Lelaki yang Terisolasi


Gambar: iStockphoto.com

Beberapa hari lalu, pas hari AIDS sedunia, ketika membaca berita kontroversi dari bu Menteri, juga foto-foto yang beredar di media sosial tentang bagaimana menderitanya penderita AIDS, saya tiba-tiba  terlempar ke sebuah masa di mana saya pernah bertemu dengan penderita AIDS. Sebuah pengalaman yang membuka mata saya tentang bagaimana lucunya praktik kesehatan di negeri ini….

***
Saat itu, pertengahan 2008….
Saya sedang praktik kepaniteraan klinik keperawatan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) di sebuah rumah sakit pemerintah di Banda Aceh. Sebagai seorang mahasiswa praktek, sebagaimana halnya teman-teman saya, saya juga mengalami yang namanya kebingungan. Bagaimana tidak membingungkan, sebagai mahasiswa, di kampus kami belajar mati-matian segala macam teori namun praktiknya bertentangan sama sekali ketika terjun lapangan (rumah sakit). Semua yang sudah didapat, diendapkan dalam kepala, seolah bertabrakan ketika melihat kenyataan di rumah sakit. Ditambah dengan kenyataan banyaknya perawat yang kurang ramah dengan mahasiswa praktik.
Namun satu hal yang mesti kami lakukan adalah bahwa saat berhadapan dengan pasien, kami tidak boleh pandang bulu, meskipun si pasien menderita penyakit yang mematikan. Tenaga kesehatan, terutama perawat adalah orang yang paling banyak bersentuhan dengan pasien dibandingkan profesi kesehatan lainnya. Namun untuk kasus-kasus yang rawan dan bisa membahayakan jiwa orang-orang yang bersentuhan dengan pasien selain keluarga, tenaga kesehatan mestilah memerhatikan keselamatan dirinya tanpa mengindahkan kondisi pasien, misalnya dengan memakai masker, handscoon (sarung tangan), atau baju pelindung. Hal ini dilakukan bukan karena perawat menganggap pasien seperti alien yang menakutkan namun lebih untuk perlindungan diri.
Karena begitulah, tenaga kesehatan, apalagi perawat seperti saya, bagaimanapun kan manusia juga. Sering berada di rumah membuat perawat dan tenaga kesehatan lainnya lebih mudah terkena yang namanya infeksi nosokomial. Infeksi nosokomial adalah infeksi silang, paling banyak terjadi di rumah sakit. Prosesnya bisa melalui udara, kontak langsung pasien dengan orang lain, atau akibat tindakan medis yang tidak steril. Makanya ada anjuran sebaiknya anak-anak tidak dibawa ke rumah sakit saat kita mengunjungi orang sakit. Sistem pertahanan tubuh anak-anak masih lemah, jadi kemungkinan untuk terkena infeksi nosokomial menjadi lebih besar. Lha yang sudah dewasa saja tidak ada jaminan bebas dari infeksi nosokomial, apalagi anak-anak.
Selain proteksi diri, yang mesti diperhatikan juga oleh petugas kesehatan adalah sikap caring terhadap pasien, meskipun si pasien teridentifikasi penyakit yang menjadi momok semisal AIDS. Namun, terkadang teori hanya tertinggal di kampus-kampus. Praktiknya kadang sangat jauh melenceng. Begitulah yang saya saksikan ketika saya sedang praktek waktu itu.
Saat itu saya dinas shift pagi di IGD. Seorang pasien laki-laki dibawa oleh istrinya untuk berobat. Saya kira bukan sekadar berobat tapi untuk mendapatkan perawatan. Lelaki itu bertubuh kecil, terlalu kurus, bermuka tirus, dan saya lihat tak ada cahaya kebahagiaan yang terpancar dari matanya. Seperti biasa, saya, teman-teman praktek dan tim kesehatan dari berbagai profesi menyambut pasien dan mewawancara si istri. Saya dan teman-teman sesama praktek mendapat jatah mewawancara si istri untuk mendapatkan info sebanyak-banyaknya  tentang riwayat penyakit sekarang dan dahulu, keluhan utama, dan sebagainya, untuk kelancaran proses pengidentifikasian penyakitnya selain berbagai pemeriksaan penunjang.
Sebagaimana si suami yang sama sekali tak mau diajak bicara, istrinya pun ternyata sangat irit dalam mengeluarkan kata-kata. Kadang seperti ragu-ragu untuk menjawab, kadang takut, dan kadang sinis.  
Kami tak begitu banyak bersentuhan dengan pasien tersebut karena kondisi si pasien tidak dalam keadaan gawat, darurat, atau gawat dan darurat. Keluhan yang disampaikan oleh si istri juga keluhan yang sangat umum seperti; pasien sering demam, lemas, sesak napas, dan akhir-akhir ini tubuhnya semakin kurus dan terus mengecil. Di tubuh si pasien terdapat banyak tato dan bibirnya kecoklatan pertanda bahwa si pasien adalah perokok berat. Saya dan sesama teman praktik menduga jika keluhan si pasien mungkin ada hubungannya dengan kebiasaann hidupnya yang tidak sehat. Sama sekali tidak terpikir oleh kami bahwa ternyata dia menderita AIDS. Bukan lagi sekadar terinfeksi HIV.
