plus krimer dengan takaran yang pas. Terlihat biasa saja tapi istimewa. Setelah itu selalu ingin lagi. Sesungguhnya, sebuah apresiasi, meskipun bentuknya kecil dan sederhana, tetap terasa manis dan menyenangkan.

👌 Overseas corner
Bagi yang ingin ke Korea atau ke India tetapi tidak punya modal untuk jalan ke sana ya sudah nonton drama Korea atau drama India di TV saja, boleh main-main ke lantai 3 perpustakaan Unsyiah. Di pojok Korea dan India, tersedia banyak ‘jendela’ menuju ke kedua negara tersebut. Tinggal dibuka satu per satu, halaman per halaman. Ruangannya pun didesain sedemikian rupa sehingga sedikit bernuansa Korea atau India.  
Foto: dokumen pribadi
👌 Duta Baca Unsyiah
Pemilihan Duta Baca Unsyiah adalah terobosan lainnya dari Perpustakaan Unsyiah dalam dua tahun terakhir.

Itulah beberapa hal yang membuat perpustakan Unsyiah menjadi lebih dari sekadar perpustakaan. Ragam kreatitivas dan inovasi yang dikembangkan oleh perpustakaan Unsyiah membuat perpustakaan ini mendapat akreditasi sejak 2008. Yang terbaru adalah ini:
Foto: dokumen pribadi
Meski demikian, tak ada gading yang tak retak. Sebagai tanda kecintaan saya kepada perpustakaan almamater saya tercinta, izinkan saya memberi sedikit masukan demi perbaikan yang lebih baik ke depan, sekiranya memang dianggap bisa memberi masukan yang lebih baik.

Pertama, perpustakaan seharusnya menjadi tempat belajar gratis bagi siapa saja yang tidak hanya mahasiswa atau dosen Unsyiah.  D sini, jika yang berkunjung adalah kalangan umum, maka dikenakan biaya sebesar Rp 5000 per orang. Apakah tagline  'knowledge is free at our library, so just bring your own container' yang tercetak besar-besar di halaman depan Perpustakaan Unsyiah hanya berlaku untuk orang-orang terntu? Saya tidak tahu apa tujuan membayar lima ribu rupiah untuk non-Unsyiah, tetapi saya rasa ini akan memberatkan pengunjung non-Unsyiah. Dengan adanya aturan membayar ini, pengunjung non-Unsyiah akan berpikir ulang untuk kembali ke perpustakaan jika tidak karena terpaksa mencari sesuatu.

Kedua, saya melihat banyak rak yang kosong di pojok fiksi (mudah-mudahan ini karena banyak yang pinjam atau buku-buku belum sampai :D). Kekosongan yang terlalu besar akan terlihat tidak elok. 
 Buku-buku sastranya juga masih kurang. Saya tidak menemukan buku-buku Pramoedya Ananta Toer di rak fiksi. Padahal di luar negeri, buku-buku Pram menjadi bacaan serius dan diperbincangkan. Jangan sampai anak-anak muda Indonesia tidak membaca karya-karya maestro sastra Indonesia sementara orang luar sudah baca sejak kapan-kapan. Ingat ingat selalu bahwa apapun latar belakang pendidikan seseorang, penting untuk membaca buku sastra. 

Ketiga,  saya mengusulkan pengadaan troli pengangkut buku. Minggu lalu saat saya ke perpustakaan, terlihat oleh saya sebuah rak kayu yang di dalamnya terdapat beberapa buku. Kepada petugas saya bertanya tentang rak tersebut. Petugas dengan sopan menjelaskan bahwa itu adalah rak tempat meletakkan buku yang baru dikembalikan. Lalu buku-buku tersebut  akan didistribusikan ke tempatnya masing-masing. Bagaimana jika bukunya adalah buku-buku dari lantai 2atau lantai 3? Apakah mereka akan mengangkutnya secara manual? Ternyata jawabannya iya. Waduh, kasihan sekali. Kalau ada troli, ini akan mempermudah pekerjaan yang nampaknya enteng ini tapi cukup bikin ngos-ngosan.


Ketiga, maksimalkan kerja-kerja literasi dan tanggung jawab yang dipikul oleh Duta Baca. Duta Baca bukan sekadar ajang pamer kecantikan ketampanan kepintaran. Mereka yang nantinya terpilih sebagai Duta Baca 2017 harus bisa memberi pengaruh positif dalam dunia literasi, harus banyak membaca buku, dan terlibat aktif dalam dunia literasi. Kami menunggu kiprah Duta Baca Unsyiah 2017.

Demikianlah sedikit masukan dari saya. 

Sebelum mengakhiri, saya ingin membagi sebuah nasihat yang diberikan petinggi LPSDM kepada kami penerima beasiswa LPSDM, di malam perpisahan jelang keberangkatan kami. Saya lupa nama beliau (aduh, maafkan saya, Pak) tetapi saya ingat sekali pesan beliau yang ini:
 
“Dari berbagai kecakapan yang dimiliki manusia, hanya membacalah yang tidak bisa kita mintai tolong orang lain. Ketika ingin memahami sesuatu, maka kita yang harus membacanya, tidak bisa orang yang membacakannya  untuk kita. Yang bisa kita lakukan hanyalah mendiskusikan hasil pembacaan masing-masing terhadap sesuatu.” 

So, because knowledge is free at our library, just come and bring your own container. 




Tulisan ini diikutsert dalam lomba Blog Unsyiah Library Fiesta 2017 "More than Just a Library"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Previous
Next Post »

4 comments

Write comments
Bai Ruindra
AUTHOR
11 April 2017 pukul 22.26 delete

Alasan yang lebih dari cukup untuk singgah di Pustaka Unsyiah Eki :)

Reply
avatar
12 April 2017 pukul 06.59 delete

Mantap banget udah foto2nya Buk Dosen, siapa ya, fotografernya?

Reply
avatar
3 Mei 2017 pukul 10.50 delete

Masyaallah, banyak banget buku bukunya...
Boleh di pinjam dibawa pulang gak ya?
hehe

Reply
avatar

Instagram @fardelynhacky