Suatu Hari di Kelas Menulis Yarmen Dinamika


Saya menulis karena saya punya hasrat bawaan untuk menulis. Saya menulis karena saya tidak bisa bekerja normal seperti orang lain. Saya menulis karena saya ingin membaca buku seperti yang saya tuliskan. Saya menulis karena saya marah pada Anda semua. Saya menulis karena saya menikmati duduk di sebuah ruangan untuk menulis seharian. Saya menulis karena saya suka aroma kertas, pulpen, dan tinta. Saya menulis karena menulis bagi saya adalah kebiasaan sekaligus sebentuk renjana. Saya menulis karena saya takut orang-orang akan melupakan saya. Saya menulis karena saya ingin sendirian. Mungkin juga saya menulis untuk memahami kenapa saya begitu marah, sangat, sangat, sangat marah, pada semua orang. Saya menulis karena saya senang jika orang membaca karya saya. Saya menulis karena orang berharap saya menulis. Saya menulis karena saya percaya pada keabadian perpustakaan. Saya menulis karena saya senang menggubah hal-hal yang indah dari kehidupan ke dalam kata-kata. Saya menulis bukan untuk menceritakan sebuah kisah, tetapi untuk menciptakan sebuah kisah. Saya menulis karena saya sulit untuk bahagia. Saya menulis karena saya ingin merasa bahagia.

(Other Colors, Orhan Pamuk [dikutip oleh Bernard Batubara])
***
Seperti Orhan Pamuk, novelis dan esais dari Turki, ada banyak alasan kenapa orang menulis. Mungkin karena renjana (passion), mungkin karena ikut-ikutan. Baik yang diawali dari renjana maupun yang sekadar ikut-ikutan, semua sah-sah saja untuk sebuah titik awal. Yang menentukan adalah proses, bukan?

Begitu juga dengan mengikuti sebuah kelas menulis. Apa motivasi kalian mengikuti  sebuah kelas menulis? Sebut saja misalnya kelas menulis yang digagas oleh Forum Barsela Menulis, sebuah forum menulis yang dibentuk oleh kumpulan mahasiswa dari pantai Barat Selatan Aceh. 

Ada sebuah kisah tentang ini. Kisah ini saya baca di sebuah majalah edisi khusus. Diceritakan ketika majalah tersebut membuat kelas menulis untuk peserta terpilih. Ada seorang peserta yang, sepanjang kelas berlangsung, hanya diam dan menatap ke arah pemateri saja, tanpa pernah mengeluarkan idenya atau berinteraksi dengan peserta lain. Panitia berpikir, tampaknya satu peserta tersebut tidak berminat dengan dunia menulis. Ternyata panitia salah. Kemudian diketahui bahwa dia datang ke kelas tersebut bukan untuk belajar ilmu kepenulisan—karena dia sudah menguasai banyak hal; dia datang hanya ingin tahu bagaimana sang pemateri, yang seorang penulis andal, berbicara di depan dengan kapasitas sebagai penulis yang didapuk sebagai pembicara. Intinya, dia ingin belajar berbicara di depan dalam kapasitas sebagai penulis, bukan belajar menulis.  

Jika menunjuk diri saya sendiri, maka motivasi saya datang ke forum menulis Barsela adalah karena pematerinya, Bapak Yarmen Dinamika, Pemimpin Redaksi Harian Serambi Indonesia. Lebih spesifik lagi, karena saya ingin belajar menjadi penulis yang lebih baik dari beliau. Saya pernah bertemu dengan beberapa—hanya sedikit—orang-orang “di balik layar” media terkemuka di Aceh tersebut; Ampuh Devayan, Helmi Hass, Nani Hs, tetapi  saya belum pernah bertemu dengan Yarmen Dinamika—meskipun namanya sudah sering saya lihat di Koran Serambi Indonesia.  
   
Kiranya saya tidak salah. Dari hasil pertemuan pertama saya dengan Pak Yarmen, saya bisa menyimpulkan bahwa beliau adalah seseorang yang sangat menyenangkan, rendah hati, dan tidak pelit ilmu. Beliau seorang penulis senior—baik dari segi usia maupun pengalaman—yang, saya yakin, memiliki jam terbang yang tinggi, namun beliau masih mau mengisi kelas-kelas menulis tak berbayar seperti yang dibuat oleh forum menulis Barsela. Mungkin Pak Yarmen tahu bahwa mahasiswa itu identik dengan dua hal: memiliki semangat yang tinggi di satu sisi, kere di sisi lainnya.

Diskusi hari itu tampak hidup karena ada sesi bedah karya tulisan peserta. Sependek pengalaman saya mengikuti atau mengisi kelas menulis, sesi bedah karya peserta merupakan salah satu sesi yang akan membuat kelas menjadi hidup karena adanya interaksi antar peserta, terlebih jika karya tersebut sudah dibaca bersama-sama—mungkin sehari atau beberapa menit sebelum sesi bedah karya dimulai. Tetapi jika yang membacanya hanya pematerinya saja, bisa saja kelasnya menjadi tidak menarik atau tetap menarik, tergantung bagaimana sang pemateri atau moderator (kalau ada) membawa kelasnya. Menurut saya, Pak Yarmen memenuhi dua kualifikasi tersebut sekaligus. Pertama, beliau bisa membuat diskusi menjadi menarik dengan gaya dan tuturnya yang santai khas anak muda, tidak menggurui, tidak merasa dirinya hebat sementara yang lain adalah remah-remah rempeyek, dan tidak mencela dan menjatuhkan ketika mengkritik. Kedua, seperti yang sudah saya tulis di atas, beliau mau membaca salah satu karya peserta dan membedahnya. Ketika membedah tulisan, beliau melibatkan peserta lain dengan menanyakan terlebih dahulu pendapat atau kritikan mereka, barulah kemudian beliau memberikan pendapatnya, jika dirasa ada bagian-bagian tertentu yang luput dari pembacaan peserta. Menariknya, beliau memiliki toleransi yang tinggi terhadap tulisan yang, katakanlah, agak-agak—meminjam istilah bahasa gaul—acakadut. 