Selama bertahun-tahun saya praktik di rumah sakit, saya sudah melihat dan bertemu dengan banyak orang yang menderita berbagai penyakit mulai dari yang ringan hingga yang kronis. Melihat orang saat sakratul maut, saya juga pernah. Tapi bertemu dengan penderita AIDS, sungguh itu adalah kali pertama buat saya.
Si pasien baru terindifikasi AIDS setelah menjalani rawatan di ruang rawat penyakit dalam pria. Pemeriksaan lab menunjukkan hasil positif AIDS. Saya bertemu dengannya hanya di saat shift pagi hari itu saja. Selesai dari stase IGD, saya pindah ke bagian penyakit dalam. Saya dipertemukan kembali dengan pasien. Tapi saat itu, saya tak bisa lagi melihat si pasien secara langsung, apalagi mengajaknya berbicara.
Si pasien sedang berada dalam ruang isolasi dan tidak seorang pun diperbolehkan masuk, bahkan petugas kesehatan pun tidak ada yang bersedia masuk ke ruangan tersebut. Inilah yang tadi saya sebut teori yang hanya tertinggal di kampus saja.  Harusnya petugas kesehatan lebih tau apa itu AIDS dan bagaimana penularannya,  bukannya mengisolasi mereka seperti seorang pesakitan yang menderita suatu penyakit yang mengerikan. Padahal jelas-jelas AIDS tidak ditularkan melalui udara, melalui kontak pasien-perawat seperti melakukan tindakan medis, atau sekadar mengajak pasien berbagi cerita. Tapi duuuuh... ternyata mitos yang jelas-jelas mereka sudah tahu itu tidak benar, telah mengalahkan logika apapun, termasuk jika itu petugas kesehatan.  Hingga akhirnya mereka mengabaikan hak hidup si pasien untuk mendapatkan perlakuan, perawatan dan pengobatan yang layak sebagai manusia.
Saya cuma bisa prihatin atas sikap beberapa petugas kesehatan yang umumnya perawat ini, yang memandang pasien seperti sampah dan barang yang tidak berguna. Ada hasrat hati ingin berbincang-bincang dengan pasien, meskipun saya tahu akan gagal karena sejak awal pasien sama sekali tidak mau diajak bicara, tapi apa daya, saya hanya seorang mahasiswa praktik. Ruangan isolasi diperlakukan dengan tidak lazim. Pintunya digembok seperti penjara. Perawat bahkan menjaga jarak dengan keluarga si pasien. Setiap pagi, dua orang perawat laki-laki masuk ke ruangan si pasien, dengan memakai baju pelindung yang sangat tebal, menutup muka hingga kepala dengan hanya menyisakan mata saja, dan memakai sepatu boot. Dengan penampilan seperti itu, mereka terlihat seperti seorang astronot, bukan perawat. Saya jadi geli sekaligus prihatin melihat tingkah mereka. Yang mereka lakukan adalah memberikan obat untuk si pasien serta keperluan medis lainnya. Yang membuat saya miris adalah, ketika saya lihat sprei bekas si pasien ditempatkan dalam sebuah plastik, dibuang jauh-jauh lalu dibakar. Jika anda adalah keluarga pasien dan menyaksikan kejadian ini di depan mata Anda, bagaimanakah perasaan Anda? Atau, jika Anda adalah si pasien, apakah hati Anda tidak hancur berkeping-keping menyaksikan mereka memperlakukan Anda layaknya bukan manusia? Padahal, mereka adalah TENAGA KESEHATAN. Mereka orang-orang pintar.
Hal di atas harusnya tidak boleh terjadi lagi. Tidak boleh lagi ada orang yang masih memegang mitos yang salah tentang HIV/AID, apalagi oleh orang yang harusnya tahu banyak.
Jadi, teman-teman, marilah kita sama-sama membuka hati. Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) bukan alien, bukan sampah, dan bukan manusia yang tak berguna. Mereka sama seperti kita, berhak hidup layak dan berhak menghidupi keluarganya. Jangan sampai kita salah kaprah dan salah persepsi. Penyakit ini memang mengerikan karena sampai saat ini belum ditemukan obatnya, tapi mereka yang menderita penyakit bukan orang-orang yang mengerikan.
Akhir kata, harapan saya semoga semakin banyak orang yang tersadarkan akan mitos yang keliru tentang HIV/AIDS. Dan yang lebih penting lagi, semoga para ilmuwan tidak lelah bekerja menemukan obat yang tepat untuk mereka yang menderita HIV. Amin.

