Pelangi-pelangi… alangkah indahmu. Merah kuning hijau, di langit yang biru. Pelukismu agung, siapa gerangan? Pelangi… pelangi… ciptaan Tuhan
Bahwa
pelangi adalah ciptaan Tuhan, sejak kecil kita sudah diajarkan hal tersebut, melalui
lagu anak-anak yang dimainkan dengan permainan alat musik yang bernada riang tersebut. Lalu, kenapa kaum LGBT harus menggunakan ciptaan Tuhan tersebut sebagai simbol keberadaan
mereka? Bahwa menjadi homoseksual adalah takdir Tuhan? No way, mas bro, mbak sist! Takdir adalah apa-apa yang sudah
terjadi atas diri kalian, bukan apa-apa yang kalian inginkan atau sedang
rencanakan. Kaum LGBT –seperti halnya aku dan kalian, adalah ciptaan Tuhan
juga. Tetapi Tuhan tidak pernah salah dengan ciptaannya. Tentu saja, Tuhan
menciptakan manusia dengan kecenderungan tertentu, termasuk kecenderungan untuk
menjadi tidak normal, tetapi Tuhan menyuruh
manusia untuk melakukan sesuatu, agar
berubah.
Menurut
sedikit artikel dan hasil penelitian yang saya baca, bisa disimpulkan bahwa
orang dengan kecenderungan seksual pada sejenis, bukanlah bawaan genetik. It’s not a nature, it’s nurture.
Dulu,
saya punya guru pria dengan kecenderungan ‘melambai’ seperti itu. Beliau mengajar
Kimia dan menjadi wali kelasku sejak kelas 1 SMA. Sekarang sudah meninggal
(semoga beliau diterima di sisi Allah). Menurut orang-orang, beliau memang
sudah begitu sejak kecil, ya melambai gitu. Ini adalah perilaku yang memang
sudah ada sejak kecil, sebagaimana aku dan kalian yang memiliki perilaku khas bawaan
sejak kecil. Semakin dewasa, beliau menjadi agak genit kepada pria. Tetapi, kecenderungan
beliau menggoda murid-murid prianya, masih dalam batas wajar, tidak sampai
mengarah pada aktivitas seksual. Samalah seperti pria lajang saat menggoda
gadis-gadis. Tetapi semua tahu, ada batas-batas yang tidak boleh dilanggar, untuk
menghindari potensial ‘akses rasa’ si bapak guru terhadap sesama pria. Saya
tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika beliau tinggal di lingkungan
yang mendukung akan kecenderungan tersebut? Bisa jadi beliau mungkin sudah
menjadi gay. Tetapi Alhamdulillah, beliau akhirnya menikah dengan teman sekelas
saya. Punya dua anak dan bahagia.
Kaum
LGBT, bukanlah fenomena baru. Ketika Amerika melegalkan undang-undang
pernikahan sejenis akhir bulan lalu, semua menghujat dunia mau kiamat. Padahal
Belanda sudah melakukannya sejak tahun 2001, menyusul beberapa negara lainnya.
Coba tengok ke rentang masa yang lebih lama lagi, di ribuan tahun lalu, ketika
kaum umat Nabi Luth menjadi pelaku sodom. Cerita-cerita tentang kaum Sodom hampir
sama tuanya dengan cerita manusia itu sendiri.
Saya
percaya Tuhan punya suatu sekenario positif atas fenomena ini. Jika dulu Tuhan
menjadikan Nabi Luth sebagai utusannya untuk mengajak kaum Sodom ‘bertobat’–meski
kemudian mereka membangkang, di hari ini, mungkin Tuhan ingin memberi kesempatan
kita untuk lebih banyak menebar cinta dan kasih sayang kepada mereka, dan bukannya
menghujat atau memaki. Sesekali tempatkan diri kita pada posisi mereka. Apakah kita
senang dimaki?
Be a rainbow in someone's else cloud. –Maya Angelou.
However, in my opinion,
merangkul mereka bukan berarti harus
mendukung atau mendorong mereka melakukan pernikahan sejenis. Call me kampungan, tetapi untuk
pernikahan sejenis ini, entahlah, saya menolak. Saya tidak sedang berlaku
seolah-olah saya ini seorang pendakwah agama, tetapi ini adalah sesuatu yang memang
melawan kodrat alam.
Tuhan
sudah menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan, agar seimbang. Siang dengan
malam. Hitam dengan putih. Kanan dengan kiri. Jika itu semua tak bekerja dengan
semestinya, hasilnya akan timpang. Salah satu ketimpangan dari pasangan sejenis
ini adalah mereka tidak akan pernah bisa memiliki keturunan. Bukankah dipasangkannya
laki-laki dan perempuan adalah bertujuan untuk melanjutkan generasi?
