Ini bukan mendung tapi gelap karena asap yang tebal. Thailand | Oktober 2015 |
Indonesia
sedang menjadi sorotan dunia terkait isu asap akibat pembakaran hutan di Riau
dan Kalimantan Tengah, terlebih oleh negara-negara yang terkena imbas asap
seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand. Bahkan kabarnya hari ini, asap sudah
sampai ke Filipina. Oh, tidak bisa membayangkan sudah separah manakah
pembakaran lahan yang terjadi di sana sehingga negara tetangga seperti Filipina
pun sudah terkena dampaknya.
Akibatnya
warga negara Indonesia yang saat ini sedang berada (baik sementara atau menetap
sementara) di negara-negara tersebut pun harus menanggung malu. Bukan, ini
bukan malu sebagai warga negara Indonesia, melainkan malu karena negara kita
sudah menularkan kerusakan sampai ke beberapa negara. Memang kita tidak
menginginkan asap ini bergerak ke arah yang lebih jauh. Siapa yang bisa
mengontrol pergerakan angin? Asap Indonesia dibawa bergerak ke Malaysia dan
Singapura, ke dua negara tetangga yang paling dekat. Asap kiriman yang ada di Malaysia dan Singapura, bergerak lagi ke
arah Thailand karena Thailand berbatasan langsung dengan dua negara tersebut. Entah sampai kapan ini
akan berakhir. Dan entah sampai kapan kami yang sedang berada di negara-negara
yang terkena imbas asap harus menanggung malu.
Thailand
mulai ikut berasap sejak lebih kurang tiga minggu lalu. Awalnya aku kira hanya
kabut biasa, ternyata aku salah. Kampusku berada di kaki bukit, jadi soal kabut
di pagi hari adalah pemandangan yang biasa. Tetapi semakin siang kabut tidak
juga menghilang, sebaliknya, malah kian pekat. Bukit yang biasanya cukup jelas
terlihat dari ketinggian tempat tinggalku, hari itu perlahan-lahan
penampakannya semakin samar-sama hingga jarak pandang kian pendek.
Gedung-gedung diliputi asap. Aku turun ke bawah dan melihat orang-orang sudah
pada menggunakan masker.
Foto diambil pada 21 Oktober 2015
Di hari kedua, kampusku semakin berkabut. Rasa maluku
timbul untuk pertama kalinya ketika aku bertemu seorang pria yang
berasal Nepal, seorang mahasiswa di PSU. Kebetulan dia adalah orang yang baru
aku temui, dari banyak mahasiswa asing yang sudah kukenal.
Ketika
dia tahu aku berasal dari Indonesia, maka reaksi pertamanya adalah menyinggung
soal asap, bukan bertanya soal nama, atau apalah apalah. Dengan nada
menyalahkan dia berkata bahwa orang-orang Indonesia yang di kampus tersebut
seharusnya mengumpulkan uang, membeli masker, dan memberikannya ke setiap
orang. Aku hanya tersenyum getir mendengar kalimat menyalahkan tersebut.
Mungkin dia tidak pernah membayangkan bahwa dia harus menghirup polusi setiap
hari di Thailand. Sayangnya, asap tersebut berasal dari negeri yang tidak
sedang didiaminya dan belum pernah didatanginya.
Sebagaimana
WNI di Indonesia yang menuntut ini itu kepada pemerintah, masyarakat Thailand
di kawasan kami ini pun tak luput melakukan hal yang sama. Mereka protes ke kantor Konsulat RI di Songkhla meminta agar pemerintah Indonesia bertanggung
jawab dan berkomitmen menyelesaikan persoalan asap ini.
Masyarakat Thailand sedang protes ke Konsulat RI pada 7/10/205. Foto: photo credit goes to Mr. Sasiwan Mokkhasen from Khaosod English |
Alhamdulillah,
hujan turun dengan lebatnya di hari keempat, dan hujannya pun turun seharian
itu. Sehingga esoknya, kota kami di sini kembali dibanjiri sinar matahari yang
berlimpah. Kabut menghilang sama sekali. Kami berganti suasana, dari
bermandikan kabut asap menjadi bermandikan sinar matahari pagi hingga sore.
Pada saat-saat inilah baru terasa nikmatnya terik matahari, yang bagi sebagian
orang terasa menyakitkan karena panasnya yang membakar.
Sayangnya
kenikmatan tidak berlangsung lama. Lima hari lalu, kota kami di sini kembali
diliputi kabut asap. Kali ini lebih pekat dari sebelumnya. Gunung di samping
kampus bahkan tak terlihat lagi. Di hari kedua
suasana berasap di minggu ini, aku melihat bulan raksasa di atas langit,
padahal hari itu masih pukul tiga sore. Hah? Masa ada bulan siang-siang begini?
Begitu tanyaku pada suamiku. Kata suamiku, itu bukan bulan, melainkan matahari.
Tampaknya asap menghalangi sinar matahari menembus permukaan bumi. Itu artinya,
seharusnya hari itu adalah hari yang sangat panas dan terik, tetapi hari itu
terlihat seperti mendung. Gelap dan berkabut.