Tulisan ini diikutkan pada Lomba Blog “Wajah Sistem dan Regulasi Kesehatan di Indonesia” www.blogfpkr.wordpress.com




Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Previous
Next Post »

5 comments

Write comments
keke naima
AUTHOR
14 Desember 2013 pukul 19.09 delete

sosialisasi terasa sangat kurang, Mak. Jadi banyak yang takut kalau berdekatan denga ODHA

Reply
avatar
Liza
AUTHOR
16 Desember 2013 pukul 21.32 delete

wes miss kontes ikutan juga yang ini ya kak. kalau menurut liza sih, alasan penderita HIV AIDS diisolasi adalah agar dia tidak terinfeksi nosokomial. kan imunitas mereka drop abis tuh. yaaa, walaupun miris juga melihat tenaga kesahatan yang mendiskriminasikan mereka. semua2 disuruh sama adek koas waktu. waktu liza koas dipanyakit dalam, kamilah yang disuruh injeksi obat, ambil darah, dll

Reply
avatar
19 Desember 2013 pukul 22.18 delete

Mak keke Naima:
Iya betul mak, mudah-mudahan ini bisa menjadi salah bentuk sosialisasi :D

Liza:
sama za, waktu kami koass juga gitu, smua kerjaan kami yang kerjakan.

Reply
avatar
Anonim
AUTHOR
21 Desember 2013 pukul 09.06 delete

Aneh juga ya? kok bisa gitu petugasnya... terlalu tidak berkeprikemanusian banget tuh.... pdahal udh tau gmn itu penyakit bisa tertular ... klo R jd owner RS udh dari kemarin2 tuh dipecat... sayang lah pasiennya dibiarin gitu menunggu ajal ...

Reply
avatar
23 Desember 2013 pukul 22.07 delete

itulah Homehay, benar-benar tak habis pikir -_-

Reply
avatar

Instagram @fardelynhacky