Everyone has the
right to freedom of opinion and expression; this right includes the right to
hold opinions without interference and to seek, receive and impart information
and ideas through any media and regardless of froentiers. (The Universal Declaration
on Human Rights [UDHR]).
Everyone shall
have the right to freedom of expression; the right shall include freedom to
seek, receive and impart information and ideas of all kinds, regardless of
frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of the art or
through any other media of his choice
(The International Covenant on Civil and Political Rights [ICCPR]).
***
Apa yang bisa kita
lihat antara Filipina dan Indonesia? Kalau saya melihat, negara ini memiliki
kemiripan: Indonesia adalah negara dengan kepulauan terbanyak di dunia,
Filipina pun demikian juga meski jumlah tidak sebanyak Indonesia; Indonesia dan
Filipina adalah sama-sama negara demokrasi di mana presidennya adalah seseorang
yang langsung dipilih oleh rakyat, dan sama-sama pernah mengalami rezim
‘diktator’, jika Indonesia dengan rezim
orde barunya , Filipina dengan rezim Marcos.
Filipina pernah
mengalami masa-masa suram terutama saat negara ini di bawah pemerintahan
presiden Ferdinan Marcos; pemerintah yang tidak becus, pengaturan politik yang
tidak baik, masalah kesehatan yang buruk, korupsi yang merajalela, dan
terjadinya pelanggaran HAM. Dan tragisnya, kisah lengsernya Marcos pun hampir
sama dengan kisah lengsernya Soeharto di Indonesia. Setelah berpuluh tahun
dicengkeram rasa takut atas kedigdayaan pemimpin yang tidak adil dan penuh
kecurangan, Filipina, sebagaimana halnyaIndonesia, akhirnya mengalami yang
namanya ‘revolusi’ melalui sebuah demonstrasi besar-besaran. Massa memaksa
turun pemimpin yang zalim. Jika di Indonesia pemimpinnya masih adem ayem
menikmati asetnya di dalam negeri, namun
Marcos masih punya rasa malu jika memutuskan tetap tinggal di negaranya. Maka Marcos
dan istrinya melarikan ke luar negeri, bahkan sampai meninggal pun Marcos tidak
di negerinya sendiri.
***
Salah satu hal
penting yang dikekang pada masa Marcos adalah kebebasan informasi. Pada masa
kepemimpinannya, penggerak media-media massa yang dianggap berpihak pada
komunis akan ditangkap dan dipenjarakan. Semua aset dan fasilitas media
ditutup, tidak dibiarkan berkembang. Para jurnalis ditangkap. Yang hanya boleh
beredar adalah media-media yang pro ke Marcos.
Begitulah masa kelam
dunia pers dan kebebasan informasi di Filipina, sebagaimana dulu di
Indonesia.
Namun, jaman sudah
berubah, Seiring dengan tumbangnya rezim Marcos, maka belenggu-belenggu
ekspresi lepas dan menjadi bebas tanpa kendali. Kini Filipina dalam kondisi
kebebasan pers dan kebebasan informasi, sebebas-bebasnya, bahkan tanpa
Undang-Undang.
Akibatnya apa?
“Mau gue nulis apa
tentang elo, mau gue nge-bully elo di tulisan gue, gue mah santai aja,
nggak ada undang-undang yang aku ngatur-ngatur gue.”
“Lo boleh tulis apa
aja tentang gue, tapi gue nggak menjamin apa elo masih bisa mandi air hangat di
rumah lo malam ini. Nyawa lo di ujung pistol gue.”
Kebebasan Pers di Filipina
Kalo ngomongin dunia
pers, pers-nya Filipina adalah pers paling bebas di Asia. Mungkin akibat terlalu dibredel dulu kali ya,
jadi begitu bredelnya lepas, mereka benar-benar lepas dan bebas
sebebas-bebasnya. Inilah yang membedakan Filipina dengan Indonesia. Indonesia
meski sudah memiliki kebebasan yang sama, namun kebebasan tersebut sudah diatur
dalam sebuah undang-undang yaitu Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang pers.
Jangan salah lho, Undang-Undang ini seyogyanya mengatur banyak hal yang tidak
hanya tentang pers saja, juga hal-hal kebebasan berekspresi lainnya.
