Sensasi Sebagai Anak Pertama

Gambar dari SINI

Kemarin saat blogwalking, saya lihat ada event Giveaway bertema ‘Hajatan AnakPertama’ yang diadakan oleh Sulung Lahitani, langsung deh serasa ada lampu lampu pijar menyala di atas kepala saya. Ahaaa..pas sekali! Saya menyandang banyak deretan predikat pertama dalam hidup. Baiklah, saya urut satu persatu, ya.
Saya terlahir sebagai anak pertama dari Papa saya yang juga anak pertama di keluarganya. Dalam keluarga Papa, mereka ada sembilan orang beradik kakak. Kini tinggal delapan orang karena anak keenam sudah meninggal lebih kurang 15 tahun yang lalu karena kecelakaan sepeda motor. Papa adalah anak yang pertama menikah, disusul beberapa bulan kemudian menikah pula adik perempuan Papa.  Karena yang pertama menikah, otomatis Papa duluan punya anak dibandingkan adiknya. Akibatnya, saya menyandang predikat anak pertama dan juga cucu pertama.
Nah, itu baru dari silsilah keluarga Papa saya. Mari kita lihat pula dari silsilah keluarga Ibu saya. Ibu saya bukan anak pertama. Kebalikan dari keluarga Papa yang merupakan keluarga besar karena punya banyak anak, Ibu saya beradik kakak hanya tiga orang dan Ibu saya merupakan anak kedua. Abang Ibu saya malas menikah cepat, jadi dia mempersilakan adiknya yang perempuan nomor yaitu Ibu saya, menikah terlebih dahulu saat ada yang melamar. Yang melamar tentu saja Papa saya, hehe. Abang Ibu saya kan laki-laki. Sebagai laki-laki, beliau merasa tidak keberatan dilangkahi adiknya. Tidak ada istilan pantang atau bukanlah hal memalukan bagi laki-laki ketika dilangkahi oleh adiknya untuk menikah duluan. Laki-laki adalah pihak yang ‘mencari’, bukan pihak yang ‘menanti’, begitu kira-kira kesepakatan yang jamak berlaku di daerah saya sejak dulu, untuk kondisi laki-laki yang belum menikah, dilangkahi adiknya, atau apapun kondisi laki-laki.
Maka, menikahlah Ibu saya dengan Papa saya. Pernikahan pertama yang terjadi dalam keluarga besar ibu saya, sebagaimana juga dalam keluarga besar Papa saya. Tak sampai setahun kemudian, seorang bayi perempuan yang cantik terlahir ke dunia. Bayi perempuan berkulit putih, berbibir mungil, dan berambut kriwil-kriwil. Itu adalah bayi pertama yang hadir antara kedua belah pihak keluarga. Setelah menangis sejadi-jadinya di hari pertama kelahiran, hari-hari selanjutnya adalah hari-hari penuh tawa karena semua pihak menyanyanginya, pihak keluarga Ibu dan pihak keluarga Papa. Semua tak bosan-bosannya memberinya ciuman yang bertubi-tubi, berebutan ingin menggendongnya, berebutan memamerkan kemolekan si bayi kepada siapa saja. Ibarat permata, dia begitu berharga. Kau tahu siapa bayi itu? Bayi itu adalah saya, hehe.
Saya menikmati masa-masa bahagia itu; selalu dimanja, dipuja dan disayang-sayang, tak hanya oleh Papa dan Ibu, pakcik dan makcikku di kedua belah pihak, juga semua saudara dekat maupun saudara jauh.  Hal ini tetap berlaku demikian meskipun kemudian adik-adik sepupuku satu persatu lahir ke dunia. Kini, adik sepupuku sudah tak terhitung lagi berapa jumlahnya. Tiap dua atau tiga tahun sekali, ada saja adik Papa yang melahirkan. Begitu juga dengan abang dan adik Ibuku. Mereka termasuk orang yang memiliki anak banyak. Abang ibuku saja anaknya ada tujuh. Jadi, jika semua keluarga berkumpul di rumah nenek, baik nenek sebelah Papa maupun nenek sebelah Ibu, cuma namaku dan adik sepupuku yang nomor dua saja yang sering disebut-sebut karena umur kami tak beda jauh.  Untuk cucu yang lain, nenek pasti membutuhkan waktu lebih untuk mengingat-ngingat siapa nama mereka. Maklum, cucunya udah bejibun.
