Menjadi alumni Universitas Syiah
Kuala (Unsyiah) adalah sebuah kebanggan buat saya. Bagaimana tidak? Selain
menjadi universitas tujuan nomor satu pemuda-pemudi kampung yang berasal dari
berbagai kota di luar kota Banda Aceh dan pelosok desa seperti saya, universitas
dengan jas almamater hijau ini sekaligus menjadi universitas tertua di Aceh.
Lima puluh enam tahun, Unsyiah bukanlah kampus yang belum lama berdiri, meskipun
dalam perjalanannya, Unsyiah telah mencetak puluhan ribu sarjana yang bekerja
di berbagai lintas sektoral. Unsyiah ibarat sebuah kapal yang mengarungi
samudera peradaban dengan para mahasiswa
sebagai penumpangnya. Dalam perjalanannya, kapal bernama Unsyiah ini tak jarang
berhadapan dengan riak-riak samudera (baca: tantangan), bahkan gelombang besar
sebagai ancamannya. Namun sebagaimana kita saksikan bersama setiap tahun, kapal
ini tetap bisa mengantarkan banyak sekali penumpang menuju ke dermaga impian;
garis finish sebuah perjalanan. Tetapi
sesungguhnya, garis finish tersebut bukanlah
akhir dari sebuah perjalanan, justru itulah awal dari perjalanan yang sebenarnya
sang intelektual-intelektual muda yang masih terpapar dengan idealisme kampus
dan kesegaran ilmu pengetahuan. Perjalanan kehidupan tersebut mungkin akan
lebih keras dibanding perjalanan mengarungi samudera peradaban di kampus. Sebut
saja salah satunya adalah persaingan di dunia kerja. Lulusan universitas sering
lebih banyak jumlahnya dibanding lapangan pekerjaan. Pada akhirnya, masalah
pengangguran menjadi tak terelakkan. Idealisme yang dulu dijunjung dengan
begitu adiluhung, mulai luruh satu persatu seiring kerasnya medan pertempuran
kehidupan.
Kenapa sarjana lulusan universitas
harus menganggur? Karena mereka mencari pekerjaan, alih-alih menciptakan
lapangan.
Ini menjadi tantangan bagi Unsyiah
untuk menyiapkan lulusan yang tidak hanya berorientasi mencari pekerjaan,
tetapi juga bisa menciptakan lapangan pekerjaan. Mata kuliah kewirausahaan
seharusnya menjadi bagian penting dari rancangan kurikulum perguruan tinggi,
untuk semua jurusan yang ada di Unsyiah.
Ya, semua jurusan bisa berwirausaha, tidak hanya untuk mereka sarjana lulusan
ekonomi saja. Fakultas Keperawatan Unsyiah misalnya. Tahun lalu, fakultas yang
menjadi almamater saya ini sudah memasukkan blok kewirausahaan sebagai salah
satu mata kuliahnya. Di masa yang akan datang, diharapkan sarjana-sarjana
keperawatan bisa menjadi penggerak dunia usaha di bidang keperawatan secara
khusus, dan bidang kesehatan secara umum.
Well,
sebenarnya ini agak kontradiksi dengan fakta kekinian ala era milenial yang
makin Go Digital. Tempo hari saya
membaca tulisan Prof. Rhenald Kasali yang menuliskan prediksinya
tentang beberapa pekerjaan yang akan hilang di masa depan. Yang mulai tampak
nyata adalah petugas di pintu tol yang mulai digantikan oleh mesin. Lalu mulai
terdengar berita di televisi bahwa beberapa gerai toko terkenal di pusat
perbelanjaan tutup. Pekerjaan Teller
bank juga akan menghilang karena saat ini bank sudah mulai menerapkan kebijakan
nontunai, selain kebijakan tentang aturan transfer manual. Beberapa bank mulai
mematok biaya jika kita mengirim uang dalam jumlah kecil. Bank menginginkan nasabah tidak perlu datang
ke bank dan antre. Bahkan menurut Rhenald, profesi dosen pun tak luput dari
ancaman kehilangan karena perubahan sistem. Pekerjaan saya dan Anda juga bisa menghilang
di masa depan. Siapa yang tahu?
Dunia saat ini begitu cepat bergerak.
Begitu cepat mengalami perubahan, bahkan saat kita belum menyadarinya.
