Jaminan Kesehatan Dambaan Masyarakat Aceh*
Oleh:
Marthunis**
Fardelyn Hacky Irawani***
* Tulisan ini menjadi salah satu tulisan terbaik pada lomba Menulis 'Suara Rakyat Aceh' 2012, yang diadakan oleh GAMNA (Geuma Aneuk Nanggroe Aceh)
** Marthunis, sedang menempuh pendidikan doktoral di Jerman
*** Fardelyn Hacky Irawani, sedang menempuh pendidikan master degree di Thailand
Sebuah cet langet...
Sebut saja namanya Nek Maryam,
lansia yang tinggal di Aceh. Sebagaimana lansia, penglihatannya mulai kabur,
terutama mata sebelah kiri. Nek Maryam terkena katarak. Kacamata tebal yang
sudah dipakai selama lebih dari sepuluh tahun tidak banyak membantu. Keluarga
Nek Maryam membawa beliau ke Puskesmas. Dokter menganjurkan operasi. Mendengar
kata ‘operasi’, nenek cemas bukan main. Nek maryam cemas bukan hanya karena
takut dioperasi, ia juga khawatir akan biaya yang akan dikeluarkan nantinya.
Dalam pikiran polosnya, Nek Maryam membayangkan bahwa untuk biaya operasi itu
sangatlah besar.
Melihat kecemasan yang
ditunjukkan oleh Nek Maryam, dokter menjelaskan agar ia tidak perlu khawatir
dengan operasi katarak karena itu hanya operasi biasa dan cukup ampuh untuk
mengembalikan penglihatannya. Begitu juga dengan biaya pengobatan. Cukup hanya
dengan menunjukkan kartu Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) lini lansia, semua akan
berjalan lancar. Dengan kartu JKA online, Nek maryam berobat bisa secara gratis,
tidak perlu antri di sana sini untuk proses administrasi karena semuanya
dilakukan secara online. Tidak perlu bolak-balik ke fotocopi karena tak
menggunakan banyak kertas.
Di rumah sakit, Nek Maryam
hanya perlu menyerahkan kartu JKA ke petugas administrasi, kemudian meletakkan
jempol di mesin sensor. Melalui mesin sensor ini, semua data Nek Maryam kini
berpindah ke komputer rumah sakit. Begitu juga data-data terbaru yang
dimasukkan oleh pihak rumah sakit, kini berpindah ke chip yang ada di kartu JKA
milik Nek Maryam. Proses registrasi berlangsung kurang dari dua menit. Kemudian
nenek diantar ke bagian mata oleh seorang perawat tanpa membawa lembaran kertas
apapun. Di bagian mata, Nek Maryam diperiksa oleh tim dokter mata dengan
seksama. Setelah jelas diagnosanya, dokter memasukkan data hasil pemeriksaan
dan rencana tindakan selanjutnya ke kartu JKA si nenek, termasuk tanggal
rencana operasi, kebutuhan obat-obatan selama operasi, perawatan dan
sebagainya.
Pada hari yang telah
ditentukan, Nek Maryam kembali ke rumah sakit, menunjukkan kartu JKA-nya dan
langsung diantar ke ruang rawat. Di ruang rawat, Nek Maryam hanya
perlu menyerahkan kartunya dan semua obat-obatan telah disiapkan oleh pihak
rumah sakit. Setelah semua persiapan pre-operasi dilakukan, nenek pun dioperasi. Setelah operasi, Nek Maryam dirawat selama beberapa hari.
Saat dinyatakan sembuh dan
diperbolehkankan pulang, Nek Maryam dan keluarganya tak perlu membayar
sedikitpun karena pemerintah Aceh sudah memberikan jaminan kesehatan penuh
untuk semua lansia di seluruh propinsi Aceh. Nek maryam hanya perlu menyerahkan
kartu JKA nya ke petugas. Dengan rekaman proses perawatan yang ada, komputer
menghitung berapa biaya yang dihabiskan selama perawatan Nek Maryam di rumah
sakit. Biaya tersebut langsung terkirim ke pihak perusahaan asuransi sebagai
pengelola keuangan pembiayaan JKA ini. Selanjutnya perusahaan asuransi yang
merupakan mitra pemerintah Aceh membayarkan tebusan biaya tersebut ke pihak
rumah sakit, juga secara online. Sebagai regulator dan pembayar premi JKA, Pemerintah Aceh
juga bisa mengetahui dan memonitor seluruh proses transaksi tersebut secara
online. Tidak ada mark up, tidak bisa dikorupsi karena semuanya dilakukan
secara transparan.
