Merantau. Demi si Buah Hati dan Kau

13609582501774599399
Gambar dari http://weheartit.com/entry/42905330
Dari judul postingan ini, kalimat tersebut biasanya merujuk pada keadaan bahwa yang merantau adalah laki-laki (suami), demi penghidupan yang lebih layak di masa depan. Intinya, demi anak dan istrinya lah. Tapi, saya berbeda dari yang biasa. Yang merantau di antara kami adalah istri. Ya, itu saya :D
***
Hampir dua tahun saya tinggal di negara yang dijuluki 'Negeri Gajah Putih', Thailand, dengan hidup sendiri tanpa didampingi suami.  Mei 2011 saya dan beberapa teman dari Aceh berangkat ke Thailand  karena mendapat beasiswa dari pemerintah Provinsi Aceh untuk melanjutkan pendidikan S2. Bersyukur sekali ketika kemudian nama saya dinyatakan lulus untukmelanjutkan studi master di Prince of Songkla University, Hatyai, Thailand. Meski hanya beasiswa dari pemerintah daerah saya dan hanya punya pilihan di kawasan Asia Tenggara, rasa syukur selalu saya panjatkan karena untuk ‘keharusan’ melanjutkan pendidikan, saya tak harus mengeluarkan biaya sendiri seperti yang dilakukan teman-teman sekerja saya ketika mereka mendapat ‘keharusan’ yang sama dengan saya tetapi belum beruntung mendapatkan apa yang saya dapatkan. 
Well, saya bekerja di Universitas Syiah Kuala, sebuah universitas negeri ternama dan tertua di Aceh.  Saat menerima beasiswa ini, saya bekerja sebagai seorang staf pengajar junior dengan masa kerja baru satu setengah tahun. Sebagai seorang pengajar di sebuah universitas, adalah sebuah keharusan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Apalagi saya hanya lulusan sarjana. Alhamdulillah keharusan ini dibarengi pula dengan niat saya yang memang sejak lama ingin melanjutkan pendidikan lagi, jika saya mendapatkan beasiswa.
Keputusan terberat saat menerima beasiswa ini adalah saya harus berpisah dengan suami dan anak saya. Suami saya memang bukan pegawai negeri. Tetapi dia lebih memilih untuk tidak ikut dan bertahan tinggal di Aceh. Kata suami saya, biarlah saya yang pergi menuntut ilmu dan dia yang mencari rezeki untuk membangun impian kami; membangun rumah mungil yang baru kami beli, keinginan memiliki kebun sendiri, ingin punya bisnis, dan banyak rencana masa depan lainnya. Ya, suami memiliki dunianya di Banda Aceh. Saya pun tak memiliki seseorang yang bisa saya ajak untuk tinggal bersama saya di Thailand dan menjaga anak saya, seandainya saat itu saya ingin membawa anak. Dan ide untuk mengajak suami ikut serta lalu menjadikan dia sebagai baby sitter, bukanlah ide yang baik. Suami saya bukan tipe laki-laki rumahan. Dia paling tidak betah berada di rumah tanpa kegiatan apa pun. Dan menjaga anak, bukanlah sebuah kegiatan yang menarik buatnya, meskipun dia adalah laki-laki yang sangat banyak membantu saya dalam hal pengasuhan putra kami. Akhirnya, beginilah keputusan kami. Saya tinggal sendiri di negara orang. 
Alhamdulillah, suami saya rela dan ikhlas dengan keberangkatan saya ke Thailand. Sejak menikah, suami memang selalu mendukung apapun kegiatan positif saya, termasuk saat saya sering pulang malam karena mengikuti pengayaan bahasa Inggris selepas bekerja, atau apapun kegiatan saya. Sungguh beruntung Tuhan memberi saya jodoh seorang laki-laki seperti suami saya. Di saat teman-teman sekerja berguguran satu persatu karena tidak mendapat restu suami, saya malah mendapat dukungan yang sangat besar bahkan ketika saya belum memasukkan berkas lamaran. Di saat saya pesimis saya akan mendapatkan beasiswa ini karena banyaknya saingan, suami yang dengan sangat optimis mengatakan bahwa saya akan lulus dan mendapatkan beasiswa itu.
“Kalau suatu saat kamu mendapat beasiswa, ke manapun itu, ambillah. Jangan disia-siakan. Abang akan selalu mendukungmu,” begitu katanya saat itu.
Lagipula, Thailand bukanlah sebuah negara yang begitu jauh dari jangkauan, apalagi dari Aceh. Kalau boleh saya bilang, buat saya yang tinggal di Aceh, malah lebih murah perjalanan ke Hatyai daripada ke kota-kota besar di pulau Jawa, jika bisa mendapatkan tiket promo. Makanya, kami memutuskan jika pun kami harus berpisah dan mengalami Long Distance Relationship (LDR), toh saya masih bisa pulang tiap liburan semester dan suami saya pun masih bisa sesekali mengunjungi saya di Thailand.
Saat di bandara
Sedih tak terkira ketika harus meninggalkan si buah hati yang masih serang. Saat itu, Abel, putra saya, berumur tepat dua tahun satu bulan. Saya baru saja menyapih ASI untuknya hingga genap dua tahun. Di hari menjelang keberangkatan saya, dia ga mau lepas dari saya. Maunya digendong saya terus. Saat perpisahan di bandara, Abel menangis dan merengek dalam gendongan suami saya. Saya berusaha untuk tidak menangis. Tapi airmata saya baru tumpah ketika saya berada dalam pesawat dan mulai take off dari bandara Sultan Iskandar Muda.