Saya teringat dengan pidato Rektor
Unsyiah, Samsul Rizal, ketika membuka acara ‘Lokakarya Inovasi Kebangsaan’ yang
digagas oleh Planet Inovasi bekerjasama dengan Atsiri Research Center Unsyiah, 21 Oktober 2017 lalu. Dalam
pidatonya, Rektor Unsyiah menyebutkan bahwa kita tidak bisa melawan perubahan,
yang mesti kita lakukan adalah beradaptasi dengan perubahan. Pak Rektor tak
lupa menyebutkan demo ojek konvensioal (termasuk tukang becak di dalamnya) di
depan Kantor Gubernur Aceh sebagai salah satu contoh orang-orang yang mencoba
melawan perubahan. Pada kenyataannya, tidak peduli seberapa masifnya mereka
berdemo, toh perubahan tetap terus
berjalan. Mereka yang mencoba melawan perubahan akan ditinggal zaman.
Kenapa di masa depan sebagian
pekerjaan hilang dan sebagian pekerjan lainnya muncul? Jawabannya adalah karena
inovasi.
Inovasi atau Mati
Melihat kenyataan sekarang dan
kemugkinan-kemungkinan kenyataan di masa yang akan datang, maka menurut saya,
Unsyiah perlu menambah satu mata ajar lagi ke dalam kurikulumnya, yaitu inovasi
dan kreativitas. Tujuannya tak lain dan tak bukan adalah agar lulusan Unsyiah
di masa yang akan datang bukan saja cakap dalam menciptakan lapangan pekerjaan,
mereka juga memiliki kreatifitas dan inovasi yang tiada henti.
Creativity is thinking up new things. Innovation is doing new things.
Orang bijak berkata, inovasi atau
mati. Ini bukan sekadar kata-kata bijak bestari nan semanis madu tapi palsu ala Mario Teguh. Sudah banyak bukti nyata
dari orang-orang yang berhenti berinovasi sehingga berakibat mati alias
ditinggalkan. Awal tahun 2000-an telepon seluler merek Nokia menjadi produk
favorit banyak orang. Dulu mereka dengan sombong dan jemawa mengatakan bahwa
Nokia akan merajai dunia. Tetapi, mereka abai terhadap perubahan. Apa yang
terjadi? Mereka jatuh sejatuh-jatuhnya ke dasar bumi yang paling dalam. Tamat
sudah riwayat Nokia. Yang tersisa di benak kita hanyalah kenangan-kenangan manis
tentang betapa noraknya kita untuk pertama kalinya bisa menelepon pacar di
tempat yang tak terjangkau pendengaran orang lain yang mengantre di telepon
umum atau betapa merasa mampunya kita
karena untuk pertama kalinya bisa membeli kartu telepon perdana yang mahal.
Jadi, inovasi adalah sesuatu yang
wajib dimiliki oleh semua orang agar percik-percik gairah dalam menghadapi perubahan
senantiasa meletup. Dalam hal ini, menjadi tantangan bagi Unsyiah untuk
menyiapkan lulusannya agar siap
mengembangkan kreativitas, siap menjadi innovator
tangguh, siap membuka lapangan pekerjaan, dan siap menghadapi perubahan, untuk
apapun jurusan perkulihan yang mereka jalani. Di masa depan, masyarakat
menunggu sarjana-sarjana ekonomi atau sarjana-sarjana IT Unsyiah yang memiliki
jiwa kewirausahaan dan inovasi yang tinggi sebagaimana Nadiem Makarim sang
penemu GO-JEK atau William Tanuwijaya sang CEO Tokopedia. Masyarakat menunggu
sarjana-sarjana pertanian Unsyiah yang tidak hanya bekerja sebagai tukang ketik
di kantor melainkan menjadi petani-petani yang kreatif dan inovatif dan siap
menciptakan lapangan kerja.
Well,
berbicara tentang mata ajar kewirausahaan atau rencana mata ajar tentang inovasi
di Unsyiah, yang paling penting adalah bukan hanya belajar teori-teori di dalam
kelas lalu selesai. Sudah terlalu lama para intelektual muda dijejali teori
namun nihil praktik. Tak jarang banyak lulusan baru yang terkaget-kaget
dengan kenyataan di lapangan yang tak sesuai dengan teori yang mereka dapatkan
selama di kampus.