***
Apakah cerita cet langet di atas bisa menjadi sebuah kenyataan? Jawabannya bisa saja asal
pemerintah Aceh mau memikirkan terobosan baru yang penulis usulkan di akhir
tulisan.
Gubernur dan wakil gubernur
Aceh yang baru, baru saja terpilih. Sebagaimana lazimnya pemimpin yang baru
terpilih, tentu mereka memiliki program serta terobosan-terobosan baru yang
akan dilaksanakan selama lima tahun periode kepemimpiannya, termasuk dalam
bidang kesehatan.
Pada periode
kepemimpinan sebelumnya, Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar telah mencanangkan
program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) untuk seluruh masyarakat pemegang KTP
Aceh. Banyak pihak yang menyambut baik program pemberian asuransi kesehatan
bagi masyarakat Aceh yang kurang mampu dan belum terjangkau dengan asuransi
kesehatan apapun.
Maka beramai-ramailah rakyat
Aceh ‘mencicipi’ JKA dari pelosok hingga ke pusat kota. Mulai dari yang sakit
parah sekali yang harus segera mendapatkan perawatan dan tindakan medis,
penyakit menahun, hingga penyakit ringan sekelas flu atau sakit tenggorokan.
Puskesmas, rumah sakit pemerintah daerah kabupaten hingga rumah sakit umum di
Banda Aceh dibanjiri oleh pasien dari berbagai tingkatan penyakit yang kami
sebutkan di atas. Rumah sakit kolaps. Tak ada ruangan, pasien overload.
Antrean untuk operasi mengular dan memakan waktu berbulan-bulan. Dokter di
daerah sedikit, perawat dan tenaga kesehatan lainnya juga sedikit dan itupun
hanya sedikit yang mampu bekerja secara profesional. Pasien JKA mendapat
perhatian nomor belakang. Mendapat ruang rawat kelas dua yang berarti pasien
dinomorduakan dalam hal perawatan dan tindakan medis apapun.
***
Nah, bapak gubernur dan wakil
gubernur Aceh yang baru, apakah kondisi seperti akan berlanjut pada lima tahun
yang akan datang di masa kepemimpinan bapak-bapak?
Oleh sebab itu, melalui
tulisan ini, kami ingin memberikan sedikit ilustrasi dan masukan untuk
perbaikan kondisi yang lebih baik lagi ke depan.
Belajar dari Inggris dan
Jerman
Berbicara tentang asuransi
kesehatan berarti berbicara tentang hak asasi manusia yang harus dipenuhi yaitu
hak untuk hidup sehat dan mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal. Dan
memang, akses terhadap pelayanan kesehatan yang sesuai adalah hak setiap
manusia di bumi ini, tak peduli ia kaya atau miskin, pemimpin atau buruh, wakil
rakyat atau rakyat yang diwakili.
Cakupan menyeluruh atau universal health
coverage telah dicanangkan puluhan tahun lalu di Eropa. Di Inggris, sistem
ini dikenal dengan NHS atau National Health Service dan telah dimulai
sejak tahun 1946, atau satu tahun setelah Indonesia merdeka. Dalam sistem ini, seluruh
warga Inggris memperoleh pengobatan dan perawatan secara cuma-cuma, yang semuanya dibayar
oleh negara. Negara memperoleh dana untuk pembiayaan kesehatan ini melalui
pajak, sehingga sistem di Inggris ini dikenal juga dengan Taxation Based System. Karena semuanya dibebankan
pada pajak, pasien hanya membayar sejumlah uang saat menebus obat untuk
mencegah moral hazard, atau penggunaan berlebihan lainnya. Dengan sistem
ini, Inggris berhasil menempatkan penduduknya sebagai salah satu negara dengan
penduduk paling sehat didunia dengan usia harapan hidup mencapai 79
tahun.
Jika di Inggris NHS baru
dimulai tahun 1946, Jerman justru telah lebih dulu memulainya. Pada tahun 1889,
Otto von Bismark yang saat itu menjabat sebagai kanselir kekaisaran Jerman
mengeluarkan ‘fatwa’ agar diperkenalkan suatu sistem yang memungkinkan rakyat
Jerman memperoleh akses yang sesuai ke pelayanan kesehatan, selain pemberian
asuransi kecelakaan dan pensiun kepada orangtua. Program asuransi sosial ini
merupakan yang pertama di dunia dan belakangan menjadi model bagi negara-negara lain dalam
mensejahterakan rakyatnya. Dalam sistem asuransi kesehatan sosial ini, warga
negara diminta berkontribusi dengan membayarkan sejumlah kecil/sedikit uang ke
perusahaan asuransi, dan memperoleh manfaatnya di saat mereka jatuh sakit. Pada
awalnya terdapat ribuan perusahaan asuansi sosial yang ada di Jerman, tapi saat
ini jumlahnya berkurang hingga tinggal sekitar 140-an saja.
