ASEAN, Benarkah Kita Serumpun?




Sudah pernah berwisata ke candi Borobudur? 

Belum. Semoga suatu saat saya bisa ke sana. 
Borobudur termasuk salah satu destinasi impian saya sejak kecil. Dulu, jika ditanya apa yang membuat saya menyebut –salah satunya– Borobudur sebagai salah satu tempat di Indonesia yang ingin saya kunjungi? Jawaban pertama saya saat itu adalah karena saya belum pernah dan sangat ingin menginjak tanah Jawa. Seingat saya waktu kecil, ketika membuka-buku buku pelajaran IPS – yang di dalam buku tersebut salah satunya membahas sejarah dan tempat-tempat bersejarah serta indah di Indonesia, gambar candi Borobudur selaluuuu nongol. Terpampang dengan sangat indah dan elegan. Dalam pikiran masa kecil saya yang masih polos, alangkah tingginya peradaban tanah Jawa di masa lalu. Bangunan semegah itu bisa dibangun, meski memakan waktu yang lama.
Ya, candi yang dibangun pada tahun 800 sebelum Masehi ini adalah salah satu bukti betapa hebatnya para ‘arsitek’ tempo dulu. Bayangkan saja, hitung saja, sejak tahun 800 sebelum Masehi sampai sekarang kita berada di abad 21, kita masih bisa melihat megah dan angkuhnya Borobudur. Berdiri kokoh di alam terbuka, dengan mungkin telah ratusan ribu kali mengalami peristiwa-peristiwa alam yang dahsyat seperti terjangan badai dan hujan, bahkan gempa  bumi dan letusan gunung berapi. Memang sih, Borobudur sekarang adalah bangunan yang telah mengalami banyak pemugaran di sana-sini, tapi esensi bangunan itu sendiri tidak dihilangkan. Pemugaran bangunan-bangunan kuno biasanya menitikberatkan pada perbaikan fondasi bangunan atau penambahan sistem drainase, bukan mengubah bentuk asli.

Menurut penjelasan ahli sejarah, relief Borobudur ada kemiripan dengan Candi Angkor Wat, yang berada di Kamboja. Padahal, Borobudur dibangun 3 abad sebelum Angkor Wat ada. Apakah ini menandakan bahwa negara-negara di ASEAN itu serumpun? Apa pendapatmu mengenai hal itu?

Sebelumnya, kita mesti sepakat dulu apa makna kata ‘serumpun’. Menurut KBBI, serumpun berarti; (1) satu nenek moyang; satu keturunan, (2) sekumpulan (sekelompok) yang berasal dari satu induk (tt tumbuhan, bahasa).
Nah, sudah sepakat kan ya, untuk pengertian kata ‘serumpun’, sooo, here we gooo… let’s we analyze in depth. Berhubung fokus kajian saya (ceileee…gayanya ngomong kajian) adalah tentang ‘keserumpunan’ kita (Indonesia) dengan negara-negara ASEAN, maka saya nggak banyak-banyak amat ngomong soal candi. Candi cuma salah satu indikator saja atas kesamaan rumpun ini. Cakupan luasnya adalah ‘keserumpunan’ itu sendiri.
Well, menurut berita di Kompas [1], baru-baru ini sekelompok arkeolog dari Australia menemukan sebuah kota tua yang hilang di Kamboja yang bernama Mahendraparvata. Diperkirakan kota ini berumur lebih kurang sama dengan Borobudur. Memang belum ada publikasi lanjutan tentang penemuan kota tua yang seusia Borobudur ini, tapi disinyalir bahwa dari kota tua inilah cikal bakal peradaban Angkor dimulai. Tentang sejarah peradaban Angkor ini, yuk kita baca sama-sama apa kata Wikipedia dan lihat kalimat yang saya Bold dan saya kasih warna merah sebagai pembeda. 