Hari itu saya belajar dari seorang Yarmen Dinamika tentang menjadi seseorang yang tidak bersikap semacam aduh-ini-apa-sih-kok-tulisannya-jelek-banget. Alih-alih, beliau akan bilang “oke, nggak apa-apa, kalimat ini biasa dalam percakapan sehari-hari”, atau “kalimatnya, hmm … bolehlah”. Intinya, sesuatu yang seperti itu.  

Seorang novelis Indonesia pernah menulis di status facebooknya begini:
Mereka yang baru belajar menulis ibarat tunas tomat. Kalau baru mulai mengembangkan daun saja mereka sudah diinjak dan diperlakukan kasar, kira-kira mungkin nggak mereka tumbuh maksimal? Boleh jadi tumbuh juga, tapi nggak semaksimal yang seharusnya. Mereka bisa putus semangat. Lalu, karena melihat begitu beratnya tekanan yang diterima, mereka mundur dan memilih jalan lain. Apa salahnya mereka mulai menulis dengan ejaan berantakan? Itu bisa diperbaiki sambil jalan. Apa salahnya mereka menulis kisah-kisah cemen (naksir cowok sekelas dan jadian) dengan cara yang sangat mainstream? Itu bagian dari proses mereka menulis kisah-kisah lain dengan cara yang berbeda. Setiap penulis hebat di dunia ini, pada awalnya adalah penulis amatiran. Tidak ada kejeniusan di dunia ini yang didapat dengan cara instan. Apakah salah mengkritik? Tidak. Kritik keras, mestinya ditujukan kepada mereka yang sudah mahir menulis, sementara mereka yang baru belajar, kritikannya lebih berupa saran perbaikan.
Pada akhirnya, saya ingin bilang bahwa kelas menulis bukanlah segalanya. Tak peduli seberapa banyak kelas menulis atau kursus menulis yang kau ikuti, yang membuktikan keberadaanmu sebagai penulis hanyalah tulisan-tulisanmu. Ibarat orang yang lagi kasmaran, tak peduli seberapa banyak kau mengoleksi foto-fotonya atau seberapa sering kau memantau akun facebooknya, selama kau belum diterima sebagai pacarnya, kau tetap saja disebut jomblo. #eh

Ohya, satu lagi, menulis selalu satu paket dengan membaca. Membaca buku-buku bagus, membaca website-website dengan tulisan bagus, terbukti bisa memperkaya kosakata, memperkaya cara pandang, mendapatkan ide-ide. Setidaknya, ini sudah terbukti pada saya. Terbukti bahwa saya bisa membuat tulisan ini setelah berhari-hari mencari referensi hanya untuk menemukan kalimat pembuka yang cocok.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Previous
Next Post »

10 comments

Write comments
Ihan Sunrise
AUTHOR
1 Agustus 2017 pukul 20.17 delete

ini kapan kita bedah? wkwkwkkw

Reply
avatar
1 Agustus 2017 pukul 22.00 delete

Hahahaaaaa... kalian =D
Bedahlah terus kutunggu yaa :)

Reply
avatar
1 Agustus 2017 pukul 22.21 delete

Remah-remah rempeyek itu apa maknanya kak?

Besok kita bedah tulisan kak Hacky bersama Pak Yarmen, datang ya kak Ihan dan bg Ferhat.

Reply
avatar
sri wahyuni
AUTHOR
2 Agustus 2017 pukul 16.33 delete

Paragraf kedua dari akhir tulisannya mantap kak. Uda bs membayangkan gimana belajar sama Pak Yarmen. Orangnya betul-betul rendah hati soal membagi ilmu. Mdh2 an kelas berikutnya bisa ikutan. :)

Reply
avatar
Ainj
AUTHOR
3 Agustus 2017 pukul 09.33 delete

Ooh itu udah pasti ditulis Kak Eqi tentang Pak Yarmen yang baik hati dan rajin memuji. Wakakakka.. Kak Eqi terus dipujinya kemareen.

Keren Kak aliran rasa dari kelas menulis kemaren ya. ☺☺☺

Reply
avatar
arigetas.com
AUTHOR
12 Agustus 2017 pukul 13.29 delete

Foto2nya bu Eki "candid" semua :D

Reply
avatar
zakky
AUTHOR
16 Oktober 2017 pukul 02.51 delete

kegiatan yang menarik :)

Reply
avatar
Nchie Hanie
AUTHOR
17 Oktober 2017 pukul 17.28 delete

Senenngyaaa, aku belom pernah ikutan kelas menulis.
Mba Eqiii ajarin akuuu!

Reply
avatar
Sukma Hayati
AUTHOR
11 Oktober 2018 pukul 12.37 delete

Saya suka sekali dengan kalimat ini :

Apakah salah mengkritik? Tidak. Kritik keras, mestinya ditujukan kepada mereka yang sudah mahir menulis, sementara mereka yang baru belajar, kritikannya lebih berupa saran perbaikan.

Sangat membesarkan jiwa penulis pemula.

Terima Kasih, Ya..

Reply
avatar

Instagram @fardelynhacky