Tahun 2015
diharapkan ASEAN menjadi satu komunitas tunggal, yang merangkul seluruh negara
di ASEAN. Namun di antara anggota ASEAN, ada juga yang memiliki sengketa antar
negara, terutama terkait dengan perbatasan antar negara. Seperti yang terjadi
dengan Singapura dan Malaysia.
Singapura mempunyai sengketa perbatasan dengan Malaysia
pada pulau di pintu masuk Selat Singapura sebelah timur. Ada tiga pulau yang
dipersengketakan, yaitu Pedra Branca atau oleh masyarakat Malaysia dikenal
sebagai Pulau Batu Puteh, Batuan Tengah dan Karang Selatan. Persengketaan yang
dimulai tahun 1979, sebenarnya sudah diselesaikan oleh Mahkamah Internasional
tahun 2008, dengan menyerahkan Pulau Pedra Branca kepada pemerintahan
Singapura. Namun dua pulau lagi masih terkatung-katung penyelesaiannya dan
penyerahan Pedra Branca itu, kurang diterima oleh Masyrakat Malaysia sehingga
kerap terjadi perselisihan antar masyarakat.
Bagaimana
menurut teman-teman blogger penyelesaian konflik ini terkait dengan Komunitas
ASEAN 2015? Tulis pendapat teman-teman dalam satu postingan dengan tema di
atas.
***
Yang
namanya kehidupan bertetangga, tidak pernah lepas dari adanya konflik. Dari konflik
sepele sampai konflik berat. Termasuk konflik berat apabila konflik ini tidak
bisa diselesaikan oleh kedua belah pihak, jadi mestilah menghadirkan pihak
ketiga. Contoh kecilnya kehidupan kita bertetangga. Dulu waktu saya masih
ngontrak rumah dan tetangga saya juga masih sama-sama ngontrak, kami tidak bisa
mengklaim batas tanah yang tetangga saya gunakan di tanah sisa atas rumah kontrakan
yang saya tempati, karena itu bukan hak milik kami, hahaa…
Namun
saat kami sudah punya rumah sendiri dan mendapati kenyataan bahwa luas tanah
kami menjadi berkurang karena ternyata tetangga kami yang sudah duluan membeli
rumha di samping rumah kami, malah membangun rumahnya bukan hanya di atas tanah
yang menjadi batas, tapi lewat dari tanah batas, yang artinya sudah di atas tanah
kami. Bahasa kasanya, mereka udah nyaplok tanah kami Tanah batas ini
hanya sekitar 5-8 cm. Kalau di perbatasan Thailand dan Malaysia menuju
Narathiwat, daerah tanah batas ini adalah lahan kosong, bukan hak milik
Thailand dan bukan juga hak milik Malaysia. Nah, karena bukan hak milik siapa-siapa,
maka tidak ada bangunan apapun di sini, meski di kiri dan kanannya terdapat
bangunan untuk border Malaysia dan border Thailand.
Secara
hukum adat di daerah saya, membuat bangunan di atas tanah batas, tidak
dilarang, ASAL kedua pihak saling sepakat. Artinya, siapapun yang duluan
membangun di tanah batas tersebut, maka tetangga sebelahnya tinggal melanjutkan
saja, tanpa perlu membangun apapun, hanya di batas tersebut. Mendapati kenyataan
bahwa tetangga kami bukan hanya membangun slof bangunan di tanah batas,
namun lebih sekitar 5 cm ke arah tanah kami, maka ketika kami membangun rumah,
kami hanya cukup memberitahu saja, tanpa perlu minta ijin lagi. Eee…ternyata si
pemilik rumah memperkarakan kami karena menurutnya itu adalah tanah bagiannya.
Apa yang kami lakukan kemudian? Melihat begitu ngototnya tetangga kami,
sementara kami merasa bahwa kami benar berdasarkan akta tanah yang kami pegang,
kami mencoba menghadirkan pihak-pihak lain dalam mengatasi masalah ini. Bukan
hanya satu pihak; kepala desa, saksi-saksi di kompleks kami, dan notaris dari
masing-masing pihak. Meskipun kami yang memenangkan perkara ini (karena bukti
yang ada pada kami lebih menguatkan dan saksi-saksi lebih membenarkan adanya
bukti kami), namun kami tetap mencoba bersikap baik kepada tetangga kami itu.