Angkor adalah ibu kota Kerajaan Khmer dalam periode lama dari abad ke-9 sampai abad ke-15 Masehi. Istilah Angkor berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti "negara". Periode Angkor dimulai pada tahun 802 ketika raja Hindu Khmer Jayawarman II menobatkan dirinya sebagai "penguasa jagat" dan "dewaraja", dan periode ini berlangsung hingga 1431, ketika Ayutthaya menyerbu ibukota Khmer, dan mendesak rakyatnya mengungsi ke selatan ke kawasan Phnom Penh. Raja  Jayawarman II membangun ibukota baru di Hariharalaya (kini Roluos) pada ujung utara danau Tonle Sap.
Pada 889 M, Raja Yasowarman I naik takhta. Raja agung ini terkenal sebagai pembangun yang hebat. Dekat ibu kota lama Hariharalaya, Yasowarman membangun kota baru yang disebut Yasodharapura. 
Angkor Wat adalah salah satu candi utama di kawasan Angkor, dibangun antara tahun 1113 dan 1150 atas perintah raja Suryawarman II. Suryawarman II memulai pembangunan Angkor Wat sebagai candi pribadinya sekaligus kuil dan makam tempat ia dimuliakan. Ia memutus tradisi raja-raja Khmer sebelumnya yang lebih mengutamakan Shiwa dengan berpaling pada aliran Waisnawa seiring bangkitnya aliran yang lebih memuliakan Wishnu ini di India. Ia mempersembahkan candi ini untuk Wishnu dengan menyebutnya Vishnuloka, dan bukan kepada Shiwa. Dengan tembok hampir mencapai panjang 2,4 kilometer pada setiap sisinya, Angkor Wat dengan megahnya menggambarkan kosmologi Hindu, dengan menara utama melambangkan gunung Meru, tempat bersemayam para dewa; dinding luar melambangkan pegunungan yang melingkari dunia; parit besar melambangkan samudra luas. Tema tradisionalnya adalah mengidentifikasikan dewa-raja Kamboja dengan dewa Hindu, dan tempat tinggalnya adalah kerajaan langit (swargaloka) yang nampak dari segala perwujudan dan perlambang candi agung ini. [2]
            
Dari paragraf-paragraf di atas, yang saya ambil dari Wikipedia, marilah kita lihat dari sisi perabadan di Indonesia dan kesamaan rumpun dengan bangsa-bangsa lainnya di ASEAN.

Serumpun Bahasa; Sansekerta
Bahasa Sanskerta adalah salah satu bahasa Indo-Eropa paling tua yang masih dikenal dan sejarahnya termasuk yang terpanjang. Bahasa Sanskerta merupakan sebuah bahasa klasik India, sebuah bahasa liturgis dalam agama Hindu, Buddhisme, dan Jainisme dan salah satu dari 23 bahasa resmi India [3].  Bahasa ini kemudian menyebar sampai ke Asia Tenggara. Menurut catatan sejarah, bahasa Sansekerta sudah mulai dikenal di nusantara sejak ribuan tahun lalu. Mungkin selama kita cuma tahu bahwa bahasa ini digunakan oleh kerajaan-kerajaan di pulau Jawa. Ternyata kerajaan Kutai yang ada di Kalimantan Timu juga menggunakan bahasa Sansekerta lhoo… 


