Mimpi Kami, Rencana Masa Depan Kami

Sejak menikah di tahun 2008, saya dan suami tidak tinggal serumah dengan orang tua sebagaimana lazimnya pasangan baru menikah di Aceh.  Begitu selesai prosesi nikahan di kampung kami di Aceh Selatan, kami kembali ke kota Banda Aceh. Ya, Tuhan menjodohkan saya dengan lelaki yang berasal dari daerah yang sama di Aceh.

Kembali ke Banda Aceh, kembali ke aktifitas kami masing-masing. Saya saat itu sedang mengambil kepaniteraan klinik keperawatan di rumah sakit umum Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh, jadi dengan tergesa-gesa selepas semua acara, kami langsung kembali ke Banda Aceh. Kami memulai hidup baru sebagai sepasang suami istri benar-benar dari nol. Sehabis lamaran sampai nikahan, lalu mengontrak sebuah mungil, membeli peralatan rumah dan peralatan memasak seadanya, suami hanya menyisakan sedikit uang. Sementara saya sama sekali tidak punya tabungan.

Suami saya bukan seorang PNS, juga bukan pegawai  atau karyawan tetap sebuah kantor manapun. Suami akan memiliki pekerjaan jika ada order. Jadi, suami saya bekerja hanya berdasarkan ada atau tidaknya orderan. Jika tidak ada, maka pusinglah kami. Apalagi saat itu, boleh dibilang saya sedang dalam proses pendidikan meskipun sudah sarjana. Seperti halnya sarjana kedokteran yang belum diakui menjadi dokter jika belum mengikuti kepanitaraan klinik, begitu juga dengan sarjana keperawatan. Mengikuti kepaniteraan butuh biaya yang tidak sedikit. Jika sebelumnya saya dibiayai oleh orangtua, maka setelah saya berstatus sebagai istri, otomatis hidup dan mati saya menjadi tanggung jawab suami, termasuk soal pendidikan yang sedang saya jalani. Suami saya juga ingin menunjukkan kalau dia adalah suami yang bertanggung jawab, meski kadang tak jarang kami mengalami masa-masa sulit dalam hal keuangan. Tapi semua kami lalui dengan sabar dan ikhlas. Saya belajar dari suami saya. Meski kami sedang tak punya uang, di luar orang-orang tiada akan menduga jika kami sedang tidak punya. Suami saya selalu menyikapi persoalan hidup dengan santai dan tawakal

“Untuk apa dipikir, capek pun kita pikir, sampai stress, uang gak akan datang dengan sendirinya,” begitu selalu kata suami saya.

Saat itu kami memang masih mengontrak rumah. Meski demikian, sejak hari pertama saya dan dia hidup serumah, kami sudah bermimpi bisa memiliki rumah sendiri. Ketika putra pertama kami lahir, keinginan untuk memiliki rumah semakin kuat, apalagi ketika kami mendengar bahwa tak lama lagi anak si pemilik rumah akan menempati rumah yang kami kontrak. Untungnya tak jadi, sehingga kami sedikit lega. Tapi terpikir oleh kami, sampai kapan kami akan terus seperti itu? Dihantui kecemasan setiap kali menjelang akhir masa kontrak rumah yang kami tempati. Hingga anak kami berumur lebih setahun dan saya sudah mendapatkan pekerjaan di sebuah universitas, kami masih mengontrak rumah yang sama. Kesulitan keuangan belum lepas dari kehidupan kami. Berbagai daftar  rencana mimpi-mimpi kami, belum bisa kami wujudkan.