Melalui pendekatan ini pula, Jerman dikenal sebagai negara
dengan sistem asuransi kesehatan sosial tertua di dunia. Saat ini, partisipasi dalam
asuransi ini bersifat wajib bagi seluruh warga Jerman, termasuk bagi pendatang
seperti mahasiswa yang belajar di negara ini. Bagi mereka yang kurang
mampu, miskin atau tidak punya pekerjaan tetap, maka preminya dibayar oleh
pemerintah. Hal ini mirip dengan JKA di Aceh. Dengan ini, seluruh warga Jerman
terjamin akses kesehatannya.
Walau Inggris dan Jerman
keduanya mempunyai sistem kesehatan sosial yang bertujuan sama, yaitu memberi
akses yang baik dan luas bagi warganya, namum dalam pelaksanaanya mereka
berbeda. Inggris menggunakan hampir seluruh dana kesehatan dari pajak, kemudian
uang tersebut digunakan untuk menggaji dokter, membagngun rumah sakit, membeli obat
dan peralatan kesehatan dan sebagainya. Sebaliknya di Jerman, uang untuk
pembiayaan kesehatan diperoleh dari kontribusi warganya yang ‘dititip’ atau
‘disumbangkan’ pada asuransi tertentu sebagai pengelola. Dengan kata
lain, jika di Inggris pendanaan dan pemberian pelayanan dilakukan semuanya oleh
negara, di Jerman pendanaan kesehatan bersumber dari kontribusi dari warga
negaranya yang merupakan anggota asuransi dan pemberian pelayanan dilakukan
umumnya oleh pihak swasta.
Walau pemberian pelayanan kesehatan
di Jerman umumnya dilakukan oleh dokter swasta, namun peraturannya cukup ketat.
Selain itu, tidak ada seorang dokter pun di Jerman yang bekerja untuk atau
digaji oleh pemerintah. Jangan heran jika pegawai dinas kesehatan di negara
dengan penduduk 70.000 jiwa ini tidak lebih dari 200 orang, karena tugas mereka
hanya mengawasi, bukan memberikan pelayanan kesehatan. Dengan struktur
organisasi yang kecil dan ramping seperti ini pula, masalah-masalah yang sering
terjadi di Indonesia seperti KKN dapat dicegah.
Kembali ke JKA
Menurut hemat kami, Jaminan Kesehatan Aceh
merupakan sistem yang unik karena mengadopsi kedua sistem tersebut diatas. Dari
segi pelayanan, kesehatan di Aceh umumnya dilakukan oleh pewagai negeri yang
digaji oleh negera, sama seperti di Inggris. Sedangkan untuk management risk
pool dan risk sharing, saat ini dilakukan oleh PT Askes yang
merupakan sebuah perusahaan Asuransi Sosial dan juga mitra Pemda untuk mengelola dana
JKA. Hal ini
mirip dengan asuransi kesehatan di Jerman di mana pengelolaan keuangan dan
pembayaran kesehatan dilakukan oleh perusahaan. Pembayaran premi dalam sistem
JKA juga menarik untuk diperhatikan. Sampai saat ini, seluruh premi anggota JKA
masih dibayar oleh pemerintah. Padahal dalam sistem asuransi kesehatan (sosial),
premi merupakan kewajiban yang umumnya dibebankan ke anggota asuransi, baik
individu mauun keluarga. Sehingga jika melihat masalah pembiayaan ini lagi, JKA
Aceh kembali serupa dengan sistem NHS di Inggris. Dengan kata lain, JKA
menganut sistem Jerman dengan pelaksanaannya memakai cara Inggris.
Bagi kami, terserah sistem dan
cara mana yang dipakai dalam pembiayaan kesehatan warga Aceh sekarang, apa yang
telah dilakukan pemerintah daerah patut diapresiasi. Namun, terlepas dari
apresiasi tersebut, ada beberapa hal yang mulai harus diperhatikan oleh stakeholder
dan policy maker yang berikatan
dengan JKA ini.
Pertama, masalah pelayanan.