Bagaimana membangun semangat sarjana-sarjana
muda agar senantiasa bergairah dalam melakukan inovasi? Untuk menjawab pertanyaan
ini, saya ingin memberi contoh ketika saya mengikuti Lokakarya
Inovasi Kebangsaan tempo hari, dengan salah satu pematerinya adalah Avanti
Fontana: Ketua Planet Inovasi, peneliti, dan dosen di UI. Kegiatan tersebut diadakan oleh Unsyiah dan
untuk mahasiswa Unsyiah. (Pesertanya memang para mahasiswa Unsyiah, kecuali
satu orang peserta kesasar karena sudah berstatus mamak-mamak :D)
Rektor Unsyiah dan Bu Avanti Fontana. Foto: dokumen pribadi |
Usai mendengarkan materi tentang Inovasi Kebangsaan yang dipaparkan
secara menarik oleh Ibu Avanti, kami, para peserta diminta duduk berkelompok
dan membuat rancangan produk kebutuhan masyarakat dengan dasar bahan baku dari
nilam. Ada yang ingin membuat deodorant, koyok, minyak wangi. Karena semua
kelompok sudah fokus ke nilam, kelompok saya mempresentasikan rencana mendaur
ulang limbah pelepah sawit menjadi pakan
ternak. Sudah cukup sampai pada tahap mempresentasikan? Tidak. Dua minggu
kemudian, ketika Ibu Avanti Fontana kembali datang ke Aceh, beliau meminta bertemu kembali dengan peserta
lokakarya dalam sebuah pertemuan kecil (bukan lokakarya) dan meminta kami
membuat Model Business atas rancangan
produk yang telah kami presentasikan sebelumnya. Bu Avanti berharap,
setelah model business tersebut selesai
kami buat, kami bisa langsung mengaplikasikannya di lapangan, yaitu memulai
berbisnis.
Saya sangat tertarik dengan proses
belajar mengajar menjadi wirausahawan/pebisnis yang diterapkan oleh Avanti
Fontana. Saya yang sudah bukan mahasiswa lagi saja tertarik, apalagi peserta
lainnya yang masih muda-muda, kinyis-kinyis,
dan memiliki semangat dan idealisme yang tinggi. Ibu Avanti tidak hanya datang memberi materi
di lokakarya besar, selesai, lalu pulang. Sebaliknya, selalu ada umpan balik
dari beliau atas sejauh mana perkembangan kami. Bu Avanti menginginkan
mahasiswa Unsyiah kelak menjadi enterpreuner-enterpreuner
muda yang kreatif dan inovatif.
Kalau dipikir-pikir, kenapa orang seperti Bu Avanti, yang notabene bukan orang yang tinggal di Aceh, harus
peduli? Inilah yang disebut integritas.
Jadi, siapkah Unsyiah menghadapi
tantangan ini? Menyiapkan sarjana-sarjana yang isi kepalanya dipenuhi dengan
ide-ide dan rencana-rencana brillian tentang lapangan pekerjaan dan
pemberdayaan masyarakat, bukan sarjana yang begitu lulus langsung disibukkan
dengan menyiapkan berkas untuk melamar CPNS. Lupakan menjadi PNS. Biarlah itu
menjadi pekerjaan generasi tua.
Runtuhkan Menara Gadingnya, Bangun Sinergi antara Akademisi dan Praktisi
Foto: dokumen pribadi |
Tidak usah jauh-jauh, contohnya cukup
yang dekat dengan dunia saya saja, yaitu pendidikan keperawatan di Unsyiah. Empat
atau lima tahun lamanya mahasiswa keperawatan
kuliah dengan berbagai macam teori, namun saat praktik klinik atau bahkan
bekerja, banyak hal yang timpang dan tidak sesuai teori yang ditemukan di dunia
praktisi. Belum lagi berbagai hasil penelitian ilmiah yang sering hanya
berakhir di jurnal-jurnal, namun minim aplikasinya di rumah sakit. Bukan tidak
ada, tapi masih belum maksimal.
Dalam hal ini, tampaknya kita perlu
belajar dari negara tetangga kita, Thailand. Dalam beberapa tahun terakhir ini,
perguruan-perguruan tinggi di Thailand mengalami pertumbuhan yang sangat pesat.
Tampaknya mereka berambisi untuk menjadi nomor satu di Asia Tenggara (universitas
terbaik di Asia Tenggara saat ini masih dipegang oleh Singapura). Mereka berlomba-lomba
melakukan penelitian dan publikasi, berinovasi tiada henti, dan tak lupa bersinergi dengan dunia
praktisi.
Dalam bidang pertanian misalnya,
akademisi dan praktisi bidang pertanian di kampus-kampus di Thailand ibarat dua
sayap burung. Mereka tak bisa terbang melesat tanpa ada keduanya. Mereka saling
melengkapi. Akademisi bidang pertanian sibuk dengan proyek-proyek penelitian, dan
praktisinya siap mengaplikasinnya dalam bidang teknologi pertanian.