Penampakan semakin gelap dan jarak pandang kian pendek. Gunung di ujung sana makin samar. Foto diambil pada 21 Oktober 2015
Rasa
maluku selanjutnya kembali timbul hari itu, ketika suamiku mengisi BBM untuk
mobil yang menjadi kendaraan kami di sini, di sebuah pom bensin yang berada
tidak jauh dari sebuah pantai. Ketika pekerja pom bensin tahu kami berasal dari
Indonesia, dia langsung menunjuk ke atas. Artinya dia menunjukan asap karena
dia tidak bisa berbahasa Inggris maupun melayu. Lebih jauh artinya adalah; ‘hai
orang Indonesia, inilah asap dari negaramu dan kami harus terkena imbas
olehnya.’
Penampakan dari dalam mobil kami |
Aku
tidak sendiri, ada banyak WNI yang mengalami hal serupa. Ditanya ini itu
seperti kenapa pemerintah Indonesia begitu lamban menangani asap. Ini masih
lumayanlah jika tanpa tedeng aling-aling tiba-tiba menyalahkan. Yang lebih
lumayan lagi adalah dikomen soal asap sambil bercanda. Kalau ini mah paling
sering, ya :D Misalnya ketika beberapa hari lalu seorang teman dikomen sambil
bercanda soal asap. Dia menyarankan temanku untuk pulang dulu ke Indonesia
sambil membawa pulang asap yang ada di sini. Barulah setelah semua asap dibawa
kembali ke Indonesia, teman saya balik lagi ke sini. Tentu saja ini hanya
sebuah candaan, dilontarkan sambil tertawa, tetapi tetap saja menimbulkan
kegetiran tersendiri saat mendengarnya. Ketika dia sedang sidang proposal
thesis empat hari lalu itu, di saat asap sedang pekat-pekatnya, si penguji
malah membahas soal asap alih-alih bertanya soal thesisnya. Betapa memilukan
sekaligus memalukan.
Apa
yang bisa kita lakukan? Hanya bisa berdoa semoga masalah asap ini bias segera
teratasi. Aamiin.
Menatap masa depan di ujung sana. Belum jelas penampakannya karena tertutup kabut asap :D |
18 comments
Write commentsHaha...kalimat terakhir itu yang menyentak sekali :D hingga madesu (masa depan suram) gara-gara kabut asap :D
ReplyKaget juga pas asapnya sampe Thailand..
ReplyYang di Indonesia aja malu,lihat reaksi negara tetangga yang marah2 di tv..apalagi yang tinggal d negara tetangga,kebayanglah malunya,hickz..
Bencana Asap kali ini memang lagi mengemparkan ASEAN, namun oknum dibalik asapa sebenarnya ada beberapa lahan yang dibakar seperti perusahaan sawit milik Malaysia dan Singapura yang beroperasi di Indonesia Mba, namun sekali lagi harus jadi awarness kita semuanya sih, mulai mengulurkan tangan dan membantu mereka yang kesusahan
ReplyKebayang malunya ya ... kita mah hobinya export asep :(
ReplySumpah, yang mbakar itu apa ga punya telinga kali ya. gemes deh... Bikin malu indonesia aja...
ReplyWaaah asapnya kena sampai Thailand tah, Mbak?
ReplySedih ya kapan masalah asap ini selesai kok kayaknya masih jalan ditempat, semoga segera teratasi, aamiin :')
Duh, malu sekali pastinya ya Ky, nggak mampu kasih jawaban juga ya.
ReplySEmoga segera turun hujan tiap hari, tapi jangan sampai banjir jugaaaa
Waduuuh kebayang malunya kayak apa kalau ada di posisi mak. Tahun ini memang parah banget, anak temanku di Palembang sdh 3 bln ini mengkonsumsi obat batuk terus.
ReplyFeeling hopeless ya mbak... Semoga ALLAH segera beri jalan keluar untuk kita semua, aamiiin
Replyaduh becandaannya....... ngenes juga ya kalo kita yang dibecandain gitu :(
ReplyPerbanyak do'a dan juga istighfar. Karena istighfar itu penghulunya do'a...
ReplyPerbanyak do'a dan juga istighfar. Karena istighfar itu penghulunya do'a...
Replysmoga kabut asap cepat berakhir ,,, sedih melihatnya ,.,, hiks hkis ,,,
ReplyMenarik ulasannya kak. Hal yang terpenting adalah kakak tidak malu akan keberadaan Aula saja itu sudah luar biasa.
Replyrasanya pingin nutup muka sama kipas sate. Tapi penjelasan juga baik tanpa harus menyalahkan.
Replytentunya memang sebagai warga indonesia yang berkunjung ke negara tetangga akan malu jika asap disebabkan oleh Indonesia
ReplyKebayang malunya ya. hahahha
ReplyAmin, Semoga dapat jalan keluar :)
ReplyConversionConversion EmoticonEmoticon