Bahasa Sansekerta, peninggalan kerajaan Kutai. Foto pinjam dari SINI
      
              Ya, bahasa Sansekerta menjadi bahasa paling tua, terutama untuk wilayah nusantara. Kenyataannya, bahkan sampai sekarang bahasa ini masih dipakai sebagai bahasa serapan dalam bahasa Indonesia yang kita gunakan sekarang. Kita aja yang nggak menyadarinya. Diperkirakan ada sekitar 800 kata-kata dari bahasa Sansekerta digunakan dalam bahasa Indonesia [4].   Hayooo….pasti pada nggak nyadar kan, ya, kalau ternyata dalam bahasa Indonesia yang kita gunakan selama ini masih ada kata-kata Sansekerta-nya. Dengan kata lain, bahasa jadul, heuheu. Contoh bebarapa kata nih; ‘dewi’, ‘mahaguru’, ‘nirmala’, dan lain-lain (silakan cari sendiri di Google, heuheu…).
              Lalu bagaimana dengan negara-negara ASEAN lainnya?
              Saat ini, jika dilihat secara bahasa, ada beberapa negara di ASEAN menggunakan bahasa yang mirip, misalnya melayu. Bahasa melayu digunakan oleh bangsa Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan sebagian Thailand Selatan. Sementara itu Thailand, Kamboja, Laos, Filipina, Myanmar dan Vietnam menggunakan bahasa tersendiri namun masih dalam satu rumpun yaitu rumpum bahasa Austro-Asia. Baik bahasa Melayu maupun bahasa-bahasa dalam rumpum Austro-Asia lainnya, sebagian masih dipengaruhi oleh bahasa Sansekerta. Bahkan bahasa Khmer yang merupakan bahasa resmi Kamboja sekarang, sebagian besar masih dipengarhui oleh bahasa Sansekerta ini.
              Nah, jika merujuk pada pengertian ‘serumpun’ yang telah kita sepakati di atas,  maka bahasa Sansekerta yang dipakai sebagai bahasa ‘nasional’nya mereka dulu sebagai penghubung kerajaan-kerajaan nusantara dengan kerajaan-kerajaan Asia Tenggara lainnya, dalam menjalin kerjasama bilateral maupun unilateral. Kerjasama bilateral dan unilateral ala jaman baheula tentunya. Bahkan bahasa Aceh, bahasa daerah saya, memiliki kemiripan dengan bahasa yang digunakan oleh kerajaan Champa, kerajaan tempo dulunya Vietnam. Pada tau kan dengan lagu ‘Bungong Jeumpa’? Begini isi syairnya:

Bungong Jeumpa…Bungong Jeumpa…meugah di Aceh
Bungong teuleubeh..teuleubeh…indah lagoina

              Konon, ‘Jeumpa’ berasal dari kata ‘Champa’. Menurut Teguh Susanto, salah seorang pemerhati bahasa Aceh sekaligus menjabat sebagai Kepala Balai Bahasa, Banda Aceh, bahasa Aceh terbukti secara ilmiah memiliki kesamaan dengan bahasa kerajaan Champa [5]. Silakan baca aja opini lengkap di link saya kasih, ya.  Soalnya nggak mungkin saya tulis di sini semuanya, nanti jadi melebar ke mana-mana, hehe…
              Jadi intinya, bahasa yang samalah yang awalnya menjadi pemersatu kerajaan-kerajaan ini, bahasanya yang samalah yang membuat kita ‘bersaudara’, dan dari bahasa yang sama pula tercipta berbagai kesamaan lainnya, termasuk dalam hal membangun kuil, candi, dan bangunan-bangunan sakral lainnya.

‘Serumpun’ Bentuk Candi
              Saya menduga, dulunya negara-negara di ASEAN  memiliki keterikatan yang sangat kuat, khususnya dalam bidang tata negara dan agama. Ribuan tahun lalu, belum ada negara bernama Indonesia, belum ada negara bernama Kamboja, dan seterusnya. Yang ada hanya kerajaan, bukan negara. Sebut saja kerajaan-kerajaan besar di Asia Tenggara seperti; Sriwijaya, Majapahit (dua contoh dari Indonesia), Ayutthaya (kerajaan yang pernah berjaya di Thailand), Kerajaan Khmer (kerajaan yang termahsyur di Kamboja), atau Kerajaan Champa (Vietnam). Sementara itu dalam bidang agama, sebelum Islam masuk ke Asia Tenggara pada abad ke-13, Hindu dan Buddha adalah kepercayaan utama di Asia Tenggara. Jadi tidak mengherankan jika peninggalan bangunan-bangunan masa lalu –candi misalnya–  memiliki kemiripan satu sama lain, baik secara arsitektur bangunan maupun relief-relief candi. Lihat saja nih:

Candi bekas kerajaan Ayutthaya, Thailand. Gambar dari SINI

 
Angkor Wat, Kamboja. Gambar dari SINI

 
Candi Prambanan. Gambar dari SINI

Candi Borobudur. Gambar dari SINI


Candi Kerajaan Champa, Vietnam. Gambar dari SINI

              Nah, pada mirip-mirip kan, ya?
              Sebenarnya, jika dilihat dari bentuk Angkor Wat dengan candi-candi di Indonesia, saya lebih setuju jika dikatakan Angkor Wat mirip dengan candi Prambanan daripada Borobudur. Apalagi jika membaca deskripsi detail bentuk Angkor wat dalam paragraf yang saya ambil dari Wikipedia tadi;  (1) “dengan menara utama melambangkan gunung Meru, tempat bersemayam para dewa”, (2) “Tema tradisionalnya adalah mengidentifikasikan dewa-raja Kamboja dengan dewa Hindu, dan tempat tinggalnya adalah kerajaan langit (swargaloka) yang nampak dari segala perwujudan dan perlambang candi agung ini.”
              Awalnya, Angkor Wat adalah candi Hindu, dibangun oleh umat Hindu Khmer di bawah pimpinan raja Suryawarman II, namun kemudian berubah menjadi candi Buddha. Candi Prambanan juga candi Hindu, sementara Borobudur adalah candi Buddha. Makanya kenapa –dilihat dari kacamata saya– Angkor Wat lebih mirip dengan Candi Prambanan ketimbang Borobudur. Lihat saja secara penglihatan awam, Angkor Wat dan Candi Prambanan sama-sama candi yang berdiri tegak menjulang. FYI, salah satu ciri arsitektur bangunan-bangunan candi umat Hindu adalah bangunan yang menjulang tinggi dan mengerucut ke atas, sementara Borobudur kan tidak. Ini karena filosofi utama umat Hindu dalam membangun candi adalah memberi persembahan untuk dewa-dewa mereka yang konon katanya bersemayam di sebuah gunung bernama gunung Meru. Meru ini bukan nama gunung di Indonesia (gunung Semeru) ya, tapi sebuah nama gunung dalam mitologi Hindu. Coba lihat nih salah satu candi Hindu yang ada India. 
Candi Hindu di India. Gambar dari SINI
  
