Tahun 2013, saya pernah mengikuti
seminar parenting di Medan yang diadakan oleh sebuah produk susu formula
Indonesia, dengan menghadirkan seorang pakar parenting dari kota Medan sendiri.
Saat akan memulai materinya, terlebih dahulu sang pemateri bertanya;
“Bapak-bapak dan Ibu-ibu, apa yang
paling dibutuhkan oleh anak-anak kita?”
Ada yang menjawab kasih sayang,
cinta, perhatian, dan jawaban-jawaban sejenis itu.
Ragam jawaban terlontar, tetapi
pemateri terlihat masih kurang puas. Saya pikir, apa lagi yang dibutuhkan oleh
seorang selain kasih sayang, cinta, perhatian, dan sebagainya? Adakah yang
lebih besar dari cinta dan kasih sayang? Sampai kemudian pakar parenting ini
berkata;
“Semua jawaban bapak-bapak dan
ibu-ibu benar, tetapi yang paling dibutuhkan anak-anak kita adalah rasa aman,”
Ya, yang dibutuhkan anak adalah rasa aman
saat bersama orangtuanya. Anak-anak kita harus merasa bahwa rumah adalah tempat teraman untuk ketika
pulang. Jika sebaliknya, maka ke mana lagi seorang akan melabuhkan harapannya?
***
Apa persoalan dunia anak–khususnya di Indonesia–yang akhir-akhir
ini sangat memprihatinkan dan perlu mendapat perhatian besar dari semua pihak?
Tak lain dan tak bukan adalah child abuse atau kekerasan terhadap anak.
Sebenarnya,
agak kurang tepat kalau saya menyebut ‘akhir-akhir ini’, karena ini kesannya seolah-olah
bahwa kejadian-kejadian kekerasan terhadap anak baru kali ini terjadi. Padahal,
kasus-kasus kekerasan anak sudah lama sekali ada.
Mungkin ada yang
masih ingat dengan kasus ini?
è Tahun
1984, Ari Hanggara meninggal di tangan ayah kandungnya. Ari Hanggara dihukum
oleh ayahnya yang pengangguran. Kasus Ari Hanggara ini termasuk kasus yang
heboh banget. Mungkin karena Ari meninggal di tangan ayah kandungnya
sendiri sehingga menimbulkan reaksi publik yang keras. Bahkan sampai difilmkan,
lho. Judul filmnya Arie Hanggara. Diperankan oleh Deddy Mizwar, film ini
100 % terinspirasi dari kisah pilu bocah Ari Hanggara.
Kiranya
film tersebut dibuat agar menjadi pelajaran untuk para orangtua agar mereka
memberi rasa aman untuk anak-anak. Anak nakal atau tidak penurut harusnya tidak
dibalas dengan tindakan menghukun yang berlebihan. Lalu, apakah dengan adanya film ‘Arie Hanggara’
tersebut kemudian kasus kekerasan anak menjadi menurun?
Sama
sekali tidak!
Dari
tahun ke tahun, jumlah kasus pelanggaran hak anak kian meningkat.
Menurut data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak seperti
yang dilaporkan oleh nasional.news.viva.co.id, sepanjang tahun 2010 hingga 2014 ada 21.689.797 kasus kekerasan
terhadap terjadi di 34 provinsi se-Indonesia. Ini terdiri dari 58 % kejahatan
seksual dan sisanya 42 persen adalah kasus kekerasan fisik, penelantaran dan
perdagangan anak.
Angka-angka tersebut adalah angka-angka dengan kejadian yang
mendapat laporan, mungkin karena sudah heboh atau sudah masuk kategori kejahatan luar biasa yang
dilakukan terhadap anak sehingga dilaporkan oleh masyarakat setempat. Bagaimana dengan kasus-kasus silence event atau
sengaja didiamkan? Dan jangan mengira jumlahnya
sedikit. Kalau kasus silence event ini dilaporkan, mungkin angka akan
naik menjadi dua kali lipat. Jadinya ini seperti fenomena gunung es. Apa
yang terlihat di puncak gunung es, belum apa-apa jika kita melihat dasarnya.
Indonesia
benar-benar darurat kekerasan anak!
Yang mungkin tidak banyak disadari orang adalah, bahwa
sebenarnya pelaku kekerasan terhadap anak justru adalah orang-orang terdekat.
Orangtua, saudara, kerabat, pembantu, teman orangtua, babysitter,
tetangga, bahkan guru. Sebab mereka punya akses yang lebih mudah untuk
mendekati anak.
Child abused was reported done by family members. The experts said that child abuse was done by people who are closely with child, such as parents or teacher or others family (The Women’s Ministry & the Central Bureau of Statistic, 2007). The Chairman of the National Commission for Child Protection (NCCP), Setio Mulyadi stated that most child abuse committed by their own mother. The mother still has the old paradigm as if educating a child with violence is natural and legitimate, according to a statement released by website of the Women’s Ministry and Child Protection. According to the data from the National Commission for Child Protection (NCCP) (2008), physical abuse toward children that was done by mother about 9.27% or as many as 19 cases from 205 cases of existing. Whereas child abuse had been perpetrating by father about 5.85% or as many as 12 cases, by mother in law about 0.98% (2 cases), by father in law about 0.98% too (2 cases).