***
Indonesia,
Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Brunei Darussalam; adalah negara bertetanggaan
dekat, namun berpotensi menimbulkan konflik soal batas wilayah. Secara, di negara-negara
ini, selain punya daratan, juga punya lautan dengan pulau-pulaunya. Tapi hari
ini, mari kita bahas tentang Malaysia dan Singapura saja ;)
Terus
terang, jika tidak ada tema #10daysforAsean hari ini, mungkin saya tidak akan
pernah tahu tentang prahara perebutan Pulau Batu Puteh, Batuan Tengah, dan
Karang Selatan antara Malaysia dan Singapura. Maka saya pun hunting mencari
referensi untuk mulusnya menulis topik berat ini :D, dari SINI, SINI, dan SINI.
Baiklah,
kita lihat dulu di peta ya biar lebih jelas ;)
Credit Pic |
Berdasarkan
peta di atas, apa ya kira-kira yang terpikirkan di benak saya, dan Anda semua?
Apakah sama dengan saya pikirkan? Yang ada di pikiran saya begini; secara letak, jelas
itu lebih ke antara Indonesia dengan Malaysia kan, ya. Itu di bahwahnya ada
Indonesia, yaitu Bintan. Meski yeah…lebih dekat ke arah Malaysia. Tapi
ternyata, ngomongin soal batas wilayah, nggak bisa hanya melihat dari
penampakan. Sudah ada aturan khusus tentang ini.
Menurut para ahli hukum
international seperti Green NA Maryan, Shaw Malcolm, JG Starke dan Burhan
Tsani, perbatasan wilayah adalah batas terluar wilayah suatu negara berupa
suatu garis imajiner yang memisahkan wilayah suatu negara dengan wilayah negara
lain di darat, laut maupun udara yang dapat dikualifikasi dalam terminologi
"Border Zone" (zona perbatasan) maupun Customs Free Zone (zona bebas
kepabeanan). Kawasan perbatasan dalam dua terminologi di atas dapat diatur
secara limitatif dalam berbagai perjanjian international yang bersifat
"Treaty Contract" untuk menyelesaikan permasalahan di perbatasan
secara insidentil maupun yang bersifat "law making treaty" untuk
pengaturan masalah perbatasan secara permanen berkelanjutan.
Ada dua konsep regim
pengelolaan perbatasan antar negara yang sedang dikembangkan negara-negara yang
berdampingan yaitu "Hard Border Regim" (regim perbatasan keras)
sebagaimana diterapkan AS terhadap Mexico dan Cuba, yang mengutamakan
pendekatan militer di perbatasan dan "Soft Border Regim" (regim
perbatasan lunak) sebagaimana diterapkan AS terhadap Canada, yang merupakan
pola pendekatan yang manusiawi dan "social approuch". Pilihan untuk
menggunakan salah satu regim atau mengembangkan dua-duanya dalam pengelolaan
keamanan perbatasan antar negara sangat ditentukan oleh filosofi yang dianut
masing-masing negara dalam mengelola kedaulatan negaranya.
(sumber dari SINI).
Saya
rasa, untuk negara-negara di kawasan Asia Tenggara, konsep yang digunakan dalam
pengelolaan perbatasan antar negara adalah menggunakan konsep kedua, yaitu ‘Soft
Border Regim’ di mana kita masih menggunakan pendekatan yang manusiawi
dengan pertimbangan faktor-faktor seperti budaya dan filosofi ketimuran yang
masih kita pegang teguh.
Begitu
juga jika melihat posisi ketiga pulau tersebut (Pulau Batu Puteh, Batuan
Tengah, dan Karang Selatan), lebih dekat ke Malaysia. Namun mahkamah
internasional menetapkan bahwa ketiga pulau itu adalah milik Singapura, pada 23
Mei 2008. Mugkin dulunya pulau-pulau ini sempat tidak diurusi oleh kerajaan
Johor. Maklumlah, namanya juga pulau batu. Apalagi dulunya Malaysia dan
Singapura adalah negara yang satu. Hingga akhirnya Inggis datang menjajah. Lalu
Singapura lepas dari Malaysia dan menjadi negara yang berdaulat dan berdiri sendiri.