Memiliki rumah sendiri merupakan daftar pertama dari semua daftar impian kami. Kami belajar dari pengalaman, terutama dari orangtua saya yang hingga saat ini belum bisa menempati rumah sendiri karena rumah tersebut belum selesai dibangun. Kenapa hal ini bisa terjadi? Papa saya seorang polisi. Sepanjang berdinas, Papa sering berpindah-pindah tempat tugas dan tinggal di asrama polisi. Karena keseringan berpindah tugas dan keenakan tinggal gratis di asrama, orangtua saya tidak memikirkan untuk menyisihkan dana atau berpikir mengambil pinjaman di bank untuk membangun rumah. Dulu, pernah saya tanyakan pada Papa, kenapa Papa tidak melakukan hal itu? Kata Papa, jangankan untuk berpikir mengambil pinjaman di Bank, lha untuk makan sehari-hari saja susah. Mungkin Papa ada benarnya. Papa adalah tulang punggung keluarganya juga pencari nafkah utama keluarga kami karena Ibu tidak bekerja. Papa beradik kakak ada sembilan orang dan Papa anak pertama. Anak pertama, juga anak satu-satunya yang berhasil menjadi ‘orang’. Maksud saya, di antara sembilan beradik kakak, hanya Papa yang berhasil menamatkan SMA, tamat dari pesantren, plus akhirnya menjadi seorang polisi. Sementara adik Papa yang lain, bahkan ada yang SMP pun tidak tamat. Saat itu, hidup sangat susah karena kakek saya sudah almarhum. Adik Papa, terutama yang perempuan, jadi bergantung banyak sama Papa. Sementara Papa sendiri punya empat anak. Ya, begitulah yang terjadi hingga bertahun-tahun. Uang tidak pernah dirasa cukup. Hingga akhirnya, Papa pindah ke daerah yang sangat jauh dari Aceh, yaitu Lombok, Nusa Tenggara Barat. Sejak pindah ke sini, ekonomi keluarga kami sudah sedikit membaik. Tapi, saya dan dua adik saya sudah mulai kuliah di Banda Aceh. Jadi, otomatis perhatian Papa beralih untuk membiayai kuliah kami bertiga. Setelah selesai konflik di Aceh, Papa kembali pindah ke Aceh. Papa mulai merancang impian ingin membangun rumah sebagai tempat bernaung di hari tua. Tapi impian beliau harus terbentur dengan semakin membengkaknya kebutuhan hidup dan kebutuhan biaya kuliah kami. Lalu satu persatu kami selesai kuliah hingga saya menikah. Dua tahun lalu, Papa mulai membangun rumah dengan mengambil kredit pegawai. Meski sampai sekarang rumah tersebut belum selesai sepenuhnya, tapi saya selalu berdoa supaya rumah tersebut bisa segera dinikmati oleh Papa sebelum beliau pensiun tiga tahun lagi.

Tidak bermaksud mengungkit kelemahan orangtua, tapi kami semua belajar dari pengalaman yang saya rasakan bersama oragtua hingga saya menikah. Terkait masalah rumah, orangtua saya sempat berpesan pada kami bahwa jika kami memiliki rejeki lebih, sesegera mungkin memiliki rumah sendiri, jangan sampai menunggu anak-anak masuk sekolah apalagi sampai mereka besar.

“Kalau anak-anak sudah besar, sudah masuk sekolah, pasti sebagian besar kebutuhan adalah untuk sekolah. Apalagi sekolah di jaman sekarang mahalnya minta ampun. Jadi, pesan Papa, sesegera mungkinlah kalian memiliki rumah. Selagi masih cuma ada Abel (nama putra saya) dan dia belum bersekolah.”

Ya, anak kami memang  masih satu dan umurnya masih tiga tahun.

 Setelah kami cermati, pesan orangtua saya ada benarnya. Mungkin orangtua saya tidak ingin anaknya seperti mereka, di mana di hari-hari menjelang pensiun, mereka belum memiliki rumah yang benar-benar layak untuk ditempati. Orang tua saya berniat membangun rumah saat saya sedang kuliah. Tapi niat tersebut harus diurungkan karena harus membiayai kuliah saya. Tahun-tahun berikutnya, niat tersebut belum juga terealisasi karena satu persatu adik saya menyusul saya ke ibukota propinsi, juga untuk melanjutkan kuliah. Maka, lengkaplah sudah rencana penundaan orangtua saya untuk membuat rumah. 