Mengapa jadi sulit untuk mencegah ini? Selain karena
perangkat perlindungan hukum tidak memadai, juga karena kekerasan terhadap anak
banyak tertutup dari pandangan orang luar. Di rumah, siapa yang bisa mencegah
jika orangtua menakut-nakuti, mengkasari, bahkan merendahkan anak? Siapa yang
bisa tahu jika anak sendirian di rumah, hanya dengan pembantu, lalu si pembantu
mencubit, menampar, dan mengancam akan menyakiti anak jika buka mulut? Siapa
yang akan cepat percaya jika ada kerabat lawan jenis datang, bersikap ramah dan
baik, tetapi di balik itu melakukan tindakan bejat pada anak?
Kita tentu masih ingat atas apa yang terjadi pada bocah Angeline
baru-baru ini. Angeline tewas di tangan ibu angkatnya karena permasalahan yang
saya tidak tahu pasti apakah itu. Saya memang sempat mengikuti kasus Angeline ini,
dari berita kehilangannya, sampai akhirnya mayatnya ditemukan di belakang
rumahnya sendiri, hingga akhirnya ibu angkat Angeline dinyatakan sebagai
terdakwa. Berbagai spekulasi yang melatarbelakangi kasus pembunuhan Angeline.
Seorang bocah yang tidak tahu apa-apa, akhirnya harus meregang nyawa atas
keegoisan orang-orang dewasa.
Ya, tak jarang anak-anak yang mendapat kekerasan harus
berakhir dengan kehilangan nyawa. Miris, ya.
Perlu Kesadaran Bersama
Di
Indonesia, kita punya punya Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Tetapi,
yang perlu kita ketahui bersama adalah sebuah hukum dan aturan mesti juga
mendapat dukungan yang penuh dari masyarakat. Nah, masyarakat, yang mana itu
termasuk kita semua, mungkin banyak yang belum sadar akan hal ini. Atau,
menyadari ada sesuatu yang salah, tetapi takut untuk melaporkanya.
Mari kita lihat kembali kasus Angeline sebagai salah satu contoh
kasus. Kita membaca berita bahwa semua aware terhadap kondisi Angeline yang
memprihatinkan ketika masih hidup. Mulai dari guru, teman-teman di sekolahnya, tetangga,
bahkan sampai anak kos yang ngekos di rumah ibu angkat Angeline. Mereka tahu
ada yang salah dengan Angeline, tetapi mereka bungkam. Atau, mungkin saja
mereka pernah melakukan sesuatu, tetapi akhirnya tak berdaya pada akhirnya.
Ke
depan seharusnya tidak boleh lagi ada kejadian begini. Normalnya, sehari-hari, anak-anak
akan terlihat ceria dan tanpa beban. Jika sebaliknya, mungkin bisa dikaji lebih jauh apa penyebabnya. Dan jika sudah
menunjukkan tanda-tanda kekerasan fisik seperi lebam atau luka, maka kita tidak boleh diam. Laporkan
segera!
Sumber foto: Bincang Edukasi |
Nah, upaya untuk mengurangi jumlah
kekerasan terhadap anak di Indonesia dapat dilakukan oleh orang-orang terdekat anak juga orangtua, guru sebagai
pendidik, masyarakat dan pemerintah.
Orangtua
Orang tua dituntut kecakapannya dalam mendidik
dan menyayangi anak-anaknya. Jangan membiarkan anak hidup dalam kekurangan,
mental maupun fisik. Sikap memarahi anak habis-habisan, apalagi tindakan
kekerasan (pemukulan dan penyiksaan fisik) tidaklah arif, karena hal itu hanya
akan menyebabkan anak merasa tidak diperhatikan, tidak disayangi. Akhirnya anak
merasa trauma, bahkan putus asa. Penting disadari oleh orangtua bahwa anak
dilahirkan ke dunia ini dilekati dengan berbagai hak yang layak didapatkannya.
Seorang anak memiliki hak untuk mendapatkan pengasuhan yang baik, kasih sayang,
perhatian, dan rasa aman. Anak pun
memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang baik di keluarga maupun di sekolah,
juga nafkah (berupa pangan, sandang dan papan). Dalam kasus child
abuse, siklus kekerasan dapat berkembang dalam keluarga. Individu yang mengalami
kekerasan dari orang tuanya dulu, memiliki kecenderungan signifikan untuk melakukan
hal yang sama pada anak mereka nanti. Tingkah laku agresi dipelajari melalui pengamatan
dan imitasi, yang secara perlahan terintegrasi dalam sistem kepribadian orangtua. Oleh karena itu penting bagi orang tua untuk
menyadari sepenuhnya bahwa perilaku mereka merupakan model rujukan bagi
anak-anaknya, sehingga mereka mampu menghindari
perilaku yang kurang baik.