Saya bersyukur
tinggal di Indonesia. Biar gini gini, pemerintahnya nggak cuek-cuek amat soal
membatasi kebebasan pers dan kebebasan informasi ini. Dibuat Undang-Undang
bertujuan bahwa sebebas apapun kta boleh bersuara, kita tetap punya garis
kuning yang tidak boleh kita lewati. Mau nulis tentang buruknya pelayanan
sebuah institusi pemerintah misalnya, kita tidak boleh seenak jidat nulis
dengan bahasa kasar dan memaki-maki. Mengkritik sih mengkritik (lewat tulisan),
tapi kan ada aturannya gimana cara-cara nulis kritikan yang santun namun tetap
langsung mengena pas dibaca orang, apalagi dibaca sama yang kita kritik
tersebut. Maksud hati ingin mengungkap kebobrokan seseorang atau sebuah
institusi, eeee…malah kita yang nulis ini yang kena jerat pencemaran nama baik.
Karena apa? Karena nggak tau sopan santun dan nggak punya etika berbahasa tulis.
Intinya, Undang-Undang tersebut hadir untuk siapapun; yang memberi pendapat,
yang memberi informasi, yang menerima pendapat, yang menerima informasi.
Lhaa..kalo jurnalis memang udah pasti lah yaw…
Undang-Undang
Indonesia juga nggak ketat-ketat amat kok. Artinya sama-sama melindungi, baik
untuk kalangan pers, pemberi informasi, maupun penerima informasi. Nggak kayak
di Thailand. Negara ini ketat banget soal kebebasan berekspresinya. Tahun 2010 lalu, seorang editor sebuah
majalah di Thailand dipenjara karena tulisannya dianggap menghina raja Bumibol
Adulyadej. Itu baru kisah dengan warga negara sendiri, lho. Kisah penjara
memenjara juga pernah terjadi pada warga negara non Thailand, yaitu seorang
novelis asal Australia. Konon, disebut-sebut novelis asal Australia sempat
‘menghina’ raja dan keluarganya dalam novel yang ditulisnya. Makanya jangan
coba-coba menulis sesuatu yang buruk tentang raja dari negara ini, bahkan jika
kau menulisnya dalam bahasamu sendiri. Duh..ngeri ya…
Blogger masuk ke mana?
Blogger memang bukan
jurnalis tapi mereka menulis :D Tapi karena mereka menulis –kegiatan sehari-hari,
tentang sebuah peristiwa, tentang sebuah fenomena alam– maka keluarlah istilah citizen
journalism atau jurnalis warga. Citizen Journalism di era digital sudah
agak canggih karena menulis tanpa pake kertas. Cukup ketak-ketik saja semua
peristiwa yang dilihat, didengar, dan dirasa (dengan adanya foto-foto), lalu
post ke blog atau media sosial, maka apa yang terjadi di tempat saya di Aceh,
tidak sampai satu jam, orang-orang udah
pada tau apa yang saya laporkan. Ditambah dengan kenyataan semakin mudahnya mengakses
internet, maka keberadaan jurnalis warga ini kadang menguntungkan pihak-pihak
tertentu; pemerintah, atau lembaga-lembaga swasta.
Blogger sebagai
jurnalis warga tentu memiliki etika ketika sedang melaporkan apa yang dilihat
dan ditulisnya. Etika yang paling
esensial adalah bebas menulis tanpa kebablasan. Sebagai Blogger Indonesia,
marilah kita tunjukkan sikap-sikpa positif dalam tulisan kita sehingga bisa
bergandengan tangan dengan blogger negara tetangga. Kita doakan saja semoga
Filipina segera menyusul membuat Undang-Undang Kebebasan Pers ini, supaya
bebasnya mereka bukan bebas yang bablas.
Refererensi:
3. http://www.beritasatu.com/asia/93306-menghina-raja-editor-majalah-thailand-dipenjara-10-tahun.html
3 comments
Write commentsNumpang ninggalin jejak :D Good Luck!
Replymakasih atas jejaknya kakaaaa ;p
ReplyAyah Edy semalam di SIndo TV membahas hal yang senada. Katanya meski kita/media kita cenderung menganggap Barat sebagai negara liberal, full of kebebasan dan sebagainya namun mereka punya aturan yang membatasi kebebasan di ruang publik. Jika kita membawa binatang peliharaan lalu menggigit, itu dendanya bisa 10.000 dolar AS. Hal-hal semacam itu telah diatur dalam undang-undang. Lalu di tempat kita tidak ada aturan itu. Sehingga bebas ya bebas aja, padahal barangkali sudah mengganggu kebebasan atau hak orang lain. Sehingga orang tua atau keluarga pun jadi tempat pertama dan utama untuk mengenalkan norma-norma tersebut. Apa yang disebut ayah Edy memberi "kasih sayang" dan "kasih tegas" secara berimbang.
ReplyConversionConversion EmoticonEmoticon