Namapun Kita Sama  
              Jayawarman, Yasowarman, dan Suryawarman. Ini bukan nama paman-paman saya ya sodara-sodara, melainkan nama raja-raja Khmer. Apa yang terbayang di benak kalian ketika membaca nama-nama tersebut? Indonesia banget? Atau Melayu banget? Padahal itu nama-nama raja Kamboja, lho.
              Nah lho, bahkan dalam hal yang remeh temeh semisal nama ini saja kita sama. Pergerakan ke luar kerajaan misalnya melalui kerjasama perdagangan, adalah hal yang paling mungkin dilakukan saat itu. Nah, hal-hal semisal ‘imigrasi’ atau perpindahan penduduk adalah efek terkecil dari gerak ke luar tersebut. Efek terkecilnya lagi adalah pernikahan. Misalnya seorang raja/petinggi kerajaan/putra mahkota di salah satu kerajaan di nusantara menikah dengan salah seorang putri-putri atau perempuan dari kerajaan-kerajaan lainnya di Asia Tenggara, atau malah sebaliknya, raja-raja di luar nusantara yang menikah dengan putri-putri dari nusantara. Memang tidak ada catatan sejarah yang lengkap tentang ini, tapi hal-hal yang saya duga ini, sangat mungkin terjadi pada masa itu.
              Ketika saya masih SD, saya ingat satu cerita sejarah tentang Raja Majapahit yang menikah dengan Putri Champa. Hayooo…pada masih ingat nggak pelajaran sejarah waktu SD? Dulu, saya sempat menduga bahwa Champa adalah salah satu nama kerajaan di Malaysia, tapi rupanya saya salah. Di kemudian hari saya baru tahu kalau ternyata Champa itu adalah kerajaan di Vietnam.
              Disebut-sebut, Champa memiliki hubungan yang sangat erat dalam bidang perdagangan dengan beberapa kerajaan nusantara, seperti; Majapahit dan Sriwijaya. Menurut catatan sejarah, Champa mencapai puncak kejayaan pada saat munculnya kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Jadi wajarlah ya, jika tercipta hubungan dagang antara kerajaan Champa dengan Sriwijaya dan Majapahit. Sebuah kerajaan yang sedang berjaya dan dua kerajaan yang besar di nusantara.
              Nah, efek terkecilnya lagi dari hasil pernikahan beda kerajaan ini adalah percampuran nama. Saya kasih contoh, nih. Nggak usah jauh-jauh, contohnya saya aja. Jika saya yang Aceh tulen menikah dengan orang Sunda (ini misalnya lho ya, soalnya suami saya orang Aceh), tentu kemungkinan nama anak-anak saya bisa jadi seperti; Neneng Meutia, Banta Cecep, Putroe Euis, dan sebagainya lah, silakan padupadankan sendiri, hahaa… Intinya, sejak tempo dulu, sejak negara ini belum bernama Indonesia, negara-negara Asia Tenggara lainnya belum bernama Kamboja, Thailand, dan sebagainya, kita sudah satu rumpun, satu kelompok besar yang berasal dari nenek moyang yang sama.
              Coba bayangkan saja, nenek buyut saya yang entah berapa ratus generasi di atas saya, mungkin saja kan, dulunya adalah orang Vietnam, atau Kamboja, atau Filipina? Who knows? Mungkin mereka menikah campur, mungkin mereka pindah  ke daerah-daerah yang jauh akibat perang/bencana alam/hubungan dagang/menjadi tawanan perang dan kemungkinan-kemungkinan lainnya. Itulah sebabnya di beberapa aspek, kita sama dengan negara-negara ASEAN lainnya. Karena, misalnya, ketika saya pindah ke Malaysia, saya tetap membawa adat dan budaya Aceh, mengajarkan adat dan budaya tersebut kepada anak cucu saya, dan anak cucu saya mengajarkannya lagi ke generasi selanjutnya. Jadi begitulah, dengan apa yang kita lihat sekarang, orang Minang dengan budaya-budaya yang menyertainya juga ada di Negeri Sembilan, Malaysia, atau, orang Jawa dengan budaya-budaya yang menyertainya juga ada di salah satu sudut kota Bangkok. Itulah salah satu makna serumpun, kita satu nenek moyang.
              Begitu juga ketika saya melihat ada kemiripan antara baju tradisional penari Khmer (Kamboja) dengan baju tradisional penari Bali. Saya berpikir positif saja, bahwa orang Bali kan mayoritas Hindu, sementara di Kamboja, meski mayoritas Buddha tapi dulunya agama utama yang dianut bangsa Khmer adalah Hindu. Saya yakin, meski kemudian Buddha berkembang di Kamboja, namun beberapa tradisi Hindu tetap mereka gunakan. 
Pakaian penari Bali. gambar dari SINI
 