Foto: FB SEMAI 2045 |
Guru
Peran seorang guru dituntut untuk menyadari
bahwa pendidikan di negara kita bukan saja untuk membuat anak pandai dan
pintar, tetapi harus juga dapat melatih mental anak didiknya. Peran guru dalam
memahami kondisi siswa sangat diperlukan. Sikap arif, bijaksana, dan toleransi
sangat diperlukan. Idealnya seorang guru mengenal betul pribadi peserta didik,
termasuk status sosial orang tua murid sehingga ia dapat bertindak dan bersikap
bijak.
Masyarakat
Anak-anak, selain bersentuhan dengan orang tua dan
guru, mereka pun tidak bisa lepas dari berbagai persinggungan dengan lingkungan
masyarakat di mana
dia berada. Untuk itu diperlukan kesadaran dan kerjasama dari berbagai elemen di
masyarakat untuk turut memberikan nuansa pendidikan positif bagi anak-anak kita
ini. Saya teringat pada kalimat ‘It
takes a village to raise a child’. Mendidik anak bukan sekadar tugas
orangtua, tapi juga setiap orang yang ada di sekelilingnya.
Pemerintah
Pemerintah adalah pihak yang bertanggung jawab penuh
terhadap kemaslahatan rakyatnya, termasuk dalam hal ini adalah menjamin masa
depan bagi anak-anak kita sebagai generasi penerus. Dengan adanya kasus Angeline baru-baru ini misalnya, pemerintah melalui dinas sosial harus memperketat aturan tentang proses pengadopsian anak. Di negara-negara maju, proses pengadopsian anak mendapat perhatian yang serius. Harus legal dan dengan dokumen-dokumen yang lengkap, termasuk di antaranya kemampuan menghidupi si anak dan tidak memiliki riwayat gangguan jiwa. Yang tak kalah penting adalah mereka memiliki proses pelaporan secara berkala, umumnya enam bulan sekali. Nah, di negara kita, mungkin ini yang masih kurang. Adopsi ya adopsi saja, bahkan tak jarang tanpa melalui proses hukum apapun. Ke depan, pemerintah harus memperketat semua proses hukum yang berhubungan dengan anak.
90 juta anak Indonesia, 30 tahun lagi akan menjadi pemimpin di semua sektor. Maka belum terlambat menyiapkan calon generasi terbaik di masa yang akan datang. Selamatkan anak-anak Indonesia menuju Indonesia emas. Merdeka!
Foto: FB SEMAI 2045 |
90 juta anak Indonesia, 30 tahun lagi akan menjadi pemimpin di semua sektor. Maka belum terlambat menyiapkan calon generasi terbaik di masa yang akan datang. Selamatkan anak-anak Indonesia menuju Indonesia emas. Merdeka!
11 comments
Write commentssebisa mungkin sebagai ummunya Noofa saya akan memberikan rasa nyaman untuk anak saya
Replysemoga anak-anak kita selalu aman dan tidak terjadi hal-hal macem2 ya...aamiin
ReplySemoga ke depannya anak-anak terlindungi ya :)
ReplySedih kalo inget KDRT yang terjadi pada anak-anak Indonesia. Apa yang kita lihat di tv cuma seujung kukunya. Di sekeliling kita justru jauh lebih banyak. Dan tanpa kita sadari, pendiaman kita pada hal-hal kecil, seperti membiarkan anak tetangga dimarahin atau dipukul orang tuanya, menjadi benih dari KDRT yang lebih besar. Dan bisa jadi anak-anak korban KDRT ini kelak saat menjadi orang tua, malah jadi pelaku KDRT-nya. Semoga KDRT terhadap anak bisa segera hilang dari kehidupan kita. :'(((
ReplyBetul sekali, semoga anak2 Indonesia mendapatkan perlindungan dari semua lapisan masyarakat.
ReplyKasus KDRT pada anak makin tahun makin meningkat ya mbak. Adanya lembaga KPAI cukup membantu saat masyarakat melihat ada oknum yang melakukan hal tersebut dilingkungannya.
Replysetuju. Rasa aman dan nyaman itu penting banget buat anak :)
Replymiris liat anak anak mengalami kekerasan wajahnya yang tak berdosa seakan meminta tolong, dilampu merah sering sekali ibu ibu yang minta2 dengan membawa balita dikala cuaca panas hmm :( semoga pemerintah cepat nemu solusi untuk masalah ini
ReplyAamiin.
ReplyTerima kasih ya semua atas doa-doanya.
*Satu komen balasan untuk semua :D
Semoga tak ada kekerasan terhadap anak, kok tega ya.. aku kalau habis marahin si kecil, rasanya aku merasa bersalah. Apalagi sampe nabok dan membunuh, Naudzhubillah :(
ReplyIya mbak. Aamiin
ReplyConversionConversion EmoticonEmoticon