Awal-awal berpisah, rasanya kangen terus sama anak dan suami. Apalagi saya sangat manja sama suami. Apapun masalah, kejadian, pokoknya semuanya yang terjadi pada saya, semua saya tumpahkan pada suami. Setelah menikah, otomatis suami saya menjadi sahabat sejati saya. Kerinduan saya pada anak lebih besar lagi. Awal-awal berpisah dengan saya, kata suami, Abel merasa sangat kehilangan saya meskipun dia tidak menangis. Kata suami saya, saat itu dia taunya bunda naik pesawat. Setiap kali pesawat lewat  di atas kompleks perumahan kami di daerah Lambaro Angan, Aceh Besar, Abel nyebut-nyebut; "bunda...bunda", sambil menunjuk2 pesawat. FYI, kompleks perumahan saya memang dekat dengan bandara, sehingga jika pesawat terbang atau mau turun, selalu melewati kompleks perumahan kami. 
Beruntung saya tinggal dan kuliah di PSU (Prince of Songkla University, nama universitas tempat saya menuntut ilmu), yang dosen-dosennya sangat mengerti keadaan mahasiswa yang sudah berkeluarga dan meninggalkan Indonesia, seperti saya. Pada liburan semester break atau summer holiday, saya tak pernah menyia-nyiakan kesempatan untuk segera pesan tiket dan pulang kampung. Jadi, boleh dibilang, saya tak pernah tinggal dalam waktu yang lama di sini. satu semester hanya empat bulan. 
Beruntung juga, kami hidup di jaman yang serba digital seperti saat ini sehingga terpisah jarak beribu-ribu kilometer bukanlah masalah buat kami. Dengan semakin banyaknya media sosial dan semakin murah dan mudahnya berkomunikasi melalui dunia maya, saya yang berada di ujung Pulau Sumatera dan seorang teman yang berada di Atlanta, misalnya, bisa berkomunikasi begitu dekat.
Dan, tahun ini adalah tahun kedua saya tinggal di Thailand. Tahun ini adalah tahun terakhir pendidikan saya. Tapi, saya harus melaksanakan penelitian untuk thesis saya di Aceh, nanti di bulan Maret hingga April. Tapi intinya, saya hampir selesai. Tak terasa, kan? Tak terasa sudah hampir dua tahun. Tak terasa sebentar lagi saya akan bebas dari tertidur dalam tumpukan jurnal. Tak terasa sebentar saya berkumpul lagi dengan suami dan anak tanpa harus terpisah lagi. Tak terasa sebentar lagi saya bisa mendidik anak saya yang kini hampir jelang usia TK. 
Doakan saya ya sobs :)
***

Artikel ini diikutkan dalam Giveaway Gendu-gendu Rasa Perantau


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Previous
Next Post »

11 comments

Write comments
keke naima
AUTHOR
25 Februari 2013 pukul 19.53 delete

semoga cpt berkumpul lagi bersama suami & anak ya :)

Reply
avatar
25 Februari 2013 pukul 23.42 delete

Aamiin. makasih ya mbak Chie :)

Reply
avatar
Lisa Tjut Ali
AUTHOR
27 Februari 2013 pukul 20.20 delete

hikz......hikz...........eki buat saya menangis haru, memng kita yg rantau sll dilanda kerinduan, semoga kuliah eki lancar dan dapat berkumpul kembali dgn abel dan suami serta ortu. saya ga kuat lihat foto abel dlm pelukan eki, saya dpt merasakannya, ponakan saya saja saat pisah nampak sedih apalagi ini anak

Reply
avatar
27 Februari 2013 pukul 23.34 delete

Setelah Lisa bilang gak tahan lihat foto Abel, saya ikut2an melihat foto itu lamaaa sekali. Hiks, cediiiiiih :'(

Reply
avatar
3 Maret 2013 pukul 22.38 delete

Apalagi saya mak, hiks :'(

Reply
avatar
Millati Indah
AUTHOR
8 Maret 2013 pukul 11.09 delete

Jadi sekarang lagi di Aceh, kak?

Reply
avatar
Anonim
AUTHOR
22 Maret 2013 pukul 15.06 delete

cek,,, baik kan suami ke? gak sebutin kok dikenalin ama siapa ? hehehehe

Reply
avatar
22 Maret 2013 pukul 15.46 delete

Waaah..haha...nanti kapan-kapan kami tulis ya siapa yang ngenalin saya ke si dia :D

Reply
avatar

Instagram @fardelynhacky