Namun pada masa jajahan Inggris, Inggris sempat membangun sebuah mercusuar di
Pulau Batu Puteh dan pembangunan mercusuar ini selanjutnya diurus oleh
Singapura. Konon, Singapura mengurus pulau itu dalam kurun waktu lebih dari
satu abad. Diurus bukan hanya merawat bangunannya, namun juga memasukkan ke
dalam wilayah administrasi Singpaura. Dan dengan demikian, pulau itu menjadi ‘milik’
Singapura.
Pulau Batu Puteh atau Pedra Branca (dari bahasa Portugis). Gambar dari SINI |
Entah
kenapa, Malaysia tiba-tiba berang. Malaysia tidak terima Singapura dengan
seenak jidatnya mengklaim pulau itu milik mereka. Selama 29 tahun mereka terus
saja tarik ulur berkaitan dengan pulau batu tersebut. Hingga akhirnya terpaksalah
Mahkamah Internasiona turun tangan, dan
menyatakan bahwa pulau-pulau tersebut adalah milik Singapura. Alasan utama adalah
karena selama lebih dari seratus tahun, pulau itu diurusi oleh Singapura, bukan
Malaysia.
Jika
melihat penampakan batas wilayah dari peta, seperti yang saya bilang tadi,
memang lebih dekat ke Malaysia, tapi ternyata itu adalah batas wilayah kedua
negara tersebut. Jadi, pulau-pulau itu berada tepat di batas wilayah laut kedua
negara tersebut.
Namun
yeah…sampai saat ini Malaysia belum bisa menerima keputusan dari
mahkamah internasional tersebut. Alasan mereka karena pulau-pulau batu itu dulunya
ada dalam kedaulatan kerajaan Johor. Bahkan Sultan Johor hingga kini masih
tetap bersikukuh bahwa pulau-pulau itu adalah milik mereka.
"Suka beta ingatkan bahawa beta tidak lupa pada Pulau Batu Puteh. Pulau Batu Puteh bukan hak Singapura tetapi hak milik Johor. Sampai bila pun beta akan cari ikhtiar untuk mendapatkan semula pulau milik Johor itu."
(Pernyataan
tersebut bisa dibaca di SINI).
Wah,
ternyata persoalan belum selesai ya, meski sudah diselesaikan oleh mahkamah
internasional lima tahun lalu. Memang, tidak ada keputusan yang bisa memuaskan
semua pihak. Sama ketika kami memenangkan perkara atas batas tanah kami dengan
tetangga sebelah. Mereka tidak mau terima dengan keputusan dari pihak notaris
dan saksi-saksi.
Lalu
bagaimana kita melihat konflik kedua negara ini? Dalam hal ini, kita adalah
pihak ketiga. Maka sebagai pihak ketiga, jadilah sebagai pihak ketiga yang
netral, yang tidak berat sebelah dan tidak membela hanya satu pihak saja.
Sebagai blogger, kita bisa menulis hal-hal yang positif yang intinya mengajak
kedua negara untuk menerima apapun keputusan yang telah ditetapkan oleh
mahkamah internasional. Karena bagaimanapun, toh keputusan sudah ditetapkan.
Bagimanapun Malaysia mencoba untuk bersikukuh, dunia sudah mengakui bahwa
pulau-pulau itu adalah milik Singapura. Mungkin suara/tulisan kita tidak ‘didengar’?
Atau.. jangankan ‘didengar’, sampaipun
tidak, huhuhu… Tapi tidak mengapa, itulah gunanya ASEAN Community 2015 digagas.
Bahwa nanti, dua tahun dari sekarang, kita mungkin saja akan bergandeng tangan
saudara-saudara kita yang dari Malaysia atau Singapura, dan meyakinkan mereka
bahwa mereka berdua adalah sama-sama teman kita.