Maka dari itu, menjadi kuatlah alasan kami untuk segera mewujudkan mimpi memiliki rumah sendiri, bahkan kalau bisa sebelum anak kami bersekolah TK. Jika dilihat biaya pendidikan saat ini yang bahkan untuk masuk TK saja sudah begitu mahalnya, usaha menabung dengan gigih kami lakukan sejak dini. Tapi ternyata, ada saja kebutuhan yang mendesak. Uang kami simpan, kemudian kami ambil lagi. Simpan lagi, ambil lagi. Begitu seterusnya. Tabungan tidak pernah mencapai jumlah yang maksimal. Lalu kami  berpikir, kami tidak mungkin bisa membeli rumah hanya dengan mengandalkan tabungan yang tidak tetap begitu. Terbersit niat untuk mengambil pinjaman di bank dengan menggunakan layanan perbankan berupa KPR. Saya dan suami sepakat mengurus KPR setelah dua tahun kemudian, yaitu setelah saya menyelesaikan pendidikan S2 saya. Bukan apa-apa, kami hanya ingin menyelesaikan tugas satu persatu. Tekad kami saat itu, setelah saya selesai S2 nantinya, kami berencana membeli rumah dan menyekolahkan anak.

Tahun 2011 lalu, seorang pemilik rumah di kompleks perumahan kami, tempat di mana  kami mengontrak rumah, berniat menjual rumahnya dengan harga murah. Memang, rumah di tempat kami tinggal masih sangat murah harganya jika dibandingkan dengan harga rumah di kota Banda Aceh karena tempatnya yang agak jauh di pelosok kampung. Meski agak kampung dan jauh di pelosok, saya menyukai lingkungan yang seperti ini. Selama hampir empat tahun saya tinggal di sini, boleh dibilang daerah tersebut termasuk daerah yang aman dibandingkan daerah lain. Sumber airnya bersih dan jernih, tidak berbau, asin, atau kekuningan seperti banyak tempat di kota Banda Aceh. Daerah ini juga bukan daerah bekas tsnunami. Daerah bekas tsunami merupakan salah satu pertimbangan penting orang-orang Aceh ketika akan membeli rumah atau tanah. Semakin jauh daerah tersebut dari daerah bekas tsunami, maka semakin mahal harga rumah atau lahan kosongnya.

Mendengar bahwa salah satu rumah di kompleks kami akan dijual dengan harga yang sangat murah, tentu saja membuat kami ‘terpesona’. Rumah tersebut kosong tanpa ditempati karena pemiliknya tinggal di rumahnya di kota lain. Kami ingin membelinya. Sempat kami utarakan pula niat kami tersebut pada sang pemilik rumah. Sayang sekali, meski harganya sangat murah, namun tabungan kami belum mencukupi sejumlah harga rumah tersebut sementara saya sedang dalam masa pendidikan S2 yang notabene akan menghabiskan banyak dana. Jadinya, saat itu kami hanya sempat mengutarakan niat tanpa mampu untuk membelinya. Kami kembali ke niat semual, biarlah saya menyelesaikan S2 saya dulu.

Namun, beberapa hari kemudian kami mendapat telepon dari pemilik rumah. Beliau mengatakan bahwa jika kami memang menginginkan rumah tersebut, kami boleh membayar setengahnya saja dulu. Sisanya boleh dibayar dengan cicil sedikit demi sedikit. Subhanallah. Alhamdulillah. Segenap puji dan syukur tak henti-henti kami pohonkan. Tuhan mendengar doa-doa kami.

Pemilik rumah sebenarnya sedang kepepet  uang. Tiga anaknya yang sedang kuliah di tiga universitas swasta berbeda di Banda Aceh sedang membutuhkan uang dalam waktu cepat sementara usaha beliau sedang seret. Jadilah beliau berpikir cepat dengan menjual rumah tersebut. Tapi karena lokasi rumah berada jauh di pelosok kota, penduduk masih sepi, selain karena rumah tersebut juga masih dengan bentuk dasar, jadi orang kurang tertarik membelinya. Sementara itu beliau sedang butuh dana dalam waktu cepat. Lalu beliau menawarkan ke kami, sementara kami berpikir menunggu dulu sampai saya menyelesaikan kuliah S2 karena masih memerlukan banyak uang untuk kuliah. Dan beliau bermurah hati dengan memberikan cara pembayaran seperti yang saya sebut di atas.

Kini, kami sudah memiliki rumah sendiri.

