Sejak Juni, fakultas kami mendapat
imbauan agar semua pegawai baik dosen maupun tenaga administrasi agar segera
membuka rekening baru di salah satu bank syariah yang ditunjuk–jika belum
memiliki rekening di bank syariah tersebut–untuk pengiriman gaji pegawai.
Banyak yang menyambut baik imbauan ini, termasuk saya yang sebelumnya sama
sekali belum tersentuh dengan produk keuangan syariah. Sepertinya Tuhan sedang
ingin membukakan mata saya tentang bank syariah. Dalam dua bulan terakhir, saya
menjadi peserta undangan bincang-bincang tentang konsep bank syariah oleh dua
lembaga keuangan syariah di Aceh. Terakhir adalah saat mengikut Ngobrol Tempo
bareng Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Bank Indonesia Banda
Aceh, 23 September lalu. Sekaligus mau ngasih tahu kalau itu pertama kali saya
masuk ke gedung Bank Indonesia. Hahaha. Terima kasih Tempo.
Omong-omong, sebagai satu-satunya daerah
di Indonesia yang menerapkan syariat Islam, sedikit demi sedikit Aceh mulai
berbenah menuju Aceh yang benar-benar syariat, ya karena syariat bukan hanya
tentang cambuk atau razia jilbab saja, atau yang paling anyar adalah polemik
tentang poligami. Syariat Islam lebih luas dari itu. Islam mengatur semua lini
kehidupan, termasuk mengatur lembaga keuangan. Untuk semua hukum dan
aturan-aturan syariah di Aceh termaktub dalam qanun. Qanun Lembaga Keuangan
Syariah (LKS) salah satunya.
Walaupun saya sudah mendengar
penjelasan tentang qanun LKS tersebut di sebuah bincang-bincang dengan sebuah
bank syariah swasta, namun hari itu saya mendapat penjelasan yang lebih komplit
lagi langsung dari Pak Amrizal J Prang, Kepala Biro Hukum dan Pemerintah Aceh. Pak
Amrizal menjelaskan tujuan dari dibentuknya qanun ini adalah untuk mewujudkan
perekonomian islam dengan harapan perekonomian islam di Aceh bisa bergerak ke
atas, menjalankan fungsi sosial lainnya termasuk harta umat berdasarkan prinsip
syariah, meningkatkan akses pendanaan bagi masyarakat untuk membantu
peningkatan pemberdayaan ekonomi masyarakat, dan peningkatan pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat. Menurut Pak
Amrizal, ke depan semua elemen di Aceh harus berjalan sesuai konsep syariah.
Untuk dunia perbankan sendiri, itu tidak
bisa ujug-ujug. Walaupun Qanun LKS telah disahkan pada Desember 2018, tidak
berarti bahwa semua bank harus
melaksanakannya di awal tahun 2019 saat itu juga. Setidaknya, sampai saat saya
mengikuti kegiatan tersebut, sebagian besar bank konvensional di Aceh masih
berjalan dengan baik. Qanun itu lahirnya dengan proses, sehingga semua proses
yang terkait dengan lembaga ini diundang untuk membicarakan tujuan dari qanun
tersebut. Disebutkan oleh Pak Amrizal bahwa pada saat pembahasan tentang qanun
LKS, tentu saja ada yang pro dan ada yang kontra, ada yang menerima ada yang
tidak, maka diberikan kelonggaran waktu untuk mengenal qanun LKS terlebih
dahulu (paling lama 3 tahun sejak qanun LKS disahkan). Artinya dari Januari
2019 sampai Januari 2022, semua lembaga keuangan di Aceh harus berprinsip
syariah.
Bagaimana jika ada lembaga keuangan
yang tidak mau mengikuti isi qanun tersebut? Pak Amrizal mengatakan, jika ada lembaga
keuangan yang tidak melaksanakannya, maka diberikan sanksi. Sanksinya sendiri berupa
sanksi administratif, jadi bukan sanksi pidana, misalnya, denda uang, pembekuan
kegiatan usaha, pemberhentian direksi dan pengurus LKS, dan pencabutan izin
usaha.
Yang menarik adalah pemaparan dari Pak Zainal Arifin Lubis yang lebih menyoroti tentang perekonomian di Aceh. Belum lama viral berita yang menyebutkan bahwa Aceh menjadi provinsi termiskin kedua di Sumatra. Rasanya percaya tak percaya membaca berita tersebut, tetapi nyatanya, itu adalah hasil statistik dengan penilaian dari berbagai indikator perkembangan ekonomi. Benarkah Aceh adalah provinsi termiskin? Bisa benar bisa salah. Lha, gimana maksudnya? Mari kita lihat versi salahnya terlebih dahulu. Kalau dibilang Aceh sebagai provinsi termiskin, kenyataannya, APBA kita cukup tinggi, yaitu 17 triliun. Nilai tersebut lebih tinggi dibanding Provinsi Sumatra Utara. Berarti Aceh cukup kaya kan, ya? Namun, sumber daya yang ada di Aceh dominan statis dan laju perkembangan ekonominya cenderung rendah. Bayangkan saja, sampai saat ini, Aceh masih ‘mengeskpor’ telur dari Medan. Aceh tidak punya pengusaha telur. Belum lagi banyak produk lainnya yang harus ‘diimpor’ dari provinsi tetangga tersebut. Karena lebih banyak ‘mengimpor’ dibanding menghasilkan sendiri, pergerakan uang menjadi lebih banyak ke Sumatera Utara. Inilah yang membuat perekonomian di Aceh menjadi rendah.
Akhirnya apa yang disampaikan oleh
Pak Zainal Arifin Lubis jadi terkoneksi dengan apa yang disampaikan oleh Pak
Amrizal yang menyebutkan bahwa diharapkan dengan adanya Qanun LKS, perekonomian
di Aceh bisa bergerak ke atas.
Selain kedua pemateri tersebut,
terdapat dua pemateri lainnya yang berbicara tentang qanun LKS ini. Ada Pak
Aulia Fadly dari OJK, yang selalu hadir sedari awal qanun tersebut digodok.
Selain itu, hadir juga pemateri Pak Fahmi Subandy yang merupakan Direktur Operasional
BRI Syariah.
Saya beruntung bisa mendengarkan
langsung pemaparan tentang Qanun LKS langsung dari oang-orang yang terlibat di
dalamnya. Harapan saya, semoga perekonomian Aceh semakin membaik.
ConversionConversion EmoticonEmoticon