Walaupun punya kesenangan menjadi anak pertama dan cucu pertama, bukan berarti saya tak punya dari ‘penderitaan’. Dari dulu, saya ingiiiiin sekali merasakan bagaimana enak dan serunya punya abang atau kakak. Tak mesti abang atau kakak kandung, sepupu yang lebih tua juga boleh. Tapi sekali lagi, saya ini anak pertama dari Papa yang anak pertama dan cucu pertama. Jika saya menonton film atau drama di televisi, cerita tentang seorang remaja perempuan yang memiliki pacar dan memiliki seorang abang yang perhatian sekali terhadap adik perempuannya, timbul rasa cemburu di hati saya. Sang abang sangat heroik di mata saya. Dia sangat melindungi adiknya. Dalam kehidupan nyata, saya hanya bisa iri melihat teman-teman saya yang memiliki abang atau kakak yang lebih dari satu. Sampai-sampai saya bilang begini; kalian kasih dong ke saya satu abang kalian itu. Hahaa..ngaco, ya :D  
Akibatnya, saya tidak pernah merasakan bagaimana serunya punya keponakan karena abang atau kakak saya menikah, seandainya saya punya abang atau kakak, seperti halnya keseruan yang dimiliki oleh adik-adik Papa dan Ibu saya. Kenapa bisa begitu? Kasusnya kembali seperti kasus di atas sodara-sodara. Saya kembali menyandang predikat pertama yang sebelumnya hanya cucu pertama dari Papa yang anak pertama, yang akhirnya pertama menikah.  Selamaaaaat. Bertambah lagi predikat ‘pertama’ untuk saya.
Sebelum menikah, boro-boro mau merasakan serunya punya keponakan, yang terjadi saya malah ‘dirongrong’ dengan berbagai pertanyaan kapan saya bisa ngasih keponakan buat mereka –adik-adik saya dan sepupu-sepupu saya. Begini sodara-sodara, saya menikah di usia dua puluh delapan tahun, usia yang sudah sangat telat dan  rawan untuk seukuran kampung saya nun di pelosok Aceh Selatan sana. Makanya ‘rongrongan’ tadi tidak hanya berasal dari adik sepupu saya saja, tapi juga dari saudara-saudara saya yang sudah sepuh. Mereka takut bukan hanya karena tak bisa menghadirkan cucu baru sebagai generasi selanjutnya, tapi juga takut kalau-kalau tak ada pria yang mau menikah dengan saya. Usia jelang kepala tiga itu bahaya, begitulah kira-kira peringatan dari mereka. Tapi Tuhan Maha Penyayang, ya. Belum sampai usia saya tiga puluh seperti yang mereka takutkan,  Dia mengirim saya seorang pangeran bermotor bukan berkuda besi alias bermobil, hehe. Nah, setelah saya menikah, saya jadi terselamatkan dari ‘rongrongan’ di atas. Horeee...
Sekarang, bayi lucu itu sudah menjelma menjadi makhluk yang berbeda. Dari yang dulunya lucu dan imut-imut, sekarang menjadi emak yang amit-amit. Setiap hari kerjanya tak lepas dari sumur, dapur, dan kasur. Hari gini perempuan masing ngomongin sumur, dapur, dan kasur? Ke laut aja, lo! Eiit...jangan pada marah ya kalau saya bilang sumur, dapur, dan kasur. Bahwa sebenarnya dan sesungguhnya, kemerdekaan dan kesejahteraan seluruh anggota keluarga itu dimulai dari beresnya sumur, dapur, dan kasur. Bangun tidur; nyuci piring, nyuci baju,  mencuci segala  jenis yang bisa dicuci, dan memasak segala jenis yang bisa dimasak. Untungnya tidak memakan segalanya. See? Pekerjaan perempuan itu mulia, bukan? Kata orang perempuan itu tiang negara. Kalau kata saya, perempuan itu ibarat ibu negara. Waduh, saya makin ngelantur ke mana-mana nih, makin OOT alias Out Of Topic dari pembahasan anak pertama. Baiklah, ibu negara turun podium dulu dari ceramah tentang kemerdekaan dan kesejahteraan rakyat rumah tangga.