Menyikapi
bertebarnya profil pelangi yang digunakan oleh mereka yang ada di friendlist saya, pun saya tidak mau
ambil pusing, apalagi sampai memaki mereka, apalagi sampai bertanya; ‘kau L
atau G’? Itu adalah tindakan dan pertanyaan bodoh. Mereka adalah orang-orang
dewasa, yang sadar dengan segala keputusan serta konsekuensi atasnya. We have our choice, they have their own
choice too.
Tetapi
dijadikannya pelangi sebagai simbol toleransi LGBT, sungguh tidak bisa saya
toleransi sama sekali, jika tidak boleh saya katakan bahwa saya kesal, hehe.
Saya
menyukai pelangi. Dan saya kira, siapapun menyukai pelangi. Pelangi adalah simbol
keberagaman, keheterogenan, dan bukannya kehomogenan. Di sini saja mereka sudah
kontradiktif. Pelaku ‘homo’, tetapi menggunakan simbol ‘hetero’. Seharusnya
warna itu netral, bukan milik kelompok tertentu.
Lebih
dari itu, saya agak khawatir dengan dampak yang ditimbulkan. Takutnya nanti
lama-lama, tidak ada lagi orangtua atau guru yang mengajarkan lagu ‘Pelangi’ ke
anak-anaknya. Padahal lagu tersebut sangat bagus maknanya, yakni mengajarkan
akan keagungan Sang Pencipta. Takutnya nanti, anak-anak kita tidak mau lagi
membaca novel Laskar Pelangi atau buku apapun yang berjudul Pelangi, padahal
bukunya sangat menginspirasi. Lama-lama… lama-lama… segala apapun yang berwarna
atau berjudul pelangi dienyahkan, dan akhirnya pelangi benar-benar sah hanya
milik kaum LGBT. Hiks…
Bahkan
beberapa logo perusahaan internasioanl juga menggunakan warna pelangi. Ini
sudah lama digunakan, jauh sebelum pelangi dijadikan warna simbol kaum LGBT,
jauh sebelum pro-kontra legalisasi tersebut.
Jadi,
mari cerdas.
Saat
besok-besok melihat pelangi dalam bentuk apapun, tak perlu lagilah kita
berujar; “Hei… pendukung LGBT!”
“Plis
deh, ah!”
20 comments
Write commentsIya lho mbak..padahal saya suka pelangi. Warna-warni yang indah. Bahkan saya punya payung warna pelangi. Ntar jangan-jangan saya dituduh dukung LGBT juga ya. Padahal bukan lhoo. Cuman suka pelanginya aja.
Replysetuju :)
Replypelangi-pelangi alangkah indahnya,hehe
Replyiya kak, mereka juga manusia, semoga yg L dan G segera mendapat petunjuk di jalan yg benar. Amin :)
Susah mau komen karena aku nggak paham kenapa orang mau kawin dengan sejenisnya. Lama2 nggak ada orang yang bisa melahirkan keturunan. Akhir peradaban manusia.
ReplyMakanya mbak, aku sebel banget itu pelangi dijadikan simbol mereka :(
ReplyMakasih
ReplyAamiin. Makasih Tina
ReplyHiks... :(
ReplyBener mbak, Segala sesuatu ada skenario positif oleh tangan NYA dengan begitu kita bisa legowo mengahadapi segala kelokan dan tanjakan hidup
ReplyMbak Eki smooth banget :) Sukaaa, sukaaa... !
ReplyIya benar mbak Zulfa. Mereka memilik kecenderungan seperti itu kan kan bukan kehendak mereka ya mbak. Meski gak ada genetik menjadi homo, tetapi kecenderungan rasa itu pasti terbawa sejak kecil. Semoga ini menjadi pelajaran buat kita selaku orangtua ya mbak.
ReplyMakasih mbak Zulfa
Makasiiiiiih mbak Nurul
ReplyHadushhh..aku jadi malu dipuji oleh blogger sekeren mbak Nurul :D
aku sebenarnya yangtermasuk terserah aja seh..yang penting mereka bahagia (asal bener-bener bahagia)
Replytapi dalam hati memang nggak setuju seh kalau sejenis itu boleh berpasangan
hiiiiiiiiii
Bener banget, mari cerdas menyikapi nya coz pelangi mmg indah :-)
ReplySetuju mbak :)
ReplyBaru tahu kalau pelangi dijadiin simbol apple dan disney hahaha
ReplyIya mbak, hati menolak. Jijik membayangkannya. tapi ya terserah mereka mau dukung soal keputusan ini :D
ReplyIyaaaa..let's smart :D
ReplyToss mbak :D
ReplyWah, telat banget :D
ReplyAtau, mungkin udah tau, tapi gak sadar? :D
ConversionConversion EmoticonEmoticon