Kita semua tahu bahwa sejak awal JKA diluncurkan pada tahun 2010 lalu, jumlah
kunjungan ke rumah sakit meningkat drastis namun jumlah pemberi pelayanan belum
bertambah sesuai kebutuhan. Dalam ilmu ekonomi kesehatan, fenomena seperti ini
mungkin disebut “tidak adanya market equilibrium” di mana di saat demand
atau permintaan meningkat, supply atau pelayanan masih sama saja. Ada
dua kemungkinan terhadap fenomena seperti ini; kemungkinan pertama adalah
karena “euforia kebutuhan” di mana pasien yang sebelumnya sakit dan tidak
bisa atau tidak mampu berobat, kini dengan adanya JKA, bisa memperoleh akses
yang gratis. Pasien yang dulunya menganggap tak mungkin dan sudah pasrah dengan
keadaannya, kini sudah memperoleh kembali kesempatan untuk memperoleh pelayanan
yang dia butuhkan. Bukti nyata kasus seperti ini adalah lebih dari 40% pasien
yang sebelumnya di pasung dan tidak pernah mendapatkan pengobatan medis sama
sekali, kini menggunakan kartu JKA untuk berobat. Kemungkinan kedua lebih sebagai “euforia
kesempatan” karena sebenarnya belum tentu orang yang berdesak-desakan di rumah
sakit umum harus berobat di
sana. Bisa saja sebagian dari mereka cukup berobat di puskesmas, namun karena
adanya kartu JKA yang menurut sebagian warga berarti free semua, maka
mereka berlomba-lomba untuk ke Rumah Sakit Umum Zainal Abidin. Jika kasus kedua
yang lebih dominan, maka yang terjadi adalah apa yang dalam istilah ekonomi
kesehatan disebut moral hazard, di mana pasien menggunakan fasilitas pelayanan lebih dari yang
dia butuhkan.
Kedua, masalah sistem
asuransi. Jika pada kasus di atas banyak tejadi pada hal yang kedua, pemerintah
seharusnya sudah mulai menerapkan aturan baru, misalnya dengan memperkenalkan co-insurance
atau co-payment seperti yang dilakukan di Inggris, di mana setiap
kali berobat atau membeli obat, pasien diwajibkan membayar sejumlah uang
tertentu sebagai bentuk konstribusinya terhadap sistem tersebut dan tentunya
untuk mencegah penggunaan layanan kesehatan yang berlebihan.
Selain memperkenalkan sistem
kontrol seperti ini, pemerintah juga sudah mulai harus berpikir untuk
memperkenalkan atau mengedukasi warga yang kini memiliki kartu JKA untuk turut
aktif dalam pembayaran premium. Sebagai layaknya sebuah asuransi kesehatan
sosial, premium tidak seluruhnya atau selamanya harus ditanggung oleh
pemerintah, tetapi juga harus ada kontribusi dari warga negara atau anggotanya,
dengan tujuan untuk kelangsungan sistem ini.
Karena JKA sekarang ini lebih
difokuskan kepada penduduk miskin yang tidak terpenuhi dalam sistem yang sudah
ada sebelumnya; Askes dan Jamkesmas misalnya, maka sangat wajar jika pemerintah
mengambil tanggung jawab untuk membayarkan premiumnya. Sedangkan ke depan, jika
angka kemiskinan bisa ditekan, maka tanggung jawab pembayaran tersebut sudah
harus dibagi antara penduduk dengan pemerintah, kecuali memang jika
pembayaran pajak di Aceh cukup bagus dan masih mendapat kucuran dana dari
pemerintah pusat yang cukup besar, maka sistem JKA yang serba bebas seperti ini
bisa dipertahankan, walaupun secara ekonomi dan sustainabilitas kurang
bisa menjamin.
Ke depan, pemerintah Aceh dan
pihak DPRA perlu memikirkan untuk membuat qanun yang mewajibkan seluruh rakyat
Aceh memiliki asuransi seperti yang JKA atau lainnya. Jika rakyat mampu, maka
ia harus membayar premi sendiri berdasarkan besarnya pemasukan/gaji yang ia
peroleh, sedangkan jika ia kurang mampu, maka preminya ditanggung oleh
pemerintah. Jika sistem seperti ini terlaksana maka tidak ada seorang warga
Aceh pun harus keluar negeri untuk berobat, dokter bisa menjalankan tugasnya
dengan baik, begitu juga dengan kualitas pelayanan, dapat dimonitor dan yang terpenting pelayanan kesehatan tidak
hanya berfokus kepada upaya kuratif atau pengobatan, tetapi juga pada upaya
promosi dan pencegahan.
'Nyontek' ke India
Kembali ke kisah Nek Maryam
yang memperoleh pelayanan tanpa terbelit antrian, tanpa kertas-kertas kopian
dan semuanya gratis. Apakah skenerio seperti itu mungkin diterapkan di Aceh? Jawabannya bisa dan yang telah
melaksanakannya adalah negara tetangga kita sesama Asia, yaitu India.