Kembali ke topik tentang anak pertama.
Setelah menikah dengan pangeran bermotor bukan berkuda besi, eng ing eng... tak sampai setahun kemudian, anak pertama kami lahir. Amboi...dia sungguh tampan! Kata orang sekompleks, dia mirip saya. Yuuk, ingat lagi di paragraf sebelumnya, waktu saya masih bayi, saya sangat imut-imut, kan? Mungkin dia mewarisi hal tersebut dari saya *pletaakk!*
Dia kami beri nama Abel. Di pihak keluarga suami saya, dia bukan cucu pertama tapi di pihak keluarga saya dia adalah cucu dan cicit pertama. Jika saya tarik garis, jadinya begini; Abel adalah anak pertama saya (dan sampai saya menyelesaikan tulisan ini, dia masih anak kami satu-satunya), cucu pertama Papa dan Ibu saya, cicit pertama dari keluarga pihak ayah saya maupun pihak ibu saya. Jadi, dia adalah generasi ketiga menyandang predikat ‘pertama’. Selamat ya, Nak! Kau mewarisi predikat ibumu, menjadi yang pertama.
***
Di atas adalah cerita saya tentang hubungan darah yang membuat saya menyandang predikat pertama. Dalam kehidupan sehari-hari, apakah saya selalu menjadi yang pertama? Oh, tentu saja tidak. Contohnya,  saya selalu juara kelas dari SD sampai SMU,  tapi tidak pernah mendapat juara 1. Paling maksimal juara 2. Itu juga setelah melalui usaha dan perjuangan yang berdarah-darah (hahaa..lebai). Dari dulu saya punya tekad yang bahkan sampai sekarang masih ada yaitu saya tidak mau menjadi orang yang biasa-biasa saja. Saya harus menjadi orang yang nomor satu dan pertama. Tapi nyatanya, seperti syair sebuah lagu jadul, saya sering kalah dalam kehidupan, meski sudah berusaha menonjolkan diri. Yang saya dapat, orang hanya tahu bahwa saya ada saja.
Ah, tapi ya sudahlah, yang terpenting adalah saya selalu mensyukuri apa yang sudah saya dapatkan saat ini. Suami yang menyayangi saya, seorang anak yang lucu dan kasih sayang dari orang-orang di sekitar saya.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Previous
Next Post »

6 comments

Write comments
Millati Indah
AUTHOR
19 Juli 2012 pukul 08.33 delete

Saya bukan anak pertama, bukan cucu pertama. Saya anak tengah. *siapa yang nanya?*

Biarpun punya kakak, saya tetep ngiri sama teman2 yang punya abang. Berasa punya bodyguard :D

Tapi, disyukuri saja. Punya kakak perempuan lebih aman. Ada yang diandalkan untuk masak dan beres2 di rumah :D

Reply
avatar
19 Juli 2012 pukul 09.58 delete

Wah, seide yak.
Mau anak pertama, anak kedua, dan seterusnya, yang penting gimana mensyukuri apa yang udah ada aja, ya :)

Reply
avatar
Leyla Hana
AUTHOR
19 Juli 2012 pukul 10.55 delete

Moga sukses, mba Ekyyy

Reply
avatar
Keke Naima
AUTHOR
22 Juli 2012 pukul 19.28 delete

anak yg pertama ya? sama dong sm sy :)

Reply
avatar
22 Juli 2012 pukul 19.44 delete

mau ngajak mbak Chi ikutan, tapi udah detlen, hehee

Reply
avatar

Instagram @fardelynhacky