Tepat ketika kami memiliki rumah tersebut, sang pemilik rumah tempat kami mengontrak rumah mengabari bahwa beliau tak akan mengontrakkan lagi rumahnya karena akan ditempati oleh anaknya yang baru menikah. Saat itulah rasa syukur kami semakin besar. Rupanya inilah dibalik hikmah kami mendapat penawaran pembelian rumah dengan murah dan dengan cara yang menguntungkan karena kami memang harus segera keluar dari rumah kontrakan tersebut. See? Allah merencakan semuanya untuk hidup kami. 
Inilah bentuk rumah kami saat ini:

Di kompleks, boleh dibilang rumah kami adalah yang paling sederhana dibandingkan rumah-rumah lainnya yang sudah banyak mengalami penambahan dan rehab di sana sini sehingga terlihat mentereng. Tapi buat saya dan suami, ini adalah istana terindah yang pernah kami miliki. Mungkin saya terlalu berlebihan dalam menuliskan hal ini. Tapi buat saya pribadi, yang sedari kecil hingga remaja selalu mengikuti ke manapun orangtua berpindah tugas, yang tidak pernah merasakan bagaimana enaknya tinggal di rumah sendiri, ini adalah sesuatu yang sangat istimewa. Saya merasa seperti memiliki istana meski jika dilihat oleh orang lain bentuknya masih seperti ‘gubuk’. Kegembiraan saya meluap-luap. Berhari-hari saya tidak bisa tidur tenang karena terlalu gembira.

Bentuknya masih seperti bentuk awal perumahan ini dibangun sekitar tahun 1998 lalu. Sementara rumah-rumah lain sedang berlomba mempercantik diri, rumah ini masih bertahan seperti ini karena tidak ditempati oleh pemiliknya. Ini adalah rumah type 36 dengan dinding dari batako yang belum terplester luar dan dalam, belum ada plafon, belum ada dapur, dan lantai semen yang tidak rata. Tapi di sinilah kami memulai kebahagiaan kami sebagai keluarga yang tidak lagi mengontrak rumah.

Saat ini, tujuh bulan berlalu sejak kami membeli rumah ini.

Sebagai manusia yang terus bergerak dan memiliki cita-cita, tentu kami tak ingin terlalu larut dengan kegembiraan. Kami harus melanjutkan mewujudkan mimpi dan rencana kami yang lainnya, yaitu rencana membuat rumah kami lebih layak huni dan mulai memikirkan untuk menyiapkan tabungan dan asuransi untuk putra kami.

Untuk mewujudkan semua mimpi, kami berusaha untuk tidak berutang kepada orang lain karena memang begitulah konsep yang kami sepakati bersama kecuali jika keadaannya terdesak. Begitu juga dengan rencana membangun rumah ini sehingga nantinya menjadi lebih layak huni. Berutang membuat hidup tidak tenang, begitu kata orang bijak. Memang benarlah demikian adanya saat kami sedang dalam keadaan mencicil biaya rumah. Alhamdulillah, saat ini utang kami pada pemilik rumah sudah lunas.

Saat ini kami berencana ingin menggunakan layanan perbankan untuk mewujudkan mimpi dan rencana kami. Saya ingin sekali lahan 9 x 3,5 meter yang tersisa di belakang rumah segera dibangun menjadi sebentuk bangunan. Awalnya, suami saya ingin membangun dapur yang sederhana saja, jadi saya tidak perlu menggunakan kamar yang kedua (karena rumah ini hanya terdiri dari dua kamar) sebagai dapur. Nanti suatu saat kami bisa merenovasi lagi menjadi bentuk yang lebih bagus. Tapi saya berpikir untuk membangun lahan sisa dengan bangunan yang langsung bagus, jadi tidak dua kali kerja serta menghabiskan dana yang lebih banyak. Begini, awalnya kami berpikir untuk membangun dapur seadanya saja dulu seperti yang dilakukan tetangga saya dengan hanya menggunakan dinding seng supaya ada ada dapur, namun setelah kami hitung-hitung ternyata akan menghabiskan banyak dana juga. Belum lagi seandainya kami ingin membangun dapur ini menjadi lebih bagus, tentu saja harus membongkar yang dasar.  Jadi akhirnya, kami berpikir untuk membiarkan saja dahulu lahan tersebut kosong sampai kami bisa menggunakan produk perbankan untuk menunjang pembangunan dan rehab rumah kami ini.