Pakaian penari Khmer, Kamboja. Gambar dari SINI
Dua gambar di atas, dilihat dari pakaiannya, mirip, kan? Penari Bali dan penari Khmer sama-sama suka memakai bunga kamboja sebagai asesoris tambahan di kepala.
Satu dalam Keberagaman
        Saya melihat ASEAN seperti melihat Indonesia. Agama, budaya, adat istiadat, bahasa; adalah elemen kecil yang memiliki tingkat keberagaman yang tinggi. Namun, kenapa sampai hari ini kita bersatu atas nama INDONESIA? Padahal kalau mau, Jawa bisa menjadi negara sendiri, Aceh meski daerahnya kecil namun dengan sumber daya alamnya yang melimpah bisa menjadi negara. Namun rasa senasib sebangsa sebangsa setanah airlah yang menjadi pemersatunya. Demikian juga ketika kita melihat ke negara-negara tetangga, dengan adanya latar belakang berasal dari rumpun yang sama, ini harusnya menjadi pondasi yang kuat untuk menyatukan wilayah ini satu wadah ASEAN satu. Mungkin, beberapa tahun atau belasan tahun kemudian, ketika kita sukses dengan program di tahun 2015, kita bisa menyamai Uni Eropa; yang mata uangnya sudah satu, yang batas-batas antar negara tak lagi menjadi persoalan; yang soal klain mengklaim budaya bukan lagi isu yang membelah konflik. Ketika berhadapan dengan kasus 'banyak kesamaan' sehingga terjadi klaim atas sebuah budaya, kita jangan sampai terprovokasi ikutan membenci. Itulah perlunya kita belajar sejarah, agar kita tahu bahwa kita berasal dari akar budaya yang sama. Dan sebagai blogger, hal kecil yang bisa kita lakukan adalah menuliskan hal-hal positif tentang negara kita, bukan menulis hal-hal yang berbau provokatif.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Previous
Next Post »

18 comments

Write comments
Shabrina ws
AUTHOR
28 Agustus 2013 pukul 09.34 delete

Tambah lagi pengetahuaan saya Mbaak. :)

Reply
avatar
28 Agustus 2013 pukul 09.47 delete

Kereeeen ulasannya, top markotop deh Eki! Tambah wawasan membaca ulasanmu, sukses yaaa. :)

Reply
avatar
28 Agustus 2013 pukul 09.53 delete

Maksih mbak Shab dan kak Alaika atas apresiasinya.
Semoga bermanfaat untuk kita semua ya, hehee

Reply
avatar
Binta Almamba
AUTHOR
28 Agustus 2013 pukul 10.33 delete

ulasan ajiiib.. baru nyadar jg kalo penari bali sm kamboja mirip :)

Reply
avatar
28 Agustus 2013 pukul 16.44 delete

Iya mbak binta, aku juga baru nyadar, hehee...

Reply
avatar
28 Agustus 2013 pukul 17.01 delete

Postingannya mencerahkan. Kumplit. Semoga menang yaa. Saya malah selalu membayangkan dahulu nenek moyang kita berhari-hari berminggu-minggu terombang-ambing di laut hanya demi berkunjung dari satu kerajaan ke kerajaan lainnya :D

Reply
avatar
28 Agustus 2013 pukul 17.44 delete

Hahaa....mungkin saja bisa begitu mbak Lina. Dulu kan trasportasi utama pergerakan mereka kan kapal laut. belum ada pesawat atau mobil kayak jaman sekarang, heuheu....

Reply
avatar
Ihan Sunrise
AUTHOR
28 Agustus 2013 pukul 18.16 delete

eky, panjang yaaaa tulisannya tapi keren, aku suka lihat foto2nya heheee

Reply
avatar
Mugniar
AUTHOR
28 Agustus 2013 pukul 20.09 delete

Huaaa panjang sekali bahasannya mbak. Jadi kalo dari segi bahasa, sama2 memakai Sanskerta itu berarti kita serumpun ya? Iya ya ...
Btw, ttg Champa. Sy dapati di beberapa Artikel katanya Champa itu di Kamboja, di daerah muslimnya. Hm ... tapi kata mbak Ecky di Vietnam?