Petani-petani di Thailand adalah petani-petani berilmu dan kaya. Tak heran jika
dunia pertanian di Thailand begitu maju. Sekitar tahun 2013 atau 2014, dosen-dosen
pertanian Unsyiah pernah melakukan studi
banding ke salah satu universitas di Thailand, Prince of Songkla University,
untuk belajar bagaimana mengatasi hama pisang. Di waktu-waktu itu, pisang
memang sedang langka di seluruh Aceh Besar karena serangan hama sehingga petani
pisang mengalami gagal panen. Tampaknya saat itu para akademisi bidang
pertanian Unsyiah mendapat semacam ‘keluhan’ dari petani tentang masalah
mereka. Maka di Thailand lah mereka, para akademisi pertanian Unsyiah ini, belajar menanam
pisang, negeri yang tanahnya tidak lebih subur dari tanah di Aceh Besar yang
subur makmur gemah ripah loh jinawi. Sungguh ironis.
Contoh lainnya adalah dalam bidang
keperawatan dan kedokteran. Di Thailand, profesi dokter dan perawat adalah
setara. Bidan dan tenaga kesehatan masyarakat adalah sarjana lulusan keperawatan,
bukan lulusan kuliah kebidanan dan kesehatan masyarakat sebagaimana di
Indonesia. Yang paling terasa adalah kedekatan antara dunia akademisi
keperawatan dan dunia praktisi keperawatan. Di Thailand, teori dan praktik keperawatan
adalah dua sejoli yang selalu bergandeng tangan dengan mesra. Setiap melakukan
penelitian atau publikasi ilmiah, para akademisi keperawatan nyaris selalu
melibatkan para perawat di rumah sakit, demikian sebaliknya jika perawat di
rumah sakit membutuhkan teori pendukung, pasti mereka akan melibatkan akademisi
dari kampus. Didukung oleh fasilitas rumah sakit pendidikan yang berada di
dalam kawasan kampus (setara dengan rumah sakit umum di Banda Aceh) para
akademisi dan praktisi bidang keperawatan dan kedokteran siap bersinergi
meningkatkan peran aktif mereka dalam bidang kesehatan.
Kampus Unsyiah yang asri. Foto: dokumen pribadi |
Unsyiah Menyongsong PTNBH
Momentum
peringatan 56 tahun Unsyiah tahun ini dihadapkan pada tantangan lainnya, yakni
persiapan menuju Badan Layanan Umum (BLU) dan Perguruan Tinggi Negeri Badan
Hukum (PTNBH). Sebenarnya, wacana ini sudah digulirkan sejak awal 2016, dan
tanda-tanda akan mewujud nyata semakin kentara. Unsyiah saat ini sudah mengantongi
nilai akreditasi A sebagai salah satu modal utama. Perubahan status ini nantinya akan menyebabkan
Unsyiah memiliki otonomi yang lebih besar dalam mengelola organisasi, aset-aset
universitas, dan proses pengelolaan keuangan. Unsyiah akan semakin berkembang jika statusnya
berubah menjadi BLU atau PTNBH, serta mampu meningkatkan inovasi dari segala sektor.
Penutup
Melihat prestasi Unsyiah yang semakin baik, yaitu dengan diperolehnya akreditasi A dan meningkatnya peringkat kampus secara ukuran nasional yang berada di urutan ke-11, saya optimis Unsyiah mampu menghadapi berbagai tantangan. Zaman sudah berubah, maka Unsyiah harus berbenah. Harapan saya, semoga Unsyiah tetap menjadi universtas terdepan kebanggaan rakyat Aceh.
Melihat prestasi Unsyiah yang semakin baik, yaitu dengan diperolehnya akreditasi A dan meningkatnya peringkat kampus secara ukuran nasional yang berada di urutan ke-11, saya optimis Unsyiah mampu menghadapi berbagai tantangan. Zaman sudah berubah, maka Unsyiah harus berbenah. Harapan saya, semoga Unsyiah tetap menjadi universtas terdepan kebanggaan rakyat Aceh.
4 comments
Write commentsPustaka Unsyiah sekarang sudah lumayan bagus ya. Apalah umum boleh main ke sana?
ReplyTernyata dulu waktu zaman kaka wisuda, make up nya nggak neko-neko ya seprti kids zaman now, hehehe
ReplyOia kak, di kampus kita siapa yg mengajarkan mateeri tentang kewirausahaan? maunya blog tentang media sosial juga perlu tu kak.
selamat ya kak, dapat juara 1 lomba blog 56 tahun unsyiah ^_^
ReplySelamat ya atas raihan juara 1 di lomba blog 56 tahun unsyiah
ReplyConversionConversion EmoticonEmoticon