Nah, begitulah rencana kami untuk rumah yang baru kami beli tujuh bulan lalu ini.

            Sekarang, marilah kita berbicara tentang impian dan rencana masa depan kami selanjutnya. Yaitu rencana pendidikan terbaik untuk buah hati kami dan rencana kebebasan finansial.

Saya dan Abel, putra saya

Untuk pendidikan anak, saya dan suami sepakat tanpa bantah bahwa menyiapkan bekal untuknya sedini mungkin adalah hal yang mutlak. Meski kami sangat ingin mendampinginya dan mendidiknya kelak hingga dia dewasa, melihatnya menjadi manusia yang  berguna, tapi kami juga sadar bahwa manusia hanya bisa berencana namun Tuhan yang menentukan. Kami tidak pernah tahu sampai di mana batas waktu kami bisa mendampinginya, seberapapun panjang kita hidup di dunia ini, kita tidak pernah rahasia itu, yaitu kematian. Itu baru berbicara perkara umur. Bagaimana jika dalam perjalanan ini kami bertemu badai, bertemu ombak yang ganas, atau bertemu ikan besar yang siap menelan kami hidup-hidup? Begitulah tamsilan saya untuk berbagai persoalan hidup yang akan menghadang kami. Bahwa tiada hidup tanpa masalah, itu adalah benar. Tapi bagaimana kita menghadapi masalah sehingga hidup ini bisa terus berlanjut tanpa stagnan di satu tempat. Kita tidak pernah tahu kondisi kita di depan, apakah kita akan selamanya kuat mencari uang, apakah kita akan selamanya sehat?  Oleh sebab itulah, saya dan suami perlu memikirkan keberlangsungan hidup buah hati kami sedini mungkin karena kami, kita semua, tidak pernah tahu apa yang akan terjadi ke depan. Bekal yang harus kami persiapkan tersebut adalah tabungan rencana pendidikan untuknya.

Melalui website www.bca.co.id saya mendapat informasi bahwa di bank BCA ada jenis tabungan bernama Edusave, yaitu sebuah program yang dikembangkan oleh BCA untuk rencana pendidikan anak-anak kita. Dengan kemudahan transaksi yang ditawarkan oleh BCA, Edusave boleh jadi sebuah pilihan untuk orangtua yang ingin memberikan yang terbaik untuk buah hatinya. Edusave adalah solusi perbankan untuk pendidikan anak-anak Indonesia.

Impian dan rencana kami selanjutnya adalah saya dan suami ingin sekali punya usaha yang bisa menunjang keberlangsungan hidup kami hingga kami tua. Intinya, kami ingin memiliki kondisi kebebasan finansial di mana kami tidak perlu lagi pusing dengan masalah keuangan seperti sekarang. Dalam hal ini, saya dan suami punya orientasi yang berbeda. Jika saya lebih cenderung ingin memiliki usaha dalam bidang berdagang, suami saya justru sebaliknya, dia tidak suka berdagang. Impian terbesarnya adalah bisa memiliki kebun sawit yang luas. Saya mendukung keinginan tersebut setelah melihat saudara suami yang sekarang memiliki kebun sawit di daerah Nagan Raya (nama sebuah Kabupaten di Aceh). Boleh dibilang mereka sekarang berada pada kondisi kebebasan finansial. Si suami, meski sudah tua tapi beliau tidak perlu lagi pusing memikirkan uang. Dia memiliki aset hasil kebun sawit yang selalu menunjang hidup mereka. Itulah yang diinginkan suami saya.

Itulah sekilas cerita dan impian saya. Semoga bisa menginspirasi banyak orang untuk terus menjadi orang-orang yang senantiasa berusaha dan pantang kalah oleh beban hidup.  

Tulisan ini diikutsertakan dalam event Berbagi Cerita Bersama BCA

• Tweet
• Share
• Share
• Share
• Share