Reply
avatar
28 Agustus 2013 pukul 20.49 delete

Mbak Niar: Kalo merujuk pada makna kata 'KBBI', berarti iya mbak, karna salah satu indikatornya ya bahasa.
Ohya, tentang Champa, dari semua literatur yang saya, menyebutkan bahwa Champa adalah bekas kerajaan Vietnam mbak ;)
Mungkin tidak identik dengan Vietnam karena kerajaan Champa itu masyarakatnya muslim mbak ;)

Ihan: mantaplah kalo suka :p

Reply
avatar
Hiraeth
AUTHOR
22 November 2013 pukul 10.41 delete

Baru baca, mantap Qie. Negara kita sebenarnya masih menyimpan banyak misteri seperti penemuan fosil di dataran gayo, yg ternyata usianya bahkan lebih tua dari dokumentasi suku disana.
Keberagaman budaya di Indonesia, juga sempat memicu ide, bahwa sebenarnya Indonesia memiliki peranan besar dalam penyebaran populasi di wilayah asia tenggara.
Beberapa penemuan arkeologis menguatkan bahwa sebelumnya ada peradaban yang sangat maju di Indonesia.

Reply
avatar
Unknown
AUTHOR
9 Juni 2014 pukul 17.18 delete

betul sekali, mbak saya sangat setuju, :) memang asia tenggara sebagai satu kawasan serumpun, lalu mengapa pada hari ini kita merasa seolah-olah jauh atau asing misalnya dengan Laos, Kamboja, Filipina yang pdahal bila ditelusuri seperti penelusuran mbak di atas memang benar serumpun adanya :) Kalau teori saya sih, kita hari ini merasa asing terhadap negara2 tetangga tsb. karena di sekitar abad 15-an mulailah kedatangan bangsa Barat yang mengobrak-abrik semua tatanan sosial bahkan budaya dan memecah-belah kita semua di Asia Tenggara ini secara umum ya : Belanda bercokol di Indonesia, Inggris di Malaysia,Brunei,Singapura,Myanmar. Spanyol di Filipina, Prancis di Laos,Kamboja, Vietnam. Sehingga kita pada hari ini mungkin ya sebagian besar lebih akrab dgn kebudayaan Barat, dibanding kebudayaan negara-2 ASEAN tetangga kita yang serumpun. Padahal jauh sebelum kedatangan orang2 Eropa tadi, nenekmoyang2 kita kerajaan2 dahulu sudah saling berhubungan secara perdagangan,sosial, budaya dst. yang terutama dihubungkan dengan adopsi kebudayaan India dan agama Hindu-Buddha---seperti mbak sampaikan di atas masa-2 kerajaan Majapahit,Sriwijaya,Champa, Ayutthaya, Khmer, dst. di seluruh Asia Tenggara---dan masa2 ini jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa, Islam dan juga Kristen, Katholik. Saya kira wawasan ini patut kita sampaikan kepada generasi2 sekarang, supaya tidak asing dengan saudara2 serumpunnya di Laos, Kamboja, Vietnam, Filipina dst :) bukti paling tak terbantahkan, coba tengok wajah2 orang Kamboja, Laos, dst. tersebut bukankan amat sangat mirip dengan paras2 wajah orang Indonesia? heehee ini saya kira supaya balance aja sih, karena dapat kita amati generasi sekarang taunya budaya Barat saja :s atau saudara2nya yang agak jauh misalnya(sesama Asia) ,budaya Korea dst. dan sebaliknya merasa asing dengan negara2 tetangga kita serumpun. Oke, selamat berbagi wawasan :)

Reply
avatar
9 Juni 2014 pukul 23.50 delete

Wah, iyakah Sayid? saya baru baca komen sayed sekarang dan juga baru tau soal penemuan fosil di dataran Gayo tersebut. Hmm..menarik.