Ketika
negara menghadapi konflik dengan sebuah negara lain, sikap kita adalah dengan
tidak tidak ikut-ikutan berkonflik. Memiliki konflik kan bukan berarti
bermusuhan. Sama ketika dulu Aceh berkonflik dengan Indonesia. Apa sikap saya
sebagai orang Aceh? Apakah saya bermusuhan dengan orang Jawa? Tentu saja tidak.
Saya tetap menerima dengan tangan terbuka teman-teman ‘Pulau Jawa’ saya, bahkan
jika mereka datang ke tempat saya. Dan ketika Aceh akhirnya tetap berdaulat di
bawah NKRI, kami tetap menerimanya dengan lapang dada, bukan melihatnya sebagai
kekalahan.
Nanti, di tahun 2015, kita tidak bisa
memprediksi, apakah Malaysia masih tetap bersikukuhnya seperti sekarang. Namun yang
pasti, seperti salah satu pilar utama dari tiga pilar yang digagas oleh Asean
Community, yaitu ASEAN Political-Security Community (APSC), di mana
bertujuan memperkuat ketahanan kawasan dan mendukung penyelesaian konflik
secara damai melalui forum konsultasi bersama, kita berharap semoga salah satu
agendanya adalah mencari titik temu terhadap dua atau lebih negara yang sedang
bermasalah. Kita tentu tidak ingin bukan, kerja bergandeng tangan ini menjadi
tidak kompak hanya karena secuil amarah yang bercokol di dada. Khususnya untuk
Malaysia dan Singapura, khususnya lagi untuk masalah tiga pulau di perbatasan
ini, saya rasa Indonesia bisa menjadi penengah antara keduanya. Sikap yang bisa
diambil Indonesia antara lain:
1. Mencoba
bersikap netral dan tetap menjalin kerjasama dengan keduanya
2. Mengajak
Maysia dan Singapura agar mau bergandeng tangan untuk lebih fokus membahas
perkembangan kedua negara ketimbang gontok-gontokan dengan keputusan yang udah ‘ketok
palu’ di Mahkamah Internasional sono. Bukan apa-apa, Singapura dan Malaysia kan
termasuk negara yang udah melaju pesat di Asia Tenggara, rasanya lebih baik
kalau mereka sekarang fokus gimana bisa bergandeng tangan membawa nama harum
ASEAN ke kancah dunia.
3. Poin
ini mungkin agak sedikit sok menggurui, tapi tidak ada salahnya kalau kita
meyakinkan Malaysia bahwa toh ini udah keputusan, mau gimana pun
meradang-radang, marah-marah, hasilnya yang ada capek sendiri. Melakukan ini
bukan juga kesannya Indonesia sedang membela Singapura, tapi demi kedamaianlah.
Ya…Peace, Malaysia dan Singapura :D
Hikmah
apa yang bisa kita ambil dari kasus Malaysia dan Singapura ini, khususnya untuk
Indonesia? Bahwa merawat hak milik itu
penting. Jangan dikira karena secara penampakan tidak memberi ‘untung’, ya
sudah kita biarkan saja begitu adanya. Tapi ternyata tidak bisa begitu. Dulu Pulau
Batu Puteh, ratusan lalu, memang dimiliki oleh Malaysia, khususnya di bawah
kerajaan Johor. Tapi ya gitu deh, hak milik cuma jadi hak milik aja, tanpa
dipedulikan. Apalagi ini ceritanya, tuh pulau berada dalam posisi yang rawan,
di perbatasan negara. Rawan dicaplok kan, ya? Apalagi kemudian dibangun sama
pendatang (Inggris). Inggris tentu saja lebih mau menyerahkannya sama yang
lebih mau mengurusnya daripada sama yang membuatnya terbengkalai. Akhirnya,
dunia bisa melihat kan ya, yang mana yang lebih berhak atas pulau itu.
Maka
mulai sekarang, sebagai bangsa Indonesia, marilah kita merawat apa yang menjadi
milik kita. Jangan lengah karena sekarang orang berlomba-lomba cepat. Jadi
yuuuk…kita songsong Asean Community dengan bersama-sama bergandeng
tangan dalam kehangatan ;)
ConversionConversion EmoticonEmoticon