Sejak tahun 2000-an terjadi booming
asuransi kesehatan berbasis masyarakat di India. Pelaku utama umumnya adalah
NGO, namun karena berbagai masalah, tidak banyak pencapaian yang bisa dicapai
dari sistem tersebut. Beberapa program pemerintahnya juga seperti jalan di tempat, jarang bisa
mencapai target yang direncanakan. Setelah beberapa kali jatuh bangun, baru padah tahun
2007 pemerintah India memulai program baru dan hampir seluruhnya dari nol.
Program asuransi ini mereka sebut NHIS atau sistem asuransi kesehatan
nacional. Saat itu, yang menjadi prioritas India adalah orang-orang miskin
yang buta huruf. Karena tantangnnya adalah buta huruf, maka mereka merencanakan
konsep di mana warga tidak butuh untuk bisa membaca saat berobat. Dengan kata lain,tidak pakai kertas. Maka diperkenalkanlan
sistem e-card yang mirip dengan kartu ATM. Pendataan awal untuk pembuatan kartu
ini persis seperti saat warga Aceh kembali ke KTP nasional dari KTP merah putih
beberapa tahun lalu, di mana pihak pemerintah mendatangi desa-desa, kontak
langsung dengan orangnya dan foto tentunya. Setelah data diperoleh, data
tersebut direkam dalam e-card dan dapat disinkronisasi ke server dan
bisa diakses online jika dibutuhkan. Cerita selanjutnya adalah persis seperti kasus Nek Maryam di atas.
***
Kembali ke pertanyaan kami di
atas, mungkinkah sistem tersebut dilaksanakan di Aceh? Pertanyaan tersebut
terlontar saat salah seorang dari kami, yang menulis artikel ini, menanyakan
langsung ke seorang perwakilan pemerintah India yang pernah mempresentasikan
kisah sukses mereka di hadapan kami. Kami menceritakan bahwa Aceh sudah
memberikan akses yang lebih baik ke masyarakat, tapi masih menggunakan sistem
kertas konvensional. Lalu dia bertanya, berapa jumlah penduduk di tempatmu
(baca: Aceh). Kami menjawab sekitar empat juta jiwa. Kemudian dia berkesimpulan
bahwa jika hanya sejumlah empat juta penduduk saja, hanya butuh waktu enam
bulan saja untuk bisa melaksanakan sistem seperti mereka. Mereka sudah membagi
ilmu ini pada negara lain; Pakistan dan negara-negara di Afrika. Dia menawarkan
software ini pada kami jika pemerintah Aceh ingin menerapkan seperti apa
yang telah mereka jalankan. Dan melalui tulisan ini, kami menawarkan ke
pemerintah Aceh; jika ingin memperbaiki sistem JKA saat ini, maukah kita
‘menyontek’ apa yang sudah dilakukan oleh India?
***
Tulisan ini telah dibukukan bersama tulisan pemenang lainnya.
6 comments
Write commentsWaah... selamat ya..
ReplyTapi cerita Nek Maryam itu nyata tidak mba? kalo memang nyata, berarti pemerintah Aceh sudah benar2 hebat :D
Saya dukung dan setuju sekali jika data pasien dan obat-obatan yang diambilnya cukup direkam dalam sebuah kartu semacam ATM saja. Tidak perlu lagi tulis menulis dan stempel me-stempel seperti saat ini. Tentunya bisa mengurangi lagi sejumlah prosedur yang bisa jadi memakan waktu ...
ReplyDewasa ini pemerintah pusat kabarnya bakal memberlakukan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang sedikit banyak belajar dari penerapan JKA di Aceh. Semoga kualitas pelayanan JKA dapat senantiasa dievaluasi dan ditingkatkan ...
ReplyMbak, aku pakai buat referensi ya ^^
ReplyMbak Santi:
ReplyNggak mbak Santi, itu hanya sebuah cek langet saja mbak, seperti yang saya tulis di kalimat pembuka. Cek langet itu dalam bahasa Aceh artinya khayalan :D
Azhar;
Iya azhar, marilah kita dukung bersama
Mbak Ika;
Boleeeeh mb Ika, silakan mbak ;)
Semoga banyak WNI yang mampu sadar ikut BPJS untuk ikut menyokong WNI yg tak mampu.
ReplyAku udh ikut sih, tinggal mutasi me perorangan stl resign kemarin, fyi bln besok. Doakan lancar pas ngurus mutasi ya, Eky :)
ConversionConversion EmoticonEmoticon