Reply
avatar
9 Juni 2014 pukul 23.56 delete

Wah, mas Reza Lutfiterima kasih kasih sekali sudah membaca ulasan saya. terima kasih juga atas apresiasinya.
Soal kemiripan wajah, saya membenarkan. Sudah lebih dr dua tahun saya tinggal di Thailand, saat berinteraksi dengan mereka, sy berasa sedang berinteraksi dengan orang Indonesia. Nggak ada bedanya soalnya, kecuali yang ras Indo-Cina.
Dan, setelah saya perhatikan baik-baik abjad bahasa Thai, miriiiip sekali dengan abjad bahasa Sansekerta. Saya lupa menuliskan tentang ini.

Ohya, memang kewajiban kita semua menganlkan sejarah untuk anak cucu. Senoga apa yang saya tulis ini, walau sedikit, bisa menjadi pengingat untuk generasi mendatang. Buat saya juga. Setelah menulis ini, saya ingin punya buku2 dan berbagai sumber literasi tentang keserumpunan ini :)

Reply
avatar
Unknown
AUTHOR
10 Juni 2014 pukul 12.31 delete

iya kak Fardelyn hehee, saya udh lama berminat ttg asia tenggara, sering baca2 artikel di internet. kmrin pas googling ttg Aceh dan Champa ketemu blog-nya kak Fardelyn nih,kebetulan tertarik juga ttg Aceh ,karena saya pernah tinggal di Banda Aceh 2 thn..bbrp wktu lalu prnh nemu artikel ttg hubungan sosial,genetika,maupun bahasa antara Aceh dengan Champa.dan kemungkinan ada dugaan kata Bungong Jeumpa pun merujuk kepada 'bunga Champa' ;dalam pengkategorian bahasa di dunia pun, bahasa Aceh masuk ke subrumpun Malayo-Polynesian yang serumpun dgn bhs.Champa (sumber wiki).Kak Fardelyn skrg stay di Hatyai ya?wah Subhanallah bisa sharing tentang kebudayaan disana dong untuk wawasan kita semua nih,menambah wawasan saya juga yang lagi tertarik dgn studi Asia Tenggara, kalau ke Hatyai kebetulan blm pernah, baru Bangkok. Minggu depan saya lnsya Allah ke Laos, transit di Bangkok. 2 tahun belakangan ini lagi keliling asia tenggara + didukung banyaknya promo murah airlines ni :p semakin saya berkunjung ke tiap2 negara asia tenggara, makin nyata memang bahwa sejak dulu hubungan negara2 ASEAN ini memang dekat dan seharusnya kita sekarang bisa memperatnya lagi ya, supaya asia tenggara bisa jadi kawasan yang disegani di dunia..hehee, itu sih impian saya, jadi tidak kalah dengan Uni Eropa misalnya. Oke kak trims nih, saya tunggu lagi sharingnya melalui blog-blog seru dari blog ini

Reply
avatar
11 Juni 2014 pukul 04.01 delete

Wah, iyakah, pernah tinggal di banda Aceh? 2 tahun menetap di suatu tempat bukanlah waktu yang singkat. tentu sudah banyak yang dirasa, dlihat, dan didengar selama dua tahun tinggal di Aceh.
Btw, iya nih, saya sedang kuliah di Thailand, lebih tepatnya di Hatyai. Mudah-mudahan bisa selesai tahun ini. Aamiin. Kapan ke hatyai lagi? bleh ketemu saya di sini :D
Ohya, saya mau main ke blognya mas Reza Lutfi tapi pas saya klik yang nongol malah ID Google+, gak ada link blognya.

Reply
avatar
Unknown
AUTHOR
11 Juni 2014 pukul 17.56 delete

iya kak, kebetulan 2010-2012 ada tugas penempatan kerja di Banda Aceh. kalau blog memang saya belum punya sih

Reply
avatar
Unknown
AUTHOR
2 April 2017 pukul 12.00 delete

Yahhh salah satu kesamaan juga di bahasa tagalog dan bahasa di kalimantan serta sulawesi utara ( bahasa mongondow ) ada kesamaan beberapa kata ��

Reply
avatar

Instagram @fardelynhacky